Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN

CHOLELITHIASIS
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Praktik Klinik Keperawatan PTM dan Gerontik

Disusun Oleh:

NUGRAHENI TRI HARYANTI


01202308073

FAKULTAS ILMU KESEHATAN


INSTITUT TEKNOLOGI SAINS DAN KESEHATAN
PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2022
A. KONSEP PENYAKIT
1. Definisi
Batu empedu (cholelithiasis) adalah penyakit batu empedu yang terdapat
pada kandung empedu maupun saluran empedu, atau pada keduanya (Nender,
2019. Kondisi batu empedu yang tidak segera ditangani dapat menimbulkan
beberapa komplikasi diantaranya adalah kolangitis, hidrops, dan empiema.
Empiema adalah kondisi dimana kandung empedu berisi nanah. Kondisi ini dapat
membahayakan jiwa pasien jika tidak dilakukan penanganan segera (Tanaka,
et.al, 2021).
Penyakit batu empedu (kolelitiasis) merupakan kelainan empedu yang
sering ditemukan. Kolelitiasis ini dapat terjadi di kandung empedu dan saluran
empedu ekstrahepatik. Insidensi batu empedu dua kali lebih tinggi pada wanita
dibandingkan pria. Walaupun begitu, penyakit ini meningkat seiring pertambahan
usia pada kedua jenis kelamin. Pasien obes maupun dengan diabetes dan
hemolisis juga berisiko tinggi menderita penyakit batu empedu.

2. Manifestasi klinik

Menurut Smeltzer, Suzanne. C (2009), Gejala kolelitiasis dapat terjadi


akut atau kronis dan terjadinya gangguan pada epigastrium jika makan makanan
berlemak, seperti rasa penuh diperut, distensi abdomen, dan nyeri samar pada
kuadran kanan atas
a. Rasa nyeri hebat dan kolik bilier 
Jika duktus sistikus tersumbat batu, maka kandung empedu mengalami
distensi kemudian akan terjadi infeksi sehingga akan teraba massa pada
kuadran yang menimbulkan nyeri hebat sampai menjalar ke punggung dan
batu kanan sehingga menyebabkan rasa gelisah dan tidak menemukan posisi
yang nyaman.  Nyeri akan dirasakan persisten (hilang timbul) terutama jika
habis makan makanan berlemak yang disertai rasa mual dan ingin mual
muntah pada pagi hari karena metabolisme di kandung empedu akan
meningkat.
Perangsangan mual dapat diakibatkan dari adanya obstruksi saluran empedu
sehingga mengakibatkan alir balik cairan empedu ke hepar (bilirubin, garam
empedu dan kolesterol) menyebabkan terjadinya proses peradangan disekitar
hepatobiliar yang mengeluarkan enzim-enzim SGOT dan SGPT,
menyebabkan  peningkatan SGOT dan SGPT yang bersifat iritatif di saluran
cerna sehingga merangsang nervus vagal dan menekan rangsangan sistem
saraf parasimpatis sehingga terjadi penurunan peristaltik sistem pencernaan di
usus dan lambung, menyebabkan makanan tertahan di lambung dan
peningkatan rasa mual yang mengaktifkan pusat muntah di medula oblongata
dan pengaktifan saraf kranialis ke wajah, kerongkongan serta neuron-neuron
motorik spinalis ke otot-otot abdomen dan diafragma sehingga menyebabkan
muntah.Apabila saraf simpatis teraktifasi akan menyebabkan akumulasi gas
usus di sistem pencernaan yang menyebabkan rasa penuh dengan gas maka
terjadilah kembung.

b. Ikterik dan BAK berwarna kuning akibat adanya obstuksi saluran empedu
menyebabkan eksresi cairan empedu ke duodenum (saluran cerna) menurun
sehingga feses tidak diwarnai oleh pigmen empedu dan feses akan berwarna
pucat kelabu dan lengket seperti dempul yang disebut clay colored. selain
mengakibatkan peningkatan alkali fosfat serum, eksresi cairan empedu ke
duodenum (saluran cerna) juga mengakibatkan  peningkatan bilirubin serum
yang diserap oleh darah dan masuk ke sirkulasi sistem sehingga terjadi
fiiltrasi oleh ginjal yang menyebabkan bilirubin dieksresikan oleh ginjal
sehingga urin berwarna kuning bahkan kecoklatan.

c. Defisiensi vitamin
obstruksi aliran empedu juga mengganggu absorpsi vitamin A, D, E dan K
yang larut lemak.defisiensi vitamin K dapat mengganggu pembekuan darah
yang normal.
3. Etiologi/Penyebab
Menurut, Smeltzer, SC dan Bare, BG. (2013). Etiologi batu empedu
masih belum diketahui secara pasti. Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa
faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin banyak faktor resiko yang dimiliki
seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor
resiko tersebut antara lain:
a. Jenis Kelamin

Wanita mempunyai resiko 2-3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis


dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen
berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu.
Kehamilan, yang menigkatkan kadar esterogen juga meningkatkan resiko
terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon
(esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan
penurunan aktivitas pengosongan kandung empedu.

b. Usia

Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya


usia. Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena
kolelitiasis dibandingkan dengan orang degan usia yang lebih muda

c. Obesitas

Kondisi obesitas akan meningkatkan metabolism umum, resistensi insulin,


diabetes militus tipe II, hipertensi dan hyperlipidemia berhubungan dengan
peningkatan sekresi kolesterol hepatica dan merupakan faktor resiko utama
untuk pengembangan batu empedu kolesterol

d. Statis Bilier

Kondisi statis bilier menyebabkan peningkatan risiko batu empedu. Kondisi


yang bisa meningkatkan kondisi statis, seperti cedera tulang belakan
(medulla spinalis), puasa berkepanjangan, atau pemberian diet nutrisi total
parenteral (TPN), dan penurunan berat badan yang berhubungan dengan
kalori dan pembatasan lemak (misalnya: diet rendah lemak, operasi bypass
lambung). Kondisi statis bilier akan menurunkan produksi garam empedu,
serta meningkatkan kehilangan garam empedu ke intestinal.

