Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN ELIMINASI FEKAL

OLEH: NAMA : I PUTU PANDE EKA KRISNA YOGA NIM : 1102105064

PROGRAM STUDI ILMU KEPERWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2012

A. PENGERTIAN ELIMINASI FEKAL Eliminasi adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh baik berupa urin atau bowel (feses). Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga disebut bowel movement. Frekwensi defekasi pada setiap orang sangat bervariasi dari beberapa kali perhari sampai 2 atau 3 kali perminggu. Banyaknya feses juga bervariasi setiap orang. Ketika gelombang peristaltik mendorong feses kedalam kolon sigmoid dan rektum, saraf sensoris dalam rektum dirangsang dan individu menjadi sadar terhadap kebutuhan untuk defekasi. Eliminasi fekal adalah proses pengeluaran sisa pencernaan melalui anus, makanan yang sudah di cerna kemudian sisanya akan di keluarkan dalam bentuk fases. Sistem pencernaan merupakan saluran panjang (kurang lebih 9 meter) yang terlibat dalam proses pencernaan makanan, mulai dari mulut sampai dengan anus. Saluran ini akan menerima makanan dari luar tubuh dan mempersiapkannya untuk diserap serta bercampur dengan enzim dan zat cair melalui pencernaan baik dengan cara mengunyah, menelan dan mencampur menjadi zat-zat gizi. Gangguan eliminasi fekal adalah keadaan dimana seorang individu mengalami atau berisiko tinggi mengalami statis pada usus besar, mengakibatkan jarang buang air besar, keras, feses kering. Untuk mengatasi gangguan eliminasi fekal biasanya dilakukan huknah, baik huknah tinggi maupun huknah rendah. Memasukkan cairan hangat melalui anus sampai ke kolon desenden dengan menggunakan kanul rekti.

B. ANATOMI FISIOLOGI SALURAN PENCERNAAN Saluran gastrointestinal ( GI ) merupakan serangkaian organ muscular berongga yang dilapisi oleh membrane mukosa ( selaput lendir ). Tujuan kerja organ ini ialah mengabsorpsi cairan dan nutrisi, menyiapkan makanan untuk diabsorpsi dan digunakan oleh sel sel tubuh, serta menyediakan tempat penyimpanan fese sementara. Fungsi utama system GI adalah membuat keseimbangan cairan. GI juga menerima banyak sekresi dari organ organ, seperti kandung empedu dan pancreas. Setiap kondisi yang secara serius mengganggu absorpsi atau sekresi normal cairan GI, dapat menyebabkan ketidakseimbangan cairan. Anatomi saluran pencernaan terdiri dari : 1) Mulut Saluran GI secara mekanis dan kimiawi memecah nutrisi ke ukuran dan bentuk yang sesuai. Semua organ pencernaan bekerja sama untuk memastikan bahwa masa atau bolus makanan mencapai daerah absorpsi nutrisi dengan aman dan efektif. Gigi mengunyah makanan, memecahkan menjadi berukuran yang dapat di telan. Sekresi saliva mengandung enzim, seperti ptyalin, yang mengawali pencernaan unsure unsure makanan tertentu. Saliva mencairkan dan melunakkan bolus makanan di dalam mulut sehingga lebih mudah ditelan.

