Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

POST CHOLELHITIASIS PADA NY. N


DI RUANG CAMAR RSPAU dr. S. HARDJOLUKITO

Disusun Guna Memenuhi Tugas Individu Stase Keperawatan Medikal Bedah

Disusun Oleh :
Nama : Putri Rizki Hariani
NIM : 24191360

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
SURYA GLOBAL YOGYAKARTA
TAHUN 2020
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
SURYA GLOBAL YOGYAKARTA
PROGRAM STUDI PROFESI NERS ANGKATAN XXV

LEMBAR PENGESAHAN

Telah disahkan “Laporan dan Asuhan Keperawatan Cholelhitiasis pada Ny.


N di Ruang Camar RSPAU dr. S. Hardjolukito” guna memenuhi tugas
Individu Stase Keperawatan Medikal Bedah Pendidikan Profesi Ners
STIKes Surya Global Yogyakarta Tahun 2020

Yogyakarta, Oktober 2020

Diajukan Oleh:
Putri Rizki Hariani
NIM : 24191360

Mengetahui,
Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

(Ns., Ani Mashunatul M., S.Kep., M.Kep.) (Ns., Ika Kristiyana, S.Kep.)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


SURYA GLOBAL YOGYAKARTA
PROGRAM STUDI PROFESI NERS ANGKATAN XXV

LEMBAR PENGESAHAN

Telah disahkan “Laporan dan Asuhan Keperawatan Cholelhitiasis pada Ny.


N di Ruang Camar RSPAU dr. S. Hardjolukito” guna memenuhi tugas
Individu Stase Keperawatan Medikal Bedah Pendidikan Profesi Ners
STIKes Surya Global Yogyakarta Tahun 2020

Yogyakarta, Oktober 2020

Diajukan Oleh:
Putri Rizki Hariani
NIM : 24191360

Mengetahui,
Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

(Ns., Ani Mashunatul M., S.Kep., M.Kep.) (Ns., Cahayani Utami Putri, S.Kep.)

LAPORAN PENDAHULUAN
PADA PASIEN DENGAN CHOLELHITIASIS
A. Definisi
Batu empedu atau cholelithiasis adalah timbunan kristal di dalam kandung
empedu atau di dalam saluran empedu atau kedua-duanya. Batu kandung
empedu merupakan gabungan beberapa unsur dari cairan empedu yang
mengendap dan membentuk suatu material mirip batu di dalam kandung
empedu atau saluran empedu. Komponen utama dari cairan empedu adalah
bilirubin, garam empedu, fosfolipid dan kolesterol. Batu yang ditemukan di
dalam kandung empedu bisa berupa batu kolesterol, batu pigmen yaitu coklat
atau pigmen hitam, atau batu campuran.
Kolelitiasis atau koledokolitiasis merupakan adanya batu di kandung
empedu, atau pada saluran kandung empedu yang apda umumnya komposiis
utamanya adalah kolesterol (Williams, 2003 dalam Nurarif A., dan Kusuma
H., 2015)
Kolelitiasis disebut juga batu empedu, gallstones, biliary calculus. Istilah
kolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu.
Batu kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsur yang
membentuk suatu material mirip batu yang terbentuk di dalam kandung
empedu. Batu empedu adalah timbunan kristal di dalam kandung empedu
atau di dalam saluran empedu. Batu yang ditemukan di dalam kandung
empedu disebut kolelitiasis, sedangkan batu di dalam saluran empedu disebut
koledokolitiasis (Nucleus Precise Newsletter, edisi 72, 2011).