e. Obat-obatan

Estrogen yang diberikan untuk kontrasepsi atau untuk pengobatan kanker


prostat meningkatkan risiko batu empedu kolesterol. Clofibrate dan obat
fibrat hipolipidemik meningkatkan pengeluaran kolesterol hepatic melalui
sekresi bilier dan tampaknya meningkatkan resiko batu empedu kolesterol.
Analog somatostatin muncul sebagai faktor predisposisi untuk batu empedu
dengan mengurangi pengosongan kantung empedu.

f. Diet

Diet rendah serat akan meningkatkan asam empedu sekunder (seperti asam
desoksikolat) dalam empedu dan membuat empedu lebih litogenik.
Karbohidrat dalam bentuk murni meningkatkan saturasi kolesterol empedu.
Diet tinggi kolesterol meningkatkan kolesterol empedu.

g. Keturunan

Sekitar 25% dari batu empedu kolesterol, faktor predisposisi tampaknya


adalah turun temurun, seperti yang dinilai dari penelitian terhadap kembar
identik fraternal.

h. Infeksi Bilier

Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat memgang peranan sebagian


pada pembentukan batu dengan meningkatkan deskuamasi seluler dan
pembentukan mucus. Mukus meningkatkan viskositas dan unsur seluler
sebagai pusat presipitasi.

i. Gangguan Intestinal

Pasien pasca reseksi usus dan penyakit crohn memiliki risiko penurunan
atau kehilangan garam empedu dari intestinal. Garam empedu merupakan
agen pengikat kolesterol, penurunan garam empedu jelas akan
meningkatkan konsentrasi kolesterol dan meningkatkan resiko batu empedu.

j. Aktifitas fisik

Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya


kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit
berkontraksi.

k. Nutrisi intravena jangka lama

Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak


terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang
melewati intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi
meningkat dalam kandung empedu.

4. Patofisiologi
Batu pigmen Batu pigmen terdiri dari garam kalsium dan salah satu
dari keempat anion ini terdiri dari Bilirubinat, Karbonat, Foosfat dan Asam
lemak. Pigmen (Bilirubin) dalam kondisi normal akan terkonjugasi dalam
empedu. Bilirubin terkonjugasi karena adanya enzim glokuronil tranferase bila
bilirubin tak terkonjugasi diakibatkan karena korang atau tidak adanya enzim
glokuronil tranferase tersebut yang akan menyebabkan presipitasi atau
pengendapan dari bilirubin tersebut. Ini disebabkan karena bilirubin tak
terkonjugasi tidak larut dalam air tetapi larut dalam lemak. Sehingga lama
kelamaan terjadi pengendapan bilirubin tak terkonjugasi yang bisa
menyebabkan batu empedu tapi ini jarang terjadi.
Batu Kolesterol merupakan unsure normal pembentukan empedu
dan pengaruh dalam pembentukan empedu. Kolesterol bersifat tidak larut
dalam air, kelarutan kolesterol sangat tergantung dari asam empedu dan lesitin.
(Rudi Haryono, 2012).
Pathway

Faktor resiko ( fat, female, forty )

Batu empedu

Obstruksi kandungempedu di duktussistikus

Kolesistisis ( akut & kronis )

Obstuksi Kandung Rasa Tidak Enak Obtruksi Saluran Ketidak Tahuan Akan Post Kolesistektomi
Empedu Oleh Pada Perut Di Empedu Dalam Usus Penatalaksanaan
Batu Empedu Bagian Atas

Spasme Dispepsia Menurunya


Ansietas
Dukus Absorbs Vit, K

Deficit nutrisi
Kadar Protombin Insisi jaringan Invansi Pada Tubuh
Menurun
Nyeri Akut

Pemasangan Selang
Gangguan Nyeri Akut
Proses drain
Pembekuan

Resiko Infeksi Area


Resiko kelebihan volume cairan Pembedahan
Sumber : Rudi Haryono (2012)
5. Komplikasi
Kolesistokinin yang disekresi oleh duo denum karena adanya
makanan mengakibatkan/menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga
batu yang tadi ada dalam kandung empedu terdorong dna dapat menutupi
duktus sistikus, batu dapat menetap ataupun terlepas lagi. Apabila batu
menutupi duktus sistikus secara menetap makan mungkin dapat terjadi
mukokel, bila terjadi infeksi maka mukokel dapat menjadi suatu empiema,
biasanya kandung empedu dikelilingi dan ditutupi oleh alat-alat perut (kolon,
omentum), dan dapat juga membentuk suatu fistel kolesitoduodenal.
Penyumbatan duktus sistikus dapat juga berakibat terjadinya kolesistitis akut
yang dapat sembuh atau dapat mengakibatkan nekrosis sebagian dinding (dapat
ditutupi alat sekitarnya) dan dapat membentuk suatu fistel kolesitoduodenal
ataupun dapat terjadi perforasi kandung empedu yang berakibat terjadi
peritonitis generalisata.

Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus


pada saat kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai
duktus koledokus kemudian menetap asimtomatis atau kadang dapat
menyebabkan kolik. Batu yang menyumbat di duktus koledokus juga berakibat
terjadinya ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis. Batu
kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya fistel
kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat menyumbat pada
bagian tersempit saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus
obstruksi. Berikut beberapa penjelasan tentang komplikasi kolelitiasis:

a. Hidrops

Hidrops biasanya disebabkan oleh stenosis atau obstruksi duktus sistikus


sehingga tidak dapat diisi lagi  oleh empedu. Dalam keadaan ini tidak
terdapat peradangan akut dan sindrom yang berkaitan dengannya, tetapi ada
bukti peradangan kronis dengan adanya mukosa gundul. Kandung empedu
berdinding tebal dan terdistensi oleh materi steril mukoid. Sebagian besar
pasien mengeluh efek massa dalam kuadran kanan atas. Hidrops kandung
empedu dapat menyebabkan kolesistisi akut.

b. Kolesistitis akut

Hampir semua kolesistisi akut terjadi akibat sumbatan duktus sistikus oleh
batu yang terjebak dalam kantung empedu. Trauma mukosa kantung
empedu oleh batu dapat menyebabkan pelepasan fosfolipase yang
mengubah lesitin dalam empedu menjadi lisolesitin yang bersifat toksik
yang memperberat proses peradangan. Pada awal penyakit, peran bakteri
sangat sedikit, tetapi kemudian dapat terjadi supurasi. Komplikasi
kolesistisis akut adalah empiema, nekrosis, dan perforasi.

1) Empiema
Empiema adalah lanjutan dari kolisistisis akut. Pada empiema atau
kolesistisis supuratif, kandung empedu berisi nanah. Penderita menjadi
semakin toksik, demam tinggi, menggigil dan leukositosis.
2) Nekrosis dan Perforasi

Kolesistisis akut bisa berlanjut ke nekrosis dinding kantung empedu dan


perforasi. Batu empedu yang tertahan bias menggoresi dinding
nekrotik, sinus Roktiansky-Aschoff terinfeksi yang berdilatasi bias
memberika titik lemah bagi ruptura. Biasanya rupture terjadi pada
fundus, yang merupakan bagian vesica biliaris yang paling kurang baik
vaskularisasinya. Ruptur ke dalam cavitas peritonialis bebas jarang
terjadi dan lebih bias memungkinkan terjadinya perlekatan dengan
organ-organ yang berdekatan dengan pembentukan abses local. Ruptura
ke dalam organ berdekatan menyebabkan fistula saluran empedu.

c. Peritonitis
Ruptura bebas empedu ke dalam cvitas peritonialis menyebabkan syok
parah. Karena efek iritan garam empedu, peritoneum mengalami
peradangan.

d. Kolesistitis kronis

Apabila kandung empedu yang mengandung batu besar menempel pada


dinding organ di dekatnya seperti lambung, duodenum, atau kolon
transversum, dapat terjadi nekrosis dinding kedua organ tersebut karena
tekanan, sehingga terjadi perforasi ke dalam lumen saluran cerna.
Selanjutnya terjadi fitsel antara kandung empedu dan organ-organ tersebut.

e. Kolangitis

Kolangitis dapat berkembang bila ada obstruksi duktus biliaris dan infeksi.
Penyebab utama dari infeksi ini adalah organisme gram negatif, dengan
54% disebebkan oleh sepsis Klebesiella, dan 39% oleh Escherchia, serta
25% oleh organisme Enterokokal dan Bacteroides. Empedu yang terkena
infeksi akan berwarna coklat tua dan gelap. Duktus koledokus menebal dan
terjadi dilatasi dengan diskuamasi atau mukosa yang ulseratif, terutama di
daearah ampula vetri.

f. Pankreatitis

Radang pankreas akibat autodigesti oleh enzim yang keluar dari saluran
pankreas. Ini disebebkan karena batu yang berada di dalam duktus
koledokus bergerak menutupi ampula vetri.

6. Pemeriksaan penunjang
a. Radiologi
Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai prosedur
diagnostik pilihan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat dan
akurat, dan dapat digunakan pada penderita disfungsi hati dan ikterus.
Disamping itu, pemeriksaan USG tidak membuat pasien terpajan radiasi
inisasi. Prosedur ini akan membrikan hasil yang paling akurat jika pasien
sudah berpuasa pada malam harinya sehingga kandung empedunya berada
dalam keadan distensi. Penggunaan ultra sound berdasarkan pada gelombang
suara yang dipantulkan kembali. Pemeriksan USG dapat mendeteksi kalkuli
dalam kandung empedu atau duktus koleduktus yang mengalami dilatasi.
b. Radiografi: Kolesistografi
Kolesistografi digunakan bila USG tidak tersedia atau bila hasil USG
meragukan. Kolangiografi oral dapat dilakukan untuk mendeteksi batu
empedu
dan mengkaji kemampuan kandung empedu untuk melakukan pengisian,
memekatkan isinya, berkontraksi serta mengosongkan isinya. Oral
kolesistografi tidak digunakan bila pasien jaundice karena liver tidak dapat
menghantarkan media kontras ke kandung empedu yang mengalami
obstruksi.(Smeltzer, 2002)
c. Sonogram
Sonogram dapat mendeteksi batu dan menentukan apakah dinding
kandung empedu telah menebal.(Williams, 2003)
d. ERCP (Endoscopic Retrograde Colangiopancreatografi)
Pemeriksaan ini memungkinkan visualisasi struktur secara langsung yang
hanya dapat dilihat pada sat laparatomi. Pemeriksaan ini meliputi insersi
endoskop serat optik yang fleksibel ke dalam esofagus hingga mencapai
duodenum pars desendens. Sebuah kanula dimasukan ke dalam duktus
koleduktus serta duktus pankreatikus, kemudian bahan kontras disuntikan ke
dalam duktus tersebut untuk menentukan keberadaan batu di duktus dan
memungkinkan visualisassi serta evaluasi percabangan bilier (Smeltzer,
2002).
e. Pemeriksaan Darah:
1) Kenaikan serum kolesterol
2) Kenaikan fosfolipid
3) Penurunan ester kolesterol
4) Kenaikan protrombin serum time
5) Kenaikan bilirubin total, transaminase
6) Penurunan urobilirubin
7) Peningkatan sel darah putih
8) Peningkatan serum amilase, bila pankreas terlibat atau bila ada batu di
duktus utama

