Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN ILEUS OBSTRUKTIF

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


1. Pengertian
Obstruksi usus adalah gangguan pada aliran normal isi usus sepanjang
traktus intestinal (Nettina, 2001). Obstruksi terjadi ketika ada gangguan yang
menyebabkan terhambatnya aliran isi usus ke depan tetapi peristaltiknya
normal (Reeves, 2001). Obstruksi usus merupakan suatu blok saluran usus
yang menghambat pasase cairan, flatus dan makanan dapat secara mekanis
atau fungsional. (Tucker, 1998)
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa obstruksi usus adalah
sumbatan total atau parsial yang menghalangi aliran normal melalui saluran
pencernaan.

2. Anatomi dan Fisiologi

1) Anatomi sistem pencernaan


a. Mulut
Mulut adalah permulaan saluran pencernaan yang terdiri atas 2
bagian :
1) Bagian luar yang sempit atau vestibula yaitu diruang antara gusi,
bibir dan pipi.
2) Rongga mulut/bagian dalam yaitu rongga mulut yang dibatasi
sisinya oleh tulang maksilaris, palatum dan mandi bilaris disebelah
belakang bersambung dengan faring.
b. Faring
Faring merupakan organ yang menghubungkan rongga mulut
dengan kerongkongan, merupakan persimpangan jalan nafas dan jalan
makanan, letaknya dibelakang rongga mulut dan didepan ruas tulang
belakang.
c. Esofagus (kerongkongan)
Panjangnya ± 25 cm, mulai dari faring sampai pintu masuk
kardiak dibawah lambung. Esofagus terletak dibelakang trakea dan
didepan tulang punggung setelah melalui thorak menembus diafragma
masuk kedalam abdomen ke lambung.
d. Gaster (lambung)
Merupakan bagian dari saluran pencernaan yang dapat
mengembang paling banyak terutama didaerah epigaster. Bagian-bagian
lambung, yaitu :
1) Fundus ventrikularis, bagian yang menonjol keatas terletak disebelah
kiri osteum kardium biasanya berisi gas.
2) Korpus ventrikuli, setinggi osteum kardium, suatu lekukan pada
bagian bawah notura minor.
3) Antrum pilorus, berbentuk tebing mempunyai otot tebal membentuk
spinkter pilorus.
4) Kurtura minor, terletak disebelah kanan lambung, terdiri dari osteum
kordi samapi pilorus.
5) Kurtura mayor, lebih panjang dari kurtura minor terbentang dari sisi
kiri osteum kardium melalui fundus kontrikuli menuju kekanan
sampai ke pilorus anterior.
e. Usus halus
Usus halus merupakan bagian dari sistem pencernaan makanan yang
berpangkal pada pilorus dan berakhir pada sekum panjangnya ± 6cm,
merupakan saluran paling panjang tempat proses pencernaan dan obstruksi
hasil pencernaan makanan.
Usus halus terdiri dari :
1) Duodenum
Disebut juga usus 12 jari, panjangnya ± 25 cm, berbentuk sepatu
kuda melengkung kekiri, pada lengkungan ini terdapat pankreas. Pada
bagian kanan duodenum terdapat selaput lendir yang nambulir disebut
papila vateri.
2) Yeyunum
Usus kosong atau jejunum adalah bagian kedua dari usus halus,
di antara usus dua belas jari (duodenum) dan usus penyerapan (ileum).
Pada manusia dewasa panjangnya ± 2-3 meter.
3) Ileum
Usus penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir dari usus
halus. Pada sistem pencernaan manusia panjangnya sekitar ± 4-5 m
dan terletak setelah duodenum dan jejunum, dan dilanjutkan oleh usus
buntu. Ileum memiliki pH antara 7 dan 8 (netral atau sedikit basa) dan
berfungsi menyerap vitamin B12 dan garam-garam empedu.
f. Usus besar/interdinum mayor
Panjangnya ± 1 meter, lebar 5-6 cm, fungsinya menyerap air dari
makanan, tempat tinggal bakteri koli, tempat feces. Usus besar terdiri atas
8 bagian:
1) Sekum.
2) Kolon asenden.
Terletak diabdomen sebelah kanan, membujur keatas dari ileum
sampai kehati, panjangnya ± 13 cm.
3) Appendiks (usus buntu)
Sering disebut umbai cacing dengan panjang ± 6 cm.
4) Kolon transversum.
Membujur dari kolon asenden sampai ke kolon desenden dengan
panjang ± 28 cm.
5) Kolon desenden.
Terletak dirongga abdomen disebelah kiri membujur dari anus ke
bawah dengan panjangnya ± 25 cm.
6) Kolon sigmoid.
Terletak dalam rongga pelvis sebelah kiri yang membentuk huruf "S"
ujung bawah berhubungan dengan rektum.
7) Rektum.
Terletak dibawah kolon sigmoid yang menghubungkan intestinum
mayor dengan anus.
8) Anus.
Anus adalah bagian dari saluran pencernaan yang menghubungkan
rektum dengan dunia luar.
2) Fisiologi sistem pencernaan

