Disusun oleh :
BEKTI WAHYUNING TIAS
NIM. G3A016112
Typhoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan infeksi salmonella Thypi.
Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi oleh faeses dan
urine dari orang yang terinfeksi kuman salmonella. ( Bruner and Sudart, 1994 )
Typoid Fever merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella
thypi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama terletak di
daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan
lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri pengolahan
makanan yang masih rendah (Simanjuntak, C. H, 2009. Typoid Fever, Epidemiologi dan
Perkembangan Penelitian. Cermin Dunia Kedokteran No. 83.)
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah kasus Typoid Fever, Diseluruh
dunia mencapai 16-33 juta dengan 500-600 ribu kematian setiap tahunnya. Typoid Fever
merupakan penyakit infeksi menular yang dapat terjadi pada anak maupun dewasa. Anak
merupakan yang paling rentan terkena Typoid Fever, walaupun gejala yang dialami anak lebih
ringan dari pada dewasa. Hampir disemua daerah endemik, insiden Typoid Fever banyak terjadi
pada anak usia 5-19 tahun (Nugroho, Susilo, 2011. Pengobatan Typoid Fever. Yogyakarta: Nuha
Medika)
Berdasarkan laporan Ditjen Pelayanan Medis Depkes RI, pada tahun 2008, Typoid Fever
menempati urutan kedua dari 10 penyakit terbanyak pasien rawat inap di rumah sakit di
Indonesia dengan jumlah kasus 81.116 dengan proporsi 3,15%, urutan pertama ditempati oleh
diare dengan jumlah kasus 193.856 dengan proporsi 7,52%, urutan ketiga ditempati oleh DBD
dengan jumlah kasus 77.539 dengan proporsi 3,01% (Departemen Kesehatan RI. 2009. Profil
Kesehatan Indonesia Tahun 2008. Depkes RI, Jakarta).
2. ANATOMI FISIOLOGI
Sistem pencernaan atau sistem gastrointestinal (mulai dari mulut sampai anus) adalah
sistem organ dalam manusia yang berfungsi untuk menerima makanan, mencernanya menjadi
zat-zat gizi dan energi, menyerap zat-zat gizi ke dalam aliran darah serta membuang bagian
makanan yang tidak dapat dicerna atau merupakan sisa proses tersebut dari tubuh.
Saluran pencernaan terdiri dari mulut, tenggorokan (faring), kerongkongan, lambung, usus
halus, usus besar, rectum dan anus. Sistem pencernaan juga meliputi organ-organ yang terletak di
luar saluran pencernaan, yaitu pankreas, hati dan kandung empedu.
A. Usus Halus (usus kecil)
Usus halus atau usus kecil adalah bagian dari saluran pencernaan yang terletak di antara
lambung dan usus besar. Dinding usus kaya akan pembuluh darah yang mengangkut zat-zat yang
diserap ke hati melalui vena porta. Dinding usus melepaskan lendir (yang melumasi isi usus) dan
air (yang membantu melarutkan pecahan-pecahan makanan yang dicerna). Dinding usus juga
melepaskan sejumlah kecil enzim yang mencerna protein, gula dan lemak. Lapisan usus halus
meliputi, lapisan mukosa (sebelah kanan), lapisan otot melingkar (M sirkuler), lapisan otot
memanjang (M longitudinal) dan lapisan serosa (sebelah luar).
Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu usus dua belas jari duodenum), usus kosong
(jejenum) dan usus penyerapan (ileum). Villi usus halus terdiri dari pipa berotot (> 6 cm),
pencernaan secara kimiawi, penyerapan makanan. Terbagi atas usus 12 jari (duodenum), usus
tengah (jejenum), usus penyerapan (ileum).
a. Usus dua belas jari (Duodenum)
Usus dua belas jari atau duodenum adalah bagian dari usus halus yang terletak setelah
lambung dan menghubungkannya ke usus kosong (jejenum). Bagian usus dua belas jari
merupakan bagian terpendek dari usus halus, dimulai dari bulbo duodenale dan berakhir di
ligamentum Treitz.