7. Pentalaksanaan
a. Non Pembedahan (farmakoterapi, diet)
1) Penatalaksanaan pendukung dan Diet adalah: istirahat, cairan infus,
NGT, analgetik dan antibiotik, diet cair rendah lemak, buah yang masak,
nasi, ketela, kentang yang dilumatkan, sayur non gas, kopi dan teh.
2) Untuk makanan yang perlu dihindari sayur mengandung gas, telur, krim,
daging babi, gorengan, keju, bumbu masak berlemak, alkohol.
3) Farmakoterapi asam ursedeoksikolat (urdafalk) dan kenodeoksiolat
(chenodiol, chenofalk) digunakan untuk melarutkan batu empedu radiolusen
yang berukuran kecil dan terutama tersusun dari kolesterol. Jarang ada efek
sampingnya dan dapat diberikan dengan dosis kecil untuk mendapatkan efek
yang sama. Mekanisme kerjanya menghambat sintesis kolesterol dalam hati
dan sekresinya sehingga terjadi disaturasi getah empedu. Batu yang sudah
ada dikurangi besarnya, yang kecil akan larut dan batu yang baru dicegah
pembentukannya. Diperlukan waktu terapi 6 -12 bulan untuk melarutkan
batu.
4) Pelarutan batu empedu tanpa pembedahan: dengan cara menginfuskan
suatu bahan pelarut (manooktanoin / metil tersier butil eter) kedalam
kandung empedu. Melalui selang / kateter yang dipasang perkuatan langsung
kedalam kandung empedu, melalui drain yang dimasukkan melalui T-Tube
untuk melarutkan batu yang belum dikeluarkan pada saat pembedahan,
melalui endoskopi ERCP, atau kateter bilier transnasal. e.
5) Ektracorporeal shock-wave lithotripsy (ESWL). Metode ini
menggunakan gelombang kejut berulang yang diarahkan pada batu empedu
dalam kandung empedu atau duktus koledokus untuk memecah batu menjadi
sejumlah fragmen. Gelombang kejut tersebut dihasilkan oleh media cairan
oleh percikan listrik yaitu piezoelektrik atau muatan elektromagnetik. Energi
disalurkan kedalam tubuh lewat rendaman air atau kantong berisi cairan.
Setelah batu pecah secara bertahap, pecahannya akan bergerak perlahan
secara spontan dari kandung empedu atau duktus koledokus dan dikeluarkan
melalui endoskop atau dilarutkan dengan pelarut atau asam empedu peroral.

b. Pembedahan
1) Kolesistektomi
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien dengan
batu empedu simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna, cidera
duktus biliaris, terjadi dalam kurang dari 0,2% pasien. Angka mortalitas
yang dilaporkan untuk prosedur ini telah terlihat dalam penelitian baru-
baru ini, yaitu kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk
kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistisi akut.
Praktik pada saat ini mencakup kolesistektomi segera dalam pasien
dengan kolesistisi akut dalam masa perawatan di rumah sakit yang sama.
Jika tidak ada bukti kemajuan setelah 24 jam penanganan medis, atau
jika ada tanda-tanda penurunan klinis, maka kolesistektomi darurat harus
dipertimbangkan
2) Mini kolesistektomi
Merupakan prosedur bedah untuk mengeluarkan kandung empedu lewat
luka insisi selebar 4cm. Jika diperlukan, luka insisi dapat diperlebar
untuk mengeluarkan batu kandung empedu yang berukuran lebih besar.
Drain mungkin dapat atau tidak digunakan pada mini kolasistektomi.
Biaya yang ringan dan waktu rawat yang singkat merupakan salah satu
alasan untuk meneruskan bentuk penanganan ini.
3) Kolesistektomi laparaskopi
Indikasi awal hanya pasien dengan batu empedu simtomatik tanpa
adanya kolesistisis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman,
banyak ahli bedah mulai untuk melakukan prosedur ini dalam pasien
dengan kolesistisis akut dan dalam pasien dengan batu duktus koledokus.
Keuntungan secara toritis dari prosedur ini dibandingkan dengan
konvensional, kolesistektomi mengurangi perawatan di rumah sakit serta
biaaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat bisa kembali bekerja, nyeri
menurun, dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan
adalah keamanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden
komplikasi mayor, seperti misalnya cidera duktus biliaris, yang mungkin
terjadi lebih sering selama kolisistektomi laparoskopik. Frekuensi dari
cidera mungkin merupakan ukuran pengalaman ahli bedah dan
merupakan manifestasi dari kurva pelatihan yang berkaitan dengan
modalitas baru.
4) Kolesistektomi endoskopi
dilakukan lewat luka insisi kecil atau luka tusukan melalui dinding
abdomen pada umbilikus.

