Disusun Oleh:
A. Latar Belakang
Manusia mempunyai kebutuhan dasar (kebutuhan pokok) untuk
mempertahankan kelangsungan hidupnya. Walaupun setiap individu
mempunyai karakteristik yang unik, namun kebutuhan dasarnya tetap sama.
Perbedaannya hanya dalam cara pemenuhan kebutuhan dasar tersebut.
Kebutuhan dasar manusia merupakan unsur-unsur yang dibutuhkan oleh
manusia dalam mempertahankan keseimbangan fisiologis maupun psikologis,
yang bertujuan untuk mempertahankan kehidupan dan kesehatan.
Di kalangan profesi keperawatan, teori kebutuhan dasar yang sering
dijadikan acuan adalah hirarki kebutuhan dasar manusia yang dipublikasikan
Abraham Maslow pada tahun 1970. Menurut Maslow, pemenuhan berbagai
kebutuhan tersebut didorong oleh dua kekuatan (motivasi) yakni motivasi
kekurangan (defiency motivation) dan motivasi pertumbuhan/perkembangan
(growth motivation). Manusia memiliki delapan macam kebutuhan dasar
yaitu: kebutuhan oksigen, cairan, nutrisi, temperatur, eliminasi, tempat tinggal,
istirahat, dan seks.
Eliminasi merupakan kebutuhan dasar manusia yang esensial dan
berperan penting untuk kelangsungan hidup manusia. Eliminasi dibutuhkan
untuk mempertahankan keseimbangan fisiologis melalui pembuangan sisa-sisa
metabolisme. Pembuangan sisa metabolisme dibagi menjadi dua jenis yaitu
berupa metabolisme dalam bentuk feses yang berasal dari saluran cerna dan
urin melalui saluran perkemihan (Kasiati & Rosmalawati, 2016).
Eliminasi merupakan kebutuhan yang sangat dibutuhkan oleh manusia,
salah satu jenis eliminasi yang penting adalah eliminasi fekal dimana proses
eliminasi ini dubutuhkan untuk menguluarkan sampah yang ada di dalam
tubuh. Setiap individu memiliki pola eliminasi fekal yang berbeda-beda,
perbedaan eliminasi yang dialami seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain usia,diet, cairan, aktivitas, fakor psikologis, obat-obatan dan faktor
lainnya. Apabila konsumsi serat dalam makanan, asupan cairan, pemenuhan
kebutuhan aktivitas dan beberapa faktor lainnya tidak terpenuhi maka akan
menimbulkan gangguan di saluran pencernaan (Artha, Indra, & Rasyid, 2018).
Gangguan saluran pencernaan bisa berupa perubahan eliminasi fekal
yang dikarenakan penurunan mobilitas usus akibat menurunnya peristaltic,
menurunnya tekanan otot dibandingkan usus dan juga menurunnya
penyerapan yang mengakibatkan meningkatnya gas didalam usus. Terdapat
dua jenis gangguan eliminasi fekal yang terjadi pada pasien kritis yaitu
konstipasi dan diare. Hampir 60% pasien ICU mengalami disfungsi
gastrointestinal karena gangguan mobilitas, gangguan mencerna dan
penyerapan (Artha, Indra, & Rasyid, 2018).
Pasien dengan kondisi kritis dapat mengalami stres katabolik dan respon
inflamasi sistemik. Hal ini adalah kondisi terjadinya peningkatan kebutuhan
karbohidrat, protein dan lemak dalam meningkatkan kemampuan tubuh
melawan infeksi. Proses penyembuhan penyakit tergantung dengan proses
pemecahan protein menjadi glukosa, karena lemak hanya bisa memetabolisme
apabila ada okisgen, sedangkan cadangan glukosa terlalu sedikit yang
diperlukan dalam penyembuhan jaringan. Respon metabolisme ini
mempengaruhi morfologi dan fungsi saluran gastrointestinal (GI). (Kasiati &
Rosmalawati, 2016).
