Anda di halaman 1dari 21

Dosen Pengampu : Yunita Galih Yudanari, S.Kep.,Ns.

,M

LAPORAN PENDAHULUAN
PEMENUHAN KEBUTUHAN ELIMINASI FEKAL PADA Ny. S DENGAN DIARE

OLEH :

Nama Mahasiswa : Willi Ade Larasati


NIM : 071202040

PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN DASAR


PROGRAM STUDI PROFESI NERS
FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS NGUDI WALUYO
TAHUN 2021
KONSEP TEORI GANGGUAN/PERUBAHAN PEMENUHAN KEBUTUHAN
DASAR MANUSIA

A. Definisi
Eliminasi fekal adalah kondisi dimana seseorang mengalami perubahan pola yang
normal dalam berdefekasi dengan karakteristik tidak terkontrolnya buang air besar.
Perubahan eliminasi dapat terjadi karena penyakit gastrointestinal atau penyakit di system
tubuh yang lain. Usus berespons terhadap perubahan bahkan perubahan kecil dalam
kebiasaan individu yangnbiasa atau perubahan olahraga (Rosdahl & Kowalski, 2017).
Eliminasi fekal sangat erat kaitannya dengan saluran pencernaan. Saluran
pencernaan merupakan saluran yang menerima makanan dari luar dan
mempersiapkannya untuk diserap oleh tubuh dengan proses penernaan
(pengunyahan, penelanan, dan pencampuran) dengan enzim dan zat cair dari mulut
sampai anus. Organ utama yang berperan dalam eliminasi fekal adalah usus besar. Usus
besar memiliki beberapa fungsi utama yaitu mengabsorpsi cairan dan elektrolit, proteksi
atau perlindungan dengan mensekresikan mukus yang akan melindungi dinding usus
dari trauma oleh feses dan aktivitas bakteri, mengantarkan sisa makanan sampai ke anus
dengan berkontraksi. Proses eliminasi fekal adalah suatu upaya pengosongan intestin.
Pusat reflex ini terdapat pada medula dan spinal cord. Refleks defekasi timbul karena
adanya feses dalam rektum. Eliminasi fekal (defekasi) adalah pengeluaran feses dari anus
dan rectum. Defekasi juga disebut bowel movement atau pergerakan usus (Kozier et
al.,2011)

