Oleh :
Sri Sulastri Maharani
214119071
A. Pengertian
Ketiadaan janin pada berbagai tahap merupakan kematian janin. Berdasarkan
revisi tahun 2003 dari Prosedur Pengkodean Penyebab dari Kematian Janin Berdasarkan
ICD-10, Pusat Statistik Kesehatan Nasional mendefinisikan kematian janin sebagai
”kematian yang terutama berkaitan dengan ekspulsi komplet atau ekstraksi hasil konsepsi
dari Ibu, pada durasi yang tidak dapat diperkirakan di dalam masa kehamilan, dan
merupakan terminasi kehamilan yang tidak diinduksi”. Kematian janin diindikasikan oleh
adanya fakta setelah terjadi ekspulsi atau ekstraksi, janin tidak bernafas atau
menunjukkan tanda-tanda lain dari kehidupan seperti detak jantung, pulsasi umbilical
cord, atau gerakan yang berarti dari otot-otot volunter. Detak jantung tidak termasuk
kontraksi transien dari jantung, respirasi tidak termasuk pernafasan yang sangat cepat
atau “gasping”. Pengertian ini kemudian diklasifikasikan sebagai kematian awal (<20
minggu kehamilan), pertengahan (20-27 minggu kehamilan) dan lambat (>28 minggu
kehamilan) (Kliman, 2004).
Menurut WHO dan The American College Of Obstetricians and Gynecologists yang
disebut kematian janin adalah janin yang mati dalam rahim dengan berat badan 500 gram
atau lebih atau kematian janin dalam rahim pada kehamilan 20 minggu atau lebih.
Kematian janin merupakan hasil akhir dari gangguan pertumbuhan janin, gawat janin, atau
infeksi (Sarwono, 2009).
IUFD adalah kematian intrauterin sebelum seluruh produksi konsepsi manusia
dikeluarkan, ini tidak diakibatkan oleh aborsi terapeutik atau kematian janin juga disebut
kematian intrauterin dan mengakibatkan kelahiran mati. (Wiknjosastro, 2010).
Intra uterin fetal death/ kematian janin dalam rahim yaitu kematian yang terjadi saat
UK lebih dari 20 minggu dimana janin sudah mencapai ukuran 500gr atau lebih.
B. Etiologi
Penyebab dari kematian janin intra uterine yang tidak dapat diketahui sekitar 25-
60%, insiden meningkat seiring dengan peningkatan usia kehamilan. Pada beberapa
kasus yang penyebabnya teridentifikasi dengan jelas, dapat dibedakan berdasarkan
penyebab dari faktor janin, maternal dan patologi dari plasenta (Kliman, 2004).
a. Faktor Ibu
1) Ketidakcocokan Rh darah Ibu dengan janin
Akan timbul masalah bila ibu memiliki Rh negatif, sementara ayah Rh positif,
sehingga janin akan mengikuti yang lebih dominan yaitu Rh positif, yang
berakibat antara ibu dan janin akan mengalami ketidakcocokan Rhesus.
Ketidakcocokan ini akan mempengaruhi kondisi janin tersebut. Misalnya dapat
terjadi kondisi Hidrops fetalis, yaitu suatu reaksi imunologis yang menimbulkan
gambaran klinis pada janin antara lain berupa pembengkakan pada perut akibat
terbentuknya cairan yang berlebihan pada rongga perut (asites), pembengkakan
kulit janin penumpukan cairan di rongga dada atau rongga jantung, dan lain-lain.
Akibat dari penimbunan cairan-cairan yang berlebihan tersebut, tubuh janin akan
membengkak yang dapat berakibat pula darahnya bercampur dengan air. Jika
kondisi demikian terjadi, biasanya janin tidak akan tertolong lagi.
9) Kematian Ibu
Jika terjadi kematian ibu, sudah jelas janin juga akan mengalami kematian,
dikarenakan fungsi tubuh yang seharusnya menopang pertumbuhan janin, tidak
lagi ada.
b. Faktor Janin
2) Kelainan kromosom
Bisa juga disebut penyakit bawaan, misalnya kelainan genetik berat (trisomi).