Eliminasi fekal juga dipengaruhi dengan lama hari perawatan pasien. Hal
ini didukung penelitian Gacoin et al (2010) juga mengatakan bahwa ada
pengaruh lama hari rawatan lebih dari 6 hari dengan pasien yang terpasang
ventilator di ICU terhadap konstipasi. Hasil berbeda didapatkan Guyot dan
Barret (2001) yang menemukan bahwa pasien dirawat d ICU lebih dari 28 hari
dapat menjadi faktor risiko terjadinya diare (Artha, Indra, & Rasyid, 2018).
Untuk menangani masalah eliminasi perawat harus memahami eliminasi
normaldan faktor-faktor yang meningkatkan atau menghambat eliminasi.
Asuhan kaperawatanyang mendukung akan menghormati privasi dan
kebutuhan emosional klien. Tindakanyang dirancang untuk meningkatkan
eliminasi normal juga harus meminimalkan rasaketidak nyamanan.
B. Tujuan Umum dan Tujuan Khusus
1. Tujuan Umum
Menganalisis asuhan keperawatan pemenuhan kebutuhan eliminasi fekal.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi definisi gangguan eliminasi fekal
b. Megidentifikasi Klasifikasi gangguan eliminasi fekal
c. Mengidentifikasi Etiologi gangguan eliminasi fekal
d. Mengidentifikasi patofisiologi gangguan eliminasi fekal
e. Mengidentifikasi manifestasi klinis gangguan eliminasi fekal
f. Mengidentifikasi WOC gangguan eliminasi fekal
g. Mengidentifikasi pemeriksaan penunjang gangguan eliminasi fekal
h. Mengidentifikasi asuhan keperawatan gangguan eliminasi fekal
BAB II
TINJAUAN TEORI
B. Klasifikasi
1. Konstipasi
Konstipasi adalah penurunan frekuensi defekasi, yang diikuti oleh
pengeluaran feses yang lama atau keras dan kering. Adanya upaya
mengedan saat defekasi adalah suatu tanda yang terkait dengan
konstipasi. Apabila motilitas usus halus melambat, massa feses lebih
lama terpapar pada dinding usus dan sebagian besar kandungan air dalam
feses diabsorpsi. Sejumlah kecil air ditinggalkan untuk melunakkan dan
melumasi feses. Pengeluaran feses yang kering dan keras dapat
menimbulkan nyeri pada rektum. Konstipasi merupakan keadaan
individu yang mengalami atau beresiko tinggi mengalami stasis usus
besar sehingga menimbulkan eliminasi yang jarang atau keras, atau
keluarnya tinja terlalu kering dan keras.
2. Impaksi
Impaksi Fekal merupakan masa feses yang keras di lipatan rektum yang
diakibatkan oleh retensi dan akumulasi material feses yang
berkepanjangan. Biasanya disebabkan oleh konstipasi, intake cairan yang
kurang, kurang aktivitas, diet rendah serat, dan kelemahan tonus otot
(Hidayat, 2006). Tanda impaksi yang jelas ialah ketidakmampuan untuk
mengeluarkan feses selama beberapa hari, walaupun terdapat keinginan
berulang untuk melakukan defekasi. Apabila feses diare keluar secara
mendadak dan kontinu, impaksi harus dicurigai. Porsi cairan di dalam
feses yang terdapat lebih banyak di kolon meresap ke sekitar massa yang
mengalami impaksi. Kehilangan nafsu makan (anoreksia), distensi dank
ram abdomen, serta nyeri di rektum dapat menyertai kondisi impaksi.
Perawat, yang mencurigai adanya suatu impaksi, dapat dengan mantap
melakukan pemeriksaan secara manual yang dimasukkan ke dalam
rektum dan mempalpasi masa yang terinfeksi.
3. Diare
Diare adalag peningkatan jumlah feses dan peningkatan pengeluaran
feses yang cair dan tidak berbentuk. Diare adalah gejala gangguan yang
mempengaruhi proses pencernaan, absorpsi, dan sekresi didalam saluran
gastrointestinal.
4. Inkontinensia
Inkontinensia fekal adalah ketidakmampuan mengontrol keluarnya feses
dan gas dari anus. Kondisi fisik yang merusakkan fungsi atau kontrol
sfingter anus dapat menyebabkan inkontinensia. Kondisi yang membuat
seringnya defekasi, feses encer, volumenya banyak, dan feses
mengandung air juga mempredisposisi individu untuk mengalami
inkontinensia. Inkontinensia fekal merupakan keadaan individu yang
mengalami perubahan kebiasaan defekasi normal dengan pengeluaran
feses tanpa disadari, atau juga dapat dikenal dengan inkontinensia fekal
yang merupakan hilangnya kemampuan otot untuk mengontrol
pengeluaran feses dan gas melalui sfingter akibat kerusakan sfingter.
5. Kembung
Kembung merupakan keadaan penuh udara dalam perut karena
pengumpulan gas secara berlebihan dalam lambung atau usus. Kembung
merupakan flatus yang berlebihan di daerah intestinal sehingga
menyebabkan distensi intestinal, dapat disebabkan karena konstipasi,
penggunaan obat-obatan (barbiturate, penurunan ansietas, penurunan
aktivitas intestinal), mengonsumsi makanan yang banyak mengandung
gas dapat berefek ansietas (Tarwoto & Wartonah, 2010).
6. Hemoroid
Hemoroid merupakan keadaan terjadinya pelebaran vena di daerah anus
sebagai akibat peningkatan tekanan di daerah anus yang dapat
disebabkan karena konstipasi, peregangan saat defekasi, dan lain-lain.
C. Etiologi
Menurut Potter & Perry (2010), banyak faktor yang mempengaruhi
proses eliminasi fekal. Pengetahuan akan faktor-faktor tersebut akan
membantu mengantisipasi cara yang dibutuhkan untuk mempertahankan pola
eliminasi normal.Faktor yang mempengaruhi eliminasi fekal antara lain :
1. Umur
Pada bayi, makanan akan lebih cepat melewati sitem pencernaan bayi
karena gerakan peristaltik yang cepat. Sedangkan pada lansia adanya
perubahan pola fungsi digestif dan absorpsi nutrisi lansia lebih
disebabkan oleh sistem kardiovaskular dan neurogis lansia, daripada
sistem pencernaan itu sendiri (Potter & Perry, 2010).
2. Diet
Diet atau pola atau jenis makanan yang dikonsumsi dapatmempengaruhi
proses defekasi. Makanan yang memiliki kandungan serattinggi dapat
membantu proses percepatan defekasi dan jumlah yangdikonsumsi pun
dapat memengaruhi (Hidayat, 2008).
3. Asupan cairan
Pemasukan cairan yang kurang akan menyebabkan feses menjadilebih
keras, disebabkan oleh absorpsi cairan yang meningkat (Tarwoto &
Wartonah, 2010).
4. Aktivitas fisik
Aktivitas dapat mempengaruhi proses defekasi karena melalui aktivitas
tonus otot abdomen, pelvis, dan diafragma dapat membantukelancaran
proses defekasi, sehingga proses gerakan peristaltik pada daerah kolon
dapat bertambah baik dan memudahkan dalam membantu proses
kelancaran proses defekasi (Hidayat, 2008).
5. Pengobatan
Pengobatan dapat memengaruhi proses defekasi, dapatmengakibatkan
diare dan konstipasi, seperti penggunaan laksansia atauantasida yang
terlalu sering (Hidayat, 2008).
6. Penyakit
Beberapa penyakit dapat memengaruhi proses defekasi,
biasanyapenyakit-penyakit yang berhubungan langsung pada sistem
pencernaan,seperti gastroenteristis atau penyakit infeksi lainnya
(Hidayat, 2008).
7. Nyeri
Adanya nyeri dapat memengaruhi kemampuan/keinginan untuk
berdefekasi, seperti pada beberapa kasus hemoroid, fraktur ospubis,
danepisiotomy akan mengurangi keinginan untuk buang air besar
(Tarwoto & Wartonah, 2010).
8. Faktor psikologis
Stress emosional mengganggu fungsi hampir seluruh sistem pecernaan
tubuh (Tarwoto & Wartonah, 2010).
9. Kebiasaan diri
Kebiasaan eliminasi seseorang akan memengaruhi fungsi usus. Sebagian
besar orang dapat menggunakan fasilitas toilet sendiri dirumahnya, hal
tersebut dirasa lebih efektif dan praktis (Tarwoto & Wartonah, 2010).
10. Kehamilan
Pada saat kehamilan berkembang, ukuran janin bertambah dan
menimbulkan tekanan pada rectum (Tarwoto & Wartonah, 2010).
Pembedahan dan Anestesi Agen anestesi general yang digunakan selama
pembedahan dapat menghentikan gerakan peristaltic secara temporer
(Tarwoto & Wartonah, 2010).
D. Patofisiologi
Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga
disebut bowel movement. Frekwensi defekasi pada setiap orang sangat
bervariasi dari beberapa kali perhari sampai 2 atau 3 kali perminggu.
Banyaknya feses juga bervariasi setiap orang. Ketika gelombang peristaltik
mendorong feses kedalam kolon sigmoid dan rektum, saraf sensoris dalam
rektum dirangsang dan individu menjadi sadar terhadap kebutuhan untuk
defekasi.
Defekasi biasanya dimulai oleh dua refleks defekasi yaitu refleks defekasi
instrinsik. Ketika feses masuk kedalam rektum, pengembangan dinding
rektum memberi suatu signal yang menyebar melalui pleksus mesentrikus
untuk memulai gelombang peristaltik pada kolon desenden, kolon sigmoid,
dan didalam rektum. Gelombang ini menekan feses kearah anus. Begitu
gelombang peristaltik mendekati anus, spingter anal interna tidak menutup
dan bila spingter eksternal tenang maka feses keluar.
Refleks defekasi kedua yaitu parasimpatis. Ketika serat saraf dalam
rektum dirangsang, signal diteruskan ke spinal cord (sakral 2 – 4) dan
kemudian kembali ke kolon desenden, kolon sigmoid dan rektum. Sinyal –
sinyal parasimpatis ini meningkatkan gelombang peristaltik, melemaskan
spingter anus internal dan meningkatkan refleks defekasi instrinsik. Spingter
anus individu duduk ditoilet atau bedpan, spingter anus eksternal tenang
dengan sendirinya.
Pengeluaran feses dibantu oleh kontraksi otot-otot perut dan diaphragma
yang akan meningkatkan tekanan abdominal dan oleh kontraksi muskulus
levator ani pada dasar panggul yang menggerakkan feses melalui saluran
anus. Defekasi normal dipermudah dengan refleksi paha yang meningkatkan
tekanan di dalam perut dan posisi duduk yang meningkatkan tekanan
kebawah kearah rektum. Jika refleks defekasi diabaikan atau jika defekasi
dihambat secara sengaja dengan mengkontraksikan muskulus spingter
eksternal, maka rasa terdesak untuk defekasi secara berulang dapat
menghasilkan rektum meluas untuk menampung kumpulan feses. Cairan
feses di absorpsi sehingga feses menjadi keras dan terjadi konstipasi.
E. Manifestasi Klinis
1. Nyeri atau kejang abdomen.
2. Anoreksia dan penurunan berat badan
3. Mual muntah
4. Flatulens
5. Distensi abdomen
6. Pendarahan (melena)
F. WOC (what of coutions)
Kerusakan
Hiperperistaltik
neuromuscular
Diare
Penurunan pengeluaran
Refleks defekasi
ciaran di dalam usus
menurun
Penaikan penyerapan
Inkontinensia Fekal
air dari tinja di dalam
usus
Konstipasi
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Indikasi
Sinar x abdomen Obstruksi usus, perforasi, kolik renal
Tampak batas cairan (fluid level)
udara di atas hati, batu saluran kemih
Barium meal Disfagia, dispepsia jika gastroskopi
tidak memungkinkan.
Obstruksi esofagus (lebih disukai
endoskopi, terutama pada riwayat
operasi lambung sebelumnya)
CT abdomen Akut abdomen, tersangka massa
pankreas atau ginjal, penentuan
stadium (staging) tumor, aneurisma
aorta abdominalis, aneurisma aorta.
Endoskopi GI bagian bawah Perdarahan Rektum, perdarahan GI
(Kolonskopi) yang tidak dapat dijelaskan,
perubahan pola defekasi. Dapat pula
digunakan biopsi lesi dan
mengangkat polip.
Endoskopi kapsul video Perdarahan GI yang tidak dapat
dijelaskan, penyakit usus halus
Malformasi vaskular, penyakit
inflamasi polip
Laparoskopi Akut abdomen, nyeri panggul kronik
tersangka penyakit ovarium, penyakit
peritoneum dan hati.
Apendisitis, sirosis hepatis,
kehamilan ektopik, kista ovarium,
endomentriosis, penyakit inflamasi
pelvis.
A. Kesimpulan
Laporan pendahuluan ini membahas tentang kebutuhan dasar pasien
berkaitan dengan eliminasi fekal. Eliminasi fekal sangat erat kaitannya
dengan saluran pencernaan. Saluran pencernaan merupakan saluran yang
menerima makanan dari luar dan mempersiapkannya untuk diserap
oleh tubuh dengan proses penernaan (pengunyahan, penelanan, dan
pencampuran) dengan enzim dan zat cair dari mulut sampai anus. Gangguan
saluran pencernaan bisa berupa perubahan eliminasi fekal yang dikarenakan
penurunan motilitas usus akibat menurunnya peristaltik, menurunnya tekanan
otot dibandingkan dengan usus dan juga menurunnya penyerapan yang
mengakibatkan meningkatnya gas di dalam usus. Jika gangguan eliminasi
fekal ini tidak ditangani, pasien dapat mengalami stres katabolik dan respon
inflamasi sistemik.
Hal ini adalah kondisi terjadinya peningkatan kebutuhan karbohidrat,
protein dan lemak dalam meningkatkan kemampuan tubuh melawan infeksi.
Proses penyembuhan penyakit tergantung dengan proses pemecahan protein
menjadi glukosa, karena lemak hanya bisa memetabolisme apabila ada
oksigen, sedangkan cadangan glukosa terlalu sedikit yang diperlukan dalam
penyembuhan jaringan. Dalam laporan pendahuluan ini juga menejelaskan
diagnosa keperawatan secara umum untuk eliminasi fekal yaitu konstipasi,
Inkontinesia Fekal, dan Diare.
B. Saran
Mengetahui bahwa dalam laporan ini terdapat masih banyak kesalahan dan
jauh dari kata sempurna di harapkan siapapun yang membaca laporan
pendahuluan ini menambahkan apa yang menurut pembaca kurang, dan
penulis berharap laporan pendahuluan ini bisa menjadi salahsatu referensi
dalam penyusunan laporan pendahuluan yang lainnya dan dapat
dikembangkan lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
M. Wilkinson, Jhudit dan Nancy. 2012. buku saku diagnosis keperawatan edisi 9.
Jakarta:EGC
Potter dan Perry. 2006. Fundamental Keperawatan, Konsep, Proses dan Praktik.
EGC, Kedokteran.