B. Anatomi & Fisiologi


Organ saluran pencernaan dibagi menjadi dua bagian, yaitu : organ saluran
gastrointestinal bagian atas dan organ saluran gastrointestinal bagian bawah.
1. Saluran Gastrointestinal Bagian Atas
a. Mulut
Proses pencernaan dimulai di mulut dan diakhiri pada usus halus. Mulut
secara mekanis dan kimiawi memecah nutrisi ke ukuran dan bentuk yang dapat
digunakan. Gigi mengunyah makanan, memecahnya menjadi ukuran yang dapat
dilewati dalam proses menelan. Saliva, yang diproduksi oleh kelenjar saliva di
mulut, melarutkan dan melembutkan makanan dalam mulut untuk mempermudah
proses menelan (Potter & Perry, 2010).
b. Faring
Faring merupakan organ yang menghubungkan rongga mulut dengan
esophagus. Di dalam lengkung faring terdapat tonsil (amandel). Di sini juga
terletak persimpangan antara jalan nafas dan makanan, letaknya dibelakang
rongga mulut, di depan ruas tulang belakang. Ke atas bagian depan berhubungan
dengan rongga mulut dengan perantaraan lubang yang disebut ismus fausium
(Tarwoto dan Wartonah, 2010).
c. Esofagus
Saat makanan memasuki esofagus atas, makanan akan melewati sfingter
atas, otot sirkular mencegah udara masuk ke dalam esofagus dan mencegah
refluks makanan ke dalam tenggorokan. Bolus makanan turun ke esofagus dan
didorong melalui gerakan peristaltik, mendorong makanan melewati seluruh
sistem pencernaan. Saat makanan didorong melewati esofagus, makanan akan
melewati sfingter esofageal bawah atau kardiak, yang berada di antara esofagus
dan ujung atas lambung. Sfingter ini berfungsi untuk mencegah refluks isi
lambung ke esofagus (Potter & Perry, 2010).
d. Lambung
Lambung berfungsi sebagai tempat menyimpan makanan dan cairan;
mencampur makanan, cairan, dan enzim-enzim pencernaan; serta mengosongkan
isinya ke dalam usus halus. Lambung memproduksi dan menyekresikan asam
hidroklorida (HCI), mukus, enzim pepsin, dan faktor-faktor intriksi. Pepsin dan
HCI membantu dalam pencernaan protein. Mukus melindungi mukosa lambung
dari asam dan aktivitas enzim. Faktor intriksi penting untuk absorpsi vitamin B12
(Potter & Perry, 2010).
2. Saluran Gastrointestinal Bagian Bawah
a. Usus Halus
Sugmentasi dan gerakan peristaltik pada usus halus membantu dalam
proses pencernaan serta absorpsi. Klimus bercampur dengan enzim-enzim
pencernaan (seperti empedu dan amilase). Reabsorpsi pada usus halus sangat
efisien hingga klimus mencapai ujung akhir usus halus, dan membentuk suatu
konsistensi penccernaan (Potter & Perry, 2010).
Usus halus memiliki tiga bagian : duodenum, jujenum, dan ileum.
Duodenum memiliki panjang kurang lebih 8-11 inchi (20-28 cm), dan meneruskan
proses pembentukan kimus yang berasal dari lambung. Jujenum memiliki panjang
kurang lebih 8 kaki (2,5 meter), mengabsorpsi karbohidrat dan protein. Ileum
memiliki panjang kurang lebih 12 kaki dan mengabsorpsi air, lemak, serta garam
empedu. Usus halus, khususnya duodenum dan jujenum, lebih banyak
mengasorpsi nutrisi dan elektrolit. Ileum mengabsorpsi vitamin tertentu, zat besi,
dan garam empedu. Nutrisi diabsorpsi ke dalam cairan limfa atau pembuluh darah
pada dinding usus (Melewati mukosa). Makanan apapun yang tidak yang tidak
dapat dicerna oleh usus halus, seperti makanan berserat, makanan tersebut akan
utuh hingga mencapai sekum pada sisi bawah kanan abdomen. Sekum berada
pada awal usus besar (Potter & Perry, 2010).
Kerusakan pada usus halus dapat mengganggu proses pencernaan.
Misalnya, keadaan seperti inflamasi, pembedahan reseksi, atau obstruksi lain yang
mengganggu gerakan peristaltik, Mengurangi area absorpsi, atau menghambat
perjalanan kimus. Selanjutnya, akan terjadi defisiensi elektrolit dan nutrisi (Potter
& Perry, 2010).
b. Usus Besar atau Kolon
Sistem pencernaan bagian bawah disebut dengan usus besar (kolon) karena
diameternya lebih besar dari pada usus halus. Meskipun panjangnya 5-6 kaki (1,5-
1,8 m) jauh lebih pendek, tetapi usus ini lebih besar. Usus besar dibedakan atas
sekum, kolom, dan rektum. Usus besar merupakan organ utama eliminasi fekal.
Posisinya membentuk tanda tanya, dan sebagian besar melingkari usus halus
(Potter & Perry, 2010).
Kimus memasuki usus besar melalui gerakan peristaltik dan melewati vulva
ileosekal, yaitu lapisan otot sirkular yang mencegah regurgitasi. Kolon dibedakan
atas kolon asendens, kolon transversum, kolon desendens, dan kolon sigmoid.
Lapisan otot kolon memungkinkan kolon membantu dan mengeliminasi sejumlah
hasi besar sisa pencernaan dan gas (flatus). Kolon memiliki tiga fungsi, yaitu:
absorpsi, sekresi, dan eliminasi. Usus besar mengabsorpsi air, natrium, dan klorida
dari makanan yang dicerna yang telah melewati usus halus. Orang dewasa yang
sehat mengabsorpsi lebih dari satu galon air dan satu ons garam dari kolon setiap
4 jam. Jumlah air yang diabsorpsi dari kimus bergantung pada kecepatan gerakan
isi kolon. Kimus normalnya membentuk massa yang lembek. Jika gerakan