Kematian janin akibat kelainan genetik biasanya baru terdeteksi pada saat
kematian sudah terjadi, yaitu dari hasil otopsi janin. Hal ini disebabkan karena
pemeriksaan kromosom saat janin masih dalam kandungan beresiko tinggi dan
memakan biaya banyak.
4) Malformasi janin
Pada janin yang mengalami malformasi, berarti pembentukan organ janin tidak
berlangsung dengan sempurna. Karena ketidaksempurnaan inilah suplai yang
dibutuhkan janin tidak terpenuhi, sehingga kesejahteraan janin menjadi buruk
dan bahkan akan menyebabkan kematian pada janin.
5) Kehamilan multiple
Pada kehamilan multiple ini resiko kematian maternal maupun perinatal
meningkat. Berat badan janin lebih rendah dibanding janin pada kehamilan
tunggal pada usia kehamilan yang sama (bahkan perbedaannya bisa sampai
1000-1500 g). Hal ini bisa disebabkan regangan uterus yang berlebihan sehingga
sirkulasi plasenta juga tidak lancar. Jika ketidaklancaran ini berlangsung hingga
keadaan yang parah, suplai janin tidak terpenuhi dan pada akhirnya akan
menyebabkan kematian janin.
2) Involusi Uterus
Setelah bayi dilahirkan, uterus yang selama persalinan mengalami
kontraksi dan retraksi akan menjadi keras, sehingga dapat menutup
pembuluh darah besar yang bermuara pada bekas implantasi plasenta. Otot
rahim terdiri dari 3 lapis otot yang membentuk anyaman sehingga pembuluh
darah dapat tertutup sempurna, dengan demikian terhindari dari perdarahan
post partum.
Pada involusi uteri, jaringan ikat dan jaringan otot mengalami proses
proteolitik, berangsur-angsur akan mengecil sehingga pada akhir kala nifas
besarnya seperti semula dengan berat 30 gram. Proses proteolitik adalah
pemecahan protein yang akan dikeluarkan melalui urine. Dengan
penimbunan air saat hamil akan terjadi pengeluaran urine setelah
persalinan, sehingga hasil pemecahan protein dapat dikeluarkan. Adapun
proses involusi uteri adalah sebagai berikut (Manuaba, 2007).
Involusi Tinggi Fundus Berat uterus
Plasenta lahir Sepusat 1000 gram
7 hari (1 Minggu) Pertengahan pusat simfisis 500 gram
14 hari (2 Minggu) Tak teraba 350 gram
42 hari (6 Minggu) Sebesar hamil 2 minggu 50 gram
56 hari (8 Minggu) Normal 20 gram
6) Serviks
Serviks mengalami involusi bersama-sama uterus. Setelah
persalinan, ostium eksterna dapat dimasuki oleh dua hingga tiga jari tangan,
setelah 6 minggu post natal, serviks menutup Luka sembuh setelah sekitar
6 - 7 hari, dan terbentuk rugae pada minggu ke tiga.. Karena robekan kecil-
kecil yang terjadi selama dilatasi, serviks tidak pernah kembali keadaan
sebelum hamil (nulipara) yang berupa lubang kecil seperti jarum, serviks
hanya kembali pada keadaan tidak hamil yang berupa lubang yang sudah
sembuh, tertutup tapi bentuk celah. Dengan demikian os servisis wanita
yang sudah pernah melahirkan merupakan salah satu tanda yang
menunjukkan riwayat kelahiran bayi lewat vagina.
7) Vulva dan Vagina
Vulva dan vagina mengalami penekanan serta peradangan yang
sangat besar selama proses melahirkan tersebut, kedua organ ini tetap
berada dalam keadaan kendur, setelah 3 minggu, vulva dan vagina kembali
pada keadaan tidak hamil dan rugae dalam vagina secara berangsur-angsur
akan muncul kembali sementara labia menjadi lebih menonjol. Himen
mengalami ruptur pada saat melahirkan bayi pervagina dan yang tersisa
hanya sissa-sisa kulit yang disebut karunkulae mirtiformis. Orifisium vagina
biasanya tetap sedikit membuka setelah wanita tersebut memiliki anak.