Usus halus mempunyai dua fungsi utama, yaitu : pencernaan dan


absorpsi bahan nutrisi dan air. Proses pencernaan dimulai dalam mulut dan
lambung oleh kerja ptialin, asam klorida, dan pepsin terhadap makanan
masuk. Proses dilanjutkan di dalam duodenum terutama oleh kerja enzim-
enzim pankreas yang menghidrolisis karbohidrat, lemak, dan protein
menjadi zat-zat yang lebih sederhana. Adanya bikarbonat dalam sekret
pankreas membantu menetralkan asam dan memberikan pH optimal untuk
kerja enzim-enzim. Sekresi empedu dari hati membantu proses pencernaan
dengan mengemulsikan lemak sehingga memberikan permukaan lebih luas
bagi kerja lipase pankreas (Price & Wilson, 1994).
Isi usus digerakkan oleh peristaltik yang terdiri atas dua jenis gerakan,
yaitu segmental dan peristaltik yang diatur oleh sistem saraf autonom dan
hormon (Sjamsuhidajat Jong, 2005). Pergerakan segmental usus halus
mencampur zat-zat yang dimakan dengan sekret pankreas, hepatobiliar,
dan sekresi usus, dan pergerakan peristaltik mendorong isi dari salah satu
ujung ke ujung lain dengan kecepatan yang sesuai untuk absorpsi optimal
dan suplai kontinu isi lambung (Price & Wilson, 1994).
Absorpsi adalah pemindahan hasil-hasil akhir pencernaan karbohidrat,
lemak dan protein (gula sederhana, asam-asam lemak dan asa-asam amino)
melalui dinding usus ke sirkulasi darah dan limfe untuk digunakan oleh
sel-sel tubuh. Selain itu air, elektrolit dan vitamin juga diabsorpsi.
Absoprpsi berbagai zat berlangsung dengan mekanisme transpor aktif dan
pasif yang sebagian kurang dimengerti (Price & Wilson, 1994).
Usus besar mempunyai berbagai fungsi yang semuanya berkaitan
dengan proses akhir isi usus. Fungsi usus besar yang paling penting adalah
mengabsorpsi air dan elektrolit, yang sudah hampir lengkap pada kolon
bagian kanan. Kolon sigmoid berfungsi sebagai reservoir yang
menampung massa feses yang sudah dehidrasi sampai defekasi
berlangsung (Preice & Wilson, 1994). Kolon mengabsorpsi air, natrium,
khlorida, dan asam lemak rantai pendek serta mengeluarkan kalium dan
bikarbonat. Hal tersebut membantu menjaga keseimbangan air dan
elektrolit dan mencegah terjadinya dehidrasi. (Schwartz, 2000)
Gerakan retrograd dari kolon memperlambat transit materi dari kolon
kanan dan meningkatkan absorpsi. Kontraksi segmental merupakan pola
yang paling umum, mengisolasi segmen pendek dari kolon, kontraksai ini
menurun oleh antikolinergik, meningkat oleh makanan dan kolinergik.
Gerakan massa merupakan pola yang kurang umum, pendorong antegrad
melibatkan segmen panjang 0,5-1,0 cm/detik, tekanan 100-200 mmHg,
tiga sampai empat kali sehari, terjadi dengan defekasi. (Schwartz, 2000)
Gas kolon berasal dari udara yang ditelan, difusi dari darah, dan
produksi intralumen. Nitrogen, oksigen, karbon dioksida, hidrogen, metan.
Bakteri membentuk hidrogen dan metan dari protein dan karbohidrat yang
tidak tercerna. Normalnya 600 ml/hari. (Schwartz, 2000)