peristaltik bergerak cepat secara abnormal, hanya sedikit waktu yang digunakan
untuk absorpsi air, sehingga feses menjadi sedikit cair. Jika kontraksi peristaltik
lambat, maka air akan terus diabsorpsi dan akan terbentuk feses dengan massa
yang keras, yang dapat menyebabkan konstipasi (Potter & Perry, 2010).
Fungsi sekresi usus adalah membantu keseimbangan elektrolit. Bikarbonat
disekresikan untuk menggantikan ion klorida. Kolon mengeksresikan 4-9 mEq
kalium setiap hari. Gangguan yang serius pada fungsi kolon (seperti diare) dapat
menyebabkan gangguan elktrolit yang parah (Potter & Perry, 2010).
Kontraksi peristaltik yang lambat menyebabkan isi kolon bergerak di
sepanjang kolon. Isi usus merupakan stimulus utama kontraksi. Gerakan
peristaltik yang kuat mendorong makanan yang tidak diccerna ke dalam rektum.
Gerakan ini terjadi hanya tiga atau empat kali sehari, disertai gerakan yang paling
kuat selama beberapa saat setelah waktu makan (Potter & Perry, 2010).
Rektum adalah bagian terakhir dari usus besar. Pada rektum, bakteri
mengubah isi fekal menjadi bentuk terakhirnya. Rektum secara normal berfungsi
untuk mengosongkan produk-produk sisa (feses) sesaat sebelum buang air besar.
Rektum dibentuk oleh lipatan-lipatan jaringan yang tersusun secara vertikal dan
transversal, yang dapat membantu menahan fekal selama defekasi. Masing-masing
lipatan disusun oleh arteri dan vena yang dapat mengalami distensi karena tekanan
selama seseorang mengedan. Distensi ini sering menyebabkan pembentukan
hemoroid (Potter & Perry, 2010).
3. Proses Pembentukan Feses
Setiap harinya, sekitar 750 cc chyme masuk ke kolon dari ileum. Di kolon,
chyme tersebut mengalami proses absorbsi air, natrium, dan klorida. Absorbsi ini
dibantu dengan adanya gerakan peristaltik usus. Dari 750 cc chyme tersebut, sekitar
150-200 cc mengalami proses reabsorbsi. Chyme yang tidak direabsorbsi menjadi
bentuk semisolid yang disebut feses (Asmadi, 2008).
Selain itu, dalam saluran cerna banyak terdapat bakteri. Bakteri tersebut
mengadakan fermentasi zat makanan yang tidak dicerna. Proses fermentasi akan
menghasilkan gas yang dikeluarkan melalui anus setiap harinya, yang kita kenal
dengan istilah flatus. Misalnya, karbohidrat saat difermentasi akan menjadi hidrogen,
karbondioksida, dan gas metan. Apabila terjadi gangguan pencernaan karbohidrat,
maka akan ada banyak gas yang terbentuk saat fermentasi. Akibatnya, seseorang akan
merasa kembung. Protein, setelah mengalami proses fermentasi oleh bakteri, akan
menghasilkan asam amino, indole, statole, dan hydrogen sulfide. Oleh karenannya,
apabila terjadi gangguan pencernaan protein, maka flatus dan fesesnya menjadi sangat
bau (Asmadi, 2008).
4. Proses Defekasi
Defekasi adalah proses pembuangan atau pengeluaran sisa metabolisme
berupa feses dan flatus yang berasal dari saluran pencernaan melalui anus. Terdapat
dua pusat yang menguasai refleks untuk defekasi, yaitu terletak di medula dan
sumsum tulang belakang. Apabila terjadi rangsangan parasimpatis, sfingter anus
bagian dalam akan mengendur dan usus besar menguncup. Refleks defekasi
dirangsang untuk buang air besar kemudian sfingter anus bagian luar diawasi oleh
sistem saraf parasimpatis, setiap waktu menguncup atau mengendur. Selama defekasi,
berbagai otot lain membantu proses tersebut, seperti otot-otot dinding perut,
diafragma, dan otot-otot dasar pelvis (Hidayat, 2006).
Defekasi bergantung pada gerakan kolon dan dilatasi sfingter ani. Kedua
faktor tersebut dikontrol oleh sistem saraf parasimpatis. Gerakan kolon meliputi tiga
gerakan yaitu gerakan mencampur, gerakan peristaltik, dan gerakan massa kolon.
Gerakan massa kolon ini dengan cepat mendorong feses makanan yang tidak dicerna
(feses) dari kolon ke rektum (Asmadi,2008).
Secara umum, terdapat dua macam refleks dalam membantu proses defekasi,
refleks tersebut adalah sebagai berikut (Tarwoto & Wartonah, 2006):
a. Refleks defekasi intrinsik
Refleks ini berawal dari feses yang masuk ke rektum sehingga terjadi
distensi rektum, yang kemudian menyebabkan rangsangan pada fleksus
mesentrikus dan terjadilah gerakan peristaltik. Setelah feses sampai ke anus,
secara sistematis sfingter interna relaksasi, maka terjadilah defekasi.
b. Refleks defekasi parasimpatis
Feses yang masuk ke rektum akan merangsang saraf rektum yang
kemudian diteruskan ke jaras spinal (spinal cord). Dari jaras spinal kemudian
dkembalikan ke kolon desenden, sigmoid, dan rektum yang menyebabkan
intensifnya peristaltik, relaksasi sfingter internal, maka terjadilah defekasi.
Dorongan feses juga dipengaruhi oleh kontraksi otot abdomen, tekanan diafragma,
dan kontraksi otot elevator. Defekasi dipermudah oleh fleksi otot femur dan posisi
jongkok. Gas yang dihasilkan dalam proses pencernaan normalnya 7-10 liter/24
jam. Jenis gas yang terbanyak adalah CO2, metana, H2S, O2, dan Nitrogen
(Tarwoto & Wartonah, 2004)