B. Etiologi
Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna namun
yang paling penting adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh
perubahan susunan empedu, stasis empedu dan infeksi kandung empedu.
Batu empedu dapat terjadi dengan atau tanpa factor resiko dibawah ini.
Namun, semakin banyak factor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar
kemungkinan untuk terjadinya batu empedu.
1. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena batu empedu
dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormone esterogen
berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung
empedu. Kehamilan, yang meningkatkan kadar esterogen juga
meningkatkan resiko terkena batu empedu. Penggunaan pil kontrasepsi
dan terapi hormone (esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam
kandung empedu dan penurunan aktivitis pengosongan kandung empedu.
2. Usia
Resiko untuk terkena batu empedu meningkat sejalan dengan
bertambahnya usia. Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk
terkena batu empedu dibandingkan dengan orang usia yang lebih muda
3. Berat badan (BMI)
Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih
tinggi untuk terjadi batu empedu. Ini dikarenakan dengan tingginy BMI
maka kadar kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga
mengurasi garam empedu serta mengurangi kontraksi/pengosongan
kandung empedu.
4. Makanan
Intake rendah klorida, kehilangan berat yang cepat (seperti setelah operasi
gastrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari
empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.
5. Riwayat keluarga
Orang dengan riwayat keluarga batu empedu mempunyai resiko lebih
besar dibandingkan dengan tanpa riwayat keluarga
6. Aktifitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhubungan dengan peningkatan resiko terjadi
batu empedu. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit
berkontraksi.
7. Penyakit usus halus
Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan batu empedu adalah crhon
disease, diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik
8. Nutrisi intravena jangka lama
Nutirisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak
terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/nutrisi yang
melewati intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi
meningkat dalam kandung empedu.

C. Manifestasi Klinis
1. Nyeri daerah midepigastrium
2. Mual dan muntah
3. Tachycardia
4. Diaphoresis
5. Demam
6. Flatus, rasa beban epigastrium, heart burn
7. Nyeri abdominal atas kronik
8. Jaundice

D. Patofisiologi
Batu empedu yang ditemukan pada kandung empedu di klasifikasikan
berdasarkan bahan pembentuknya sebagai batu kolesterol, batu pigmen dan
batu campuran. Lebih dari 90 % batu empedu adalah kolesterol (batu yang
mengandung > 50% kolesterol) atau batu campuran ( batu yang mengandung
20-50% kolesterol). 10 % sisanya adalah batu jenis pigmen, yang mana
mengandung <20% kolesterol. Faktor yang mempengaruhi pembentukan batu
antara lain adalah keadaan stasis kandung empedu, pengosongan kandung
empedu yang tidak sempurna dan kosentrasi kalsium dalam kandung
empedu.Batu kandung empedu merupakan gabungan material mirip batu
yang terbentuk di dalam kandung empedu.
Pada keadaan normal, asam empedu, lesitin dan fosfolipid membantu
dalam menjaga solubilitas empedu. Bila empedu menjadi bersaturasi tinggi
(supersaturated) oleh substansi berpengaruh (kolesterol, kalsium, bilirubin),
akan berkristalisasi dan membentuk nidus untuk pembentukan batu. Kristal
yang terbentuk dalam kandung empedu, kemudian lama kelamaan tersebut
bertambah ukuran, beragregasi, melebur dan membentuk batu. Factor
motilitas kandung empedu dan biliary stasis merupakan predisposisi
pembentukan batu campuran.

E. Pathway

F. Komplikasi
Komplikasi dari kolelitiasis diantaranya adalah :
1. Empiema kandung empedu, terjadi akibat perkembangan kolesistitis akut
dengan sumbatan duktus sistikus persisten menjadi superinfeksi empedu
yang tersumbat disertai kuman kuman pembentuk pus.
2. Hidrops atau mukokel kandung empedu terjadi akibat sumbatan
berkepanjangan duktus sitikus.
3. Gangren, gangrene kandung empedu menimbulkan iskemia dinding dan
nekrosis jaringan berbercak atau total.
4. Perforasi : Perforasi lokal biasanya tertahan oleh adhesi yang ditimbulkan
oleh peradangan berulang kandung empedu. Perforasi bebas lebih jarang
terjadi tetapi mengakibatkan kematian sekitar 30%.
5. Pembentukan fistula
6. Ileus batu empedu : obstruksi intestinal mekanik yang diakibatkan oleh
lintasan batu empedu yang besar kedalam lumen usus.
7. Empedu limau (susu kalsium) dan kandung empedu porcelain.