3. Etiologi
Adapun penyebab dari obstruksi usus dibagi menjadi dua bagian menurut
jenis obstruksi usus, yaitu:
1) Mekanis
Faktor mekanis yaitu terjadi obstruksi intramunal atau obstruksi
munal dari tekanan pada usus, diantaranya :
a. Intususepsi
b. Tumor dan neoplasma
c. Stenosis
d. Striktur
e. Perlekatan (adhesi)
f. Hernia
g. Abses
2) Fungsional
Yaitu akibat muskulator usus tidak mampu mendorong isi
sepanjang usus. (Brunner and Suddarth, 2002)

4. Tanda dan Gejala


Terdapat 4 tanda kardinal gejala ileus obstruktif (Winslet, 2002) :
1) Nyeri abdomen
2) Muntah
3) Distensi
4) Kegagalan buang air besar atau gas (konstipasi).
Gejala ileus obstruktif bervariasi tergantung kepada (Winslet, 2002) :
1) Lokasi obstruksi
2) Lamanya obstruksi
3) Penyebabnya
4) Ada atau tidaknya iskemia usus
Gejala selanjutnya yang bisa muncul termasuk dehidrasi, oliguria, syok
hypovolemik, pireksia, septikemia, penurunan respirasi dan peritonitis.
Terhadap setiap penyakit yang dicurigai ileus obstruktif, semua kemungkinan
hernia harus diperiksa. (Winslet, 2002)
Nyeri abdomen biasanya agak tetap pada mulanya dan kemudian
menjadi bersifat kolik. Ia sekunder terhadap kontraksi peristaltik kuat pada
dinding usus melawan obstruksi. Frekuensi episode tergantung atas tingkat
obstruksi, yang muncul setiap 4 sampai 5 menit dalam ileus obstruktif usus
halus, setiap 15 sampai 20 menit pada ileus obstruktif usus besar. Nyeri dari
ileus obstruktif usus halus demikian biasanya terlokalisasi supraumbilikus di
dalam abdomen, sedangkan yang dari ileus obstruktif usus besar biasanya
tampil dengan nyeri intaumbilikus. Dengan berlalunya waktu, usus
berdilatasi, motilitas menurun, sehingga gelombang peristaltik menjadi
jarang, sampai akhirnya berhenti. Pada saat ini nyeri mereda dan diganti oleh
pegal generalisata menetap di keseluruhan abdomen. Jika nyeri abdomen
menjadi terlokalisasi baik, parah, menetap dan tanpa remisi, maka ileus
obstruksi strangulata harus dicurigai. (Sabiston, 1995)
Muntah refleks ditemukan segera setelah mulainya ileus obstruksi yang
memuntahkan apapun makanan dan cairan yang terkandung, yang juga diikuti
oleh cairan duodenum, yang kebanyakan cairan empedu (Harrison’s, 2001).
Muntah tergantung atas tingkat ileus obstruktif. Jika ileus obstruktif usus
halus, maka muntah terlihat dini dalam perjalanan dan terdiri dari cairan
jernih hijau atau kuning. Usus didekompresi dengan regurgitasi, sehingga tak
terlihat distensi.
Konstipasi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu konstipasi absolut
(dimana feses dan gas tidak bisa keluar) dan relatif (dimana hanya gas yang
bisa keluar) (Winslet, 2002). Kegagalan mengerluarkan gas dan feses per
rektum juga suatu gambaran khas ileus obstruktif.
Pireksia di dalam ileus obstruktif dapat digunakan sebagai petanda
(Winslet, 2002) :
1) Mulainya terjadi iskemia
2) Perforasi usus
3) Inflamasi yang berhubungan denga penyakit obsruksi
Hipotermi menandakan terjadinya syok septikemia. Nyeri tekan
abdomen yang terlokalisir menandakan iskemia yang mengancam atau sudah
terjadi. Perkembangan peritonitis menandakan infark atau perforasi. (Winslet,
2002)
5. Fatofisiologi
6. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan radiologi
a. Foto polos abdomen
Dengan posisi terlentang dan tegak (lateral dekubitus)
memperlihatkan dilatasi lengkung usus halus disertai adanya batas antara
air dan udara atau gas (air-fluid level) yang membentuk pola bagaikan
tangga.
b. Pemeriksaan radiologi dengan Barium Enema
Mempunyai suatu peran terbatas pada pasien dengan obstruksi usus
halus. Pengujian Enema Barium terutama sekali bermanfaat jika suatu
obstruksi letak rendah yang tidak dapat pada pemeriksaan foto polos
abdomen. Pada anak-anak dengan intussuscepsi, pemeriksaan enema
barium tidak hanya sebagai diagnostik tetapi juga mungkin sebagai terapi.
c. CT–Scan.
Pemeriksaan ini dikerjakan jika secara klinis dan foto polos
abdomen dicurigai adanya strangulasi. CT–Scan akan mempertunjukkan
secara lebih teliti adanya kelainan-kelainan dinding usus, mesenterikus,
dan peritoneum. CT–Scan harus dilakukan dengan memasukkan zat
kontras kedalam pembuluh darah. Pada pemeriksaan ini dapat diketahui
derajat dan lokasi dari obstruksi.
d. USG
Pemeriksaan ini akan mempertunjukkan gambaran dan penyebab
dari obstruksi.
e. MRI
Walaupun pemeriksaan ini dapat digunakan, tetapi tehnik dan
kontras yang ada sekarang ini belum secara penuh mapan. Tehnik ini
digunakan untuk mengevaluasi iskemia mesenterik kronis.
f. Angiografi
Angiografi mesenterik superior telah digunakan untuk mendiagnosis
adanya herniasi internal, intussuscepsi, volvulus, malrotation, dan adhesi.
2) Pemeriksaan laboratorium
Leukositosis mungkin menunjukkan adanya strangulasi, pada urinalisa
mungkin menunjukkan dehidrasi. Analisa gas darah dapat mengindikasikan
asidosis atau alkalosis metabolic. ( Brunner and Suddarth, 2002 )