Usus dua belas jari merupakan organ retroperitoneal, yang tidak terbungkus seluruhnya
oleh selaput peritoneum. pH usus dua belas jari yang normal berkisar pada derajat sembilan.
Pada usus dua belas jari terdapat dua muara saluran yaitu dari pancreas dan kantung empedu.
Nama duodenum berasal dari bahasa Latin duodenum digitorum, yang berarti dua belas jari.
Lambung melepaskan makanan ke dalam usus dua belas jari (duodenum), yang merupakan
bagian pertama dari usus halus. Makanan masuk ke dalam duodenum melalui sfingter pylorus
dalam jumlah yang bisa dicerna oleh usus halus. Jika penuh, duodenum akan mengirimkan sinyal
kepada lambung untuk berhenti mengalirkan makanan.
b. Usus Kosong (jejenum)
Usus kosong atau jejenum (terkadang sering ditulis yeyunum) adalah bagian dari usus
halus, diantara usus dua belas jari (duodenum) dan usus penyerapan (ileum). Pada manusia
dewasa, panjang seluruh usus halus antara 2-8 meter, 1-2 meter adalah bagian usus kosong. Usus
kosong dan usus penyerapan digantungkan dalam tubuh dengan mesenterium. Permukaan dalam
usus kosong berupa membran mukus dan terdapat jonjot usus (vili), yang memperluas
permukaan dari usus. Secara histologis dapat dibedakan dengan usus dua belas jari, yakni
berkurangnya kelenjar Brunner. Secara hitologis pula dapat dibedakan dengan usus penyerapan,
yaitu sedikitnya sel goblet dan plak Peyeri. Sedikit sulit untuk membedakan usus kosong dan
usus penyerapan secara makroskopis.
c. Usus Penyerapan (ileum)
Usus penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir dari usus halus. Pada sistem
pencernaan manusia, ini memiliki panjang sekitar 2-4 m dan terletak setelah duodenum dan
jejunum, dan dilanjutkan oleh usus buntu. Ileum memiliki pH antara 7 dan 8 (netral atau sedikit
basa) dan berfungsi menyerap vitamin B12 dan garam-garam empedu.
B. Usus Besar (Kolon)
Usus besar atau kolon dalam anatomi adalah bagian usus antara usus buntu dan rektum.
Fungsi utama organ ini adalah menyerap air dari feses. Usus besar terdiri dari kolon asendens
(kanan), kolon transversum, kolon desendens (kiri), kolon sigmoid (berhubungan dengan
rectum). Banyaknya bakteri yang terdapat didalam usus besar berfungsi mencerna makanan
beberapa bahan dan membantu penyerapan zat-zat gizi.
Bakteri didalam usus besar juga berfungsi membuat zat-zat penting, seperti vitamin K.
Bakteri ini penting untuk fungsi normal dari usus. Beberapa penyakit serta antibiotik bisa
menyebabkan gangguan pada bakteri-bakteri didalam usus besar. Akibatnya terjadi iritasi yang
bisa menyebabkan dikeluarkannya lendir dan air, dan terjadilah diare.
3. DEFENISI
Tifoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan infeksi salmonella Thypi.
Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi oleh faeses dan
urine dari orang yang terinfeksi kuman salmonella (Smeltzer & Bare. 2002. Keperawatan
Medikal Bedah II. Jakarta: EGC). Tifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang
disebabkan oleh kuman salmonella Thypi (Mansjoer, Arif. 2009. Kapita Selekta Kedokteran,
Jakarta : Media Aesculapius.).
4. ETIOLOGI
Etiologi Typoid Fever adalah salmonella thypi (S.thypi) 90 % dan salmonella parathypi (S.
Parathypi Adan B serta C). Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif, mempunyai flagela, dapat
hidup dalam air, sampah dan debu. Namun bakteri ini dapat mati dengan pemanasan suhu 60 0
selama 15-20 menit. Akibat infeksi oleh salmonella thypi, pasien membuat antibodi atau
aglutinin yaitu :
1. Aglutinin O (antigen somatik) yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh
kuman).
2. Aglutinin H (antigen flagela) yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel
kuman).