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Sinar-X Abdomen
Pemeriksaaan sinar-X abdomen dapat dilakukan jika terdapat kecurigaan
akan penyakit kandung empedu dan untuk menyingkirkan penyebab gejala
yang lain. Namun demikian, hanya 15% hingga 20% batu empedu yang
mengalami cukup kalsifikasi untuk dapat tampak melalui pemeriksaan
sinar-X.
2. Ultrasonografi.
Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai prosedur
diagnostic pilihan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat
serta akurat, dan dapat digunakan pada penderita disfungsi hati dan ikterus.
Disamping itu, pemeriksaan USG tidak membuat pasien terpajan radiasi
ionisasi. Prosedur ini akan memberikan hasil yang paling akurat jika
pasien sudah berpuasa pada malam harinya sehingga kandung empedunya
berada dalam keadaan distensi. Penggunaan ultrasound berdasarkan pada
gelombang suara yang dipantulkan kembali. Pemeriksaan USG dapat
mendeteksi kalkuli dalam kandung empedu atau duktus koledokus yang
mengalami dilatasi. Dilaporkan bahwa USG mendeteksi batu empedu
dengan akurasi 95%.
3. Pemeriksaan Radionuklida atau Koleskintografi
Koleskintografi telah berhasil dalam membantu menegakkan diagnosis
kolelisistitis. Dalam prosedur ini, preparat radioaktif disuntikkan melalui
intravena. Preparat ini kemudian diambil oleh hepatosit dan dengan cepat
diekskresikan dalam system bilier. Selanjutnya dilakukan pemindaian
saluran empedu untuk mendapatkan gambar kandung empedu dan
percabangan bilier. Pemeriksaan ini lebih mahal daripada USG,
memerlukan waktu yang lebih lama untuk mengerjakannya, membuat
pasien terpajan sinar radiasi, dan tidak dapat mendeteksi batu empedu.
Penggunaannya terbatas pada kasus-kasus yang dengan pemeriksaan USG,
diagnosisnya masih belum dapat disimpulkan.
4. Kolesistografi.
Meskipun sudah digantikan dengan USG sebagai pemeriksaan pilihan,
kolesistografi masih digunakan jika alat USG tidak tersedia atau bila hasil
USG meragukan. Kolangiografi oral dapat dilakukan untuk mendeteksi
batu empedu dan mengkaji kemampuan kandung empedu untuk
melakukan pengisian, memekatkan isinya, berkontraksi serta
mengosongkan isinya. Media kontras yang mengandung iodium yang
diekskresikan oleh hati dan dipekatkan dalam kandung empedu diberikan
kepada pasien. Kandung empedu yang normal akan terisi oleh bahan
radiopaque ini. Jika terdapat batu empedu, bayangannya akan tampak pada
foto rontgen.
Preparat yang diberikan sebagai bahan kontras mencakup asam iopanoat
(Telepaque), iodipamie meglumine (Cholografin) dan sodium ipodat
(Oragrafin). Semua preparat ini diberikan dalam dosis oral, 10-12 jam
sebelum dilakukan pemeriksaan sinar-X. sesudah diberikan preparat
kontras, pasien tidak boleh mengkonsumsi apapun untuk mencegah
kontraksi dan untuk pengosongan kandung empedu.
Kepada pasien harus ditanyakan apakah ia mempunyai riwayat alergi
terhadap yodium atau makanan laut. Jika tidak ada riwayat alergi, pasien
mendapat preparat kontras oral pada malam harinya sebelum pemeriksaan
radiografi dilakukan. Foto rontgen mula-mula dibuat pada abdomen
kuadaran kanan atas. Apabila kandung empedu tampak terisi dan dapat
mengosongkan isinya secara normal serta tidak mengandung batu, kita
dapat menyimpulkan bahwa tidak terjadi penyakit kandung empedu.
Apabila terjadi penyakit kandung empedu, maka kandung empedu tersebut
mungkin tidak terlihat karena adanya obstruksi oleh batu empedu.
Pengulangan pembuatan kolesistogram oral dengan pemberian preparat
kontras yang kedua mungkin diperlukan jika kandung empedu pada
pemeriksaan pertama tidak tampak.
Kolesistografi pada pasien yang jelas tampak ikterik tidak akan
memberikan hasil yang bermanfaat karena hati tidak dapat
mengekskresikan bahan kontras radiopaque kedalam kandung empedu
pada pasien ikterik. Pemeriksaan kolesistografi oral kemungkinan besar
akan diteruskan sebagai bagian dari evaluasi terhadap pasien yang telah
mendapatkan terapi pelarutan batu empedu.