c. Pendidikan pasien pasca operasi


1) Berikan informasi kepada pasien dan keluarga tentang tanda dan
gejala komplikasi intra abdomen yang harus dilaporkan : penurunan
selera makan, muntah, rasa nyeri, distensi abdomen dan kenaikan
suhu tubuh.  
2) Saat dirumah perlu didampingi dan dibantu oleh keluarga selama 24
sampai 48 jam pertama.
3) Luka tidak boleh terkena air dan anjurkan untuk menjaga kebersihan
luka operasi dan sekitarnya
4) Masukan nutrisi dan cairan yang cukup, bergizi dan seimbang
5) Anjurkan untuk kontrol dan minum obat rutin.
B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Riwayat
1) Identitas pasien
2) Keluhan utama
Merupakan keluhan yang paling utama yang dirasakan oleh klien saat
pengkajian. biasanya keluhan utama yang klien rasakan adalah nyeri
abdomen pada kuadran kanan atas, dan mual muntah.
3) Riwayat kesehatan sekarang
Merupakan pengembangan diri dari keluhan utama melalui metode
PQRST, paliati& atau  provokati (P)yaitu fokus utama keluhan klien,
Quality atau kualitas (Q) yaitu bagaimana nyeri yang dirasakan oleh
klien, regional ® yaitu nyeri/gatal menjalar kemana, Safety (S) yaitu
posisi yang bagaimana yang dapat mengurangi nyeri/gatal atau klien
merasa nyaman dan Time (E) yaitu sejak kapan klien merasakan
nyeri/gatal tersebut. Klien sering mengalami nyeri di ulu hati yang
menjalar ke punggung , dan bertambah berat setelah makan disertai
dengan mual dan muntah.
4) Riwayat penyakit dahulu
Perlu dikaji apakah klien pernah menderita penyakit sama atau pernah
di riwayat sebelumnya. Klien memiliki Body mass Indek tinggi,
mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan
dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol dalam kandung empedu
pun tinggi.
5) Riwayat kesehatan keluarga
Mengkaji ada atau tidaknya keluarga klien pernah menderita penyakit
kolelitiasis. Penyakit kolelitiasis tidak menurun, karena penyakit ini
menyerang sekelompok manusia yang memiliki pola makan dan gaya
hidup yang tidak sehat. tetapi orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis
mempunyai resiko lebih besar dibanding dengan tanpa riwayat
keluarga.

6) Riwayat psikososial
Pola pikir sangat sederhana karena ketidaktahuan in&ormasi dan
memper'ayakan sepenuhnya dengan rumah sakit. Klien pasrah terhadap
tindakan yang dilakukan oleh rumah sakit asal tepat sembuh. Persepsi
diri baik, klien merasa nyaman, nyeri tidak timbul sehubungan telah
dilakukan tindakan kholesistektomi.
7) Riwayat lingkungan
Lingkungan tidak berpengaruh terhadap penyakit kolelitiasis. Karena
kolelitiasis dipengaruhi oleh pola makan dan gaya hidup yang tidak
baik
b. Pola Gordon
1) Pola Persepsi dan managemen keperawatan
2) Pola nutrisi – metabolic: Biasanya mual, muntah dan penurunan nafsu
makan selama sakit sehingga dapat mempengaruhi status nutrisi yang
berubah
3) Pola eliminasi
4) Pola aktivitas – latihan
5) Pola istirahat – tidur
6) Pola kognitif – persepsi
7) Pola persepsi diri – konsep diri
8) Pola peran – hubungan
9) Pola reproduksi – seksualitas
10) Pola toping dan toleransi diri
11) Pola nilai atau kepercayaan
c. Pemeriksaan fisik 
1) Keadaan umum

Pada hasil pemeriksaan fisik abdomen didapatkan:

Pemeriksaan fisik bisa menunjukkan demam, takikardia, dan nyeri di


kuadran kanan atas atau epigastrium, sering dengan nyeri rebound. Tanda
Murphy, spesifik namun tidak sensitif untuk kolesistitis, digambarkan
sebagai nyeri dan jeda saat inspirasi selama palpasi kuadran kanan atas.
Kantong empedu yang teraba atau rasa penuh pada kuadran kanan atas
terdapat dalam 30-40% kasus. Ikterus mungkin didapatkan pada sekitar 15%
pasien. Tidak adanya temuan fisik tidak mengesampingkan diagnosis
kolesistitis. Banyak pasien datang dengan nyeri epigastrium difus tanpa
lokalisasi pada kuadran kanan atas. Pasien dengan kolesistitis kronis sering
tidak memiliki massa yang teraba pada kuadran kanan atas akibat fibrosis
yang melibatkan kandung empedu. Pasien usia lanjut dan pasien dengan
diabetes sering memiliki presentasi atipikal, termasuk adanya demam dan
nyeri lokal dengan gejala hanya samar-samar.

- Inspeksi : datar, eritem (-), sikatrik (-)


- Auskultasi : peristaltik (+)
- Perkusi : timpani
- Palpasi : supel, nyeri tekan (+), regio kuadran kanan atas, hepar-lien tidak
teraba, massa (-)
- Sistem endokrin
Mengkaji tentang keadaan abdomen dan kantung empedu. Biasanya pada
penyakit ini kantung empedu dapat terlihat dan teraba oleh tangan karena
terjadi pembengkakan pada kandung empedu.
Terapi diet:
Makanan cair rendah lemak. Hindari kolestrol yng tingi terutama lemak
hewani, suplemen bubuk yang tinggi protein dan karbonhidrat dapat diaduk
di dalam susu skim dan apapun makanan tambahan seperti : buah yang di
masak, nasi ketela, daging tanpa lemak, sayuran yang tidak membentuk gas,
roti, kopi/ the.

d. Pemeriksaan Penunjang

1) Pemeriksaan Laboratorium

Batu kandung empedu yang asimtomatis umumnya tidak menunjukkan


kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat
terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan
ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar
bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu didalam duktus
koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum
biasanya meningkat sedang setiap kali terjadi serangan akut. Enzim hati AST
(SGOT), ALT (SGPT), LDH agak meningkat. Kadar protrombin menurun bila
obstruksi aliran empedu dalam usus menurunkan absorbs vitamin K.