8) Perineum
Setelah melahirkan, perineum menjadi kendur karena sebelumnya
teregnggang oleh tekanan kepala bayi yang bergerak maju. Pada post natal
hari kelima, perineum sudah mendapatkan kembali sebagian besar tonusnya
sekalipun tetap lebih kendur daripada keadaan sebelum melahirkan
(nulipara). Relaksasi dasar panggul dan otot-otot abdomen juga dapat
bertahan. Yang perlu diawasi pada perineum:
a) Redness yaitu warna merah pada daerah vulva dan perineum.
b) Edema yaitu ada atau tidaknya penimbunan cairan secara berlebihan
pada derah vulva atau perineum.
c) Enchymosis atau lebam yaitu ada atau tidaknya perubahan warna kulit
menjadi biru gelap karena ada penimbunan darah.
d) Drainase yaitu aliran dari pengeluaran lokhea dilihat dari warna, bau,
jenis, dan banyaknya.
e) Aproximate yaitu perlekatan jahitan pada daerah perineum.
1. Laserasi atau robekan perineum
f) Derajat 1, melalui mukosa vagina, komisura posterior, dan kulit
perineum
g) Derajat 2, melalui mukosa vagina, komisura posterior, kulit perineum
dan otot perineum
h) Derajat 3, melalui mukosa vagina, komisura posterior, kulit perineum,
otot perineum dan sfingter ani
i) Derajat 4, melalui mukosa vagina, komisura posterior, kulit perineum,
otot perineum, sfingter ani dan dinding depan rectum.
b. Traktus Urinarius
Buang air kecil seringa sulit selama 24 jam pertama. Kemungkinan
terdapat spasme sfinter dan edema leher buli-buli sesudah bagian ini mengalami
kompresi antara kepala janin dan tulang pubis selama persalinan. Urin dalam
jumlah yang besar akan dihasilkan dalam waktu 12-36 jam sesudah melahirkan.
Setelah plasenta dilahirkan, kadar hormon estrogen yang bersifat menahan air
akan mengalami penurunan yang mencolok. Keadaan ini menyebabkan diuresis.
Uterus yang berdilatasi akan kembali normal dalam tempo 6 minggu.
c. Sistem Gastrointestinal
Kerap kali diperlukan waktu 3-4 hari sebelum faal usus kembali normal.
Meskipun keadaan progesteron menurun setelah melahirkan. Namun asupan
makanan juga mengalami penurunan selama satu atau dua hari. Gerak tubuh
berkurang dan usus bagian bawah sering kosong jika sebelum melahirkan diberi
enema. Rasa sakit didaerah perineum dapat menghalangi keinginan kebelakang
antara 2 – 3 hari.
d. Sistem Kardiovaskuler
Saat hamil terjadi peningkatan 1.000 sampai 1.500 ml, kemudian saat
partus kehilangan darah pervaginam sekitar 300 – 400 ml dan cesare sekitar 600-
800ml. frekuensi nadi meningkat selama kehamilan, dan tetap meningkat selama
48 jam post parum, kemudian menurun dengan cepat dalam 2 minggu, dan
kembali ke level sebelum hamil dalam 24 minggu.
Nadi umumnya 60-80 denyut permenit dan segera setelah partus dapat
terjadi takikardi. Bila terdapat takikardi dan badan tidak panas mungkin ada
perdarahan berlebihan atau ada penyakit jantung. Pada masa nifas umumnya
denyut nadi lebih labil dibanding suhu. Pada minggu ke-8 sampai ke-10 setelah
melahirkan, denyut nadi kembali ke frekuensi sebelum hamil.
Setelah terjadi diuresis yang mencolok akibat penurunan kadar estrogen,
volume darah kembali kepada keadaan tidak hamil. Jumlah sel darah merah dan
kadar haemoglobin kembali normal pada hari keliama. Meskipun kadar estrogen
mengalami penurunan yang sangat besar selama masa nifas, namun kadarnya
masih tetap lebih tinggi dari pada normal. Plasma darah tidak begitu
mengandung cairan dan dengan demikian daya koagulasi meningkat.
Pembekuan darah harus dicegah dengan penanganan yang cermat dan
penekanan pada ambulasi dini.
Hematokrit dan hemoglobin 72 jam setelah melahirkan terjadi kehilangan
volume plasma yang lebih besar dari sel darah yang kemudian akan kembali
meningkat pada 7 hari setelah melahirkan.
e. Sistem Muskoloskeletal
Adaptasi ini mencakup hal-hal yang membantu relaksasi dan
hipermobilitas sendi dan perubahan pusat berat ibu akibat pembesaran rahim.
Stabilisasi sendi lengkap pada minggu keenam sampai ke-8 setelah wanita
melahirkan.
f. Sistem Integument
Kloasma yang muncul pada masa kehamilan biasanya menghilang saat
kehamilan berakhir. Hiperpigmentasi diareola dan linea nigra tidak menghilang
seluruhnya. Kulit yang meregang pada payudara, abdomen, paha dan panggul
mungkin memudar tapi tidak hilang seluruhnya.
g. Sistem Hormonal
1) Oxytoxin
Oxytoxin disekresi oleh kelenjar hipofise posterior dan bereaksi pada
otot uterus dan jaringan payudara. Selama kala tiga persalinan aksi oxytoxin
menyebabkan pelepasan plasenta. Setelah itu oxytoxin beraksi untuk
kestabilan kontraksi uterus, memperkecil bekas tempat perlekatan plasenta
dan mencegah perdarahan. Pada wanita yang memilih untuk menyusui
bayinya, isapan bayi menstimulasi ekskresi oxytoxin diamna keadaan ini
membantu kelanjutan involusi uterus dan pengeluaran susu. Setelah
placenta lahir, sirkulasi HCG, estrogen, progesteron dan hormon laktogen
placenta menurun cepat, keadaan ini menyebabkan perubahan fisiologis
pada ibu nifas.
2) Prolaktin
Penurunan estrogen menyebabkan prolaktin yang disekresi oleh
glandula hipofise anterior bereaksi pada alveolus payudara dan merangsang
produksi susu. Pada wanita yang menyusui kadar prolaktin terus tinggi dan
pengeluaran FSH di ovarium ditekan. Pada wanita yang tidak menyusui
kadar prolaktin turun pada hari ke 14 sampai 21 post partum dan penurunan
ini mengakibatkan FSH disekresi kelenjar hipofise anterior untuk bereaksi
pada ovarium yang menyebabkan pengeluaran estrogen dan progesteron
dalam kadar normal, perkembangan normal folikel de graaf, ovulasi dan
menstruasi.
3) Payudara dan proses Laktasi
Perubahan-perubahan pada kelenjar mamae sudah terjadi sejak dari
kehamilan yaitu proliferasi jaringan pada kelenjar-kelenjar alveoli dan
jaringan lemak bertambah keluaran cairan susu dari duktus laktiferus disebut
colostrums berwarna kuning putih susu, hipervaskularisasi pada permukaan
dan bagian dalam dimana vena berdilatasi sehingga tampak jelas.
Selama kehamilan hormon estrogen dan progestron merangsang
pertumbuhan kelenjar susu sedangkan progesteron merangsang
pertumbuhan saluran kelenjar, kedua hormon ini mengerem Lactogenic
Hormone (LTH). Setelah plasenta lahir maka LTH dengan bebas dapat
merangsang laktasi. Lobus prosterior hypofise mengeluarkan oxytoxin yang
merangsang pengeluaran air susu. Pengeluaran air susu adalah reflek yang
ditimbulkan oleh rangsangan penghisapan puting susu oleh bayi. Rangsang
ini menuju ke hypofise dan menghasilkan oxtocin yang menyebabkan buah
dada mengeluarkan air susunya.
Pada hari ke 3 postpartum, buah dada menjadi besar, keras dan
nyeri. Ini menandai permulaan sekresi air susu, dan kalau areola mammae
dipijat, keluarlah cairan puting dari puting susu. Air susu ibu kurang lebih
mengandung Protein 1-2 %, lemak 3-5 %, gula 6,5-8 %, garam 0,1 – 0,2 %.
Hal yang mempengaruhi susunan air susu adalah diit, gerak badan.
Banyaknya ASI sangat tergantung pada cairan serta makanan yang
dikonsumsi ibu (Obsetri Fisiologi UNPAD, 1983).