H. Penatalaksanaan
Penanganan kolelitiasis dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan non
bedah dan bedah. Ada juga yang membagi berdasarkan ada tidaknya gejala
yang menyertai kolelitiasis, yaitu penatalaksanaan pada kolelitiasis
simptomatik dan kolelitiasis yang asimptomatik.
a. Penatalaksanaan Nonbedah
1. Penatalaksanaan pendukung dan diet 
Kurang lebih 80% dari pasien-pasien inflamasi akut kandung
empedu sembuh dengan istirahat, cairan infus, penghisapan
nasogastrik, analgesik dan antibiotik. Intervensi bedah harus
ditunda sampai gejala akut mereda dan evalusi yang lengkap dapat
dilaksanakan, kecuali jika kondisi pasien memburuk (Smeltzer,SC
dan Bare,BG 2002).
Manajemen terapi :
 Diet rendah lemak, tinggi kalori, tinggi protein
 Pemasangan pipa lambung bila terjadi distensi perut.
 Observasi keadaan umum dan pemeriksaan vital sign
 Dipasang infus program cairan elektrolit dan glukosa untuk
mengatasi syok.
 Pemberian antibiotik sistemik dan vitamin K (anti koagulopati)
2. Disolusi medis 
Oral Dissolution Therapy adalah cara penghancuran batu dengan
pemberian obat-obatan oral. Ursodeoxycholic acid lebih dipilih
dalam pengobatan daripada chenodeoxycholic karena efek samping
yang lebih banyak pada penggunaan chenodeoxycholic seperti
terjadinya diare, peningkatan aminotransfrase dan
hiperkolesterolemia sedang. Pemberian obat-obatan ini dapat
menghancurkan batu pada 60% pasien dengan kolelitiasis,
terutama batu yang kecil. Angka kekambuhan mencapai lebih
kurang 10%, terjadi dalam 3-5 tahun setelah terapi. Disolusi medis
sebelumnya harus memenuhi kriteria terapi nonoperatif
diantaranya batu kolesterol diameternya < 20 mm, batu kurang dari
4 batu, fungsi kandung empedu baik dan duktus sistik paten. Pada
anak-anak terapi ini tidak dianjurkan, kecuali pada anak-anak
dengan risiko tinggi untuk menjalani operasi.
3. Disolusi kontak
Terapi contact dissolution adalah suatu cara untuk menghancurkan
batu kolesterol dengan memasukan suatu cairan pelarut ke dalam
kandung empedu melalui kateter perkutaneus melalui hepar atau
alternatif lain melalui kateter nasobilier. Larutan yang dipakai
adalah methyl terbutyl eter. Larutan ini dimasukkan dengan suatu
alat khusus ke dalam kandung empedu dan biasanya mampu
menghancurkan batu kandung empedu dalam 24 jam.
Kelemahan teknik ini hanya mampu digunakan untuk kasus dengan
batu yang kolesterol yang radiolusen. Larutan yang digunakan
dapat menyebabkan iritasi mukosa, sedasi ringan dan adanya
kekambuhan terbentuknya kembali batu kandung empedu
4. Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)
Prosedur non invasive ini menggunakan gelombang kejut berulang
(Repeated Shock Wave) yang diarahkan pada batu empedu didalam
kandung empedu atau duktus koledokus dengan maksud memecah
batu tersebut menjadi beberapa sejumlah fragmen. (Smeltzer,SC
dan Bare, BG 2002). ESWL sangat populer digunakan beberapa
tahun yang lalu. Analisis biaya-manfaat pada saat ini
memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada pasien
yang telah benar-benar dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.
5. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)
Pada ERCP, suatu endoskop dimasukkan melalui mulut,
kerongkongan, lambung dan ke dalam usus halus.  Zat kontras
radioopak masuk ke dalam saluran empedu melalui sebuah selang
di dalam sfingter oddi. Pada sfingterotomi, otot sfingter dibuka
agak lebar sehingga batu empedu yang menyumbat saluran akan
berpindah ke usus halus. ERCP dan sfingterotomi telah berhasil
dilakukan pada 90% kasus. Kurang dari 4 dari setiap 1.000
penderita yang meninggal dan 3-7% mengalami komplikasi,
sehingga prosedur ini lebih aman dibandingkan pembedahan perut.
ERCP saja biasanya efektif dilakukan pada penderita batu saluran
empedu yang lebih tua, yang kandung empedunya telah diangkat
b. Penatalaksanaan Bedah
1. Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien
denga kolelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna
yang dapat terjadi adalah cedera duktus biliaris yang terjadi pada
0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur ini
kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi
adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.
2. Kolesistektomi laparaskopi
Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990
dan sekarang ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara
laparoskopi. 80-90% batu empedu di Inggris dibuang dengan cara
ini karena memperkecil resiko kematian dibanding operasi normal
(0,1-0,5% untuk operasi normal) dengan mengurangi komplikasi
pada jantung dan paru. Kandung empedu diangkat melalui selang
yang dimasukkan lewat sayatan kecil di dinding perut. Indikasi
awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya
kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman,
banyak ahli bedah mulai melakukan prosedur ini pada pasien
dengan kolesistitis akut dan pasien dengan batu duktus koledokus.
Secara teoritis keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur
konvensional adalah dapat mengurangi perawatan di rumah sakit
dan biaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali bekerja,
nyeri menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum
terpecahkan adalah keamanan dari prosedur ini, berhubungan
dengan insiden komplikasi seperti cedera duktus biliaris yang
mungkin dapat terjadi lebih sering selama kolesistektomi
laparoskopi.