2) Esophagus Begitu makanan memasuki bagian atas esophagus, makanan berjalan melalui otot sirkular, yang mencegah udara memasuki esophagus dan makanan mengalami refluks ( bergerak ke belakang ) kembali ke tenggorokan. Bolus makanan menelusuri esophagus yang panjangnya kira kira 25 cm. makanan didorong oleh gerakan peristaltic lambat yang dihasilkan oleh kontraksi involunter dan relaksasi otot halus secara bergantian. Pada saat bagian esophagus berkontraksi di atas bolus makanan, otot sirkular di bawah ( atau di depan ) bolus berelaksasi. Kontraksi kontraksi otot halus yang saling bergantian ini mendorong makanan menuju gelombang berikutnya. Dalam 15 detik, bolus makanan bergerak menuruni esophagus dan mencapai sfingter esophagus bagian bawah. Sfingter esophagus bagian bawah terletak di antara esophagus dan lambung. Factor factor yang mempengaruhi tekanan sfingter esophagus bagian bawah meliputi antacid, yang meminimalkan refluks, dan nikotin serta makanan berlemak, yang meningkatkan refluks. 3) Lambung Di dalam lambung, makanan disimpan untuk sementara dan secara mekanis dan kimiawi dipecahkan untuk dicerna dan diabsorpsi. Lambung menyekresi asam hidroklorida ( HCL ), lendir, enzim pepsin, dan factor intrinsic. Konsentrasi HCL mempengaruhi keasaman lambung dan keseimbangan asam basa tubuh. HCL membantu mencampur dan memecahkan makanan di lambung. Lendir melindungi mukosa lambung dari keasaman dan aktivitas enzim. Pepsin mencerna protein, walaupun tidak banyak pencernaan yang berlangsung di lambung. Factor intrinsik adalah komponen penting yang dibutuhkan untuk absopsi viatamin B12 di dalam usus dan selanjutnya untuk pembentukan sel darah merah normal. Kekurangan factor intrinsic ini mengakibatkan anemia. Sebelum makan meninggalkan lambung, makanan diubah menjadi materi semicair yang disebut kimus. Kimus lebih mudah dicerna dan diabsorpsi dari pada makanan padat. Klien yang sebagian lambungnya diangkat atau yang memiliki pengosongan lambung yang cepat ( seperti pada gastritis ) dapat mengalami masalah pencernaan yang serius karena makanan tidak dipecah menjadi kimus. 4) Usus Halus. Selama proses pencernaan normal. Kimus meninggalkan lambung dan memasuki usus. Usus halus merupakan sebuah saluran dengan diameter sekitar 2.5 cm dan panjang 6 m. Usus halus dibagi mkenjadi 3 bagian : duodenum, jejunum, dan ileum. Kimus bercampur dengan enzim enzim pencernaan ( missal : empedu dan amylase ) saat berjalan memalui usus halus. Segmentasi ( kontrasi dan relaksasi otot halus secara bergantian ) mengaduk kimus, memecahkan makanan lebih lanjut untuk dicerna. Pada saat kimus bercampur, gerakan peristaltic berikutnya sementara berhenti sehingga memungkinkan absorpsi. Kimus berjalan perlahan melalui usus halus untuk memungkinkan absorpsi. Kebanyakan nutrisi dan elektrolit diabsorbsi di dalam usus halus. Enzim dari pancreas ( missal : amylase ) dan empedu dari kandungan empedu dilepaskan ke dalam duodenum. Enzim di dalam usus halus memecahkan lemak, protein,

dan karbohidrat menjadi unsur unsur dasar. Nutrisi hampir seluruhnya diabsorbsi oleh duodenum dan jejunum. Ileum mengabsorpsi vitamin vitamin tertentu, zat besi, dan garam empedu. Apabila fungsi ileum terganggu, proses pencernaan akan mengalami perubahan besar. Inflamasi, reseksi bedah, atau obstruksi dapat mengganggu peristaltic, mengurangi area absorpsi, atau menghambat aliran kimus. 5) Usus Besar Saluran GI bagian bawah disebut usus besar ( kolon ) karena ukuran diameternya lebih besar daripada usus halus. Namun, panjangnya, yakni 1,5 sampai 1,8 m jauh lebih pendek. Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon, dan rectum. Usus besar merupakan utama dalam eliminasi fekal. a. Sekum Kimus yang tidak diabsorpsi memasuki sekum melalui katup ileosekal. Katup ini merupakan lapisan otot sirkulat yang mencegah regurgitasi dan kembalinya isi kolon ke usus halus. b. Kolon Walaupun kimus yang berair memasuki kolon, volume air menurum saat kimus bergerak di sepanjang kolon. Kolon dibagi menjadi kolon asendens, kolon transversal, kolon desenden, kolon sigmoid. Kolon dibangun oleh jaringan otot, yang memungkinkannya menampung dan mengeliminasi produk buangan dalam jumlah besar Kolon memiliki empat fungsi yang saling berkaitan : absorpsi, proteksi, sekresi, dan eliminasi. c. Rectum Produk buangan yang mencapai bagian kolon sigmoid, disebut feses. Sigmoid menyimpan feses sampai beberapa saat sebelum defekasi. Rectum merupakan bagian akhir pada saluran GI. Panjang rectum bervariasi menurut usia : Bayi 2,5 sampai 3,8 cm Toddler 5 cm Prasekolah 7,5 cm Anak usia sekolah 10 cm Dewasa 15 sampai 20 cm Dalam kondisi normal, rectum tidak berisi feses sampai defekasi. Rectum dibangun oleh lipatan lipatan jaringan vertical dan transversal. Setiap lipatan vertical berisi sebuah arteri dan lebih dari satu vena. Apabila vena menjadi distensi akibat tekanan selama mengedan, maka terbentuk hemoroid. Hemoroid dapat membuat proses defekasi terasa nyeri. Apabila masa feses atau gas bergerak kedalam rectum untuk membuat dindingnya berdisensi, maka proses defekasi dimulai. Proses ini melibatkan control

voluntary dan control involunter. Sfingter interna adalah sebuah otot polos ynag di persarafi oleh system saraf otonom. Saat sfingter interna relaksasi sfingter eksterna juga relaksasi. Orang dewasa dan anak anak yang sudah menjalani toilet training ( latihan defekasi ) dapat mengontrol sfingter eksterna secara volunter ( sadar ). Tekanan untuk mengeluarkan feses dapat dilakukan dengan meningkatkan tekanan intra abdomen atau melakukan valsava maneuver. Maneuver valsava ialah kontraksi volunter otot otot abdomen saat indivudu mengeluarkan nafas secara paksa, sementara glottis menutup (menahan napas saat mengedan).