Pengaruh oksitosin menyebabkan mioefitel kelenjar susu
berkontraksi sehingga air susu keluar. Pada hari pertama sampai hari ketiga
setelah bayi lahir disebut kolostrum warna kekuningan dan agak kental.
Kolostrum kaya akan protein immunoglobulin yang mengandung antibodi
sehingga menambah kekebalan anak terhadap penyakit dan laktoferin, ASI
masa transisi dihasilkan mulai hari keempat sampai hari kesepuluh, dan ASI
matur dihasilkan mulai hari kesepuluh
Pada ibu yang menyusui payudara terasa hangat dan keras, selama
hari ke 1-3 telah diproduksi kolostum. Pada ibu tidak menyusui prolaktin akan
menurun dan pada 3 -4 hari postpartum terjadi engorgement,
ketidaknyamanan akan berkurang dalam 24- 36 jam, kemudian ASI berhenti
dalam beberapa hari hingga minggu.
3. Adaptasi Psikologis
a. Periode Taking In
Pada masa ini ibu pasif dan tergantung, energi difokuskan pada
perubahan tubuh, ibu sering mengulang kembali pengalaman persalinan. Nutrisi
tambahan mungkin diperlukan karena selera makan ibu meningkat. Periode ini
berlangsung 1-2 hari setelah melahirkan.
b. Periode Taking Hold
Pada masa ini ibu menaruh perhatiannya pada kemampuannya untuk
menjadi orang tua yang berhasil dan menerima peningkatan tanggung jawab
terhadap bayinya, ibu berusaha untuk terampil dalam perawatan bayi baru lahir,
dan berusaha untuk mengatasi ketidaknyamanan fisik serta perubahan
emosional. Periode ini berlangsung 2-4 hari setelah melahirkan. Perubahan yang
mendadak dan dramatis pada status hormonal menyebabkan Ibu yang berada
dalam masa nifas menjadi sensitif terhadap faktor-faktor yang dalam keadaan
normal mampu diatasinya. Disamping perubahan hormonal, cadangan fisiknya
sering sesudah terkuras oleh tuntutan kehamilan serta persalinan, keadaan
kurang tidur, dan lingkungan yang asing.
Depresi ringan yang dalam bahasa inggris dikenal dengan istilah 4th day
bluess (kemurungan hari keempat). Sering terjadi dan banyak ibu yang baru
pertama kali mempunyai anak mendapati dirinya menangis, paling tidak satu kali,
hanya karena masalah yang sering sepele. Sebagian Ibu merasa tidak berdaya
dalam waktu singkat, namun perasaan ini umumnya menghilang setelah
kepercayaan pada diri mereka dan bayinya tumbuh. Apabila depresi dan
insomnia bertahan lebih dari 1 atau 2 hari, pasen harus dirujuk sebagian psikiatri
untuk menyingkirkan kemungkinan psikosis nifas.
c. Periode Letting Go
Umumnya terjadi setelah ibu baru kembali ke rumah, ibu menerima
tanggung jawab untuk merawat bayi baru lahir, ibu harus beradaptasi terhadap
otonomi, kemandirian dan interaksi sosial.
G. Penatalaksanaan Klinik
Ketika janin berada di dalam uterus selama 3-4 minggu, level fibrinogen bisa turun
yang dapat menyebabkan koagulopati. Hal ini sangat jarang terjadi pada kehamilan
tunggal karena penegakan diagnosa dan induksi yang dilakukan lebih awal. Pada
beberapa kasus kehamilan kembar, tergantung dari tipe plasentasi, induksi setelah
kematian kedua janin mungkin dapat menghambat perkembangan janin menjadi matur.
Pada kasus ini beberapa spesialis anak tidak merekomendasikan untuk memeriksakan
koagulasi darah. Secara umum, resiko berkembangnya disseminated intravascular
coagulopathy sangat jarang (Kliman, 2004).