I. Penatalaksanaan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Data subjektif
 Riwayat masa lalu
Riwayat keluarga, aktifitas, obesitas, suku, multiparity (sering
hamil) pembedahan abdomen sebelumnya, cancer, sering berpuasa,
pregnancy, diabetes, cirhosis.
 Pengobatan
Menggunakan estrogen atau kontrasepsi oral
 Pengkajian umum
Kehilangan berat badan, kedinginan, anorexia.
 Nyeri
Nyeri hebat pada kuadran atas dan mungkin menyebar ke bagian
belakang skapula (biliari colic).
 Integumen
Kulit gatal dan kering
 Gastrointestinal
Tidak mampu mencerna, intoleransi terhadap lemak, nausea dan
vomiting, dyspepsia, pyrosis, darah membeku, perut kembung.
 Urinari
Urine pekat atau gelap
b. Data Obyektif
 Keadaan umum : gelisah
 Integumen : Jaundice, sklera ikterik
 Pernapasan : Tachypneu, membelat selama pernapasan
 Cardiovaskulaer : Tachycardia
 Gastrointestinal : Gambaran jelas batu empedu, distensi
abdomen
 Penemuan yang mungkin ditemukan:
Peningkatan fungsi liver dan bilirubin, leukocytosis, penemuan
ultrasound abnormal  abdomen, IV cholangiogram.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang mungkin muncul pada kasus kolelitiasis adalah sebagai
berikut:
 Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan adanya proses
peradangan, agen cidera biologis proses inflamasi kandung empedu,
obstruksi/spasme duktus, iskemia jaringan (nekrosis).
 Hipertermi berhubungan dengan respon sistemik dari inflamasi
gastrointestinal
 Aktual/resiko tinggi ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan asam lambung
 Gangguan rasa nyaman cemas berhubungan dengan kurangnya
pengetahuan
 Gangguan pemenuhan ADL berhubungan dengan atropi otot,
kelemahan fisik
 Resiko tinggi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan
dengan muntah berlebihan
 Gangguan integritas kulit berhubungan dengan prosedur invasif,
faktor mekanik.