C. Manifestasi Klinis
1. Konsistensi feces cair (diare) dan frekuensi defekasi semakin sering
2. Muntah (umumnya tidak lama)
3. Demam (mungkin ada, mungkin tidak)
4. Kram abdomen, tenesmus
5. Membrane mukosa kering
6. Berat badan menurun
7. Malaise
8. Nyeri
9. Feses Hitam

D. Etiologi
1. Konstipasi
Konstipasi merupakan gejala, bukan penyakit. Konstipasi adalah penurunan
frekuensi defekasi, yang diikuti oleh pengeluaran feses yang lama atau keras dan
kering. Adanya upaya mengedan saat defekasi adalah suatu tanda yang terkait dengan
konstipasi. Apabila motilitas usus halus melambat, massa feses lebih lama terpapar
pada dinding usus dan sebagian besar kandungan air dalam feses diabsorpsi (Potter &
Perry, 2010).
a. Tanda Klinis :
1) Adanya feses yang keras
2) Defekasi kurang dari 3 minggu
3) Menurunnya bising usus
4) Adanya keluhan pada rektum
5) Nyeri saat mengejan dan defekasi
6) Adanya perasaan masih ada sisa feses
b. Kemungkinan Penyebab :
1) Defek persarafan, kelemahan pelvis, imobilitas karena cedera serebrospinalis,
CVA, dan lain-lain.
2) Pola defekasi yang tidak teratur.
3) Nyeri saat defekasi karena hemoroid.
4) Menurunnya peristaltik karena stress psikologis.
5) Penggunaan obat, seperti penggunaan antasida, laksantif, atau anaestesi.
6) Proses penuaan (usia lanjut)
2. Impaksi Fekal (Fekal Impation)
Impaksi Fekal (Fekal Impaction) merupakan masa feses yang kerasdi lipatan
rektum yang diakibatkan oleh retensi dan akumulasi materialfeses yang
berkepanjangan. Biasanya disebabkan oleh konstipasi, intakecairan yang kurang,
kurang aktivitas, diet rendah serat, dan kelemahan tonus otot (Hidayat, 2008). Tanda
impaksi yang jelas ialah ketidakmampuan untuk mengeluarkan feses selama beberapa
hari, walaupun terdapat keinginan berulang untuk melakukan defekasi. Apabila feses
diare keluar secara mendadak dan kontinu, impaksi harus dicurigai. Porsi cairan di
dalam feses yang terdapat lebih banyak di kolon meresap ke sekitar massa yang
mengalami impaksi. Kehilangan nafsu makan (anoreksia), distensi dan 17 kram
abdomen, serta nyeri di rektum dapat menyertai kondisi impaksi. Perawat, yang
mencurigai adanya suatu impaksi, dapat dengan mantap melakukan pemeriksaan
secara manual yang dimasukkan ke dalam rektum dan mempalpasi masa yang
terinfeksi (Potter & Perry, 2010).
3. Diare
Diare merupakan keadaan individu yang mengalami atau beresiko sering
mengalami pengeluaran feses dalam bentuk cair. Diare sering disertai dengan kejang
usus, mungkin disertai oleh rasa mual dan muntah (Hidayat, 2008).
a. Tanda Klinis :
1) Adanya pengeluaran feses cair.
2) Frekuensi lebih dari 3 kali sehari.
3) Nyeri/kram abdomen.
4) Bising usus meningkat.
b. Kemungkinan Penyebab :
1) Malabsorpsi atau inflamasi, proses infeksi.
2) Peningkatan peristaltik karena peningkatan metabolisme.
3) Efek tindakan pembedahan usus.
4) Efek penggunaan obat seperti antasida, laksansia, antibiotik, dan lain-lain.
5) Stress psikologis.
4. Inkontinensia Fekal
Inkontinensia fekal adalah ketidakmampuan mengontrol keluarnya feses dan
gas dari anus. Kondisi fisik yang merusakkan fungsi atau kontrolsfingter anus dapat
menyebabkan inkontinensia. Kondisi yang membuatseringnya defekasi, feses encer,
volumenya banyak, dan feses mengandungair juga mempredisposisi individu untuk
mengalami inkontinensia.Inkontinensia fekal merupakan keadaan individu yang
mengalami perubahan kebiasaan defekasi normal dengan pengeluaran feses tanpa
disadari, atau juga dapat dikenal dengan inkontinensia fekal yang merupakan
hilangnya kemampuan otot untuk mengontrol pengeluaran feses dan gas melalui
sfingter akibat kerusakan sfingter (Hidayat, 2008).
a. Tanda Klinis :
Pengeluaran feses yang tidak dikehendaki.
b. Kemungkinan Penyebab :
1) Gangguan sfingter rektal akibat cedera anus, pembedahan,dan lain-lain.
2) Distensi rektum berlebih.
3) Kurangnya kontrol sfingter akibat cedera medulla spinalis,CVA, dan lain-
lain.
4) Kerusakan kognitif
5. Kembung
Kembung merupakan flatus yang berlebihan di daerah intestinal sehingga
menyebabkan distensi intestinal, dapat disebabkan karenakonstipasi, penggunaan
obat-obatan (barbiturate, penurunan ansietas,penurunan aktivitas intestinal),
mengonsumsi makanan yang banyakmengandung gas dapat berefek ansietas (Tarwoto
& Wartonah, 2010).
6. Hemoroid
Hemoroid merupakan keadaan terjadinya pelebaran vena di daerahanus
sebagai akibat peningkatan tekanan di daerah anus yang dapatdisebabkan karena
konstipasi, peregangan saat defekasi, dan lain-lain (Tarwoto & Wartonah, 2010).