Kematian janin awal dapat ditangani dengan pemberian laminaria diikuti oleh
dilatasi dan ekstraksi. Pada wanita dengan kematian janin sebelum usia kehamilan kurang
dari 28 minggu, induksi dapat dilakukan dengan menggunakan prostaglandin E2 vaginal
suppositoria (10-20 mg tiap 4-6 jam), misoprostol pervaginal atau per oral (400 mcg tiap
4-6 jam), dan/atau oxytocin (terutama bagi wanita dengan sectio caessaria). Pada wanita
dengan kematian janin pada usia kehamilan setelah 28 minggu, harus menggunakan
dosis yang lebih rendah. The American College of Obstetricians and Gynaecologists
mengatakan bahwa untuk induksi kelahiran prostaglandin E2 dan misoprostol hendaknya
tidak digunakan pada wanita denga riwayat sectio caessaria karena resiko terjadinya
ruptur uteri (Kliman, 2004).
Penanganan rasa nyeri pada pasien dengan induksi kelahiran untuk kasus kematian
janin lebih mudah ditangani dibandingkan dengan pasien dengan janin yang masih hidup.
Narkotik dengan dosis yang lebih tinggi bermanfaat untuk pasien, dan pemberian morfin
biasanya cukup efektif untuk pengendalian rasa nyeri (Kliman, 2004).
Komplikasi yang mungkin terjadi pada ibu hamil dengan IUFD dapat terjadi bila janin
yang sudah meninggal tidak segera dilahirkan lebih dari 2 minggu. Akan tetapi, kasus
janin yang meninggal dan tetap berada di rahim ibu lebih dari 2 minggu sangat jarang
terjadi. Hal ini dikarenakan biasanya tubuh ibu sendiri akan melakukan penolakan bila
janin mati, sehingga timbullah proses persalinan. Adapun komplikasi yang mungkin terjadi
adalah sebagai berikut:
Oleh karena adanya komplikasi akibat IUFD, maka janin yang telah meninggal
harus segera dilahirkan. Proses kelahiran harus segera dilkukan secara normal, karena
bila melalui operasi akan terlalu merugikan ibu. Operasi hanya dilakukan jika ada
halangan untuk melahirkan normal. Misalnya janin meninggal dalam posisi melintang atau
karena ibu mengalami preeklampsia.
2. Pemeriksaan fisik
a. Jelaskan prosedur tindakan kepada Ibu
Key point: Menerangkan apa kegunaan pemeriksaan fisik pada ibu nifas
b. Periksa Tanda Tanda Vital ibu
Key Point:
1) Pemeriksaan tekanan darah
Segera setelah melahirkan, banyak wanita mengalami peningkatan
sementara tekanan darah sistolik dan diastolik, yang kembali secara spontan
kanan darah sebelum hamil selama beberapa hari bidan bertanggung jawab
mengkaji resiko preeklamsi pascaparum, komplikasi yang relatif jarang,
tetapi serius, jika peningkatan tekanan darah signifikan. Tekanan darah
normal 120/80 mmHg
2) Pemeriksaan suhu
Suhu badan pasca persalinan (periode intrapartum) dapat naik lebih
dari 0,5°C dari keadaan normal dan stabil dalam 24 jam pertama
pascapartum. Tetapi tidak lebih dari 39°C sesudah 12 jam pertama setelah
melahirkan. Umumnya suhu badan kembali normal. Bila lebih dari 38°C
kemungkinan ada infeksi. Suhu Normal 36-37’C.
3) Pemeriksaan nadi
Denyut nadi meningkat selama persalinan akhir, kemabali normal
setelah beberapa jam pertama pascapartum. Hemoragi, demam selama
persalinan, dan nyeri akut atau persisten dapat mempengaruhi proses ini.
Nadi umumnya 60-80 x/menit dan segera setelah partus dapat terjadi
takikardi. Bila terdapat takikardi dan badan tidak panas mungkin ada
perdarahan berlebihan/penyakit jantung. Apabila denyut nadi di atas 100
selama puerperium, hal tersebut abnormal dan mungkin menunjukkan
adanya infeksi atau hemoragi pascapartum lambat. Pada nifas umumnya
denyut nadi lebih labil dibanding suhu badan. Nadi normal 60-90 kali per
menit.