3. Rencana Tindakan Keperawatan (Intervensi)


a. Dx Kep. Gangguan rasa nyaman nyeri b.d adanya proses peradangan
Tujuan: Rasa nyaman nyeri terpenuhi dengan kriteria hasil :
 TTV dalam batas normal
 Klien tidak tampak kesakitan
 Skala nyeri menurun
 Nyeri berkurang atau hilang
Intervensi :
 Observasi tanda-tanda vital. Rasional : Untuk menentukan
keadaan umum klien
 Observasi dan catat lokasi (beratnya skala 0-10) dan
karakteristik nyeri (menetap, hilang timbul, kolik). Rasional :
Membantu membedakan penyebab nyeri dan memberikan
informasi tentang kemajuan/perbaikan penyakit, terjadinya
komplikasi dan keefektifan intervensi
 Tingkatkan tirah baring, biarkan klien melakukan posisi yang
nyaman. Rasional : Meningkatkan istirahat tirah baring pada
posisi fowler rendah dapat menurunkan tekanan intra abdomen,
namun klien akan melakukan posisi yang menhilangkan nyeri
secara alamiah.
 Ajarkan tehnik non farmakologi misalnya relaksasi, distraksi dll.
Rasional : Dapat menurunkan nyeri yang dirasakan
 Kolaborasi dalam pemberian analgetik. Rasional : Analgetik
dapat mengatasi nyeri yang dirasakan
b. Dx Kep. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d asupan diit kurang
Tujuan: Kebutuhan nutrisi terpenuhi dengan kriteria hasil :
 Nafsu makan meningkat
 Tidak terjadi gangguan nutrisi
 Porsi makan habis
 Berat badan kembali normal 
Intervensi :
 Kaji status nutrisi klien, turgor kulit, BB, integritas mukosa,
riwayat mual/muntah. Rasional : Memvalidasi dan menetapkan
derajat masalah untuk menetapkan pilihan intervensi yang tepat.
 Pertahankan kebersihan mulut. Rasional : Akumulasi pertikel
makanan dimulut dapat menambah bau dan rasa tak sedap yang
menurunkan nafsu makan
 Berikan makanan dalam porsi sedikit tapi sering. Rasional :
Memudahkan proses pencernaan dan toleransi klien terhadap
nutrisi
 Berikan makanan selagi hangat. Rasional : Dafat mempengaruhi
nafsu makan dan membangkitkan nafsu makan.
 Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian diit (diet cair rendah
lemak, rendah lemak tinggi serat). Rasional : Merencanakan diet
dengan nutrisi yang adekuat untuk memenuhi peningkatan
kebutuhan energi dan kalori sehubungan dengan perubahan
metabolik klien.