E. Faktor Yang Mempengaruhi


Faktor yang Mempengaruhi Eliminasi Fekal Menurut Potter & Perry (2010) :
1. Umur
Pada bayi, makanan akan lebih cepat melewati sitem pencernaan bayi karena
gerakan peristaltik yang cepat. Sedangkan pada lansia adanya perubahan pola fungsi
digestif dan absorpsi nutrisi lansia lebih disebabkan oleh sistem kardiovaskular dan
neurogis lansia, daripada sistem pencernaan itu sendiri (Potter & Perry, 2010).
2. Diet
Diet atau pola atau jenis makanan yang dikonsumsi dapatmempengaruhi
proses defekasi. Makanan yang memiliki kandungan serattinggi dapat membantu
proses percepatan defekasi dan jumlah yangdikonsumsi pun dapat memengaruhi
(Hidayat, 2008).
3. Asupan cairan
Pemasukan cairan yang kurang akan menyebabkan feses menjadilebih keras,
disebabkan oleh absorpsi cairan yang meningkat (Tarwoto & Wartonah, 2010).
4. Aktivitas fisik
Aktivitas dapat mempengaruhi proses defekasi karena melalui aktivitas tonus
otot abdomen, pelvis, dan diafragma dapat membantukelancaran proses defekasi,
sehingga proses gerakan peristaltik pada daerah kolon dapat bertambah baik dan
memudahkan dalam membantu proses kelancaran proses defekasi (Hidayat, 2008).
5. Pengobatan
Pengobatan dapat memengaruhi proses defekasi, dapatmengakibatkan diare
dan konstipasi, seperti penggunaan laksansia atauantasida yang terlalu sering
(Hidayat, 2008).
6. Penyakit
Beberapa penyakit dapat memengaruhi proses defekasi, biasanyapenyakit-
penyakit yang berhubungan langsung pada sistem pencernaan,seperti gastroenteristis
atau penyakit infeksi lainnya (Hidayat, 2008).
7. Nyeri
Adanya nyeri dapat memengaruhi kemampuan/keinginan untuk berdefekasi,
seperti pada beberapa kasus hemoroid, fraktur ospubis, danepisiotomy akan
mengurangi keinginan untuk buang air besar (Tarwoto & Wartonah, 2010).
8. Faktor psikologis
Stress emosional mengganggu fungsi hampir seluruh sistem pecernaan tubuh
(Tarwoto & Wartonah, 2010).
9. Kebiasaan diri
Kebiasaan eliminasi seseorang akan memengaruhi fungsi usus. Sebagian besar
orang dapat menggunakan fasilitas toilet sendiri dirumahnya, hal tersebut dirasa lebih
efektif dan praktis (Tarwoto & Wartonah, 2010).
10. Kehamilan
Pada saat kehamilan berkembang, ukuran janin bertambah dan menimbulkan
tekanan pada rectum (Tarwoto & Wartonah, 2010).
11. Pembedahan dan Anestesi
Agen anestesi general yang digunakan selama pembedahan dapat
menghentikan gerakan peristaltic secara temporer (Tarwoto & Wartonah, 2010).

F. Patofisiologi
Sejumlah besar virus, bakteri/organisme protosoa dapat menyebabkan
gastroenteritis. Pada diare bayi yang paling sering patogen adalah virus dan entero
patogenik, Ecoli. Pada orang dewasa terdapat perbedaan yang berkaitan dengan umur,
apakah infeksi di daerah tropik dan faktor presipitasi seperti pengorbanan antibiotik yang
terdahulu atau imun. Enterokolitis menyebabkan kram dan diare. Sedangkan gastro entero
kolitis menimbulkan mual, muntah dan kram. Dua cara utama dimana organisme patogen
menyebabkan diare : Invasi bakteri pada mukosa kolon menyebabkan peradangan
ulserasi. Hal ini 3 menyebabkan diare berdarah dengan pasasi mucus dan nanah (sering
disebut disentri). Sekresi entero toksin bakterial menyebabkan sekresi air dan elektrolit
dengan diare berair yang banyak. Enterotoksin dapat dihasilkan sesudah kolonisasi
bakteri (tanpa invasi) pada usus halus (masa inkubasi 6-24 jam). Enterotoksin ini
mungkin masuk ke dalam karena makanan yang terkontaminasi kurang dimasak terutama
oleh pencemaran makanan stafilokoki (Carpenito, 2000: 188). Pada dasarnya diare terjadi
ketika terdapat gangguan transportasi air dan elektrolit dalam lumen usus. Mekanisme
patofisiologi dari diare dapat berupa osmosis, sekretori, inflamasi, dan perubahan
motilitas (Sweetser, 2012).
Diare osmosis terjadi pada malabsorpsi, penggunaan obat-obat seperti magnesium
sulfat, magnesium hidroksida, defek dalam absorpsi mukosa usus misal pada defisiensi
disakaridase, malabsorpsi glukosa/galaktosa. Adanya substansi yang tidak terserap
menarik air dari plasma menuju ke lumen usus mengikuti gradien konsentrasi. Sedangkan
pada diare sekretori terjadi akibat peningkatan sekresi secara langsung atau yang lebih
dominan akibat penurunan absorbsi. Secara klinis, yang khas pada diare ini adalah
ditemukannya diare dengan jumlah yang sangat banyak. Selain itu, diare tipe ini akan
tetap berlangsung walaupun dilakukan puasa makan/minum. Diare sekretori biasanya
disebabkan karena enterotoksin pada infeksi Vibrio cholerae, atau Eschericia coli,
penyakit yang 8 menghasilkan horon (VIPoma), reseksi ileum (gangguan absorpsi garam
empedu), efek obat laxatif diotyl sodium sulfosuksinat dll). Inflamasi pada dinding usus
mengakibatkan terjadinya kerusakan mukosa usus. Hal ini menyebabkan terjadinya
produksi mukus berlebihan, eksudasi air dan elektrolit ke dalam lumen, serta gangguan
absorpsi air elektrolit sehingga terjadilah diare inflamasi. Inflamasi mukosa usus halus
terjadi pada infeksi sepertinya disentri Shigella atau bukan infeksi (kolitis ulseratif dan
penyakit Chron). Gangguan motilitas usus yang terjadi pada diabetes mellitus, pasca
vagotomi, hipertiroid juga dapat menyebabkan diare. Selain itu beberapa kondisi
fisiologis seperti kecemasan, obat-obatan, dan toksin dapat berefek langsung pada enteric
nervous system (ENS) yang menyebabkan gangguan motilitas usus (Simadibrata &
Daldiyono, 2009).
Motilitas usus yang meningkat, penurunan waktu transit, ataupun paparan isi
lumen terhadap permukaan absorpsi usus berperan terhadap terjadinya diare ini. Diare
dapat terjadi akibat satu atau lebih patofisiologi tersebut (Sweetser, 2012).