2) Pemeriksaan sinar-X abdomen

Pemeriksaan sinar-X abdomen bisa dilakukan jika ada kecurigaan akan


penyakit kandung empedu dan untuk menyingkirkan penyebab gejala yang lain.
Namun demikian, hanya 15-20% batu empedu yang mengalami cukup
kalsifikasi untuk dapat tampak melalui pemeriksaan sinar-X.

3) Foto polos abdomen

Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas


karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak.
Kadang kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium
tinggi dapat dilihat dengan foto polos.  Pada peradangan akut dengan kandung
empedu yang membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai
massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara
dalam usus besar di fleksura hepatika. Walaupun teknik ini murah, tetapi jarang
dilakukan pada kolik bilier sebab nilai diagnostiknya rendah.

4) Ultrasonografi (USG)

Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai


prosedur diagnostik pilihan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan
cepat dan akurat, dan dapat digunakan pada prndrita disfungsi hati dan icterus.
Disamping itu, pemerikasaan USG tidak membuat pasien terpajan radiasi
ionisasi. Prosedur ini akan memberikan hasil paling akurat jika pasien sudah
berpuasa pada malam harinya sehingga kandung empedunya dalam keadaan
distensi. Penggunaan ultra sound berdasarkan pada gelombang suara yang
dipantulkan kembali.

Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi


untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu
intrahepatik maupun ekstrahepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding
kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh
peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledukus distal
kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara didalam usus. Dengan USG
punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih
jelas daripada di palpasi biasa.

USG (US) merupakan metode non-invasif yang sangat bermanfaat dan


merupakan pilihan pertama untuk mendeteksi kolelitiasis dengan ketepatan
mencapai 95%. Kriteria batu kandung empedu pada US yaitu dengan acoustic
shadowing dari gambaran opasitas dalam kandung empedu. Walaupun demikian,
manfaat US untuk mendiagnosis BSE relatif rendah. Pada penelitian kami yang
mencakup 119 pasien dengan BSE sensitivitas US didapatkan sebesar 40%,
spesifisitas 94%. Kekurangan US dalam mendeteksi BSE disebabkan : a) bagian
distal saluran empedu tempat umumnya batu terletak sering sulit diamati akibat
tertutup gas duodenum dan kolon dan b) saluran empedu yang tidka melebar
pada sejumlah kasus BSE.
5) Kolesistografi

Meskipun sudah digantikan dengan USG sebagai pilihan utama, namun


untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif
murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga
dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral dapat digunakan
untuk mendeteksi batu empedu dan mengkaji kemempuan kandung empedu
untuk melakukan pengisian, memekatkan isinya, berkontraksi, serta
mengosongkan isinya. Media kontras yang mengandung iodium yang
diekresikan oleh hati dan dipekatkan dalam kandung empedu diberikan kepada
pasien. Kandung empedu yang normal akan terisi oleh bahan radiopaque ini.
Jika terdapat batu empedu, bayangannya akan Nampak pada foto rontgen.
Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah, kehamilan,
kadar bilirubin serum diatas 2mg/dl, obstruksi pilorus, ada reaksi alergi terhadap
kontras, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan tertentu tersebut kontras
tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan kolesistografi oral lebih bermakna pada
penilaian fungsi kandung empedu. Cara ini juga memerlukan lebih banyak
waktu dan persiapan dibandingkan ultrasonografi.

6) Endoscopic Retrograde Cholangiopnacreatography (ERCP)

Pemeriksaan ERCP memungkinkan visualisasi struktur secara langsung


yang hanya dapat dilihat pada saat melakukan laparotomi. Pemeriksaan ini
meliputi insersi endoskop serat-optik yang fleksibel ke dalam esophagus hingga
mencapai duodenum pasrs desenden.Sebuah kanula dimasukkan ke dalam
duktus koledokus dan duktus pankreatikus, kemudian bahan kontras
disuntikkan ke dalam duktus tersebut untuk memungkinkan visualisasi serta
evaluasi percabangan bilier. ERCP juga memungkinkan visualisasi langsung
struktur ini dan memudahkan akses ke dalam duktus koledokus bagian distal
untuk mengambil batu empedu.

7) Percutaneous Transhepatic Cholangiography (PTC)


Pemeriksaan kolangiografi ini meliputi penyuntikan bahan kontras secara
langsung ke dalam percabangan bilier. Karena konsentrasi bahan kontras yang
disuntikkan relative besar, maka semua komponen dalam system bilier tersebut,
yang mencakup duktus hepatikus dalam hati, keseluruhan panjang doktus
koledokus, duktus sistikus dan kandung empedu, dapat dilihat garis bentuknya
dengan jelas.

8) Computed Tomografi (CT)

CT scan juga merupakan metode pemeriksaan yang akurat untuk


menentukan adanya batu empedu, pelebaran saluran empedu dan
koledokolitiasis. Walaupun demikian, teknik ini jauh lebih mahal dibanding
US.