4) Pemeriksaan pernafasan
Fungsi pernafasan kembali pada rentang normal wanita selama jam
pertama pascapartum. Nafas pendek, cepat, atau perubahan lain
memerlukan evaluasi adanya kondisi – kondisi seperti kelebihan cairan,
seperti eksaserbasi asma, dan emboli paru. Nafas normal 16-24 kali
permenit.
c. Payudara
Key Point:
1) Adanya pembesaran atau tidak
2) Putting susu menonjol atau tidak
3) Simetris atau tidak
4) Aerola hiperpigmentasi atau tidak, bersih atau tidak
5) Pengeluaran kolostrum ada atau tidak
d. Punggung dan pinggang
Key Point:
1) Simetris atau tidak
2) Apakah terjadi skoliosis, lordosis dan kifosis atau tidak
e. Posisi tulang belakang
Key point:
1) Simetris atau tidak
2) Ada kelainan atau tidak
f. Ekstermitas atas dan bawah
Key point:
1) Oedema atau tidak
2) Ada kemerahan atau tidak
3) Varises atau tidak
g. Abdomen
Key point:
1) Ada bekas luka operasi atau tidak
2) Kandung kemih kosong atau tidak
Miksi harus secepatnya dapat dilakukan sendiri. Bila kandung kemih
dapat dilakukan kateterisasi. Untuk mengistirahatkan otot-otot kandung
kencing sehingga kelancaran kedua sistem tersebut berlangsung dengan
baik BAB harus dilakukan setelah 2 hari PP.
h. Vulva
Key point:
1) Apakah vulva bersih atau tidak
2) Apakan ada pengeluaran darah dan cairan lain atau tidak
I. Analisa Data
J. Diagnosa Keperawatan
Tindakan/Intervensi Rasional
Mandiri
Berikan ruang pribadi bila klien Tempat dimana keluarga dan teman
menginginkannya, dengan kontak yang dapat bicara dan berbagi perasaan
sering oleh perawat. Anjurkan dengan leluasa, sehingga
kunjungan yang tidak terbatas oleh meningkatkan perasaan kekeluargaan
keluarga dan teman. dan membantu menghadapi proses
berduka.
Libatkan pasangan dalam perencanaan Partisipasi dalam perencanaan dan
dan perawatan. Beri kesempatan pembuatan keputusan membantu
pasangan untuk bersama. sekali dalam memilih tindakan atau
keputusan yang tepat sesuai kondisi
klien.
Kaji pengetahuan klien/pasangan dan Menghindari pemahaman yang salah
interpretasi terhadap kejadian sekitar terhadap kejadian sekitar kematian
kematian janin/bayi. Berikan informasi janin/bayi.
dan perbaiki kesalahan konsep Sering, setelah kematian anak, orang
berdasarkan kesiapan pasangan dan tua berespon syok, menyangkal, atau
kemampuan untuk mendengarkan tidak percaya. Reaksi ini dapat
secara efektif mengganggu pemberian informasi.
Tentukan makna kehilangan terhadap Luas dan durasi respon berduka dapat
kedua anggota pasangan. Perhatikan tergantung pada makna kehilangan.
bagaimana kuatnya pasangan
menginginkan kehamilan ini.
Identifikasi ekspresi sesuai tahap-tahap Perawat membantu dalam menghadapi
berduka (misal: menyangkal, marah, tahap berduka dengan waktu yang
menawar, depresi, menerima). secepat mungkin. Bila berduka tidak
Gunakan ketrampilan komunikasi segera selesai, akan mengganggu
terapeutik (misal: mendengar secara kehidupan selanjutnya.
aktif, pengakuan), menghargai
permintaan klien untuk tidak bicara.
Akui apa yang telah terjadi, kuatkan Meningkatkan kemampuan dalam
realita situasi dan anjurkan diskusi dan menghadapi kenyataan/kehilangan.
ekspresi perasaan klien
Diskusikan respon antisipasi secara Membantu pasangan untuk mengenali
fisik dan emosi kehilangan. bahwa respon mereka sebelum dan
Evaluasi ketrampilan koping. berikutnya adalah normal. Berduka
Perhatikan keyakinan religius dan latar merupakan hal yang individual, dan
belakang budaya. luas serta sifat dari respon dipengaruhi
oleh sifat kepribadian, ketrampilan
koping masa lalu, keyakinan religius,
dan latar belakang budaya.
Perhatikan tingkat aktivitas klien, pola Hal ini mungkin terabaikan karena
tidur, nafsu makan, dan hygiene proses berduka dan derajat depresi.
personal. Pola tidur mungkin terganggu,
menimbulkan kelelahan dan
ketidakmampuan lanjut untuk
mengatasi distress.
Kolaborasi
Hubungi tokoh agama, sesuai Untuk pemberian nasehat dari segi
keinginan keluarga. agama dalam membantu menghadapi
proses berduka.
Rujuk pada psikiatri jika perlu. Konseling atau terapi mungkin perlu
pada kasus berduka patologis untuk
membantu individu mengidentifikasi
kemungkinan penyebab reaksi
abnormal dan mencapai resolusi
proses berduka.
2. Kurang pengetahuan, mengenai kehilangan perinatal berhubungan dengan
kurangnya informasi, kesalahan interpretasi informasi.
Hasil yang diharapkan:
- Membedakan penyebab kematian yang dapat diantisipasi dan yang tidak dapat
diantisipasi.
- Mengungkapkan pemahaman alasan dari kehilangan bila diketahui.
- Mendiskusikan kemungkinan efek jangka pendek dan jangka panjang dari
kehilangan.
Intervensi/tindakan keperawatan:
Tindakan/Intervensi Rasional
Mandiri
Kaji kesiapan dan kemampuan Respon emosional dapat
keluarga untuk menyerap dan mempengaruhi kemampuan untuk
memahami informasi. mendengar dan memproses informasi
Identifikasi prioritas keluarga dalam Keluarga mempunyai perbedaan
memberikan informasi. kebutuhan untuk informasi, tergantung
pada tahap perkembangan keluarga
dan penyebab kematian intra uteri,
karena faktor eksternal, atau karena
masalah genetik.
Identifikasi persepsi klien / pasangan Ketidakakuratan persepsi perlu dikaji
tentang kejadian, dan perbaiki secara kontinyu dan informasi yang
kesalahpahaman sesuai indikasi. valid diulangi.
3. Resiko harga diri, rendah berhubungan dengan kegagalan yang dirasakan pada
kejadian hidup.
Hasil yang diharapkan:
Tindakan/Intervensi Rasional
Mandiri
Tentukan persepsi diri dan pasangan Kehilangan kehamilan sering
sebagai individu dan orang tua. dihubungkan dengan perasaan tidak
Evaluasi respon keluarga terhadap adekuat, tidak berdaya, dan tidak
kehilangan, perhatikan kesalahan yang berharga, yang secara langsung
dibuat oleh keluarga. mempengaruhi perasaan diri dan
kemungkinan menghancurkan harga
diri seseorang sebagai orang tua.
Berikan kesempatan untuk Pengungkapan kehilangan
mengungkapkan, menyalurkan emosi memberikan kesempatan untuk
dan menangis. penerimaan yang diperlukan,
emmbantu orang tua untuk menyaring
dengan seksama, dan memvalidasi
perasaan normal orang tua tentang
ketidakberdayaan dan
ketidakadekuatan.
Berikan penguatan positif untuk Membantu dalam koping kesedihan
mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan terhadap situasi. Membantu orang tua
dan masalah-masalah. menerima diri mereka sendiri sebagai
manusia yang berharga.
DAFTAR PUSTAKA
Manuaba. 2007. Ilmu Kebidanan, Penyakit kandungan, dan keluarga Berencana untuk Pendidikan
Bidan.Jakarta:EGC
Hafifah. (2011). Laporan Pendahuluan pada Pasien dengan Persalinan Normal. Dimuat
dalam http:///D:/MATERNITY%20NURSING/LP%20PERSALINAN/laporan-pendahuluan-pada-
pasien-dengan.html
Surasno. (2015). Laporan Pendahuluan Postpartum. Diakses pada tanggal 9 Desember 2018 dimuat
dalam https://www.academia.edu/17483404/LP_POST_PARTUM_Spontan
Wiknjosarto,H. (2002). Ilmu Kebidanan. Jakarta:Yayasan Bina Pustaka