Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN DASAR

ELIMINASI FEKAL

Dosen Pembimbing:

Ns. Imelda Pujiharti, S.Kep.M.Kep.Sp.Kep.An

Disusun oleh:

Sherly Angelina Putri 1720210023

PRODI DIII KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM ASYAFI’IYAH

JAKARTA

2023
LAPORAN PENDAHULUAN

1. Definisi
Eliminasi merupakan kebutuhan dasar manusia yang esensial dan
berperan penting untuk kelangsungan hidup manusia. Eliminasi dirahkan
untuk mempertahankan keseimbangan fisiologis melalui pembuangan
sisa-sisa metabolisme. Sisa metabolisme terbagi menjadi dua jenis yaitu
berupa feses yang berasal dari saluran cerna dan urin melalui saluran
perkemihan (Kasiati & Rosmalawati, 2016)
Eliminasi fekal atau defekasi merupakan proses pembuangan sisa
metabolism tubuh yang tidak terpakai. Perubahan pada defekasi dapat
menyebabkan masalah pada gastrointestinal dan bagian tubuh lain,
karena sisa sisa produk usus adalah racun (Saryono & Widanti, 2010).

Proses defekasi terbagi menjadi dua macam reflex yaitu:


a. Reflex defekasi intrinsic Reflex ini berawal dari fases yang masuk ke
rectum ehingga terjadi distensi rectum, yang kemudian menyebabkan
rangsangan pada fleksus mesentrikus dan terjadilah gerakan
peristaltic. Setelah fases sampai anus, secara sistematis sfingter
interna relaksasi,Maka terjadilah defekasi.
b. Reflex defekasi parasimpatis Fases yang masuk ke rectum akan
merangsang saraf rectum yang kemudian diteruskan ke jaras spinal.
Dari jaras spinal kemudian di kembalikan ke kolon desenden, sigmoid
dan rektumyang menyebabkan intensifnya peristaltic, relaksasi
sfingter internal, maka terjadilah defekasi. Dorongan fases juga di
pengaruhi oleh kontraksi otot abdomen, tekanan diaragma, dan
kontraksi otot elevator.

Defekasi di permudah oleh fleksi otot femur dan posisi jongkok. Gas
yang di hasikan dalam proses pencernaan normalnya 7-10 liter/24 jam.
Jenis gas yang terbanyak adalah CO-, metana, H’S. O² dan nitrogen. Fases
terdiri atas 75% air dan 2,5% materi padat. Fases normal berwarna kuning
kecoklatan karena pengaruh dari mikroorganisme. Konsistensinya lembek
namun bebentuk.

2. Anatomi Fisiologi
Saluran pencernaan bawah meliputi usus halus dan usus besar. Usus
halus terdiri atas tiga bagian (y.i. duodenum, jejenum, dan ileum),
sedangkan usus besar terdiri atas empat bagian (y.i. sekum, kolon,
apendiks, dan rektum).