C. PATOFISIOLOGI Gangguan Eliminasi Fekal Defekasi biasanya dimulai oleh dua refleks defekasi yaitu refleks defekasi instrinsik. Ketika feses masuk kedalam rektum, pengembangan dinding rektum memberi suatu signal yang menyebar melalui pleksus mesentrikus untuk memulai gelombang peristaltik pada kolon desenden, kolon sigmoid, dan didalam rektum. Gelombang ini menekan feses kearah anus. Begitu gelombang peristaltik mendekati anus, spingter anal interna tidak menutup dan bila spingter eksternal tenang maka feses keluar. Refleks defekasi kedua yaitu parasimpatis. Ketika serat saraf dalam rektum dirangsang, signal diteruskan ke spinal cord (sakral 2 4) dan kemudian kembali ke kolon desenden, kolon sigmoid dan rektum. Sinyal sinyal parasimpatis ini meningkatkan gelombang peristaltik, melemaskan spingter anus internal dan meningkatkan refleks defekasi instrinsik. Spingter anus individu duduk ditoilet atau bedpan, spingter anus eksternal tenang dengan sendirinya. Pengeluaran feses dibantu oleh kontraksi otot-otot perut dan diafragma yang akan meningkatkan tekanan abdominal dan oleh kontraksi muskulus levator ani pada dasar panggul yang menggerakkan feses melalui saluran anus. Defekasi normal dipermudah dengan refleksi paha yang meningkatkan tekanan di dalam perut dan posisi duduk yang meningkatkan tekanan kebawah kearah rektum. Jika refleks defekasi diabaikan atau jika defekasi dihambat secara sengaja dengan mengkontraksikan muskulus spingter eksternal, maka rasa terdesak untuk defekasi secara berulang dapat menghasilkan rektum meluas untuk menampung kumpulan feses. Cairan feses di absorpsi sehingga feses menjadi keras dan terjadi konstipasi.

D. PROSES DEFEKASI Defekasi adalah proses pembuangan tau pengeluaran sisa metabolisme berupa fases dan flatus yang berasal dari saluran pencernaan melalui anus. Proses defekasi terbagi menjadi dua macam reflex yaitu: 1) Reflex defekasi intrinsic Reflex ini berawal dari fases yang masuk ke rectum sehingga terjadi distensi rectum, yang kemudian menyebabkan rangsangan pada fleksus mesentrikus dan terjadilah gerakan peristaltic. Setelah fases sampai anus, secara sistematis sfingter interna relaksasi, maka terjadilah defekasi.

2) Reflex defekasi parasimpatis Fases yang masuk ke rectum akan merangsang saraf rectum yang kemudian diteruskan ke jaras spinal. Dari jaras spinal kemudian di kembalikan ke kolon desenden, sigmoid dan rectum yang menyebabkan intensifnya peristaltic, relaksasi sfingter internal, maka terjadilah defekasi. Dorongan fases juga di pengaruhi oleh kontraksi otot abdomen, tekanan diafragma, dan kontraksi otot elevator. Defekasi di permudah oleh fleksi otot femur dan posisi jongkok. Gas yang di hasikan dalam proses pencernaan normalnya 7-10 liter/24 jam. Jenis gas yang terbanyak adalah CO, metana, HS, O dan nitrogen. Fases terdiri atas 75% air dan 2,5% materi padat. Fases normal berwarna kuning kecoklatan karena pengaruh dari mikroorganisme. Konsistensinya lembek namun bebentuk.

E. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ELIMINASI FEKAL Faktor eliminasi fekal: 1) Usia Perubahan dalam tahapan perkembangan dalam mempengaruhi status eliminasi terjadi disepanjang kehidupan. Seorang bayi memiliki lambung yang kecil dan lebih sedikit menyekresi enzim pencernaan. Beberapa makanan, seperti zat pati yang kompleks, ditoleransi dengan buruk. Bayi tidak mampu mengontrol defekasi karana kurangnya perkembangan neuromuskular. Perkembangan ini biasanya tidak terjadi sampai 2 sampai 3 tahun. Pertumbuhan usus besar terjadi sangat pesat selama masa remaja. Sekresi HCL meningkat khususnya pada anak laki-laki. Anak remaja biasanya mengkonsumsi makana dalam jumlah lebih besar. Sistem GI pada lansia sering mengalami perubahan sehingga merusak proses pencernaan dan eliminasi. Beberapa lansia mungkin tidak lagi memiliki gigi sehingga mereka tidak mampu mengunyah makanan dengan baik. Makanan yang memasuki saluran GI hanya dikunyah sebagian dan tidak dapat dicerna karena jumlah enzim pencernaan didalam saliva dan volume asam lambung menurun seiring dengan proseas penuaan. Ketidakmampuan untuk mencerna makanan yang mengandung lemak mencerminkan terjadinya kehilangan enzim limpase. 2) Diet Asupan makanan setiap hari secara teratur membantu mempertahankan pola peristaltic yang teratur di dalam kolon. Makanan yang dikonsumsi individu mempengaruhi eliminasi. Serat, residu makanan yang tidak dapat dicerna, memungkinkan terbentuknya masa dalam materi feses. Makanan pembentuk masa mengabsorbsi cairan sehingga meningkatkan masa feses. Dinding usus teregang, menciptakan gerakan peristaltic dan menimbulkan reflex defekasi. Usus bayi yang belum matang biasanya tidak dapat mentoleransi makanan berserat sampai usianya mencapai beberapa bulan. Dengan menstimulasi peristaltic, masa makanan berjalan dengan cepat melalui usus,

mempertahankan feses tetap lunak. Makanan-makanan berikut mengandung serat dalam jumlah tinggi (masa). Buah-buahan mentah (apel,jeruk) Buah-buahan yang diolah (prum,apricot) Sayur-sayuran (bayam,kangkung,kubis) Sayur-sayuran mentah (seledri,mentimun) Gandum utuh (sereal, roti) Mengkonsumsi makanan tinggi serat meningkatkan kemungkinan normalnya pola eliminasi jika factor lain juga normal. Makanan yang menghasilkan gas, seperti bawang, kembang kol, dan buncis juga menstimulasi peristaltic. Gas yang dihasilkan membuat dinding usus berdistensi , meningkatkan motilitas kolon. Beberapa makanan pedas dapat meningkatkan peristaltic , tetapi juga dapat menyebabkan pencernaan tidak berlangsung dan feses menjadi encer. Beberapa jenis makanan, seperti susu dan produk-produk susu, sulit atau tidak mungkin dicerna oleh beberapa individu. Hal ini disebabkan oleh intoleransi laktosa. Laktosa, suatu bentuk karbohidrat sederhana yang ditemukan di dalam susu, secara normal dipecah oleh enzim lactase. Intoleransi terhadap makanan tertentu dapat mengakibatkan diare, distensi gas, dan kram. 3) Asupan Cairan Asupan cairan yang tidak adekuat atau gangguan yang menyebabkan kehilangan cairan (seperti muntah) mempengaruhi karakter feses. Cairan mengencerkan isi usus, memudahkannya bergerak melalui kolon. Asupan cairan yang menurun memperlambat pergerakan makanan yang melalui usus. Orang dewasa harus minum 6 sampai 8 gelas (1400 sampai 2000ml) cairan setiap hari. Minuman ringan yang hangat dan jus buah memperlunak feses dan meningkatkan peristaltic. Konsumsi susu dalam jumlah besar dapat memperlambat peristaltic pada beberapa individu dan menyebabkan konstipasi.

4) Aktivitas Fisik Aktivitas fisik meninkatkan peristaltic, sementara imobilisasi menekan motilitas kolon. Ambulasi dini setelah klien menderita suatu penyakit dianjurkan untuk meningkatkan dipertahankannya eliminasi normal. Upaya mempertahankan tonus otot rangka, yang digunakan selama proses defekasi, merupakan hal yang penting. Melemahnya otot-otot dasar panggul dan abdomen merusak kemampuan individu untuk meningkatkan tekanan intra abdomen dan untuk mengontrol sfingter eksterna. Tonus otot dapat melemah atau hilang akibat penyakit yang berlangsung dalam jangka waktu lama atau penyakit neurologis yang merusak transmisi saraf. 5) Faktor Psikologis Fungsi dari hampir semua sistem tubuh dapat mengalami gangguan akibat stress emosional yang lama. Apabila individu mengalami kecemasan,

ketakutan, atau marah, muncul respons stress, yang memungkinkan tubuh membuat pertahanan. Untuk menyediakan nutrisi yang dibutuhkan dalam upaya pertahanan tersebut, proses pencernaan dipercepat dan peristaltic meningkat. Efek samping peristaltic yang meningkat antara lain diare dan distensi gas. Apabila individu mengalami depresi, sistem saraf otonom memperlambat impuls saraf dan peristaltic dapat menurun. Sejumlah penyakit pada saluran GI dapat dikaitkan dengan stress. Penyakit ini meliputi colitis ulseratif, ulkus lambung, dan penyakit crohn. Upaya penelitian berulang yang dilakukan sejak lama telah gagal membuktikan mitos bahwa penyebab klien mengalami penyakit tersebut adalah karena memiliki kondisi psikopatologis. Namu, ansietas dan depresi mungkin merupakan akibat dari masalah kronik tersebut (cooke,1991)