7. Komplikasi
1) Peritonitis karena absorbsi toksin dalam rongga peritonium sehingga terjadi
peradangan atau infeksi yang hebat pada intra abdomen.
2) Perforasi dikarenakan obstruksi yang sudah terjadi terlalu lama pada organ
intra abdomen.
3) Sepsis, infeksi akibat dari peritonitis, yang tidak tertangani dengan baik dan
cepat.
4) Syok hipovolemik terjadi akibat dehidrasi dan kehilangan volume plasma.
(Brunner and Suddarth, 2001)

8. Penatalaksanaan
Dasar pengobatan ileus obstruksi adalah koreksi keseimbangan elektrolit
dan cairan, menghilangkan peregangan dan muntah dengan dekompresi,
mengatasi peritonitis dan syok bila ada, dan menghilangkan obstruksi untuk
memperbaiki kelangsungan dan fungsi usus kembali normal.
a. Resusitasi
Dalam resusitasi yang perlu diperhatikan adalah mengawasi tanda - tanda
vital, dehidrasi dan syok. Pasien yang mengalami ileus obstruksi mengalami
dehidrasi dan gangguan keseimbangan ektrolit sehingga perlu diberikan
cairan intravena seperti ringer laktat. Respon terhadap terapi dapat dilihat
dengan memonitor tanda - tanda vital dan jumlah urin yang keluar. Selain
pemberian cairan intravena, diperlukan juga pemasangan nasogastric tube
(NGT). NGT digunakan untuk mengosongkan lambung, mencegah aspirasi
pulmonum bila muntah dan mengurangi distensi abdomen.
b. Farmakologis
Pemberian obat - obat antibiotik spektrum luas dapat diberikan sebagai
profilaksis. Antiemetik dapat diberikan untuk mengurangi gejala mual
muntah.
c. Operatif
Operasi dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi nasogastrik untuk
mencegah sepsis sekunder. Operasi diawali dengan laparotomi kemudian
disusul dengan teknik bedah yang disesuaikan dengan hasil eksplorasi selama
laparotomi. Berikut ini beberapa kondisi atau pertimbangan untuk dilakukan
operasi : Jika obstruksinya berhubungan dengan suatu simple obstruksi atau
adhesi, maka tindakan lisis yang dianjurkan. Jika terjadi obstruksi stangulasi
maka reseksi intestinal sangat diperlukan. Pada umumnya dikenal 4 macam
cara/tindakan bedah yang dilakukan pada obstruksi ileus :
1) Koreksi sederhana (simple correction), yaitu tindakan bedah sederhana
untuk membebaskan usus dari jepitan, misalnya pada hernia incarcerata
non-strangulasi, jepitan oleh streng/adhesi atau pada volvulus ringan.
2) Tindakan operatif by-pass, yaitu tindakan membuat saluran usus baru
yang “melewati” bagian usus yang tersumbat, misalnya pada tumor
intralurninal, Crohn disease, dan sebagainya.
3) Membuat fistula entero-cutaneus pada bagian proximal dari tempat
obstruksi, misalnya pada Ca stadium lanjut.
4) Melakukan reseksi usus yang tersumbat dan membuat anastomosis
ujung-ujung usus untuk mempertahankan kontinuitas lumen usus,
misalnya pada carcinoma colon, invaginasi, strangulata, dan sebagainya.
Pada beberapa obstruksi ileus, kadang-kadang dilakukan tindakan
operatif bertahap, baik oleh karena penyakitnya sendiri maupun karena
keadaan penderitanya, misalnya pada Ca sigmoid obstruktif, mula-mula
dilakukan kolostomi saja, kemudian hari dilakukan reseksi usus dan
anastomosis. (Sabara, 2007)
B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Identitas
Biodata klien yang penting meliputi nama, umur, jenis kelamin,
agama, suku dan gaya hidup.
b. Riwayat Kesehatan
1. Keluhan utama
Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan klien pada saat dikaji.
Pada umumnya akan ditemukan klien merasakan nyeri pada abdomennya
biasanya terus menerus, demam, nyeri tekan dan nyeri lepas, abdomen
tegang dan kaku.
2. Riwayat kesehatan sekarang
Mengungkapkan hal-hal yang menyebabkan klien mencari
pertolongan, dikaji dengan menggunakan pendekatan PQRST :
P : Apa yang menyebabkan timbulnya keluhan.
Q : Bagaiman keluhan dirasakan oleh klien, apakah hilang, timbul atau
terus- menerus (menetap).
R : Di daerah mana gejala dirasakan
S : Keparahan yang dirasakan klien dengan memakai skala numeric
1 s/d 10.
T : Kapan keluhan timbul, sekaligus factor yang memperberat dan
memperingan keluhan.
3. Riwayat kesehatan dahulu
Apakah klien sebelumnya pernah mengalami penyakit pada sistem
pencernaan, atau adanya riwayat operasi pada sistem pencernaan.
4. Riwayat kesehatan keluarga
Apakah ada anggota keluarga yang mempunyai penyakit yang sama
dengan klien.
c. Pemeriksaan fisik
1. Status kesehatan umum
Tingkat kesadaran pasien perlu dikaji, bagaimana penampilan pasien
secara umum, ekspresi wajah pasien selama dilakukan anamnesa, sikap
dan perilaku pasien terhadap petugas, bagaimana mood pasien.
2. Sistem pernafasan
Peningkatan frekuensi napas, napas pendek dan dangkal
3. Sistem kardiovaskuler
Takikardi, pucat, hipotensi (tanda syok)
4. Sistem persarafan
Tidak ada gangguan pada sistem persyarafan
5. Sistem perkemihan
Retensio urine akibat tekanan distensi abdomen, anuria/oliguria, jika
syok hipovolemik
6. Sistem pencernaan
Distensi abdomen, muntah, bising usus meningkat, lemah atau tidak ada,
ketidakmampuan defekasi dan flatus.
7. Sistem muskuloskeletal
Kelelahan, kesulitan ambulansi
8. Sistem integumen
Turgor kulit buruk, membran mukosa pecah-pecah (syok)
9. Sistem endokrin
Tidak ada gangguan pada sistem endokrin
10. Sistem reproduksi
Tidak ada gangguan pada sistem reproduksi

2. Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul


Adapun diagnosa keperawatan yang sering muncul pada klien dengan
ileus obstruksi adalah sebagai berikut : (Doenges, M.E. 2001 dan Wong D.L)
1. Kekurangan volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan intake yang
tidak adequat dan ketidakefektifan penyerapan usus halus.
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d gangguan absorbsi nutrisi.
3. Ketidak efektifan pola nafas berhubungan dengan distensi abdomen
4. Gangguan pola eliminasi: konstipasi berhubungan dengan disfungsi motilitas
usus.
5. Nyeri berhubungan dengan distensi abdomen
6. Kecemasan berhubungan dengan perubahan status kesehatan.

3. Intervensi keperawatan
1. Kekurangan volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan intake yang
tidak adequat dan ketidakefektifan penyerapan usus halus
Tujuan :
 Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam kebutuhan
cairan dan elektrolit terpenuhi.

a. Tanda vital normal (N:70-80 x/menit, S: 36-37 C, TD : 110/70 -120/80


mmHg)
b. Intake dan output cairan seimbang
c. Turgor kulit elastic
d. Mukosa lembab
e. Elektrolit dalam batas normal (Na: 135-147 mmol/L, K: 3,5-5,5
mmol/L, Cl: 94-111 mmol/L).
Intervensi :

Intervensi Rasional
1. Kaji kebutuhan cairan pasien 1. Mengetahui kebutuhan cairan pasien.
2. Observasi tanda-tanda vital 2. Perubahan yang drastis pada tanda-
tanda vital merupakan indikasi
kekurangan cairan.
3. Observasi tingkat kesadaran dan tanda- 3. kekurangan cairan dan elektrolit dapat
tanda syok mempengaruhi tingkat kesadaran dan
mengakibatkan syok.
4. Observasi bising usus pasien tiap 1-2 jam 4. Menilai fungsi usus
5. Monitor intake dan output secara ketat 5. Menilai keseimbangan cairan
6. Pantau hasil laboratorium serum 6. Menilai keseimbangan cairan dan
elektrolit, hematokrit elektrolit
7. Beri penjelasan kepada pasien dan 7. Meningkatkan pengetahuan pasien dan
keluarga tentang tindakan yang keluarga sertakerjasama antara
dilakukan: pemasangan NGT dan puasa. perawat-pasien-keluarga.
8. Kolaborasi dengan medik untuk 8. Memenuhi kebutuhan cairan dan
pemberian terapi intravena elektrolit pasien.
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
gangguan absorbsi nutrisi.
Tujuan :
 Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam kebutuhan
nutrisi teratasi.
Kriteria hasil :
1. Tidak ada tanda-tanda mal nutrisi.
2. Berat badan stabil.
3. Pasien tidak mengalami mual muntah.
Intervensi :

Intervensi Rasional
1. Tinjau faktor-faktor individual yang 1. Mempengaruhi pilihan intervensi.
mempengaruhi kemampuan untuk
mencerna makanan, mis : status puasa,
mual, ileus paralitik setelah selang dilepas.
2. Auskultasi bising usus; palpasi abdomen; 2. Menentukan kembalinya peristaltik
catat pasase flatus. ( biasanya dalam 2-4 hari ).
3. Identifikasi kesukaan/ketidaksukaan diet 3. Meningkatkankerjasama pasien
dari pasien. Anjurkan pilihan makanan dengan aturan diet. Protein/vitamin C
tinggi protein dan vitamin C. adalah kontributor utuma untuk
pemeliharaan jaringan dan perbaikan.
Malnutrisi adalah fator dalam
menurunkan pertahanan terhadap
infeksi.
4. Observasi terhadap terjadinya diare; 4. Sindrom malabsorbsi dapat terjadi
makanan bau busuk dan berminyak. setelah pembedahan usus halus,
memerlukan evaluasi lanjut dan
perubahan diet, mis: diet rendah serat.
5. Kolaborasi dalam pemberian obat-obatan 5. Mencegah muntah. Menetralkan atau
sesuai indikasi: Antimetik, mis: menurunkan pembentukan asam
proklorperazin (Compazine). Antasida dan untuk mencegah erosi mukosa dan
inhibitor histamin, mis: simetidin kemungkinan ulserasi.
(tagamet).

3. Ketidak efektifan pola nafas berhubungan dengan distensi abdomen


Tujuan :
 Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam pola nafas
menjadi efektif

 Pasien memiliki pola pernafasan: irama vesikuler, frekuensi :


18-20x/menit
Intervensi :

Intervensi Rasional
1. Observasi TTV: P, TD, N,S 1. Perubahan pada pola nafas akibat
adanya distensi abdomen dapat
mempengaruhi peningkatan hasil
TTV.
2. Kaji status pernafasan: pola, frekuensi, 2. Adanya distensi pada abdomen dapat
kedalaman menyebabkan perubahan pola nafas.
3. Kaji bising usus pasien 3. Berkurangnya/hilangnya bising usus
menyebabkan terjadi distensi
abdomen sehingga mempengaruhi
pola nafas.
4. Tinggikan kepala tempat tidur 40-60 4. Mengurangi penekanan pada paru
derajat akibat distensi abdomen.
5. Observasi adanya tanda-tanda hipoksia 5. Perubahan pola nafas akibat adanya
jaringan perifer: cianosis distensi abdomen dapat menyebabkan
oksigenasi perifer terganggu yang
dimanifestasikan dengan adanya
cianosis.
6. Monitor hasil AGD 6. Mendeteksi adanya asidosis
respiratorik.
7. Berikan penjelasan kepada keluarga pasien 7. Meningkatkan pengetahuan dan
tentang penyebab terjadinya distensi kerjasama dengan keluarga pasien.
abdomen yang dialami oleh pasien
8. Laksanakan program medic pemberian 8. Memenuhi kebutuhan oksigenasi
terapi oksigen pasien

4. Gangguan pola eliminasi : konstipasi berhubungan dengan disfungsi motilitas


usus.
Tujuan :
 Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam pola
eliminasi kembali normal.
Kriteria hasil :
 Pola eliminasi BAB normal: 1x/hari, dengan konsistensi lembek, BU
normal : 5-35 x/menit, tidak ada distensi abdomen.
Intervensi :

Intervensi Rasional
1. Kaji dan catat frekuensi, warna dan 1. Mengetahui ada atau tidaknya
konsistensi feces kelainan yang terjadi pada eliminasi
fekal.
2. Auskultasi bising usus 2. Mengetahui normal atau tidaknya
pergerakan usus.
3. Kaji adanya flatus 3. Adanya flatus menunjukan perbaikan
fungsi usus.
4. Kaji adanya distensi abdomen 4. Gangguan motilitas usus dapat
Intervensi Rasional
Menyebabkan akumulasi gas di dalam
lumen usus sehingga terjadi distensi
abdomen.
5. Berikan penjelasan kepada pasien dan 5. Meningkatkan pengetahuan pasien
keluarga penyebab terjadinya gangguan dan keluarga serta untuk
dalam BAB meningkatkan kerjasana antara
perawat-pasien dan keluarga.
6. Kolaborasi dalam pemberian terapi 6. Membantu dalam pemenuhan
pencahar (Laxatif) kebutuhan eliminasi

5. Nyeri berhubungan dengan distensi abdomen


Tujuan :
 Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam rasa nyeri
teratasi atau terkontrol

 Pasien mengungkapkan penurunan ketidaknyamanan; menyatakan nyeri


pada tingkat dapat ditoleransi, menunjukkan rileks.
Intervensi :

Intervensi Rasional
1. Observasi TTV: N, TD, HR, P tiap shif 1. Nyeri hebat yang dirasakan pasien
akibat adanya distensi abdomen dapat
menyebabkan peningkatan hasil TTV.
2. Kaji keluhan nyeri, karakteristik dan skala 2. Mengetahui kekuatan nyeri yang
nyeri yang dirasakan pesien sehubungan dirasakan pasien dan menentukan
dengan adanya distensi abdomen tindakan selanjutnya guna mengatasi
nyeri.
3. Berikan posisi yang nyaman: posisi semi 3. Posisi yang nyaman dapat mengurangi
fowler rasa nyeri yang dirasakan pasien
4. Ajarkan dan anjurkan tehnik relaksasi tarik 4. Relaksasi dapat mengurangi rasa nyeri
nafas dalam saat merasa nyeri
5. Anjurkan pasien untuk menggunakan 5. Mengurangi nyeri yang dirasakan
tehnik pengalihan saat merasa nyeri hebat. pasien.
6. Kolaborasi dengan medic untuk terapi 6. Analgetik dapat mengurangi rasa
analgetik nyeri
6. Kecemasan berhubungan dengan perubahan status
kesehatan. Tujuan :
 Kecemasan
teratasi. Kriteria hasil :
 Pasien mengungkapkan pemahaman tentang penyakit saat ini dan
mendemonstrasikan keterampilan koping positif.
Intervensi :

Intervensi Rasional
1. Observasi adanya peningkatan kecemasan: 1. Rasa cemas yang dirasakan pasien
wajah tegang, gelisah dapat terlihat dalam ekspresi wajah
dan tingkah laku.
2. Kaji adanya rasa cemas yang dirasakan 2. Mengetahui tingkat kecemasan
pasien pasien.
3. Berikan penjelasan kepada pasien dan
keluarga tentang tindakan yang akan 3. Dengan mengetahui tindakan yang
dilakukan sehubungan dengan keadaan akan dilakukan akan mengurangi
penyakit pasien tingkat kecemasan pasien dan
4. Berikan kesempatan pada pasien untuk meningkatkan kerjasama
mengungkapkan rasa takut atau kecemasan 4. Dengan mengungkapkan kecemasan
yang dirasakan akan mengurangi rasa takut/cemas
5. Pertahankan lingkungan yang tenang dan pasien
tanpa stres. 5. Lingkungan yang tenang dan nyaman
dapat mengurangi stress pasien
6. Dorong dukungan keluarga dan orang berhadapan dengan penyakitnya
terdekat untuk memberikan support kepada 6. Support system dapat mengurani rasa
pasien cemas dan menguatkan pasien dalam
memerima keadaan sakitnya.
DAFTAR PUSTAKA

Herdman, T. Heather. 2012. Diagnosis keperawatan: definisi dan klasifikasi


2012- 2014. EGC: Jakarta

Nurarif, Amin Huda. Kusuma, Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan


Berdasarkan Diagnose Medis Dan Nanda Nic – Noc Edisi Revisi Jilid
2. Media Action : Yogjakarta.

Price &Wilson, (2007). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.


Edisi 6, Volume1. EGC: Jakarta.

Sjamsuhidajat. 2006. Manual Rekam Medis. Jakarta: Konsil Kedokteran


Indonesia

Wilkinson, J. M., & Ahern, N. R. (2011). Diagnosis Keperawatan Edisi 9.


EGC:Jakarta.

Chahayaningrum,Tenti. 2012. Asuhan Keperawatan Pada Tn. S Dengan


LaparatomiPada Ileus Obstruksi Di Instalasi Bedah SentralRsud Dr
Moewardi Surakarta.Universitas Muhammadiyah Surakarta :
Surakarta (jurnal).

Indrayani, M Novi. 2013. Diagnosis Dan Tata Laksana Ileus Obstruktif.


Universitas Udayana : Denpasar (jurnal)

Pasaribu,Nelly. 2012. Karakteristik Penderita Ileus Obstruktif Yang Dirawat


Inap Di Rsud Dr. Pirngadi Medan Tahun 2007-2010.Universitas
Sumatera Utara : Sumatera Utara (jurnal)

Anda mungkin juga menyukai