2. Diagnosa Keperawatan
Pre Operasi

1) Nyeri Akut berhubungan dengan Agen pencedera fisiologis dibuktikan


dengan tampak meringis, bersikap protektif, gelisah, frekuensi nadi
meningkat, sulit tidur, tekana darah yang meningkat, pola napas berubah,
nafsu makan berubah, proses berpikir terganggu, menarik diri, berfokus
pada diri sendiri, diaforesis.
2) Defisit nutrisi berhubungan dengan faktor psikologis dibuktikan dengan
bising usus hiperaktif, membran mukosa pucat, diare.
3) Risiko ketidakseimbangan cairan berhubungan dengan obstruksi
intestinal
4) Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi ditandai dengan
tampak gelisah, tampak tegang, sulit tidur, frekuensi napas meningkay,
frekuensi nadi meningkat, tekanan darah meningkat, muka tampak pucat,
sering berkemih.
Post operasi
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik dibuktikan
dengan tampak meringis, bersikap protektif, gelisah, frekuensi nadi
meningkat, sulit tidur, tekana darah yang meningkat, pola napas
berubah, nafsu makan berubah, proses berpikir terganggu, menarik diri,
berfokus pada diri sendiri, diaforesis.
2) Resiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasive dibuktikan
dengan Tindakan invasive, leukositopenia.

3. Diagnosa Dan Intervensi Keperawatan Menurut SDKI


No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi
Keperawatan Hasil
1. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nyeri
berhubungan keperawatan 1 x 60 menit (I.08238)
dengan agen diharapkan tingkat nyeri Observasi:
pencedera menurun dengan kriteria -Identifikasi lokasi,
fisiologis hasil : karakteristik, durasi,
(inflamasi) dan Tingkat Nyeri (L.08066) frekuensi, kualitas,
Nyeri akut -Keluhan nyeri menurun intensitas nyeri
berhubungan -Meringis menurun -Identifikasi skala nyeri
dengan agen -Gelisah menurun -Idenfitikasi respon nyeri
pencedera fisik -Kesulitan tidur menurun non verbal
(D.0077) -Menarik diri menurun -Identifikasi faktor yang
-Berfokus pada diri sendiri memperberat dan
menurun memperingan nyeri
-Diaforesis menurun
-Anoreksia menurun Terapeutik:
-Perineum terasa tertekan -Berikan Teknik
menurun nonfarmakologis untuk
-Uterus teraba membulat mengurangi nyeri (mis:
menurun TENS, hypnosis, akupresur,
-Ketegsngsn otot menurun terapi music, biofeedback,
-Muntah menurun terapi pijat, aromaterapi,
-Mual menurun Teknik imajinasi
-Frekuensi nadi membaik terbimbing, kompres
-Nafsu makan membaik hangat/dingin, terapi
bermain)
-Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri
(mis: suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan)
-Fasilitasi istirahat dan tidur
-Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam
pemilihan strategi
meredakan nyeri

Edukasi :
-Jelaskan penyebab, periode,
dan pemicu nyeri
-Jelaskan strategi meredakan
nyeri
-Anjurkan memonitor nyeri
secara mandiri
- Anjurkan menggunakan
analgesik secara tepat
-Ajarkan Teknik
farmakologis untuk
mengurangi nyeri

Kolaborasi :
- Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu

2. Defisit nutrisi Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nutrisi


berhubungan keperawatan selama 3x24 (I.03119)
dengan factor jam pasien diharapkan Observasi :
psikologis status nutrisi membaik -Identifikasi status nutrisi
(keengganan untuk dengan kriteria hasil : -Identifikasi makanan yang
makan). (D0019) Status Nutrisi (L.03030) disukai
-Porsi makanan yang -Identifikasi kebutuhan
dihabiskan meningkat kalori dan jenis nutrien
-Pengetahuan tentang -Monitor asupan makanan
pilihan makanan yang sehat -Monitor berat badan
meningkat -Monitor hasil pemeriksaan
-Pengetahuan tentang laboratorium
standar asupan nutrisi yang Terapeutik:
tepat meningkat -Fasilitasi menentukan
-Sikap terhadap pedoman diet (mis.
makanan/minuman sesuai Paramida makanan)
dengan tujuan kesehatan -Sajikan makanan secara
meningkat menarik dan suhu yang
-Nyeri abdomen menurun sesuai
-Berat badan membaik -Berikan makanan tinggi
-Indeks Massa Tubuh serat untuk mencegah
(IMT) membaik konstipasi
-Frekuensi makan membaik -Berikan makanan yang
tinggi kalori dan tinggi
protein
Edukasi :
-Anjurkan posisi duduk, jika
mampu
-Ajarkan diet yang
diprogramkan
Kolaborasi :
-Kolaborasi pemberian
medikasi sebelum makan
(mis. Pereda nyeri,
antiemetik), jika perlu
-Kolaborasi dengan ahli gizi
untuk menentukan jumlah
kalori dan jenis nutrien yang
dibutuhkan, jika perlu
3. Ansietas Setelah dilakukan tindakan Reduksi Ansietas (I.09314)
berhubungan keperawatan selama 2x24 Observasi :
dengan kurang jam pasien diharapkan -Identifikasi saat tingkat
terpapar informasi tingkat ansietas menurun ansietas berubah (mis.
(D.0080) dengan kriteria hasil : Kondisi, waktu, stresor)
(L.09093) -Identifikasi kemampuan
-Verbalisasi kebingungan mengambil keputusan
menurun -Monitor tanda-tanda
-Verbalisasi khawatir ansietas (verbal dan non
akibat kondisi yang verbal)
dihadapi menurun
-Perilaku gelisah menurun Terapeutik :
-Perilaku tegang menurun -Ciptakan suasana terapeutik
-Keluhan pusing menurun untuk menumbuhkan
-Pucat menurun kepercayaan
-Konsentrasi membaik -Temani pasien untuk
mengurangi kecematan, Jika
memungkinkan
-Pahami situasi yang
membuat ansietas
-Dengarkan dengan penuh
perhatian
- Gunakan pendekatan yang
tenang dan meyakinkan
-Motivasi mengidentifikasi
situasi yang memicu
kecemasan
-Diskusikan perencanaan
realistis tentang peristiwa
yang akan datang