d. Dx Kep. Hipertermi b.d respon sistemik dari inflamasi gastrointestinal


Tujuan : Keseimbangan suhu tubuh kembali normal dengan kriteria
hasil :
 Suhu tubuh menurun/normal
 Keringat yang keluar berkurang
 Bibir lembab
Intervensi :
 Observasi tanda-tanda vital, terutama suhu. Rasional : Dapat
mendeteksi dini tanda-tanda peningkatan suhu tubuh.
 Anjurkan klien memakai pakaian yang tipis. Rasional : membantu
mempermudah penguapan panas
 Beri kompres hangat di beberapa bagian tubuh, seperti ketiak,
lipatan paha, leher bagian belakang. Rasional : dapat mempercepat
penurunan suhu tubuh
 Anjurkan klien banyak minum ± 2 liter/hari. Rasional : untuk
menjaga keseimbangan cairan didalam tubuh
 Kolaborasi dalam pemberian obat anti piretik. Rasional : dapat
membantu menurunkan panas

e. Dx Kep. Resiko Infeksi b.d prosedur invasif, faktor mekanik, icterus


Tujuan : Resiko infeksi tidak terjadi dengan kriteria hasil
 Perilaku untuk meningkatkan penyembuhan / mencegah resiko
infeksi.
Intervensi :
 Observasi kulit, sclera dan perubahan warna urin. Rasional :
Terjadinya icterik mengindikasikan adanya obstruksi aliran
empedu.
 Observasi tanda-tanda infeksi seperti kemerahan
 Lakukan perawatan pada luka secara steril
 Ajarkan pasien dan keluarga cara merawat luka post operasi
dengan benar
 Kolaborasi dengan dokter bila terdapat tanda-tanda infeksi pada
luka post operasi

f. Dx Kep. Kekurangan volume cairan tubuh b.d hambatan mengakses


cairan
Tujuan : Menunjukan cairan adekuat dengan kriteria hasil:
 Tanda vital stabil,
 membran mukosa lembab,
 turgos kulit baik,
 pengisian kapiler baik,
 secara individu mengeluarkan urine cukup,
 tidak ada muntah.
Intervensi :
 Pertahankan masukan dan haluaran akurat, perhatikan haluaran
kurang dari masukan, peningkatan berat jenis urine. Kaji membrane
mukosa/kulit, nadi perifer, dan pengisian kapiler. Rasional :
Memberikan informasi tentang status cairan/volume sirkulasi dan
kebutuhan penggantian.
 Awasi tanda / gejala peningkatan/berlanjutnya mual/muntah, kram
abdomen, kelemahan, kejang, kejang ringan, kecepatan jantung tak
teratur, parestesia, hipoaktif atau tak adanya bising usus, depresi
pernapasan. Rasional : Muntah bekepanjangan, aspirasi gaster dan
pembatasan pemasiukan oral dapat menimbulkan defisit natrium,
kalium dan klorida.
 Hindarkan dari lingkungan yang berbau. Rasional : Menurunkan
rangsangan pada pusat muntah
 Kaji perdarahan yang tidak biasa, contoh: perdarahan terus-
menerus pada sisi injeksi, mimisan, perdarahan gusi, ekimosis,
petekie, hematemesis/melena. Rasional : Protrombin darah
menurun dan waktu koagulasi memanjang bila aliran empedu
terhambat, meningkatkan resiko perdarahan/hemoragi.
 Kolaborasi : Berikan antimetik. Rasional : Menurunkan mual dan
mencegah muntah
 Kolaborasi : Berikan cairan IV, elektrolit, dan vitamin K. Rasional:
Mempertahankan volume sirkulasi dan memperbaiki
ketidakseimbangan.
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek Gloria M, dkk. 2015. Nursing Interventions Classification Edisi 6.


Indonesia: ELSEVIER mocomedia.

Moorhead, Sue, dkk. 2015. Nursing Outcomes Classification Edisi 5. Indonesia:


ELSEVIER mocomedia.

NANDA Internasional. 2015. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi


2015-2017 Edisi 10. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai