Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN PENDAHULUAN

DIARE

STASE KEPERAWATAN ANAK

Disusun Oleh:
EKA APRILLIA HASTYANING PANGESTU S.Kep
NIM : 19020021

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN “dr. SOEBANDI“ JEMBER
YAYASAN PENDIDIKAN JEMBER INTERNATIONAL SCHOOL(JIS)

2020
LAPORAN PENDAHULUAN
DIARE

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


Pengertian
Diare adalah penyakit yang ditandai dengan bertambahnya frekuensi defekasi
lebih dari biasanya (> 3 kali/hari) disertai perubahan konsistensi tinja (menjadi
cair), dengan/tanpa darah dan/atau lendir (Prof. Sudaryat, dr.SpAK, 2017).
Diare merupakan suatu keadaan pengeluaran tinja yang tidak normal atau
tidak seperti biasanya, dimulai dengan peningkatan volume, keenceran serta
frekuensi lebih dari 3 kali sehari dan pada neonatus lebih dari 4 kali sehari dengan
atau tanpa lendir dan darah (Hidayat AAA, 2016).
Dapat disimpulkan diare adalah inflamasi lambung dan usus yang
disebabkan oleh berbagai bakteri, virus, dan pathogen,yang di tandai dengan
bertambahnya frekuensi defekasi lebih dari biasanya (> 3 kali/hari) disertai
perubahan konsistensi tinja (menjadi cair), Diare juga dapat terjadi pada bayi dan
anak yang sebelumnya sehat dan pada neonatus lebih dari 4 kali sehari dengan
atau tanpa lendir dan darah.

2. Anatomi dan Fisiologi


1) Anatomi sistem pencernaan
a. Mulut
Mulut adalah permulaan saluran pencernaan yang terdiri atas 2 bagian :
1) Bagian luar yang sempit atau vestibula yaitu diruang antara gusi, bibir dan
pipi.
2) Rongga mulut/bagian dalam yaitu rongga mulut yang dibatasi sisinya oleh
tulang maksilaris, palatum dan mandi bilaris disebelah belakang bersambung
dengan faring.
a. Faring
Faring merupakan organ yang menghubungkan rongga mulut dengan
kerongkongan, merupakan persimpangan jalan nafas dan jalan makanan,
letaknya dibelakang rongga mulut dan didepan ruas tulang belakang.
b. Esofagus (kerongkongan)
Panjangnya ± 25 cm, mulai dari faring sampai pintu masuk kardiak
dibawah lambung. Esofagus terletak dibelakang trakea dan didepan tulang
punggung setelah melalui thorak menembus diafragma masuk kedalam
abdomen ke lambung.

c. Gaster (lambung)
Merupakan bagian dari saluran pencernaan yang dapat mengembang
paling banyak terutama didaerah epigaster. Bagian-bagian lambung, yaitu :
1. Fundus ventrikularis, bagian yang menonjol keatas terletak disebelah
kiri osteum kardium biasanya berisi gas.
2. Korpus ventrikuli, setinggi osteum kardium, suatu lekukan pada
bagian bawah notura minor.
3. Antrum pilorus, berbentuk tebing mempunyai otot tebal membentuk
spinkter pilorus.
4. Kurtura minor, terletak disebelah kanan lambung, terdiri dari osteum
kordi samapi pilorus.
5. Kurtura mayor, lebih panjang dari kurtura minor terbentang dari sisi
kiri osteum kardium melalui fundus kontrikuli menuju kekanan
sampai ke pilorus anterior

d. Usus halus
Usus halus merupakan bagian dari sistem pencernaan makanan yang
berpangkal pada pilorus dan berakhir pada sekum panjangnya ± 6cm,
merupakan saluran paling panjang tempat proses pencernaan dan obstruksi
hasil pencernaan makanan
Usus halus terdiri dari :
1. Duodenum
a. Disebut juga usus 12 jari, panjangnya ± 25 cm, berbentuk sepatu
kuda melengkung kekiri, pada lengkungan ini terdapat pankreas.
Pada bagian kanan duodenum terdapat selaput lendir yang
nambulir disebut papila vateri.
2. Yeyunum
Usus kosong atau jejunum adalah bagian kedua dari usus halus, di antara
usus dua belas jari (duodenum) dan usus penyerapan (ileum). Pada
manusia dewasa panjangnya ± 2-3 meter.
3. Ileum
Usus penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir dari usus halus. Pada
sistem pencernaan manusia panjangnya sekitar ± 4-5 m dan terletak
setelah duodenum dan jejunum, dan dilanjutkan oleh usus buntu. Ileum
memiliki pH antara 7 dan 8 (netral atau sedikit basa) dan berfungsi
menyerap vitamin B12 dan garam-garam empedu.
f. Usus besar/interdinum mayor
Panjangnya ± 1 meter, lebar 5-6 cm, fungsinya menyerap air dari
makanan, tempat tinggal bakteri koli, tempat feces. Usus besar terdiri atas 8
bagian:
1. Sekum.
2. Kolon asenden.
terletak diabdomen sebelah kanan, membujur keatas dari ileum
sampai kehati, panjangnya ± 13 cm.
3. Appendiks (usus buntu)
Sering disebut umbai cacing dengan panjang ± 6 cm.
4. Kolon transversum.
Membujur dari kolon asenden sampai ke kolon desenden dengan
panjang ± 28 cm.
5. Kolon desenden.
Terletak dirongga abdomen disebelah kiri membujur dari anus ke
bawah dengan panjangnya ± 25 cm.
6. Kolon sigmoid.
Terletak dalam rongga pelvis sebelah kiri yang membentuk huruf "S"
ujung bawah berhubungan dengan rektum.
7. Rektum.
Terletak dibawah kolon sigmoid yang menghubungkan intestinum
mayor dengan anus.
8. Anus.
Anus adalah bagian dari saluran pencernaan yang menghubungkan
rektum dengan dunia luar.

Gambar 2.1 Anatomi Sistem Pencernaan

2) Fisiologi sistem pencernaan


Usus halus mempunyai dua fungsi utama, yaitu : pencernaan dan absorpsi
bahan nutrisi dan air. Proses pencernaan dimulai dalam mulut dan lambung
oleh kerja ptialin, asam klorida, dan pepsin terhadap makanan masuk. Proses
dilanjutkan di dalam duodenum terutama oleh kerja enzim-enzim pankreas
yang menghidrolisis karbohidrat, lemak, dan protein menjadi zat-zat yang
lebih sederhana. Adanya bikarbonat dalam sekret pankreas membantu
menetralkan asam dan memberikan pH optimal untuk kerja enzim-enzim.
Sekresi empedu dari hati membantu proses pencernaan dengan mengemulsikan
lemak sehingga memberikan permukaan lebih luas bagi kerja lipase pankreas
(Price & Wilson, 1994).
Isi usus digerakkan oleh peristaltik yang terdiri atas dua jenis gerakan,
yaitu segmental dan peristaltik yang diatur oleh sistem saraf autonom dan
hormon (Sjamsuhidajat Jong, 2005). Pergerakan segmental usus halus
mencampur zat-zat yang dimakan dengan sekret pankreas, hepatobiliar, dan
sekresi usus, dan pergerakan peristaltik mendorong isi dari salah satu ujung ke
ujung lain dengan kecepatan yang sesuai untuk absorpsi optimal dan suplai
kontinu isi lambung (Price & Wilson, 1994).
Absorpsi adalah pemindahan hasil-hasil akhir pencernaan karbohidrat,
lemak dan protein (gula sederhana, asam-asam lemak dan asa-asam amino)
melalui dinding usus ke sirkulasi darah dan limfe untuk digunakan oleh sel-sel
tubuh. Selain itu air, elektrolit dan vitamin juga diabsorpsi. Absoprpsi berbagai
zat berlangsung dengan mekanisme transpor aktif dan pasif yang sebagian
kurang dimengerti (Price & Wilson, 1994).
Usus besar mempunyai berbagai fungsi yang semuanya berkaitan dengan
proses akhir isi usus. Fungsi usus besar yang paling penting adalah
mengabsorpsi air dan elektrolit, yang sudah hampir lengkap pada kolon bagian
kanan. Kolon sigmoid berfungsi sebagai reservoir yang menampung massa
feses yang sudah dehidrasi sampai defekasi berlangsung (Preice & Wilson,
1994). Kolon mengabsorpsi air, natrium, khlorida, dan asam lemak rantai
pendek serta mengeluarkan kalium dan bikarbonat. Hal tersebut membantu
menjaga keseimbangan air dan elektrolit dan mencegah terjadinya dehidrasi.
(Schwartz, 2000)
Gerakan retrograd dari kolon memperlambat transit materi dari kolon
kanan dan meningkatkan absorpsi. Kontraksi segmental merupakan pola yang
paling umum, mengisolasi segmen pendek dari kolon, kontraksai ini menurun
oleh antikolinergik, meningkat oleh makanan dan kolinergik. Gerakan massa
merupakan pola yang kurang umum, pendorong antegrad melibatkan segmen
panjang 0,5-1,0 cm/detik, tekanan 100-200 mmHg, tiga sampai empat kali
sehari, terjadi dengan defekasi. (Schwartz, 2000)
Gas kolon berasal dari udara yang ditelan, difusi dari darah, dan produksi
intralumen. Nitrogen, oksigen, karbon dioksida, hidrogen, metan. Bakteri
membentuk hidrogen dan metan dari protein dan karbohidrat yang tidak
tercerna. Normalnya 600 ml/hari. (Schwartz, 2000)
3. Etiologi
1. Faktor infeksi
a. Infeksi enteral; infeksi saluran pencernaan yang merupakan
penyebab utama diare , meliputi infeksi bakteri (Vibrio, E. coli,
Salmonella, Shigella, Campylobacter, Yersinia, Aeromonas, dsb),
infeksi virus (Enterovirus, Adenovirus, Rotavirus, Astrovirus, dll),
infeksi parasit (E. hystolytica, G.lamblia, T. hominis) dan jamur
(C. albicans).
b. Infeksi parenteral; merupakan infeksi di luar sistem pencernaan
yang dapat menimbulkan diare seperti: otitis media akut, tonsilitis,
bronkopneumonia, ensefalitis dan sebagainya.
2. Faktor Malabsorbsi
 Malabsorbsi karbohidrat: disakarida (intoleransi laktosa, maltosa
dan sukrosa), monosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa dan
galaktosa). Intoleransi laktosa merupakan penyebab diare yang
terpenting pada bayi dan anak. Di samping itu bisa terjadi
malabsorbsi lemak dan protein.
3. Faktor Makanan
 Diare dapat terjadi karena mengkonsumsi makanan basi, beracun
dan alergi terhadap jenis makanan tertentu.
4. Faktor Psikologis
 Diare dapat terjadi karena faktor psikologis (rasa takut dan cemas),
jarang terjadi tetapi dapat ditemukan.

4. Tanda dan Gejala


 Sering buang air besar dengan konsistensi tinja cair atau encer.
 Pada anak cengeng, gelisah, suhu tubuh mungkin meningkat, nafsu
makan berkurang.
 Warna tinja berubah menjadi kehijau-hijauan karena bercampur
empedu.
 Daerah sekitar anus kemerahan dan lecet karena seringnya difekasi
dan tinja menjadi lebih asam akibat banyaknya asam laktat.
 Ada tanda dan gejala dehidrasi, turgor kulit jelek (elistitas kulit
menurun), ubun-ubun dan mata cekung membran mukosa kering dan
disertai penurunan berat badan.
 Perubahan tanda-tanda vital, nadi dan respirasi cepat tekanan darah
turun, denyut jantung cepat, pasien sangat lemas hingga menyebabkan
kesadaran menurun.
 Diuresis berkurang (oliguria sampai anuria).

5. Patofisiologi
Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare ialah:
1. Gangguan osmotic
Adanya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan
menyebabkan tekanan osmotik dalam lumen usus meningkat
sehingga terjadi pergeseran air dan elektroloit ke dalam lumen usus.
Isi rongga usus yang berlebihan akan merangsang usus untuk
mengeluarkannya sehingga timbul diare.
2. Gangguan sekresi
Akibat rangsangan tertentu (misalnya toksin) pada dinding usus
akan terjadi peningkatan sekresi, air dan elektrolit ke dalam lumen
usus dan selanjutnya timbul diare kerena peningkatan isi lumen usus.
3. Gangguan motilitas usus
Hiperperistaltik akan menyebabkan berkurangnya kesempatan
usus untuk menyerap makanan sehingga timbul diare. Sebaliknya bila
peristaltik usus menurun akan mengakibatkan bakteri tumbuh
berlebihan, selanjutnya dapat timbul diare pula.
Sebagian besar diare akut disebabkan oleh infeksi. Banyak
dampak yang terjadi karena infeksi saluran cerna antara lain:
pengeluaran toksin yang dapat menimbulkan gangguan sekresi dan
reabsorbsi cairan dan elektrolit dengan akibat dehidrasi,gangguan
keseimbangan elektrolit dan gangguan keseimbangan asam basa. Invasi
dan destruksi pada sel epitel, penetrasi ke lamina propia serta kerusakan
mikrovili yang dapat menimbulkan keadaan maldigesti dan
malabsorbsi,dan apabila tidak mendapatkan penanganan yang adekuat
pada akhirnya dapat mengalami invasi sistemik.
Penyebab gastroenteritis akut adalah masuknya virus (Rotavirus,
Adenovirus enteris, Virus Norwalk), Bakteri atau toksin
(Compylobacter, Salmonella, Escherichia coli, Yersinia dan lainnya),
parasit (Biardia Lambia, Cryptosporidium). Beberapa mikroorganisme
patogen ini menyebabkan infeksi pada sel-sel, memproduksi
enterotoksin atau sitotoksin dimana merusak sel-sel, atau melekat pada
dinding usus pada Gastroenteritis akut. Penularan Gastroenteritis bisa
melalui fekal-oral dari satu penderita ke yang lainnya.
Beberapa kasus ditemui penyebaran patogen dikarenakan makanan
dan minuman yang terkontaminasi. Mekanisme dasar penyebab
timbulnya diare adalah gangguan osmotic (makanan yang tidak dapat
diserap akan menyebabkan tekanan osmotic dalam rongga usus
meningkat sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit kedalam rongga
usus,isi rongga usus berlebihan sehingga timbul diare).
Selain itu menimbulkan gangguan sekresi akibat toksin di dinding
usus, sehingga sekresi air dan elektrolit meningkat kemudian terjadi
diare. Gangguan moltilitas usus yang mengakibatkan hiperperistaltik dan
hipoperistaltik. Akibat dari diare itu sendiri adalah kehilangan air dan
elektrolit (Dehidrasi) yang mengakibatkan gangguan asam basa
(Asidosis Metabolik dan Hipokalemia), gangguan gizi (intake kurang,
output berlebih), hipoglikemia dan gangguan sirkulasi darah.

5. Klasifikasi Diare
Klasifikasi Diare Diare dibedakan menjadi diare akut, diare kronis dan
persisiten.
a. Diare akut adalah
buang air besar pada bayi atu anak-anak melebihi 3 kali sehari,
disertai dengan perubahan konsisitensi tinja menjadi cair dengan
atau tanpa lender dan darah yang berlangsung kurang dari satu
minggu,
b. diare kronis sering
kali dianggap suatu kondisi yang sama namun dengan waktu yang
lebih lama yaitu diare melebihi satu minggu, sebagian besar
disebabkan diare akut berkepanjangan akibat infeksi, diare persisten
adalah diare yang berlangsung 15-30 hari, merupakan diare
berkelanjutan dari diare akut atau peralihan antara diare akut dan
kronis biasanya ditandai dengan penurunan berat badan dan sukar
untuk naik kembali (Amabel, 2011).
Sedangkan klasifikasi diare menurut (Octa,dkk 2014) ada dua yaitu
berdasarkan lamanya dan berdasarkan mekanisme patofisiologik.
a. Berdasarkan lama diare
1) Diare akut, yautu diare yang berlangsung kurang dari 14 hari
2) Diare kronik, yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari
dengan kehilangan berat badan atau berat badan tidak bertambah
(failure to thrive) selama masa diare tersebut.
b. Berdasarkan mekanisme patofisiologik
1) Diare sekresi
Diare tipe ini disebabkan karena meningkatnya sekresi air dan
elekrtolit dari usus, menurunnya absorbs. Ciri khas pada diare ini
adalah volume tinja yang banyak.
2)Diare osmotik
Diare osmotic adalah diare yang disebabkan karena meningkatnya
tekanan osmotik intralumen dari usus halus yang disebabkan oleh
obatobat/zat kimia yang hiperosmotik seperti (magnesium sulfat,
Magnesium Hidroksida), mal absorbs umum dan defek lama
absorbi usus missal pada defisiensi disakarida, malabsorbsi
glukosa/galaktosa.
PATHWAY

Infeksi makanan psikologis

Berkembang di usus ansietas


Toksik tidak dapat
diserap

Hipersekresi air &


elektrolit
Hiperperistaltik

Isi usus
Penyerapan makanan
di usus

Diare

Frekuensi BAB Distensi abdomen

Mual muntah
Hilang cairan & Iritasi , ruam
elektrolit berlebihan
Nafsu makan
Kerusakan integritas
Gangguan kulit
keseimbangan cairan

Ketidakseimbanga
Dehidrasi n nutrisi: kurang
dari kebutuhan

Kekurangan volume Resiko syok


cairan (hipovolemik)
Pemeriksaan penunjang
(i) Pemeriksaan tinja
a. Makroskopis dan mikroskopis
b. PH dan kadar gula dalam tinja
c. Bila perlu diadakan uji bakteri
2. Pemeriksaan gangguan keseimbangan asam basa dalam darah, dengan
menentukan PH dan cadangan alkali dan analisa gas darah.
3. Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal.
4. Pemeriksaan elektrolit terutama kadar Na, K, Kalsium dan Posfat.

7. Komplikasi
 Dehidrasi (ringan, sedang, berat, hipotonik, isotonik atau hipertonik).

 Renjatan hipovolemik.
 Hipokalemia (dengan gejala mekorismus, hiptoni otot, lemah,
bradikardi, perubahan pada elektro kardiagram).
 Hipoglikemia.
 Introleransi laktosa sekunder, sebagai akibat defisiensi enzim laktase
karena kerusakan vili mukosa, usus halus.
 Kejang terutama pada dehidrasi hipertonik.
 Malnutrisi energi, protein, karena selain diare dan muntah, penderita
juga mengalami kelaparan.
8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan diare akut adalah sebagai berikut :
1. Terapi Cairan

Untuk menentukan jumlah cairan yang perlu diberikan kepada


penderita diare, harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Jumlah cairan : jumlah cairan yang harus diberikan sama dengan
1) Jumlah cairan yang telah hilang melalui diare dan/muntah
muntah PWL (Previous Water Losses) ditambah dengan
banyaknya cairan yang hilang melalui keringat, urin dan
pernafasan NWL (Normal Water Losses).
2) Cairan yang hilang melalui tinja dan muntah yang masih terus
berlangsung CWL (Concomitant water losses) (Suharyono dkk.,
1994 dalam Wicaksono, 2011)

Ada 2 jenis cairan yaitu:


1) Cairan Rehidrasi Oral (CRO) : Cairan oralit yang dianjurkan oleh
WHO-ORS, tiap 1 liter mengandung Osmolalitas 333 mOsm/L,
Karbohidrat 20 g/L, Kalori 85 cal/L. Elektrolit yang dikandung
meliputi sodium 90 mEq/L, potassium 20 mEq/L, Chloride 80
mEq/L, bikarbonat 30 mEq/L (Dipiro et.al., 2005). Ada beberapa
cairan rehidrasi oral:
a) Cairan rehidrasi oral yang mengandung NaCl, KCL, NaHCO3
dan glukosa, yang dikenal dengan nama oralit.
b) Cairan rehidrasi oral yang tidak mengandung komponen-
komponen di atas misalnya: larutan gula, air tajin, cairan-
cairan yang tersedia di rumah dan lain-lain, disebut CRO tidak
lengkap.
2) Cairan Rehidrasi Parenteral (CRP) Cairan Ringer Laktat sebagai
cairan rehidrasi parenteral tunggal. Selama pemberian cairan
parenteral ini, setiap jam perlu dilakukan evaluasi:
a) Jumlah cairan yang keluar bersama tinja dan muntah
b) Perubahan tanda-tanda dehidrasi (Suharyono, dkk., 1994
dalam Wicaksana, 2011).
2. Jenis cairan

Ada berbagai jenis cairan infus yang seringkali digunakan.


Cara paling umum untuk mengkategorikan cairan IV didasarkan
pada tonisitasnya:

a. Isotonik. Yaitu cairan infus yang memiliki konsentrasi zat terlarut


yang sama dengan plasma darah.

Beberapa cairan yang termasuk cairan kristaloid isotonik


adalah :

b) NaCl 0,9% (Solusi Normal Saline, NSS)

Larutan normal saline (0,9% NaCl) atau NSS, adalah cairan


kristaloid isotonik yang mengandung air, natrium (154 mEq / L),
dan klorida (154 mEq / L). Ia memiliki osmolalitas 308 mOsm / L
dan tidak memberikan kalori. Ini disebut larutan salin normal karena
persentase natrium klorida yang dilarutkan dalam larutan mirip
dengan konsentrasi natrium dan klorida yang biasa di ruang
intravaskular.

Normal Saline adalah solusi isotonik pilihan untuk memperluas


volume cairan ekstraseluler (ECF) karena tidak memasukkan cairan
intraseluler (ICF). Hal ini diberikan untuk memperbaiki defisit
volume cairan ekstraseluler karena tetap dalam ECF.

Cairan ini juga dapat digunakan bersamaan dengan pemberian


produk darah, untuk menggantikan kehilangan natrium besar seperti
luka bakar dan trauma. Namun tidak boleh digunakan untuk gagal
jantung, edema paru, dan gangguan ginjal, atau kondisi yang
menyebabkan retensi natrium karena dapat berisiko kelebihan
volume cairan.

c) Dextrose 5% dalam Air (D5W)

D5W (dekstrosa 5% dalam air) adalah cairan isotonik kristaloid


dengan osmolalitas serum 252 mOsm / L. D5W awalnya merupakan
solusi isotonik dan menyediakan air gratis ketika dekstrosa
dimetabolisme (menjadikannya solusi hipotonik), memperluas ECF
dan ICF. Ini diberikan untuk memasok air dan untuk memperbaiki
peningkatan osmolalitas serum.

Satu liter D5W menyediakan kurang dari 200 kkal dan mengandung
50g glukosa. Seharusnya tidak digunakan untuk resusitasi cairan
karena hiperglikemia dapat terjadi. Ini juga harus dihindari untuk
digunakan pada klien yang berisiko untuk peningkatan tekanan
intrakranial karena dapat menyebabkan edema serebral.

d) Dextrose in Water (D5LRS) Dering Ringer Laktasi 5%

Larutan Ringer Laktat (juga dikenal sebagai Ringer Laktat atau


larutan Hartmann) adalah cairan infus isotonik kristaloid yang
dirancang untuk menjadi solusi fisiologis yang hampir seimbang
dengan elektrolit.

Ini mengandung 130 mEq / L natrium, 4 mEq / L kalium, 3 mEq / L


kalsium, dan 109 mEq / L klorida. Ini juga mengandung prekursor
bikarbonat untuk mencegah asidosis. Ini tidak memberikan kalori
atau magnesium dan memiliki penggantian kalium yang terbatas.

Ini adalah cairan yang paling dapat beradaptasi secara fisiologis


karena kandungan elektrolitnya paling erat kaitannya dengan
komposisi serum darah dan plasma tubuh.

Ringer Laktat juga digunakan untuk memperbaiki dehidrasi,


kehilangan natrium, dan mengganti kehilangan cairan saluran GI. Ini
juga dapat digunakan dalam kehilangan cairan karena luka bakar,
drainase fistula, dan trauma. Ini adalah pilihan untuk resusitasi
cairan lini pertama untuk pasien tertentu. Ini sering diberikan kepada
pasien dengan asidosis metabolik.

Larutan Ringer Laktat dimetabolisme di hati, yang mengubah laktat


menjadi bikarbonat, oleh karena itu, tidak boleh diberikan kepada
pasien yang tidak dapat memetabolisme laktat (mis., Penyakit hati,
asidosis laktat). Ini harus digunakan dengan hati-hati untuk pasien
dengan gagal jantung dan gagal ginjal.

e) Cairan Ringer

Cairan Ringer adalah cairan infus isotonik lainnya yang memiliki


kandungan yang mirip dengan Cairan Ringer Laktat tetapi tidak
mengandung laktat. Indikasinya adalah sama untuk Ringer Laktat
tetapi tanpa kontraindikasi terkait dengan laktat.
Intervensi dan Pertimbangan Keperawatan untuk Cairan Isotonik

Berikut ini adalah intervensi keperawatan umum dan pertimbangan


ketika memberikan cairan isotonik:

 Dokumentasikan data dasar. Sebelum infus, kaji tanda vital


pasien, status edema, bunyi paru-paru, dan bunyi jantung. Lanjutkan
pemantauan selama dan setelah infus.
 Amati tanda-tanda kelebihan cairan. Cari tanda-tanda
hipervolemia seperti hipertensi, denyut nadi, radang paru, dispnea,
sesak napas, edema perifer, distensi vena jugularis, dan bunyi
jantung ekstra.
 Pantau manifestasi hipovolemia lanjutan. Cari tanda-tanda yang
menunjukkan hipovolemia lanjutan seperti, penurunan produksi
urin, turgor kulit yang buruk, takikardia, denyut nadi lemah, dan
hipotensi.
 Cegah hipervolemia. Pasien yang dirawat karena hipovolemia
dapat dengan cepat mengalami kelebihan cairan setelah pemberian
cairan infus isotonik yang cepat atau berlebih.
 Tinggikan kepala tempat tidur pada 35 hingga 45
derajat. Kecuali jika dikontraindikasikan, posisikan klien dalam
posisi semi-Fowler.
 Tinggikan kaki pasien. Jika ada edema, angkat kaki pasien untuk
meningkatkan aliran balik vena.
 Penkes pasien dan keluarga. Ajari pasien dan keluarga untuk
mengenali tanda dan gejala kelebihan volume cairan. Instruksikan
pasien untuk memberi tahu perawat mereka jika mereka kesulitan
bernapas atau melihat adanya pembengkakan.
 Pantau ketat untuk pasien dengan gagal jantung. Karena cairan
isotonik memperluas ruang intravaskular, pasien dengan hipertensi
dan gagal jantung harus dimonitor secara hati-hati untuk tanda-tanda
kelebihan cairan.

b. Hipotonik. Larutan hipotonik memiliki konsentrasi zat terlarut yang


lebih rendah daripada plasma.

1. Sodium Klorida 0,45% (NaCl 0,45%)


Sodium klorida 0,45% (1/2 NS), juga dikenal sebagai 1/2 Normal
Saline, adalah larutan hipotonik yang digunakan untuk mengganti
cairan pada pasien yang memiliki hipovolemia dengan
hipernatremia. Penggunaan berlebihan dapat menyebabkan
hiponatremia karena pengenceran natrium, terutama pada pasien
yang rentan terhadap retensi air. Cairan ini memiliki osmolalitas 154
mOsm / L dan mengandung 77 mEq / L natrium dan klorida.
Larutan hipotonik natrium digunakan untuk mengobati
hipernatremia dan kondisi hiperosmolar lainnya.

2. Sodium Klorida 0,33% (NaCl 0,33%)

Sodium Klorida 0,33 digunakan untuk memungkinkan ginjal


mempertahankan jumlah air yang dibutuhkan dan biasanya
diberikan dengan dekstrosa untuk meningkatkan tonisitas. Cairan ini
harus digunakan dengan hati-hati untuk pasien dengan gagal jantung
dan insufisiensi ginjal.

3. Sodium Klorida 0,225% (NaCl 0,225%)

Sodium Klorida 0,225% sering digunakan sebagai cairan


perawatan untuk pasien anak karena merupakan cairan IV paling
hipotonik yang tersedia pada 77 mOsm / L. Digunakan bersama
dengan dekstrosa.

4. 2,5% Dextrose dalam Air (D2.5W)

Cairan infus hipotonik lain yang umum digunakan adalah 2,5%


dekstrosa dalam air (D2.5W). Cairan ini digunakan untuk
mengobati dehidrasi dan menurunkan kadar natrium dan kalium.
Cairan ini tidak boleh diberikan dengan produk darah karena dapat
menyebabkan hemolisis sel darah merah.

Intervensi dan Pertimbangan Keperawatan untuk Cairan Hipotonik

Berikut ini adalah intervensi keperawatan umum dan pertimbangan ketika


memberikan cairan hipotonik:

a) Dokumentasikan data dasar. Sebelum infus, kaji tanda vital pasien,


status edema, bunyi paru-paru, dan bunyi jantung. Lanjutkan pemantauan
selama dan setelah infus.
b) Jangan berikan dalam kondisi kontraindikasi. Cairan hipotonik dapat
memperburuk hipovolemia dan hipotensi yang ada yang menyebabkan
kolaps kardiovaskular. Hindari penggunaan pada pasien dengan penyakit
hati, trauma, atau luka bakar.
c) Risiko peningkatan tekanan intrakranial (IICP). Seharusnya tidak
diberikan kepada pasien dengan risiko IICP karena perubahan cairan dapat
menyebabkan edema serebral (ingat: larutan hipotonik membuat sel
membengkak).
d) Pantau adanya manifestasi defisit volume cairan. Tanda dan gejala
termasuk kebingungan pada orang dewasa yang lebih tua. Instruksikan
pasien untuk memberi tahu perawat jika mereka merasa pusing.
e) Cegah kelebihan cairan. Infus cairan IV hipotonik yang berlebihan dapat
menyebabkan penipisan cairan intravaskular, menurunkan tekanan darah,
edema seluler, dan kerusakan sel.
f) Jangan diberikan bersamaan dengan produk darah. Sebagian besar
larutan hipotonik dapat menyebabkan hemolisis sel darah merah terutama
selama infus cepat larutan.

c. Hipertonik. Cairan hipertonik memiliki konsentrasi zat terlarut


yang lebih besar daripada plasma.

Cairan hipertonik memiliki konsentrasi zat terlarut yang lebih


besar (375 mEq / L dan lebih besar) daripada plasma dan
menyebabkan cairan bergerak keluar dari sel ke ECF untuk
menormalkan konsentrasi partikel antara dua kompartemen. Efek ini
menyebabkan sel menyusut dan dapat mengganggu fungsinya.
Cairan ini juga dikenal sebagai ekspander volume karena dapat
menarik air keluar dari ruang intraseluler dan meningkatkan volume
cairan ekstraseluler.

Cairan hipertonik natrium klorida mengandung konsentrasi


natrium dan klorida yang lebih tinggi daripada yang biasanya
terkandung dalam plasma. Infus larutan natrium klorida hipertonik
memindahkan cairan dari ruang intraseluler ke ruang intravaskular
dan interstitial. Solusi hipertonik natrium klorida IV tersedia dalam
bentuk dan kekuatan berikut:

a) Natrium klorida 3% (3% NaCl) mengandung 513 mEq / L natrium dan


klorida dengan osmolalitas 1030 mOsm / L.
b) Natrium klorida 5% (5% NaCl) mengandung 855 mEq / L natrium dan
klorida dengan osmolalitas 1710 mOsm / L.

Cairan hipertonik natrium klorida digunakan dalam pengobatan akut


defisiensi natrium (hiponatremia berat) dan harus digunakan hanya dalam
situasi kritis untuk mengobati hiponatremia dan harus diberikan dengan dosis
yang sangat rendah untuk menghindari risiko kelebihan beban dan edema
paru. Jika diberikan dalam jumlah besar dan cepat, cairan ini dapat
menyebabkan kelebihan volume ekstraseluler dan memicu kelebihan sirkulasi
dan dehidrasi.
Oleh karena itu, cairan ini harus diberikan secara hati-hati dan
biasanya hanya diberikan ketika osmolalitas serum telah menurun ke tingkat
yang sangat rendah. Beberapa pasien mungkin memerlukan terapi diuretik
untuk membantu ekskresi cairan. Selain itu, cairan hipertonik natrium klorida
ini juga dapat digunakan pada pasien-pasien dengan edema serebral.

a) Cairan Hipertonik Dextrosa

Cairan isotonik yang mengandung dekstrosa 5% (mis., D5NSS,


D5LRS) sedikit hipertonik karena cairan ini melebihi total
osmolalitas ECF. Namun, dekstrosa cepat dimetabolisme dan
hanya larutan isotonik yang tersisa. Karena itu, efek apa pun
pada ICF bersifat sementara.

b) Cairan hipertonic dekstrosa digunakan untuk memberikan


kilokalori untuk pasien dalam jangka pendek. Konsentrasi
dextrose yang lebih tinggi (mis., D50W) adalah larutan
hipertonik yang kuat dan harus diberikan ke dalam vena sentral
sehingga dapat diencerkan oleh aliran darah yang cepat.

Dextrose 10% dalam Air (D10W)

Dextrose 10% dalam Air (D10W) adalah cairan hipertonik yang


digunakan dalam pengobatan ketosis kelaparan dengan kandungan
kalori (380 kkal / L), air, dan tanpa elektrolit. Cairan ini harus
diberikan menggunakan central line jika memungkinkan dan tidak
boleh diinfus menggunakan jalur infus yang sama dengan produk
darah karena dapat menyebabkan hemolisis sel darah merah.

Dextrose 20% dalam Air (D20W)

Dextrose 20% dalam Air (D20W) adalah cairan hipertonik


diuretik osmotik yang dapat menyebabkan perpindahan cairan
antara berbagai kompartemen untuk merangsang terjadinya
diuresis.

Dextrose 50% dalam Air (D50W)

Cairan hipertonik lain yang biasa digunakan adalah Dextrose


50% dalam Air (D50W) yang digunakan untuk mengobati
hipoglikemia berat dan diberikan secara cepat melalui bolus IV.

Pertimbangan Keperawatan untuk cairan hipertonik


Berikut ini adalah intervensi keperawatan umum dan pertimbangan ketika
memberikan cairan hipertonik:

a) Dokumentasikan data dasar. Sebelum infus, kaji tanda vital pasien,


status edema, bunyi paru-paru, dan bunyi jantung. Lanjutkan pemantauan
selama dan setelah infus.
b) Perhatikan tanda-tanda hipervolemia. Karena solusi hipertonik
memindahkan cairan dari ICF ke ECF, mereka meningkatkan volume
cairan ekstraseluler dan meningkatkan risiko hipervolemia. Cari tanda-
tanda pembengkakan pada lengan, kaki, wajah, sesak napas, tekanan darah
tinggi, dan ketidaknyamanan dalam tubuh (mis., Sakit kepala, kram).
c) Pantau dan amati pasien selama pemberian. Cairan hipertonik harus
diberikan hanya di daerah ketajaman tinggi dengan pengawasan
keperawatan konstan untuk potensi komplikasi.
d) Verifikasi resep. Resep untuk cairan hipertonik harus menyatakan cairan
hipertonik spesifik untuk diinfuskan, volume total yang akan diinfuskan,
laju infus dan lamanya waktu untuk melanjutkan infus.
e) Nilai riwayat kesehatan. Pasien dengan penyakit ginjal atau jantung dan
mereka yang mengalami dehidrasi tidak boleh menerima cairan hipertonik
IV. Cairan ini dapat mempengaruhi mekanisme penyaringan ginjal dan
dapat dengan mudah menyebabkan hipervolemia pada pasien dengan
masalah ginjal atau jantung.
f) Cegah kelebihan cairan. Pastikan bahwa pemberian cairan hipertonik
tidak memicu kelebihan atau kelebihan volume cairan.
g) Jangan mengelola periferal. Cairan hipertonik dapat menyebabkan
iritasi dan kerusakan pada pembuluh darah dan harus diberikan melalui
alat akses vaskular sentral yang dimasukkan ke dalam vena sentral.
h) Pantau glukosa darah dengan cermat. Infus cepat larutan hipertensi
dekstrosa dapat menyebabkan hiperglikemia. Gunakan dengan hati-hati
untuk pasien dengan diabetes mellitus dan plasma.

Istilah yang sering digunakan dalam pemasangan infus

 gtt                       = makro tetes


 mgtt                   = mikro tetes
 jumlah tetesan = banyak nya tetesan dalam 1 menit

Rumus tetap tetesan infus

 1 gtt               = 3 mgtt
  1 cc               = 20 gtt
 1 cc                = 60 mgtt
 1 kolf             = 1 labu = 500 cc
 1 cc                = 1 mL
 mggt/menit = cc/jam
 konversi dari gtt ke mgtt kali ( x ) 3
 konversi dari mgtt ke gtt bagi ( : ) 3
 1 kolf atau 500 cc/ 24 jam = 7 gtt
 1 kolf atau 500 cc/24 jam  = 21 mgtt
 volume tetesan infus yang masuk per jam infus set mikro iyalah = jumlah
tetesan x 1
 volume tetesan infus yang masuk per jam infus set makro iyalah = jumlah
tetesan x 3

Rumus dasar dalam hitungan menit

Jumlah tetesan per menit nya = jumlah kebutuhan cairan x faktor tetes /
waktu ( menit )

Rumus dasar dalam jam

Jumlah tetesan per menit = jumlah kebutuhan cairan x faktor tetes /


waktu ( jam ) x 60 menit

1. Faktor tetes rumus dewasa

1. Biasa nya faktor tetes untuk orang dewasa : 20


Faktor tetes untuk anak : 60

Anak-anak ( drip mikro )

2. Seperti orang dewasa, anak dengan berat badan yang kurang dari 7
kg membutuhkan infus set dengan tetes faktor yang berbeda.
Tetes mikro, faktor tetes:
1 ml ( cc ) = 60 tetes / cc

Cara Menghitung Tetesan Infus 

Menurut Purohito, cara menghitung tetesan infus per menit ( TPM ) secara
sederhana adalah :

1. Tetes per menit = Jumlah cairan infus ( ml )


( Makro ) Lama nya infus ( jam ) x 3

2. Tetes per menit = Jumlah cairan infus ( ml )


( Mikro ) Lama nya infus ( jam

2. Antibiotik
Pemberian antibotik secara empiris jarang diindikasikan pada diare
akut infeksi, karena 40% kasus diare infeksi sembuh kurang dari 3
hari tanpa pemberian anti biotik. Pemberian antibiotik di indikasikan
pada : Pasien dengan gejala dan tanda diare infeksi seperti demam,
feses berdarah,, leukosit pada feses, mengurangi ekskresi dan
kontaminasi lingkungan, persisten atau penyelamatan jiwa pada diare
infeksi, diare pada pelancong, dan pasien immunocompromised.
Contoh antibiotic untuk diare Ciprofloksasin 500mg oral (2x sehari,
3 — 5 hari), Tetrasiklin 500 mg (oral 4x sehari, 3 hari), Doksisiklin
300mg (Oral, dosis tunggal), Ciprofloksacin 500mg, Metronidazole
250-500 mg (4xsehari, 7-14 hari, 7-14 hari oral atauIV).

3. Obat Anti Diare

Loperamid HCl serta kombinasi difenoksilat dan atropin sulfat


(lomotil). Penggunaan kodein adalah 15-60mg 3x sehari, loperamid 2
— 4 mg/ 3 — 4x sehari dan lomotil 5mg 3 — 4 x sehari. Efek
kelompok obat tersebut meliputi penghambatan propulsi,
peningkatan absorbsi cairan sehingga dapat memperbaiki konsistensi
feses dan mengurangi frekwensi diare.Bila diberikan dengan cara
yang benar obat ini cukup aman dan dapat mengurangi frekwensi
defekasi sampai 80%. Bila diare akut dengan gejala demam dan
sindrom disentri obat ini tidak dianjurkan.
4. Dietetik
Untuk anak dibawah 1 tahun dan anak diatas 1 tahun dengan
berat badan kurang dari 7 kg, jenis makanan :
a. Susu (ASI, susu formula yang mengandung laktosa rendah dan
lemak tak jenuh.
b. Makanan setengah padat (bubur atau makanan padat (nasi
tim).
c. Susu khusus yang disesuaikan dengan kelainan yang ditemukan
misalnya susu yang tidak mengandung laktosa dan asam lemak
yang berantai sedang atau tak jenuh.
5. Obat-obatan yang diberikan pada anak diare adalah:
a. Obat anti sekresi (asetosal, klorpromazin)
b. Obat spasmolitik (papaverin, ekstrakbelladone)
c. Antibiotik (diberikan bila penyebab infeksi telah diidentifikasi)

B. Dampak Penyakit Terhadap Kebutuhan Dasar Manusia


1. Kebutuhan Oxygenasi
Meningkatnya frekuensi buang air besar memungkinkan terjadinya
kekurangan cairan dan elektrolit yang berat sehingga menimbulkan
intoleransi metabolisme dalam tubuh dan tubuh menjadi asidosis
metabolic untuk mempertahankan tubuh tetap seimbang maka nafas
menjadi lebih cepat (sesak).
2. Kebutuhan cairan dan elektrolit
Diare mengakibatkan pengeluaran air dan elektrolit berlebih, dengan
adanya hipokalemi, hiponatremi dan sebagainya, meka perlu adanya
koreksi dengan rehidrasi cairan elektrolit secara instan.
3. Kebutuhan sirkulasi
Pada keadaan hipovolemia menyebabkan penurunan tekanan darah,
tachycardia sebagai respon untuk meningkatakan perfusi jaringan. Adanya
deklasi kalium dapat menimbulkan disritmia jantung.
4. Kebutuhan Eliminasi
Peningkatan frekuensi BAB menyebabkan dehidrasi, maka ginjal
menahan Na+ dan air sehingga urin menjadi pekat dan produksinya
menurun.
5. Kebutuhan nutrisi
Diare dapat menyebabkan anorexia dan peningkatan rasa haus.
Penurunan berat badan 2% pada diare ringan, 5% pada diare sedang ,dan
8% pada diare berat sebagai akibat menurunya absorbsi usus terhadap
nutrient.

C. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah pertama dari prioritas keperawatan
dengan pengumpulan data-data yang akurat dari klien sehingga akan
diketahui berbagai permasalahan yang ada. (Hidayat, 2004 : 98)

1.1.1. Pengkajian
1. Pengkajian (data subjektif dan objektif)

Pengkajian yang sistematis meliputi pengumpulan data,analisa data dan


penentuan masalah.
Pengumpulan data diperoleh dengan cara intervensi,observasi, dan
pemeriksaan fisik . Kaji data menurut Cyndi Smith Greenberg,1992
adalah :
1. Identitas klien.
2. Riwayat keperawatan.
Awal kejadian: Awalnya suhu tubuh meningkat,anoreksia
kemudian timbul diare.
2. Keluhan utama : Feses semakin cair,muntah,bila kehilangan banyak air
dan elektrolit terjadi gejala dehidrasi,berat badan menurun. Turgor kulit
berkurang,selaput lendir mulut dan bibir kering,frekwensi BAB lebih dari
4 kali dengan konsistensi encer.
3. Riwayat kesehatan masa lalu.
4. Riwayat penyakit keluarga.
5. Diagnosis Medis dan Terapi : Gastroenteritis Akut dan terapi obat
antidiare, terapi intravena, dan antibiotic.
6. Pengkajian Pola Gordon (Pola Fungsi Kesehatan).
a. Persepsi Kesehatan : pasien tidak mengetahui penyebab penyakitnya,
higienitas pasien sehari-sehari kurang baik.
b. Nutrisi metabolic : diawali dengan mual,muntah,anopreksia,menyebabkan
penurunan berat badan pasien.
c. Pola eliminasi : akan mengalami perubahan yaitu BAB lebih dari 4 kali
sehari,BAK sedikit atau jarang.
d. Aktivitas : akan terganggu karena kondisi tubuh yang lemah dan adanya
nyeri akibat distensi abdomen yakni dibantu oleh orang lain.
e. Tidur/istirahat : akan terganggu karena adanya distensi abdomen yang
akan menimbulkan rasa tidak nyaman.
f. Kognitif/perceptual : pasien masih dapat menerima informasi namun
kurang berkonsentrasi karena nyeri abdomen.
g. Persepsi diri/konsep diri : pasien mengalami gangguan konsep diri karena
kebutuhan fisiologis nya terganggu sehingga aktualisasi diri tidak tercapai
pada fase sakit.
h. Seksual/reproduksi : Peran hubungan : pasien memiliki hubungan yang
baik dengan keluarga dan peran pasien pada kehidupan sehari-hari
mengalami gangguan.
i. Manajemen koping/stress : pasien mengalami kecemasan yang berangsur-
angsur dapat menjadi pencetus stress. Pasien memiliki koping yang
adekuat..
7. Pemerikasaan fisik.
a. Inspeksi : mata cekung,ubun-ubun besar,selaput lendir,mulut dan bibir
kering,berat badan menurun,anus kemerahan.
b. Perkusi : adanya distensi abdomen.
c. Palpasi : Turgor kulit kurang elastis
d. Auskultasi : terdengarnya bising usus

2. Diagnosa Keperawatan
1. Diare berhubungan dengan malabsorbsi (00013)
2. Resiko kekurangan volume cairan (00028)
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan Ketidakmampuan mencerna makanan
(00002)
4. Kerusakan integritas kulit (00047)
RENCANA KEPERAWATAN
No. Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
1. Diare berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan keperawatan manajemen diare (0460)
malabsorbsi (00013) selama 3 x 24 jam diharapkan pasien 1. Identifikasi faktor
membaik dengan indikator: yang menyebabkan
diare (misalnya
1. 1. Kontinensi usus (0500) medikasi, bakteri,
dan pemberian
kode indikator SA ST makan lewat slang)
050008 mengenali untuk 2. Monitor tanda
defekasi dangejala diare
050003 meminimalkan feses 3. Instruksikan pasien
sehari 3kali atau keluarga untuk
050013 minum cairan secara mencatat warna,
adekuat volume, frekuensi,
K dan konsistensi tinja
kketerangan 4. Ukur output (diare)
1 1: tidak pernah menunjukkan pasien
2 2: jarang menunjukkan 5. Berikan makanan
3 3: kadang-kadang menunjukkan dalam porsi kecil
4 4: sering menunjukkan dan lebih sering serta
5 5: secara konsisten menunjukkan tingkatkan porsi
secara bertahap
6. Anjurkan pasien
menghindari
makanan pedas dan
menimbulkan gas
dalam perut
7. Anjurkan pasien
untuk menghindari
dulu makanan yang
mengandung laktosa
8. Kolaborasi
pemberian obat
antidiare secara tepat
9. Konsultasikan dokter
jika terjadi
peningkatan bising
usus serta tanda dan
gejala diare menetap
2. Kekurangan volume cairan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Fluide management
(00028). selama 3 x 24 jam, diharapkan kebutuhan 1. Timbang
cairan dan elektrolit dalam tubuh pasien dapat popok/pembalut jika
teratasi dengan kriteria hasil: diperlukan
1. Hidrasi (0602) 2. Pertahankan catatan
kode indikator SA ST intake dan output yang
060201 turgor kulit akurat
060202 membrane mukosa 3. Monitor status hidrasi
lembab (kelembaban membran
060208 bola mata cekung mukosa, nadi adekuat,
060226 diare tekanan ortostatik), jika
diperlukan
keterangan 4. Monitor vital sign
1: sangat terganggu 5. Kolaborasikan cairan IV
2. besarly compromised 6. Monitor status nutrisi
3: cukup terganggu 7. Dorong masukan oral
4: sedikit terganggu 8. Kolaborasi dengan
5: tidak terganggu dokter.
Hypovolemia Management
1. Monitor status cairan
termasuk intake dan
output cairan
2. Monitor tingkat HB dan
hematokrit
3. Monitor respon pasien
terhadap penambahan
cairan
4. Monitor berat badan
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Nutrition management
dari kebutuhan tubuh berhubungan selama 3 x 24 jam, diharapkan kebutuhan 1. Kaji adanya alergi
dengan Ketidakmampuan mencerna nutrisi pasien dapat teratasi dengan kriteria makanan
makanan (00002). hasil: 2. Kolaborasi dengan ahli
1. nafsu mkan (1014) gizi untuk menentukan
kod indikator S S jumlah kalori dan nutrisi
e A T yang dibutuhkan pasien
101 hsrat/keinginan 2 5 3. Anjurukan pasien untuk
401 untuk makan meningkatkan intake IV
101 merasakan makanan 2 5 4. Anjurkan pasien untuk
404 meningkatkan protein
101 intake makana 3 5 dan vitamin C
407 5. Berikan substansi gula
keterangan 6. Monitor jumlah nutrisi
1: sangat terganggu dan kandungan kalori
2: banyak terganggu 7. Berikan informasi
3: cukup terganggu tentang kebutuhan
4: sedikit terganggu nutrisi
5: tidak terganggu
Nutrition Monitoring
1. BB pasien dalam batas
normal
2. Monitor adanya
penurunan berat badan
3. Monitor tipe dan
jumlah aktivitas yang
biasa dilakukan
4. Monitor interaksi anak
atau orang tua selama
makan
5. Monitor lingkungan
selama makan
6. Jadwalkan pengobatan
dan tindakan tidak
selama jam makan
7. Monitor kulit kering
dan perubahan
pigmentasi
8. Monitor turgor kulit
9. Monitor kekeringan,
rambut kusam, dan
mudah patah
10. Monitor kadar albumin,
total protein, HB, dan
kadar HT
11. Monitor pertumbuhan
dan perkembangan
12. Monitor pucat,
kemerahan, dan
kekeringan jaringan
konjungtiva
3. Resiko kerusakan integritas kulit Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pressure Management:
(00047) selama 3 x 24 jam, diharapkan kerusakan 1. Anjurkan pasien untuk
integritas kulit pasien dapat teratasi dengan menggunakan pakaian
kriteria hasil: yang longgar
1. integritas jarigan: kulit dan membrane 2. Jaga kebersihan kulit
mukosa (1101) agar tetap bersih dan
kode indikator SA ST kering
110101 suhu tubuh 3. Mobilisasi pasien ( ubah
110113 integritas kulit posisi pasien) setiap 2
110122 wajah pucat jam sekali
060226 diare 4. Oleskan lotion atau
minyak/baby oil pada
keterangan daerah tertekan
1: sangat terganggu 5. Monitor aktivitas dan
2: banyak terganggu mobilisasi pasien
3: cukup terganggu 6. Memandikan pasien
4:sedikit terganggu dengan sabun dan air
5: tidak terganggu hangat
DAFTAR PUSTAKA

Baughman, Diane C. 2000. Keperawatan Medikal – Bedah : Buku Saku untuk


Brunner dan Suddarth.Jakarta : EGC.
Behrman, Richard E, dkk. 1999. Ilmu Kesehatan dan Anak Nelson, Volume
2.Edisi 15.Alih Bahasa A. Samik Wahab.Jakarta : EGC.
Corwin, Elizabeth J. 2007. Buku Saku Patofisiologi, Ed. 3; Alih Bahasa, Nike
Budhi Subekti.Jakarta: EGC.
Doctherman, J. McCloskey. 2008. Nursing Interventions Classification (NIC) &
Nursing Outcomes Clasifications (NOC). USA : Mosby.
Grace, Pierce A & Borley, Neil R. 2006.At a Glance Ilmu Bedah.Jakarta :
Erlangga.
Herdman, T. Heather. 2013. NANDA Internasional Diagnosis Keperawatan :
Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. Jakarta : EGC.
Kee, Joyce L.1996. Farmakologi : Pendekatan Proses Keperawatan. Jakarta:
EGC.
Muscari, Mary E. 2005. Panduan Belajar: Keperawatan Pediatrik; Alih Bahasa,
Aifrina Hany. Jakarta: EGC.
Nethina, Sandra, M. 2001. Pedoman Praktek Keperawatan. Alih Bahasa oleh
Setiawan, dkk.Jakarta : EGC.
Nurarif, Amin Huda dan Kusuma, Hardhi. 2013. Aplikasi Asuhan Keperwatan
Berdasarkan Diagnose Medis dan NANDA NIC-NOC. Yogyakarta:
Mediaction Publishing.
Wong, Donna L. dan Eaton, M. H…(et all). 2001. Wong’s Essentials of Pediatric
Nursing. (Ed. 6). Missouri : Mosby.

1.

Anda mungkin juga menyukai