Edukasi :
-Jelaskan prosedur,
termasuk sensasi yang
mungkin dialami
-Informasikan secara faktual
mengenai diagnosis,
pengobatan dan prognosis
-Latih kegiatan pengalihan
untuk mengurangi
ketegangan
-Latih teknik relaksasi

Kolaborasi :
-Kolaborasi pemberian obat
antiansietas, jika perlu
4. Risiko Setelah dilakukan tindakan Manajemen Cairan (I.03098)
ketidakseimbangan keperawatan selama 3x24 Observasi :
cairan jam pasien diharapkan -Monitor status hidrasi (mis.
berhubungan Risiko ketidakseimbangan Frekuensi nadi, kekuatan nadi,
akral, pengisian kapiler,
dengan obstruksi cairan membaik dengan
kelmbapan mukosa, turgor
intestinal. kriteria hasil : kulit, tekanan darah)
(D.0036) Keseimbangan Cairan -Monitor berat badan harian
(L.03020) -Monitor berat badan sebelum
-Membran mukosa lembab dan sesudah dialysis
meningkat -Monitor hasil pemeriksaan
-Edema menurun laboratorium (mis. Hematocrit,
-Intake cairan membaik Na, K, Cl, berat jenis urine,
-Output urine membaik BUN)
-Tekanan darah membaik
-Frekuensi nadi membaik Terapeutik :
-Catat intake-output dan hitung
-Kekuatan nadi membaik
balans cairan 24 jam
-Turgor kulit membaik -Berikan asupan cairan, sesuai
-Berat badan membaik kebutuhan
-Berikan cairan intravena, jika
perlu
Kolaborasi :
-Kolaborasi pemberian
diuretic, jika perlu

5. Resiko infeksi Setelah dilakukan Pencegahan infeksi


berhubungan tindakan keperawatan (I.14539)
dengan efek selama 3x24jam
prosedur invasive Tingkat infeksi menurun Observasi
dibuktikan dengan (L.14137). Dengan - Monitor tanda dan gejala
Tindakan invasive, kriteria hasil: infeksi local dan sistemik
leukositopenia - Kebersihan tangan
(D.0142) meningkat Terapeutik
- Kebersihan badan - Batasi jumlah
meningkat pengunjung
- Demam menurun - Berikan perawatan kulit
- Kemerahan menurun pada area edema
- Nyeri menurun - Cuci tangan sebelum dan
- Bengkak menurun sesudah kontak dengan
- Vesikel menurun pasien dan lingkungan
- Cairan berbau busuk pasien
menurun - Pertahankan teknik
- Sputum berwarna hijau aseptic pada pasien
menurun beresiko tinggi
- Drainase purulent
menurun Edukasi
- Pyuria menurun - Jelaskan tanda dan
- Periode malaise gejala infeksi
menurun - Ajarkan cara mencuci
- Periode menggigil tangan dengan benar
menurun - Ajarkan etika batuk
- Letargi menurun - Ajarkan cara memeriksa
- Gangguan kognitif kondisi luka atau luka
menurun operasi
- Kadar sel darah putih - Anjurkan meningkatkan
membaik asupan nutrisi
- Kultur darah membaik - Anjurkan meningkatkan
- Kultur urine membaik asupan cairan
- Kultur sputum
membaik Kolaborasi
- Kultur area luka - Kolaborasi pemberian
membaik imunisasi, jika perlu
- Kultur feses membaik
- Nafsu makan membaik
4. Evaluasi Keperawatan
S ( Subjektif ) : informasi berupa ungkapan yang di dapat dari Pasien setelah
tindakan yang di berikan

O ( Objektif ) : informasi yang di dapatkan berupa hasil pengamatan,


Penilaian dan pengukuran yang di lakukan

A ( Analisa ) : Membandingkan antara informasi subjektif dan Objektif


dengan masalah teratasi, teratasi sebagian atau tidak teratasi

P ( Planing ) : Rencana keperawatan lanjutan yang di lakukan terhadap


analisa data bisa di pertahankan atau diganti.
DAFTAR PUSTAKA

David SK, dkk., 2015.   Hubungan Antara Jenis Batu dan Perubahan Mukosa Kandung
Empedu pada Pasien Batu Kandung Empedu. Manado : Jurnal Biomedik
(JBM), Vol.7 No. 3, Suplemen, November 2015, hlm. S41-47
Jojorita HG, dkk., 2011. Karakteristik Penderita Kolelitiasis yang Dirawat Inap di
Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan pada Tahun 2010 – 2011. Medan :
Universitas Sumatera Utara.
Muttaqin, Arif dan Sari, Kumala. 2011. Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika.

Nucleus P.N. (2011). Batu Empedu. www.mirbrokers.com. Diakses pada 01 Desember


2019

Patrick CDG, dkk., 2015. Gambaran Ultrasonografi Batu Empedu pada Pria & Wanita
di Bagian Radiologi FK UNSRAT BLU RSUP PROF. DR. R. D. Kandou
Manado Periode Oktober 2012 – Oktober 2014. Manado : Jurnal e-Clinic
(eCI), Vol.3 No.1, Januari – April 2015.
Suzanna Ndraha, dkk., 2014. Profil Kolelitiasis pada Hasil Ultrasonografi di Rumah
Sakit Umum Daerah Koja. Jakarta : Jurnal Kedokteran Meditel Vol. 20 No. 53,
Mei-Agust 2014.
Smeltzer, Suzanne C. (2009) Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth, alih bahasa: Agung Waluyo (et. al.), vol. 1, edisi 8, Jakarta: EGC.

Smeltzer, SC dan Bare, BG. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8.
Vol.2.  Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Anda mungkin juga menyukai