1) Usus Halus
Panjang usus halus kira-kira 6 meter, dengan diameter 2,5 cm.
Usus merupakan lumen muskular yang dilapisi membran mukosa
yang terletak di antara lambung dan usus besar. Serat ototnya
berbentuk sirkuler dan longitudinal, yang memungkinkan
terjadinya segmentasi (motilitas usus dalam mencampur dan
mendorong kimus). Sebagian besar proses pencernaan dan
penyerapan makanan berlangsung di sini. Usus halus terdiri atas
tiga bagian, yaitu duodenum, jejunum, dan ileum.
a. Duodenum adalah saluran berbentuk C dengan panjang
sekitar 25 cm terletak dibelakang abdomen, mengitari
kaput pankreas. Duodenum digambarkan dalam bagian,
yaitu: (1) Bagian I mengarah ke kanan; (2) Bagian II
mengarah ke bawah; (3) Bagian III mendatar ke kiri dan ke
depan vena kava inferior dan aorta; (4) Bagian IV mengarah
ke atas dan berhubungan dengan jejenum.
b. Jejenum dan Ileum. Sesudah duodenum, bagian usus halus
berikutnya adalah jejunum yang diikuti dengan ileum.
Panjang keduanya bervariasi antara 300 dan 900 cm. Tidak
ada perbedaan yang jelas di antaranya. Jejunum berukuran
agak besar, memiliki dinding yang tebal, lipatan membran
mukosa yang lebih banyak, dan plak peyeri yang lebih
sedikit. Jejunum dan ileum terletak di dalam rongga
peritoneum, kecuali sepanjang garis perlekatannya. Usus
halus diperdarahi oleh percabangan arteri mesenterika
superior (cabang dari aorta). Fungsi usus adalah untuk
menyekresi cairan usus, menerima getah empedu dan
getah pankreas, mencerna makanan, mengabsorpsi at
garam dan mineral, serta menggerakkan isi usu melalui
kontraksi segmen pendek dan peristaltic rash (gelombang
peristaltik usus yang kuat) yang menggerakkan isi usus
lebih cepat.
2) Usus Besar
Usus besar atau intestinum mayor, memiliki panjang + 1,5 m dan
diameter 5-6 cm. Usus menerima makanan yang sudah berbentuk
kimus (makanan setengah padat) dari lambung untuk
mengabsorpsi air, nutrien, dan elektrolit.
Usus menyekresi mukus, kalium, bikarbonat, dan enzim. Fungsi
usus besar adalah untuk menyerap air dan makanan, sebagai
tempat tinggal bakteri koli, dan tempat penampungan feses.
Bagian-bagian usus besar meliputi sekum, apendiks, kolon
(asendens, transversus, desendens, sigmoid), rektum, dan anus.
Kolon yang merupakan bagian terbesar usus besar berfungsi
mengabsorpsi air dan nutrien, memberi perlindungan dengan
menyekresi mukus yang akant melindungi dinding usus dari trauma
akibat feses dan aktivitas bakteri, serta menghantarkan sisa
makanan sampai ke anus melalui kontraksi. Kolon bergerak dalam
tiga cara, yaitu:
a. Haustral shuffling, yakni gerakan mencampur kimus untuk
membantu absorpsi air.
b. Kontraksi haustral, yakni gerakan mendorong materi cair dan
semi padat di sepanjang kolon.
c. Peristaltik, yakni gerakan berupa gelombang menuju anus.

3. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis (Wahyudi & Wahid, 2016):
1). Tidak mampu mengontrol pengeluaran fases
2). Tidak mampu menunda defekast
3). Feses keluar sedikit-sedikit dan sering
4). Kalit perianal kemerahan

4. Faktor yang Memengaruhi Defekasi


1) Usia
Pada bayi, kontrol defekasi belum berkembang dengan baik
Sedangkan pada lansia, kontrol defekasi menurun seiring dengan
berkurangnya kemampuan fisiologis sejumlah organ.

2) Diet
Ini bergantung pada kualitas, frektiensi, dan jumlah makanan yang
dikonsumsi. Sebagai contoh, makanan berserat akan mempercepat
produksi feses. Secara fisiologis, banyaknya makanan yang masuk ke
dalam tubuh juga berpengaruh terhadap keinginan defekasi.

3) Asupan Cairan
Asupan cairan yang tidak adekuat atau gangguan yang
menyebabkan kehilangan cairan (seperti muntah) mempengaruhi
karakter feses, tubuh mengabsorpsi cairan dari chymus dan
menyebabkan feses menjadi keras dan sulit dikeluarkan adanya gerak
peristaltic yang meningkat, waktu untuk mengabsorpsi berkurang
menyebabkan feses encer dan lunak. Cairan mengencerkan isi usus,
memudahkannya bergerak melalui kolon. Asupan cairan yang
menurun memperlambat pergerakan makanan yang melalui usus.
Orang dewasa harus minum 6-8 gelas (1500-2000 ml) cairan setiap
hari. Minuman ringan yang hangat dan jus buah memperlunak feses
dan meningkatkan peristaltic. Konsumsi susu dalam jumlah besar
dapat memperlambat peristaltic pada beberapa individu dan
menyebabkan konstipasi.

4) Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik meninkatkan peristaltic, sementara imobilisasi
menekan motilitas kolon. Ambulasi dini setelah klien menderita suatu
penyakit dianjurkan untuk meningkatkan dipertahankannya eliminasi
nommal. Upaya mempertahankan tonus otot rangka, yang digunakan
selama proses defekasi, merupakan hal yang penting. Melemahnya
otot- otot dasar panggul dan abdomen merusak kemampuan individu
untuk meningkatkan tekanan intraabdomen dan untuk mengontrol
stingter eksterna. Tonus otot dapat melemah atau hilang akibat
penyakit yang berlangsung dalam jangka waktu lama atau penyakit
neurologis yang merusak transmisi saraf.

5) Faktor Psikologis
Cemas akut/kronik, marah, takut, depresi dan emosional dapat
meningkatkan motilitas isi usus atau sekresi mucus sehingga
menimbulkan diare. Begitu pula hospitalisasi, perubahan pekerjaan.
gangguan personal/hubungan keluarga dapat menyebabkan stress
akut. Sedangkan stress kronik dapat menurunkan aktivitas isi usus
sehingga menurunkan frekuensi defekasi.

6) Kebiasaan pribadi
Kebiasaan eliminasi pribadi mempengaruhi fungsi usus Kebanyakan
individu merasa lebih mudah melakukan defekasi dikamar mandi
mereka sendiri pada waktu yang paling efektif dan paling nyaman bagi
mereka. Jadwal kerja yang sibuk dapat mengganggu kebiasaan dan
mengakibatkan perubahan seperti konstipasi. Individu harus mencari
waktu terbaik untuk melaksanakan eliminasinya. Reflex gastrokolik
adalah reflex yang paling mudah distimulasi untuk menimbulkan
defekasi setelah sarapan.
7) Gaya Hidup (Perilaku)
Kebiasaan untuk melatih pola defekasi sejak kecil secara teratur.
fasilitas defekasi, kebiasaan mengabaikan defekasi. Refleks defekasi
dan keinginan defekasi akan hilang setelah beberapa menit jika
keinginan awal diabaikan, Individu mempunyai kebiasaan makan atau
minum (sarapan) dahulu pagi hari sebelum defekasi karena reflex
gastrokolik paling mudah distimulasi setelah sarapan. Individu
mempunyai kebiasaan defekasi setiap pagi atau tidak punya pola
kecuali merespons keinginan defekasi kapan saja.

8) Posisi Selama Defekasi


Posisi jongkok merupakan posisi yang normal saat melakukan
defekasi. Toilet modern dirancang untuk memfasilitasi posisi ini,
sehingga memungkinkan individu untuk duduk tegak ke arah depan,
mengeluarkan tekanan intraabdomen dan mengontraksi otot-otot
pahanya. Namun, klien lansia atau individu yang menderita penyakit
sendi, seperti artritis, mungkin tidak mampu bangkit dari tempat
duduk toilet memampukan klien untuk bangun dari posisi duduk di
toilet tanpa bantuan. Klien yang mengguanakan alat tersebut dan
individu yang berposter pendek, mungkin membutuhkan pijakan kaki
yang memungkinkan ia menekuk pinggulnya dengan benar.
Untuk klien imobilisasi di tempat tidur, defekasi seringkali dirasakan
sulit. Posisi telentang tidak memungkinkan klien mengontraksi otot-
otot yang digunakan selama defekasi. Membantu klien ke posisi duduk
yang lebih normal pada pispot. Akan meningkatkan kemampuan
defekasi.
9) Nyeri
Dalam kondisi normal, kegiatan defekasi tidak menimbulkan nyeri.
Namun, pada sejumlah kondisi, termasukhemoroid, bedah rectum,
fistula rectum, bedah abdomen, dan melahirkan anak dapat
menimbulkan rasa tidak nyaman ketika defekasi. Pada kondisi-kondisi
seperti ini, klien seringkali mensupresi keinginanya untuk berdefekasi
guna menghindari rasa nyeri yang mungkin akan timbul. Konstipasi
merupakan masalah umum pada klien yang merasa nyeri selama
defekasi.

10) Kehamilan
Seiring dengan meningkatnya usia kehamilan dan ukuran fetus,
tekanan diberikan pada rectum. Obsetruksi sementara akibat
keberadaan fectus mengganggu pengeluaran feses. Konstipasi adalah
masalah umum yang muncul pada trimester terakhir. Wanita
hamilselama defekasi dapat menyebabkan terbentukannya hemoroid
yang permanen.

11) Pembedahan dan Anestesia


Agen anestesi yang digunakan selama proses pembedahan.
membuat gerakan peristaltic berhenti untuk sementara waktu. Agens
anestesi yang dihirup menghambat impuls saraf parasimpatis ke otot
usus. Kerja anestesi tersebut memperlambat atau menghentikan
gelombang peristaltic. Klien yang menerima anestesi local atau
regional beresiko lebih kecil untuk mengalami perubahan eliminasi
karena aktivitas usus hanya dipengaruhi sedikitt atau bahkan tidak
dipengaruhi sama sekali.
Pembedahan yang melibatkan manipulasi usus secara langsung.
sementara akan menghentikan gerakan peristaltic. Kondisi ini disebut
ileus paralitik yang biasanya berlangsung sekitar 24 sampai 48 jam.
Apabila klien tetap tidak aktif atau tidak dapat makan setelah
pembedahan, kembalinya fungsi normal usus dapat terhambat lebih
lanjut.

12) Obat-obatan
Beberapa jenis obat dapat menimbulkan efek konstipasi. Laksatif
dan katartik dapat melunakkan feses dan meningkatkan peristaltik
Akan tetapi, jika digunakan dalam waktu lama, kedua obat tersebut
dapat menurunkan tonus usus sehingga usus menjadi kurang responsif
terhad stimulus laksatif. Obat-obat lain yang dapat mengganggu pola
defekasi antara lain analge narkotik, opiat, dan antikolinergik.

13) Pemeriksaan Diagnostik


Pemeriksaan diagnostik tertentu, khususnya yang ditujukan untuk
melihat struktur saluran pencernaan, mengharuskan dilakukannya
pengosongan lambung (mis, dengan enema atau katartik). Tindakan ini
dapat mengganggu polo eliminasi sampai klien dapat makan dengan
normal. Selain itu, prosedur pemeriksaan dengan menggunakan
barium dapat menyebabkan masalah tambahan Sisa barium yang
tertinggal di saluran pencernaan akan mengeras dan menyebabkan
impaksi usus.

14) Diversi Usus


Penyakit tertentu menyebabkan kondisi-kondisi yang mencegah
pengeluaran feses secara normal dari rectum. Hal ini menimbulkan
kebutuhan untuk membentuk suatu lubang (stoma) buatan yang
permanen atau sementara. Lubang uyang dibuat melalui upaya bedah
(ostomi paling sering di bentuk di Ileum (ileostomi) atau di kolom
(kolostomi). Ujung usus kemudian ditarik kesebuah lubang di dinding
abdomen untuk Membentuk stoma.

5. Gangguan Eleminasi Fekal


1) Konstipasi
Orang awam menyebutnya susah buang air besar atau sembelit.
Konstipasi adalah gangguan pada pola eleminasi akibat adanya
feses kering atau keras yang melewati usus besar. Perjalanan feses
yang lama karena jumlah air yang diabsorbsi sangat kurang
menyebabkan feses menjadi kering dan keras. Defekasi yang
normal bervariasi antara 3x sehari dan 3x seminggu. Penyebab
konstipasi antara lain pola defekasi yang tidak teratur,
penggunaaan laksatif yang terlalu sering, stres psikologis yang
meningkat, obat-obatan, kurang aktivitas, dan usia Untuk
mengeluarkan feses, diperlukan tenaga yang besar saat mengedan
dan terjadi peregangan otot tenaga.
2) Impaksi Feses
Impaksi feses adalah massa keras yang teraba di lipatan rektum
akibat retensi dan akumulasi feses yang berkepanjangan. Tanda
dan gejala impaksi feses adalah:
-Adanya pembesaran
-Rasa ingin buang air besar
-Rasa sakit di bagian rectum
Penyebabnya antara lain pola defekasi yang tidak teratur,
konstipasi, asupan cairan yang kurang, aktivitas yang kurang, diet
rendah serat, tonus otot yang lemah.

3) Diare
Diare adalah keluarnya feses cair dan meningkatnya frekuensi
buang air besar akibat perjalanan kimus yang cepat sewaktu
melewati usus sehingga usus tidak mempunyai cukup waktu untuk
menyerap air. Tanda dan gejala diare meliputi:
-Adanya spasme
-Nyeri atau kejang pada abdomen Kadang disertai darah atau
mucus
-Mual atau muntah
kejadian ini berlangsung lama, klien dapat mengalami dehidrasi
yang ditandai dengan malaise, kelemahan, dan penurunan berat
badan karena kehilangan banyak cairan. Penyebab diare antara lain
stres psikologis, bakteri, makanan yang terkontaminasi obat-
obatan, alergi, iritasi usus.
4) Inkontinensia Fekal
Inkontinensia fekal adalah hilangnya kemampuan otot untuk
mengontrol pengeluaran feses dan gas yang melalui sfingter anus
akibat kerusakan fungsi sfingter alau persarafan di daerah anus.
Kasus ini lebih jarang ditemui dibandingkan inkontinensia urine.
Biasanya, kondisi ini disebabkan oleh masalah kejiwaan. Feses yang
keluar mengandung sejumlah enzim pencernaan dan bersifat asam
sehingga dapat mengakibatkan iritasi pada mukosa. Tanda dan
gejala meliputi:
-Feses keluar untuk waktu tertentu
-Feses bersifat iritan
-Iritasi pada daerah sekitar anus atau bokong
Penyebab inkontinensi Fekal antara lain melemahnya otot
sfingter anus dan meningkatnya tekanan rongga perut, gangguan
psikogeriatrik, penyakit fisik, penyakit neuromuskular, trauma
medula spinalis, serta tumor pada sfingter anus eksterna.
5) Flatulen
Flatulensi adalah rasa kembung pada perut yang ditandai
dengan flatus yang berlebihan di usus sehingga menyebabkan
gangguan pada fungsi usus berupa nyeri. Tanda dan gejalanya
meliputi:
-Distensi pada lambung dan usus
-Terdengar bunyi timpani di abdomen
-Rasa tidak nyaman pada daerah abdomen
Penyebab flatulensi antara lain konstipasi, peng-gunaan obat-
obatan seperti barbiturat yang mengakibatkan penurunan aktivitas
dan ansietas, konsumsi makanan tertentu yang banyak
mengandung gas, dan efek dari tindakan anestesia.
6) Distention
Distention adalah akumulasi dari flatus yang berlebihan atau isi
usus yang padat, yang menyebabkan distensi abdomen. Keluhan
klien adalah perut penuh, tidak nyaman mengeluarkan flatus dan
feses serta gelisah.
Penyebab distensi abdomen adalah abstruksi pencemaan
(seperti ileus paralitik, infeksi abdomen dan tumor abdomen),
bedrest atau aktivitas terbatas, operasi dengan GA, manipulasi usus
saat pembedahan (24-72 jam post operasi), konstipasi dan impaksi
fekal.

7) Hemoroid
Hemoroid merupakan pelebaran vena di daerah anus akibat
peningkatan tekanan di daerah tersebut. Dilatasi vena sering sekali
terjadi pada individu v rentan akibat peningkatan tekanan yang
menetap pada pleksus venostis rektalis. Kondisi ini ditandai dengan
keluarnya darah pada waktu defekasi atau mengejan Penyebabnya
antara lain konstipasi kronis, perenggangan yang maksimal pada
saat defekasi, serta obesitas.

6. Gejala dan Tanda (Data mayor, minor)


1) Konstipasi
Mayor (mungkin ada, satu atau lebih)
-Feses keras dan berbentuk
-Defekasi kurang dari tiga kali seminggu
-Defekasi sulit dan lama

Minor (mungkin ada)


-Penurunan bising usus
-Mengeluh rektum terasa penuh
-Mengeluhkan adanya tekanan Pada rektum
-Mengenjan dan nyeri saat defekasi
-Impaksi yang dapat diraba
-Defekasi yang kurang lampias

2) Diare
Mayor (mungkin ada, satu atau lebih)
-Feses lunak / cair
-Peningkatan frekuensi defekasi (lebih dari tiga kali sehari)

Minor (mungkin ada)


-Urgensi
-Kram atau nyeri abdomen
-Frekuensi bising usus meningkat
-Keeneceran atau volume feses meningkat

7. Penatalaksanaan Medis
1) Pemberian cairan
2) Menolong BAB dengan menggunakan pispot
3) Memberikan huknah rendah
4) Memberikan huknah rendah dengan cara memasukan cairan hangat
ke dalam kolon desendens dengan menggunakan kanula recti melalui
anus.
5) Memberikan huknah tinggi dengan cara memasukan cairan hangat ke
dalam kolon desendens dengan menggunakan kanula usus melalui
anus
6) Memberikan gliserind cara memasukan cairan gliserin ke dalam poros
usus menggunakan spuit gliserin
7) Mengeluarkan feses dengan jari dengan cara memasukan jari ke dalam
Rectum pasien, deigunakan untuk mengambil atau menghancurkan
massa Feses sekaligus mengeluarkannya.

Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Eliminasi


Fekal

1.Pengkajian

Pengkajian keperawatan pada klien dengan gangguan eliminasi alvi


difokuskan pada riwayat keperawatan, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan diagnostik

2. Riwayat Keperawatan

Pada riwayat keperawalan, hal-hal yang harus dikaji antara lain:

1)Pola defekasi

a. Frekuensi (berapa kali per hari/minggu?)


b. Apakah frekuensi tersebut pernah berubah
c. Apa penyebabnya?

2) Perilaku defekasi

a. Apakah klien menggunakan laksatif?


b. Bagaima na cara klien mempertahankan pola defekasi?