G. Pathway
H. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang eliminasi fekal (wahyudi dan wahid, 2016) :
1. Biopsi
Biopsi digunakan untuk mengidentifikasi sel-sel abnormal dan untuk
membantu mendiagnosa berbagai kondisi kesehatan yang berbeda atau untuk
mengetahui jenis penyakit tertentu atau 23 penyebab penyakit. Dalam kasus di mana
suatu kondisi yang telah didiagnosis, biopsi dapat digunakan untuk mengukur
seberapa parah kondisi itu atau apa tahap kondisi itu.
2. Kolonoskopi
Kolonoskopi adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui terjadinya
gangguan atau kelainan pada usus besar (kolon) dan rektum yang sering menimbulkan
gejala berupa sakit perut, darah pada tinja, diare kronis, gangguan buang air besar atau
gambaran abnormal di usus pada pemeriksaan foto Rontgen dan CT scan.
3. Rontgen dengan kontra
Foto Rontgen adalah prosedur pemeriksaan dengan menggunakan radiasi
gelombang elektromagnetik guna menampilkan gambaran bagian dalam tubuh.
Gambaran dari benda padat seperti tulang atau besi ditampilkan sebagai area
berwarna putih, sedangkan udara yang terdapat pada paru-paru akan tampak berwarna
hitam, dan gambaran dari lemak atau otot ditampilkan dengan warna abu-abu. Dalam
beberapa jenis foto Rontgen, digunakan tambahan zat pewarna (kontras) yang
diminum atau disuntikkan, misalnya iodine atau barium,untuk menghasilkan
gambaran yang lebih detail.
4. Spesimen Feses
Inspeksi warna, bentuk, bau, kandungan feses( ambil sekitar 2.5 cm feses atau
20-30 ml feses jika feses cair).
5. Fecal Occult Blood Test/Guaiac Test
Untuk mendeteksi adanya darah dalam feses (skrining kanker kolorektal)
dengan reagen khusus untuk mendeteksi adanya peroxidase)
6. Anuskopi