6) Kebiasaan pribadi Kebiasaan eliminasi pribadi mempengaruhi fungsi usus. Kebanyakan individu merasa lebih mudah melakukan defekasi dikamar mandi mereka sendiri pada waktu yang paling efektif dan paling nyaman bagi mereka. Jadwal kerja yang sibuk dapat mengganggu kebiasaan dan mengakibatkan perubahan seperti konstipasi. Individu harus mencari waktu terbaik untuk melaksanakan eliminasinya. Reflex gastrokolik adalah reflex yang paling mudah distimulasi untuk menimbulkan defekasi setelah sarapan. 7) Posisi Selama Defekasi Posisi jongkok merupakan posisi yang normal saat melakukan defekasi. Toilet modern dirancang untuk memfasilitasi posisi ini, sehingga memungkinkan individu untuk duduk tegak ke arah depan, mengeluarkan tekanan intra abdomen dan mengontraksi otot-otot pahanya. Namun, klien lansia atau individu yang menderita penyakit sendi, seperti artritis, mungkin tidak mampu bangkit dari tempat duduk toilet memampukan klien untuk bangun dari posisi duduk di toilet tanpa bantuan. Klien yang mengguanakan alat tersebut dan individu yang berposter pendek, mungkin membutuhkan pijakan kaki yang memungkinkan ia menekuk pinggulnya dengan benar. Untuk klien imobilisasi di tempat tidur, defekasi seringkali dirasakan sulit. Posisi telentang tidak memungkinkan klien mengontraksi otot-otot yang digunakan selama defekasi. Membantu klien ke posisi duduk yang lebih normal pada pispot. Akan meningkatkan kemampuan defekasi. 8) Nyeri Dalam kondisi normal, kegiatan defekasi tidak menimbulkan nyeri. Namun, pada sejumlah kondisi, termasuk hemoroid, bedah rectum, fistula rectum, bedah abdomen, dan melahirkan anak dapat menimbulkan rasa tidak nyaman ketika defekasi. Pada kondisi-kondisi seperti ini, klien sering kali mensupresi keinginanya untuk berdefekasi guna menghindari rasa nyeri yang mungkin akan timbul. Konstipasi merupakan masalah umum pada klien yang merasa nyeri selama defekasi.

9) Kehamilan Seiring dengan meningkatnya usia kehamilan dan ukuran fetus, tekanan diberikan pada rectum. Obstruksi sementara akibat keberadaan fectus mengganggu pengeluaran feses. Konstipasi adalah masalah umum yang muncul pada trimester terakhir. Wanita hamil selama defekasi dapat menyebabkan terbentuknya hemoroid yang permanen. 10) Pembedahan dan Anestesi Agen anestesi yang digunakan selama proses pembedahan, membuat gerakan peristaltic berhenti untuk sementara waktu. Agen anestesi yang dihirup menghambat impuls saraf parasimpatis ke otot usus. Kerja anestesi tersebut memperlambat atau menghentikan gelombang peristaltic. Klien yang menerima anestesi local atau regional beresiko lebih kecil untuk mengalami perubahan eliminasi karena aktivitas usus hanya dipengaruhi sedikit atau bahkan tidak dipengaruhi sama sekali. Pembedahan yang melibatkan manipulasi usus secara langsung, sementara akan menghentikan gerakan peristaltic. Kondisi ini disebut ileus paralitik yang biasanya berlangsung sekitar 24 sampai 48 jam. Apabila klien tetap tidak aktif atau tidak dapat makan setelah pembedahan, kembalinya fungsi normal usus dapat terhambat lebih lanjut.

11) Obat-obatan Obat-obatan untuk meningkatkan defekasi telah tersedia. laksatif dan katartik melunakkan feses dan meningkatkan peristaltic. Obat-obatan seperti disiklomin HCL (Bentyl) menekan gerakan peristaltic dan mengobati diare. Beberapa obat memiliki efek samping yang dapat mengganggu eliminasi. Obat analgesic narkotik menekan gerakan peristaltic. Opiat umumnya menyebabkan konstipasi. Obat-obatan antikolinergik, seperti atropin, atau glikopirolat (robinul), menghambat sekresi asam lambung dan menekan motilitas saluran GI. Walupun bermanfaat dalam mengobati gangguan usus, yakni hiperaktivitas usus, agen antikolinergik dapat menyebabkan konstipasi, banyak antibiotik menyebabkan diare dengan menggangu flora bakteri normal didalam saluran GI. Apabila diare dan kram abdomen yang terkait dengan diare semakin parah, obat-obatan yang diberikan kepada klien mungkin perlu diubah. Intervensi keperawatan dapat digunakan untuk diare osmotic, yang disebabkan oleh obat-obatan hiperosmolar. (Fruto 1994)

F. MASALAH DEFEKASI YANG UMUM Perawat mungkin merawat klien yang mengalami atau beresiko mengalami masalah eliminasi akibat stress emosional ( ansietas atau depresi ), berubahan fisiologis pada saluran GI, perubahan struktur usus melalui pembedahan, program terapi lain, atau gangguan yang mengganggu defekasi.

1) Konstipasi Konstipasi merupakan gejala, bukan penyakit yaitu menurunnya frekuensi BAB disertai dengan pengeluaran feses yang sulit, keras, dan mengejan. BAB yang keras dapat menyebabkan nyeri rektum. Kondisi ini terjadi karena feses berada di intestinal lebih lama, sehingga banyak air diserap. Penyebabnya: : a. Kebiasaan BAB tidak teratur, seperti sibuk, bermain, pindah tempat, dan lain-lain b. Diet tidak sempurna/adekuat : kurang serat (daging, telur), tidak ada gigi, makanan lemak dan cairan kurang c. Meningkatnya stress psikologik d. Kurang olahraga / aktifitas : berbaring lama. e. Obat-obatan: kodein, morfin, anti kolinergik, zat besi. Penggunaan obat pencahar/laksatif menyebabkan tonus otot intestinal kurang sehingga refleks BAB hilang. f. Usia, peristaltik menurun dan otot-otot elastisitas perut menurun sehingga menimbulkan konstipasi. g. Penyakit-penyakit : Obstruksi usus, paralitik ileus, kecelakaan pada spinal cord dan tumor. 2) Impaction Impaction merupakan akibat konstipasi yang tidak teratur, sehingga tumpukan feses yang keras di rektum tidak bisa dikeluarkan. Impaction berat, tumpukan feses sampai pada kolon sigmoid. Penyebabnya pasien dalam keadaan lemah, bingung, tidak sadar, konstipasi berulang dan pemeriksaan yang dapat menimbulkan konstipasi. Tandanya : tidak BAB, anoreksia, kembung/kram dan nyeri rektum. 3) Diare Diare merupakan BAB sering dengan cairan dan feses yang tidak berbentuk. Isi intestinal melewati usus halus dan kolon sangat cepat. Iritasi di dalam kolon merupakan faktor tambahan yang menyebabkan meningkatkan sekresi mukosa. Akibatnya feses menjadi encer sehingga pasien tidak dapat mengontrol dan menahan BAB. 4) Inkontinensia fecal Yaitu suatu keadaan tidak mampu mengontrol BAB dan udara dari anus, BAB encer dan jumlahnya banyak. Umumnya disertai dengan gangguan fungsi spingter anal, penyakit neuromuskuler, trauma spinal cord dan tumor spingter anal eksternal. Pada situasi tertentu secara mental pasien sadar akan kebutuhan BAB tapi tidak sadar secara fisik. Kebutuhan dasar pasien tergantung pada perawat. 5) Flatulens Yaitu menumpuknya gas pada lumen intestinal, dinding usus meregang dan distended, merasa penuh, nyeri dan kram. Biasanya gas keluar melalui mulut (sendawa) atau anus (flatus). Hal-hal yang menyebabkan peningkatan gas di

usus adalah pemecahan makanan oleh bakteri yang menghasilkan gas metan, pembusukan di usus yang menghasilkan CO2. Makanan penghasil gas seperti bawang dan kembang kol. 6) Hemoroid Yaitu dilatasi pembengkakan vena pada dinding rektum (bisa internal atau eksternal). Hal ini terjadi pada defekasi yang keras, kehamilan, gagal jantung dan penyakit hati menahun. Perdarahan dapat terjadi dengan mudah jika dinding pembuluh darah teregang. Jika terjadi inflamasi dan pengerasan, maka pasien merasa panas dan gatal. Kadang-kadang BAB dilupakan oleh pasien, karena saat BAB menimbulkan nyeri. Akibatnya pasien mengalami konstipasi.

G. DIVERSI USUS Penyakit tertentu menyebabkan kondisi-kondisi yang mencegah pengeluaran feses secara normal dari rectum. Hal ini menimbulkan kebutuhan untuk membentuk suatu lubang (stoma) buatan yang permanen atau sementara. Lubang yang dibuat melalui upaya bedah(ostomi ) paling sering di bentuk di Ileum (ileostomi) atau di kolom (kolostomi) (Mc. Garity,1992). Ujung usus kemudian ditarik kesebuah lubang di dinding abdomen untuk membentuk stoma. Ada dua jenis ostomi yaitu: 1. Ostomi Kontinen : klien memiliki control terhadap pengeluaran feses. Dimana dalam ostomi kontinen tipe pembedahan tertentu memungkinkan kontinensia pada klien tertentu yang mengalami kolektomi (pengangkatan kolon). Ostomi Kontinen ini juga disebut Disversi kontinen atau reservoir kontinen. Pada sebuah prosedur yang disebut dengan ileoanal pull-through, kolon diangkat dan ileum dianastomosis atau disambungkan ke sfingter anus yang utuh. Di beberapa prosedur bedah terbaru yang didasarkan pada upaya ileoanal pullthrough adalah reservoar ileoanal .Reservoar ileoanal juga disebut protokolektomi restorasi, anastomosis kantong ileum anus, atau kantong pelvis. Pada prosedur ini klien tak memiliki stoma eksterna yang permanen dan dengan demikian tidak perlu mengenakan kantong ostomi. klien mengenakan kantung interna yang berasal dari ileumnya. Kantong ileum ini dapat di bentuk dalam berbagai bentuk seperti bentuk lateral, S,J,atau W. Ujung kantong kemudian dijahit atau di anastomosis ke anus. pembedahan dilakukan dalam berbagai tahapan dan klien dapat mempunyai ostomi yang bersifat sementara sampai kantung ileum yang dibentuk melalui upaya bedah telah sembuh. 2. Ostomi Inkintinen: klien tidak mempunyai control terhadap pengeluaran Feses. Pada hal ini lokasi ostomi menentukan kosistensi feses. Sebuah ileostomi merupakan jalan pintas keluarnya feses sehingga feses tidak melalui seluruh bagian usus besar. Akibatnya feses akan keluar lebih sering dan dalam bentuk

cair. Kejadian serupa juga terjadi pada kolostomi di kolon asenden. Kolostomi pada kolon transversal umumnya akan menghasilkan feses yang lebih padat dan berbentuk, sedangkan kolostomi sigmoid menghasilkan feses yang sudah mendekati feses normal. Dalam hal ini kolostomi dibagi menjadi 3 yaitu: a. Loop Colostomy Loop colostomy biasanya di lakukan dalam kondisi kedaruratan medis yang nantinya colostomy tersebut akan ditutup. Jenis colostomy ini biasanya mempunyai stoma yang berukuran besar, dibentuk di kolon transversal dan sifatnya sementara.

b. End Colostomy End Coostomy terdiri dari satu stoma, yang dibentuk dari ujung proksimal usus dengan bagian distal saluran GI dapat dibuang atau dijahit tertutup (disebut kantong Hartman) dan dibiarkan di dalam rongga abdomen.

c. Double Barrel colostomy Tidak seperti loop colostomy , usus dipotong melalui pembedahan kedalam bentuk double barrel colostomy dan kedua ujungnya ditarik keatas abdomen . Double-barrel colostomy terdiri dari dua stoma yang berbeda yaitu stoma proksimal yang berfungsi dan stoma distal yang tak berfungsi.

H. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian Riwayat keperawatan eliminasi Riwayat keperawatan eliminasi fekal dan urin membantu perawat menentukan pola defekasi normal klien. Perawat mendapatkan suatu gambaran feses normal dan beberapa perubahan yang terjadi dan mengumpulkan informasi tentang beberapa masalah yang pernah terjadi berhubungan dengan eliminasi, adanya ostomy dan faktor-faktor yang mempengaruhi pola eliminasi. Pengkajiannya meliputi: a. Pola eliminasi b. Gambaran feses dan perubahan yang terjadi c. Masalah eliminasi d. Faktor-faktor yang mempengaruhi seperti : penggunaan alat bantu, diet, cairan, aktivitas dan latihan, medikasi dan stress.

2. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik abdomen terkait dengan eliminasi alvi meliputi inspeksi, auskultasi, perkusi dan palpasi dikhususkan pada saluran intestinal. Auskultasi dikerjakan sebelum palpasi, sebab palpasi dapat merubah peristaltik. Pemeriksaan rektum dan anus meliputi inspeksi dan palpasi. Inspeksi feses, meliputi observasi feses klien terhadap warna, konsistensi, bentuk permukaan, jumlah, bau dan adanya unsurunsur abdomen. Perhatikan tabel berikut :

KARAKTERISTIK FESES NORMAL DAN ABNORMAL Karakteristik Normal Abnormal Kemungkinan penyebab Warna Dewasa : Pekat / putih Adanya pigmen empedu kecoklatan (obstruksi empedu); Bayi : pemeriksaan diagnostik kekuningan menggunakan barium Hitam / spt ter. Obat (spt. Fe); PSPA (lambung, usus halus); diet tinggi buah merah dan sayur hijau tua (spt. Bayam) Merah PSPB (spt. Rektum), beberapa makanan spt bit. Pucat Malabsorbsi lemak; diet tinggi susu dan produk susu dan rendah daging. Orange atau Infeksi usus hijau Konsistensi Berbentuk, Keras, kering Dehidrasi, penurunan motilitas lunak, agak usus akibat kurangnya serat, cair / lembek, kurang latihan, gangguan basah. emosi dan laksantif abuse. Diare Peningkatan motilitas usus (mis. akibat iritasi kolon oleh bakteri). Bentuk Silinder (bentuk Mengecil, Kondisi obstruksi rektum rektum) dgn bentuk 2,5 cm u/ pensil atau orang seperti dewasa benang Jumlah Tergantung diet (100 400 gr/hari) Bau Aromatik : Tajam, pedas Infeksi, perdarahan dipenga-ruhi oleh

Unsur pokok

makanan yang dimakan dan flora bakteri. Sejumlah kecil Pus bagian kasar Mukus makanan yg Parasit tdk dicerna, Darah potongan Lemak dalam bak-teri yang jumlah mati, sel besar epitel, lemak, Benda asing protein, unsur-unsur kering cairan pencernaan (pigmen empedu dll)

Infeksi bakteri Konsidi peradangan Perdarahan gastrointestinal Malabsorbsi Salah makan

3. Pemeriksaan Diagnostik Pemeriksaan diagnostik saluran gastrointestinal meliputi tehnik visualisasi langsung / tidak langsung dan pemeriksaan laboratorium terhadap unsur-unsur yang tidak normal. I. Dignosa keperawatn dan prioritas masalah Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan aktif cairan Diare berhubungan dengan toksin Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna nutris oleh karena faktor biologis No Dx Tujuan Keperawatan NOC 1 Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x 24 jam ,volume cairan tubuh pasien meningkat dari sebelumnya dengan kriteria hasil: Fluid balance, Tekanan darah normal RR dan nadi dalam rentang normal mukosa lembab (bibir tidak sianosis) Rencana Tindakan NIC Fluid management Dorong masukan oral kolaborasi pemberian melalui intravena Monitor vital sign Monitor terhadap penambahan cairan Dorong pasien untuk menambah intakake oral

Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x 24 jam ,diare lebih baik dari sebelumnya dengan kriteria hasil: bowel elimination, Bentuk feces lunak dan berbentuk Pola eliminasi sudah teratur

Diare management 1.Pemeriksaan feces secara kontinu 2.kolaborasi pemberian obat anti diare

3.Kolaborasi dengan ahli gizi pemberian supleman tambahan makanan 4. Kaji adanya alergi makanan 5. Monitor turgor kulit 6.Anjurkan banyak minum

Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x 24 jam,nutrisi kurang teratasi dengan kriteria hasil, Stamina Tenaga Kekuatan

Memonitor nutrisi tubuh,berat badan pasien dalam batas normal adanya penurunan berat badan monitor jumlah nutrisi dan kalori.

J. EVALUASI Dx Catatan perkembangan 1 S: Pasien mengatakan perut sudah tidak sakit lagi O: Suara perut tidak hiperaktif lagi,terdengar paristaltik 1-10/detik A: Masalah teratasi P: Hentikan intervensi S: Pasien mengatakan sudah tidak diare lagi O: Warna feces kuning padat dan tidak cair A: Masalah teratasi P: Hentikan intervensi

S: Pasien mengatakan tidak lesu dan lemah lagi O: Pasien terlihat lebih segar A: Masalah teratasi P: Hentikan intervensi

DAFTAR PUSTAKA Guyton, Arthur C, Fisiologi Manusia dan Mekanisme Panyakit, Edisi 3, Jakarta: EGC, 1997. Perry, Potter. 2005. Fundamental keperawatan, edisi 4, volume 1. Jakarta : EGC Perry, Potter. 2005. Fundamental keperawatan, edisi 4, volume 2. Jakarta : EGC Tarwoto & Wartonah. (2010). Kebutuhan Dasar Manusia Dan Proses Keperawatan. Edisi 4. Salemba Medika : Jakarta

Anda mungkin juga menyukai