3) Deskripsi feses

a. Warna
b. Tekstur
c. Bau

4) Diet

a. Makanan apa yang memengaruhi perubahan pola defekasi


klien?
b. Makanan apa yang biasa klien makan?
c. Makanan apa yang klien hindari/pantang?
d. Apakah klien makan secara teratur?

5) Cairan

Jumlah dan jenis minuman yang dikonsumsi setiap hari.

6) Aktivitas

a. Kegiatan sehari-hari (mis, olahraga)


b. Kegiatan spesifik yang dilakukan klien (mis, penggunaan
laksatif, enema, atau kebiasaan mengonsumsi sesuai
sebelum defekasi)

7) Penggunaan medikasi.

Apakah klien bergantung pada obat-obatan yang dapat


mempengaruhi pola defekasinya?
8) Stres

a. Apakah klien mengalami stres yang berkepanjangan?


b. Koping apa yang klien gunakan dalam menghadapi stres?
c. Bagaimana respons klien terhadap stres? Positif atau
negatif?

9) Pembedahan atau penyakit menetap

a. Apakah klien pernah menjalani tindakan bedah yang dapat


mengganggu pola defekasinya?
b. Apakah klien pernah menderita penyakit yang
memengaruhi sistem gastrointestinalnya?

3. Pemeriksaan Fisik

1) Abdomen. Pemeriksaan dilakukan pada posisi Telentang,


hanya bagian abdomen saja yang tampak
• Inspeksi. Amati abdomen untuk melihat bentuknya,
simetrisitas, adanya distensi atati gerak peristaltik.
• Auskultasi. Dengarkan bising usus, lalu Perhatikan
Intensitas, frekuensi, dan Kualitasnya.
• Perkusi. Lakukan perkusi pada abdomen untuk
Mengetahui adanya distensi berupa cairan massa,
atau udara. Mulailah pada bagian kanan atas dan
seterusnya.
• Palpasi. Lakukan palpasi untuk mengetahui
konsistensi abdomen serta adanya nyeri tekan atau
massa di permukaan abdomen.

2) Rektum dan anus. Pemeriksaan dilakukan pada posisi


litotomi atau Sims.
• Inspeksi. Amati daerah perianal untuk melihat
adanya tanda-tanda inflamasi, perubah warna,
lesi, lecet, fistula, konsistensi, hemoroid
• Palpasi. Palpasi dinding rektum dan rasan adanya
nodul, massa, nyeri tekan. Tentukan lokasi dan
ukurannya.
3) Amati feses klien dan catat konsistensi bentuk, bau,
warna, dan jumlahnya, Amati pula unsur abnormal yang
terdapat pada feses.

4. Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan Diagnostik dilakukan Dengan Beberapa cara, yaitu:

-Anoskopi

-Proktosigmoidoskopi

-Protoskopi

-Rontgen dengan kontras

5. Penetapan Diagnosis
Masalah keperawatan untuk eliminasi fekal meliputi:

-Inkontinensia fekal

-Konstipasi

-Risiko konstipasi

-Persepsi konstipasi

-Diare

Masalah-masalah di atas dapat memengaruhi banyak area fungsi


manusia dan menjadi etiologi untuk diagnosis lainnya, seperti Risiko
ketidakseimbangan cairan yang berhubungan dengan diare yang
lama, Risiko gangguan integritas kulit yang berhubungan dengan
inkontinensia fekal, Harga diri rendah yang berhubungan degan
ostomi, dan lain sebagainya.

6. Perencanaan dan Implementasi

Diagnosis keperawatan untuk masalah gangguan eliminasi fekal


meliputi lima diagnosis. Namun, dalam pembahasan kali ini akan
diuraikan dua diagnosis umum, yakni Inkontinensia fekal dan
Konstipasi.

Secara umum, tujuan utama intervensi keperawatan untuk klien


dengan gangguan eliminasi adalah mempertahankan atau
mengembalikan pola defekasi yang normal, mempertahankan atau
konsistensi feses yang normal, serta mencegah risiko lain yang
menyertai seperti ketidak seimbangan cairan dan elektrolit, kerusakan
kulit, distensi abdomen, dan nyeri.

1) Inkontinensia fekal (D.0041)

➢ Yang berhubungan dengan:


o Kerusakan susunan saraf motorik bawah
o Penurunan tonus otot
o Gangguan kognitif
o Penyalahgunaan laksatif
o Kehilangan fungsi pengendalian sfingter rektum
o Pascaoperasi pulltrough dan penutupan kolosomi
o Ketidakmampuan mencapai kamar kecil
o Diare kronis
o Stres berlebihan

➢ Tujuan dan Kriteria Hasil


Setelah dilakukan tindakan keperawatan ....x24 jam
kontinensia Fekal membaik (L.04035)
Dengan kriteria hasil:
- pengontrolan pengaturan feses meningkat
- Defekasi membaik
- kondisi kulit perianal membaik

➢ Rencana tindakan
Latihan Eliminasi Fekal (I.04150)
Definisi: Mengajarkan suatu kemampuan melatih usus untuk
dievakuasi pada interval tertentu.
Tindakan:
Observasi
- Monitor peristaltik usus secara teratur
Terapeutik
- Anjurkan waktu yang konsisten untuk buang air besar
- Berikan privasi, kenyamanan dan posisi yang meningkatkan
proses defekasi
- Gunakan enema rendah, jika perlu
- Anjurkan dilatasi rektal digital, jika perlu
- Ubah program latihan eliminasi fekal, jika perlu
Edukasi
- Anjurkan mengonsumsi makanan tertentu, sesuai program
atau hasil konsultasi
- Anjurkan asupan cairan yang adekuat sesuai kebutuhan
- Anjurkan olahraga sesuai toleransi
Kolaborasi
- Kolaborasi penggunaan suppositoria, jika perlu

➢ Rasional
- Untuk mempertahankan kontinensia usus, klien harus memiliki
sensasi anorektal yang utuh, mampu mengeluarkan feses secara
sadar, mampu mengontraksi otot puborektal dan sfingter anus
eksternal, serta memiliki akses yang baik ke fasilitas kamar
mandi.
- Konsistensi dan volume feses penting untuk mencapai
kontinensia. Feses yang jumlahnya sedikit dan keras tidak
mampu mendistensi atau menstimulasi rektum sehingga tidak
akan menimbulkan keinginan untuk defekasi.
- Latihan dapat meningkatkan motilitas pencernaan dan
mempercepat fungsi usus.
- Latihan panggul di atas lantai dapat meningkat- kan kekuatan
otot puborektal dan sfingter anus eksterna.
- Stimulasi rektum dengan jari menimbulkan refleks peristalsis
dan membantu defekasi, Laksatif dapat menyebabkan
terjadinya defekasi yang tak terjadwal, berkurangnya tonus
kolon, dan konsistensi feses yang tidak konsisten. Enema dapat
menyebabkan regangan yang berlebihan pada bagian- bagian
usus dan menurunkan tonus usus. Pelunak feses tidak
diperlukan apabila asupan makanan dan cairan adekuat.
- Upaya defekasi dapat dibantu dengan berbagai teknik yang
dapat memfasilitasi gravitasi dan meningkatkan tekanan
intraabdomen guna mengeluarkan feses.
- Konstipasi atau impaksi fekal yang berlangsung lama
menyebabkan distensi yang berlebihan pada rektum. Kondisi ini
dapat menyebabkan stimulasi refleks yang berkelanjutan dan
mengakibatkan penurunan tonus sfingter.
- Inkontinensia fekal kerap menjadi masalah pada lansia yang
tinggal di panti atau lansia yang menderita sakit kronis. Berbagai
gangguan kognitif yang terjadi dapat menghalangi pengenalan
isyarat defekasi. Konstipasi yang berlangsung lama dapat
mengakibatkan kebocoran di sekeliling impaksi. Penyebab lain
inkontinensia fekal adalah ketidaknormalan sfingter rektum.

2) Konstipasi (D.0149)

➢ Yang berhubungan dengan:


o Penurunan mobilitas gastrointestinal
o Ketidakadekuatan pertumbuhan gigi
o Ketidakcukupan diet
o Ketidakcukupan asupan serat
o Ketidakcukupan asupan cairan
o Aganglionik (mis. Penyakit hircsprung)
o Kelemahan otot abdomen

➢ Tujuan dan Kriteria Hasil


Setelah dilakukan tindakan keperawatan ...x24 jam
manajemen eliminasi fekal membaik (L.04033)
Dengan kriteria hasil:
- Kontrol pengeluaran feses meningkat
- Keluhan defekasi lama dan sulit menurun
- Mengejan saat defekasi menurun
- Distensi abdomen menurun
- Terasa massa pada rektal menurun
- Urgency menurun
- Nyeri abdomen menurun
- Keram abdomen menurun
- Konsistensi feses membaik
- Frekuensi defekasi membaik
- Peristaltik usus membaik