7. Proktosigmoidoskopi

8. Pemeriksaan laboraturium

I. Penatalaksanaan medis
1. Perbaiki ketidakseimbangan elektrolit dan dehidrasi Faktor infeksi virus bakteri toksin
Faktor makanan basi, keracunan makanan Malabsorsi KH, lemak protein Inflamasi
Usus Mofilita usus Absorbsi tek-osmotik Pengeseran air dan Elektroli dalam ringga
usus Hiperperistaltik Faktor psikologis Saraf simpatik terpengaruh Hiraperistatik
Defekasi sering G3 Pola eliminasi BAB: Diare G3 Nutrisi < keb Tubuh kehilangan
cairan dan elektrolit Dehidrasi Suhu badan Kulit sekitar anus merah dan lecet G3 < Ÿ
Cairan elektrolit Hipertermi G3 Intergritas Kulit 6
2. Pengobatan spesifik bila terdapat penyakit yang mendasarinya
3. Obat "Hydrophilis bulking"
4. Bismuth subsalicylate dosis tinggi mungkin dapat untuk mencegah dan mengobati
traveleris diarrhea.
5. Diare hebat mungkin menyebabkan banyak kehilangan cairan, asidosis metabolic dan
hipokalemia.
6. Banyak penyebab seperti obat-obatan dan jenis makanan yang dapat dihilangkan
sehingga menimbulkan diare.
7. Glukosa dan cairan peroral serta peningkatan elektrolit dapat menyelamatkan
penderita kolera.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Pengkajian Eliminasi menurut (Tarwoto & Wartonah, 2015) adalah:
1. Riwayat keperawatan
a. Pola defekasi : frekuensi, perubahan pola
b. Perilaku defekasi : penggunaan laksatif, cara mempertahankan pola, tempat yang
biasa digunakan
c. Deskripsi feses : warna, bau, dan tekstur, jumlah
d. Diet : makanan yang memengaruhi defekasi, makanan yang biasa dimakan,
makanan yang dihindari,dan pola makan yang teratur atau tidak
e. Cairan : jumlah dan jenis makanan per hari
f. Aktivitas : kegiatan sehari-hari
g. Kegiatan yang spesifik h) Penggunaan medikasi : obat-obatan yang memengaruhi
defekasi
h. Stres : stres berkepanjangan atau pendek, koping untuk menghadapi atau
bagaimana menerima
i. Pembedahan atau penyakit menetap
2. Pemeriksaan fisik
a. Abdomen : distensi, simetris, gerakan peristaltic, adanya massa pada perut bagian
kiri bawah, tenderness
b. Rectum dan anus : tanda tanda inflamasi, perubahan warna, lesi, fistula, hemoroid,
adanya massa, tenderness
3. Karakteristik Feses Menurut Rosdahl & Kowalski (2017) meliputi :
a. Warna Normalnya feses berwarna cokelat kekuningan (karena adanya empedu).
Perubahan warna menunjukkan perubahan fungsi gastrointestinal atau kandungan
feses.
b. Konsistensi Feses normalnya lunak dan berbentuk. Feses keras, kering terjadi
ketika rektum tidak dikosongkan sesuai kebutuhan dan cairan yang berlebih telah
diserap.
c. Bentuk Secara umum feses memiliki bentuk yang sama seperti interior usus: bulat,
oval, atau silinder. Feses yang panjang dan tipis, seperti pensil menunjukkan
penyempitan rektum atau lubang anus, yang dapat disebabkan oleh massa atau
tumor. Feses yang selalu mengambil bentuk ireguler yang sama juga
menunjukkan adanya pertumbuhan abnormal di dalam rektum atau anus.
d. Bau Feses memiliki bau yang khas, catat setiap bau yang tidak biasa atau sangat
kuat. Terkadang medikasi makanan berbumbu kuat atau adanya mikroorgnisme
yang tidak biasa mengubah bau feses. Pengeluaran gas yang menyertai defekasi
dapat memiliki bau yang sangat kuat dan disebut flatus.
e. Densitas Densitas atau kepadatan feses adalah konsentrasi berat produk sampah
terkait dengan air. Normalnya feses cukup berat hingga dapat tenggelam di dalam
air.
f. Komponen Abnormal Adanya pus atau mukus di dalam feses mengindikasikam
inflamasi atau infeksi di suatu tempat dalam sistem pencernaan. Adanya produk
makanan yang tidak dicerna dapat menunjukkan malfungsi sistem pencernaan.
Darah merah terang (melena) menunjukkan hemoragi nasogastrik.
g. Impaksi Feses Impaksi Feses menunjukkan feses yang sangat keras dan kering
atau seperti dempul yang tidak dapat dikeluarkan oleh klien, bahkan setelah
pemberian laksatif dan atau enema. Impaksi Feses biasanya merupakan masalah
usus kronis tetapi dapat juga merupakan akibat dari masalah usus kronis tetapi
dapat juga merupakan akibat dari imobilitas, paralisis, atau dehidrasi. Beberapa
klien mengalami impaksi feses setelah prosedur sinar x (foto rongsen) yang
disebut barium enema; jenis impaksi ini terjadi akibat tertahannya barium.
Seorang klien baru diterapi dengan mengalami impaksi dan akan mengeluarkan
feses berwarna hitam.
B. Diagnosa keperawatan
(SDKI)
1. Diare D. 0020
2. Nyeri D. 0077
3. Resiko Ketidakseimbangan Elektrolit D. 0037
C. Rencana asuhan keperawatan
NO SLKI SIKI
SDKI
1 Eliminasi Fekal L.04033 Manajemen Diare I. 03101
Definisi : Tindakan :
Proses defekasi normal yang disertai Observasi
dengan pengeluaran feses mudah dan 1. Identifikasi penyebab diare (mis. Inflamasi
konsistensi, frekuensi serta bentuk feses gastrointestinal, iritasi gastrointertinal,
normal proses infeksi, malabsorpsi, ansietas, stress,
Setelah dilakukan tindakan keperawatan efek obat-obatan, pemberian botol susu)
selama 3x24 jam diharapkan klien dapat 2. Identifikasi riwayat pemberian makanan
BAB secara normal. Dengan kriteria 3. Monitor warna, volume, frekuensi, dan
hasil : konsistensi tinja
1. Kontrol pengeluaran feses 4. Monitor tanda dan gejala hypovolemia (mis.
12345 Takikardi, nadi teraba lemah, tekanan darah
2. Nyeri abdomen turun, turgor kulit turun, mukosa mulut
12345 kering, CRT melambat, BB menurun)
3. Konsistensi feses 5. Monitor iritasi dan ulserasi kulit di daerah
12345 perianal
4. Frekuensi defekasi 6. Monitor jumlah pengeluaran diare
12345 7. Monitor keamanan penyiapan makanan
5. Peristaltic usus Terepeutik
12345 1. Berikan asupan cairan oral (mis. Larutan
garam gula, oralit, pedialyte, renalyte)
Fungsi Gastrointestinal L. 03019 2. Pasang jalur intravena
Definisi : Kemampuan saluran cerna 3. Berikan cairan intravena (mis. Ringer asetat,
untuk memasukkan dan mencerna ringer laktat), jika perlu
makanan serta menyerap nutrisi dan 4. Ambil sampel darah untuk pemeriksaan
membuang zat sisa darah lengkap dan elektrolit
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 5. Ambil sampel feses untuk kultur, jika perlu
3x24 jam diharapkan klien dapat Edukasi
mempertahankan fungsi 1. Anjurkan makanan porsi kecil dan sering
gastointestinalnya. Dengan kriteria hasil secara bertahap
: 2. Anjurkan menghindari makanan pembentuk
1. Nafsu makan gas, pedas, dan mengandung laktosa
12345 Kolaborasi
2. Nyeri abdomen 1. Kolaborasi pemberian obat antimotilitas
12345 (mis.loperamide, difenoksilat)
3. Jumlah feses 2. Kolaborasi pemberian obat
12345 antispasmodic/spasmolitik (mis. Papaverin,
4. Warna feses ekstak belladonna, mebeverine)
12345 3. Kolaborasi pemberian obat pengeras feses
(mis. Atapulgit, smektit, kaolin-pektin)
2 Tingkat Nyeri L. 08066 Manajemen Nyeri I. 08238
Definisi : Pengalaman sensorik atau Tindakan :
emosional yang berkaitan dengan Observasi
kerusakan jaringan actual atau 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
fungsional dengan onset mendadak atau frekuensi, kualitas dan intensitas nyeri
lambat dan berintensitas ringan hingga 2. Identifikasi skala nyeri
berat dan konstan 3. Identifikasi respon nyeri non verbal
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 4. Identifikasi factor yang memperberat dan
3x24 jam diharapkan menurunkan nyeri memperingan nyeri
yang dirasakan klien. Dengan kriteria 5. Identifikasi pengaruh budaya terhadap
hasil : respon nyeri
1. Keluhan nyeri 6. Monitor keberhasilan terapi komplementer
12345 yang sudah diberikan
2. Meringis 7. Monitor efek samping penggunaan analgetik
12345 Terapeutik
3. Gelisah 1. Berikan teknik nonfarmakologi untuk
12345 mengurangi rasa nyeri (misal : TENS,
4. Kesulitan tidur hypnosis, akupresur, terapi music,
12345 biofeedback, terapi pijat, aromaterapi, tenik
5. Frekuensi nadi imajinasi terbimbing, kompres hangat/dingin
12345 )
6. Nafsu makan 2. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa
12345 nyeri (missal : suhu ruangan, kebisingan,
7. Pola tidur pencahayaan)
12345 3. Fasilitasi istirahat dan tidur
4. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
pemilihan strategi meredakan nyeri
Edukasi
1. Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri
2. Jelaskan strategi meredakan nyeri
3. Anjurkan memonitor secara mandiri
4. Anjurkan menggunakan analgetik secara
tepat
5. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian analgesic jika perlu
3 Keseimbangan Cairan L. 03020 Manajemen Cairan I. 03098
Definisi : Ekuilibrium antara volume Tindakan :
cairan di ruang intraseluler dan Observasi
ekstraseluler tubuh 1. Monitor status hidrasi (mis. Frekuensi nadi,
Setelah dilakukan tindakan keperawatan kekuatan nadi, akral, pengisian kapiler,
3x24 jam diharapkan cairan klien dapat kelembapan mukose, turgor kulit, tekanan
terpenuhi. Dengan kriteria hasil : darah)
1. Asupan cairan 2. Monitor berat badan harian
12345 3. Monitor berat badan sebelum dan sesudah
2. Asupan makanan dialysis
12345 4. Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
3. Dehidrasi (mis. Hematocrit, Na,K,Cl, berat jenis urine,
12345 BUN)
4. Denyut nadi radial 5. Monitor status hemodinamik (mis. MAP,
12345 VCP,PAP, PCWP jikia tersedia)
Terepeutik
Status Nutrisi L. 03030 1. Catat intake-output dan hitung balance cairan
Definisi : Keadekuatan asupan nutrisi 24 jam
untuk memenuhi kebutuhan 2. Berikan asupan cairan, sesuai kebutuhan
metabolisme 3. Berikan cairan intravena, jika perlu
Setelah dilakukan tindakan keperawatan Kolaborasi
3x24 jam diharapkan nutrisi klien dapat Kolaborasi pemberian diuretic, jika perlu
terpenuhi. Dengan kriteria hasil :
1. Porsi makanan yang dihabiskan
12345
2. Pengetahuan tentang pilihan
makanan yang sehat
12345
3. Sikap terhadap makanan dan
minuman sesuai dengan tujuan
kesehatan
12345
4. Nyeri abdomen
12345
5. Diare
12345
6. Nafsu makan
12345

D. Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan untuk mengukur respons pasien terhadap tindakan
keperawatan dan kemajuan pasien ke arah pencapaian tujuan (Reeder, 2011). Perawat
melaksanakan evaluasi sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan dan terdapat 3
kemungkinan hasil, menurut Hidayat (2007) yaitu:
1. Tujuan tercapai Apabila pasien telah menunjukkan perubahan dan kemajuan yg sesuai
dengan kriteria yang telah di tetapkan.
2. Tujuan tercapai sebagian Jika tujuan tidak tercapai secara keseluruhan sehingga masih
perlu dicari berbagai masalah atau penyebabnya.
3. Tujuan tidak tercapai Jika pasien tidak menunjukkan suatu perubahan ke arah
kemajuan sebagaimana dengan kriteria yang diharapkan.
Daftar Pustaka

Hidayat, A.A. (2007). Metode Penelitian Keperawatan dan teknik Analisa Data. Jakarta :
Salemba medika
Kozier, et al. (2011). Buku ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, proses & praktik, edisi
7, volume 1. Jakarta: EGC
Potter, Perry. (2010). Fundamental Of Nursing : Consep, Proses and Practice. Edisi 7. Vol.
3.
Jakarta : EGC
PPNI, T. P. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI): Definisi dan
Indikator
Diagnostik ((cetakan III) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.
PPNI, T. P. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI): Definisi dan
Tindakan
Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.
PPNI, T. P. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI): Definisi dan Kreteria
Hasil Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.
Rosdahl, C. B., & Kowalski, M. T. (2017). Buku Ajar Keperawatan Dasar. Jakarta: EGC.
Simadibrata & Daldiyono. (2007). Diare Akut. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi
keempat-
Jilid I. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 408-413.
Sweetser, S. (2012). Evaluating the Patient With Diarrhea: A Case-Based Approach. US
National Library of Medicine National Institutes of Health, 87(6): 596–602.
Tarwoto, Wartonah. 2015. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan Edisi 5.
Jakarta Selatan : Salemba Medika.
Wahyudi & Wahid. (2016). Buku Ajar Ilmu Keperawatan Dasar. Jakarta: Mitra Wacana
Media

Anda mungkin juga menyukai