➢ Rencana tindakan
Manajemen eliminasi fekal (I.04151)
Definisi: Mengidentifikasi dan mengelola gangguan pola
eliminasi fekal
Observasi
- Identifikasi masalah usus dan penggunaan obat pencahar
- Identifikasi pengobatan yang berefek pada kondisi
gastrointestinal
- Monitor buang air besar (mis. Warna, frekuensi, konsistensi,
volume)
- Monitor tanda dan gejala diare, konstipasi, atau impaksi
Terapeutik
- Berikan air hangat setelah makan
- Jadwalkan waktu di Defekasi bersama pasien
- Sediakan makanan tinggi serat
Edukasi
- Jelaskan jenis makanan yang membantu meningkatkan
keteraturan peristaltik usus
- Anjurkan mencatat warna, frekuensi, konsistensi, volume feses
- Anjurkan meningkatkan aktivitas fisik sesuai toleransi
- Anjurkan pengurangan asupan makanan yang meningkatkan
pembentukan gas
- Anjurkan mengkonsumsi makanan yang mengandung tinggi
serat
- Anjurkan meningkatkan asupan cairan, jika tidak ada
kontraindikasi
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian obat suppositoria anal, jika perlu
➢ Rasional
- Aktivitas fisik yang teratur akan meningkatkan tonus otot yang
diperlukan untuk defekasi Upaya ini juga meningkatkan sirkulasi
sistem digestif yang akan memperkuat peristalsis dan
memudahkan defekasi
- Asupan cairan yang adekuat (sedikitnya 2 liter sehari)
diperlukan untuk mempertahankan pola defekasi serta
memperbaiki konsistensi feses. Diet tinggi serat yang seimbang
akan menstimulasi peristalsis. Makanan tinggi serat harus
dihindari selama diare.
- Refleks gastrokolon dan dan duodenokolon menstimulasi
peristalsis massa dua atau tiga kali setiap hari, paling sering
terjadi sesudah makan.
- Kontraksi volunter pada otot abdomen membantu pengeluaran
feses.
- Frekuensi dan konsistensi feses berkaitan dengan asupan
cairan dan makanan. Makanan yang mengandung serat akan
memperbesar ukuran feses dan akan meningkatkan absorbsi air
ke dalam feses. Asupan serat dan cairan yang adekuat akan
menghasilkan feses yang padat tetapi lunak dengan bentuk yang
normal dan akan mengurangi risiko feses yang keras, kering dan
sulit dikeluarkan. Aktivitas fisik akan memperkuat peristalsis,
membantu pencernaan, dan memudahkan eliminasi.
- Laksatif akan mengganggu program defekasi karena dapat
menyebabkan pengosongan usus yang berlebihan dan defekasi
yang tidak ter- jadwal. Apabila digunakan terus-menerus, laksatif
dapat menyebabkan penurunan tonus kolon dan retensi feses.
Pelunak feses mungkin tidak diperlukan jika asupan makanan
dan cairan adekuat.
- Tekanan intraabdomen dapat ditingkatkan dengan
meninggikan kedua kaki.
7. Evaluasi

Keefektifan perawatan bergantung pada keberhasilan dalam


mencapai tujuan dan hasil akhir yang diharapkan dari perawatan
Secara optimal klien akan mampu mengeluarkan feses yang lunak
secara teratur tanpa merasa nyeri. Klien juga akan memperoleh
informasi yang dibutuhkan untuk menetapkan pola eliminasi normal
dan untuk mendemonstrasikan keberhasilan yang berkelanjutan, yang
diukur berdasarkan interval waktu tertentu dalam suatu periode yang
panjang. Klien akan mampu melakukan defekasi secara normal
dengan memanipulasi komponen-komponen alamiah dalam
kehidupan sehari-hari seperti diet, asupan cairan, dan olahraga.
Ketergantungan klien pada tindakan bantuan untuk membantu
defekasi seperti enema dan penggunaan laksatif, menjadi minimal.
Klien akan merasa nyaman dengan protokol ostomi dan
mengidentifikasikan protocol tersebut sebagai sesuatu yang dapat
dipraktikkan secara pasti.
DAFTAR PUSTAKA

Kasiati, K., & Ni Wayan Dwi Rosmalawati, D. R. (2016). Kebutuhan


dasar manusia I.

Ambarwati, Fitri Respati. (2010) Konsep Kebutuhan Dasar Manusia.

Mubarak, Wahid Iqbal. Indrawati, Lilis. Dkk. (2009) Buku Ajar Ilmu
Keperawatan Dasar, Buku 1.

Anda mungkin juga menyukai