3. Aglutinin Vi (envelope) terletak pada kapsul yang dibuat karena rangsangan antigen Vi
(berasal dari simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk
diagnosa, makin tinggi titernya makin besar pasien menderita tifoid. (Aru W. Sudoyo. Buku ajar
ilmu penyakit dalam. 2009. Ed V.Jilid III. Jakarta: interna publishing).
4. PATOFISIOLOGI
Penularan penyakit dapat melalui berbagai cara, yang dikenal dengan 5F yaitu
Food(makanan), Fingers(jari tangan/kuku), Fomitus (muntah), Fly(lalat), dan melalui
Feses(tinja).
Food (makanan)
Fly (lalat)
Feses (tinja)
Feses dan muntah pada penderita typhoid dapat menularkan kuman salmonella thypi
kepada orang lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui perantara lalat, dimana lalat akan
hinggap dimakanan yang akan dikonsumsi oleh orang yang sehat. Apabila orang tersebut kurang
memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci tangan dan makanan yang tercemar kuman
salmonella thypi masuk ke tubuh orang yang sehat melalui mulut. Kemudian kuman masuk ke
dalam lambung, sebagian kuman akan dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk
ke usus halus bagian distal dan mencapai jaringan limpoid. Di dalam jaringan limpoid ini kuman
berkembang biak, lalu masuk ke aliran darah dan mencapai sel-sel retikuloendotelial. Sel-sel
retikuloendotelial ini kemudian melepaskan kuman ke dalam sirkulasi darah dan menimbulkan
bakterimia, kuman selanjutnya masuk limpa, usus halus dan kandung empedu.
Bakteri Salmonella typhi bersama makanan atau minuman masuk ke dalam tubuh melalui
mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam (pH < 2) banyak bakteri yang mati.
Keadaan-keadaan seperti aklorhidiria, gastrektomi, pengobatan dengan antagonis reseptor
histamin H2, inhibitor pompa proton atau antasida dalam jumlah besar, akan mengurangi dosis
infeksi. Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus. Di usus halus, bakteri melekat pada
sel-sel mukosa dan kemudian menginvasi mukosa dan menembus dinding usus, tepatnya di
ileum dan jejunum. Sel-sel M, sel epitel khusus yang melapisi Peyers patch, merupakan tempat
internalisasi Salmonella typhi. Bakteri mencapai folikel limfe usus halus, mengikuti aliran ke
kelenjar limfe mesenterika bahkan ada yang melewati sirkulasi sistemik sampai ke jaringan RES
di organ hati dan limpa. Salmonella typhi mengalami multiplikasi di dalam sel fagosit
mononuklear di dalam folikel limfe, kelenjar limfe mesenterika, hati dan limfe (Soedarmo,
Sumarmo S Poorwo, dkk. 2012. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Jakarta: IDAI).
Setelah melalui periode waktu tertentu (periode inkubasi) yang lamanya ditentukan oleh
jumlah dan virulensi kuman serta respons imun pejamu maka Salmonella typhi akan keluar dari
habitatnya dan melalui duktus torasikus masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Dengan cara ini
organisme dapat mencapai organ manapun, akan tetapi tempat yang disukai oeh Salmonella
typhi adalah hati, limpa, sumsum tulang belakang, kandung empedu dan Peyers patch dari ileum
terminal. Invasi kandung empedu dapat terjadi baik secara langsung dari darah atau penyebaran
retrograd dari empedu. Ekskresi organisme di empedu dapat menginvasi ulang dinding usus atau
dikeluarkan melalui tinja. Peran endotoksin dalam patogenesis Typoid Fever tidak jelas, hal
tersebut terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui
pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari Salmonella typhi menstimulasi makrofag di dalam
hati, limpa, folikel limfoma usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi
sitokin dan zat-zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan nekrosis sel,
sistem vaskular yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang belakang, kelainan pada darah
dan juga menstimulasi sistem imunologik (Soedarmo, Sumarmo S Poorwo, dkk. 2012. Buku
Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Jakarta: IDAI).
5. MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala klinik Typoid Fever :
Keluhan:
Nyeri kepala (frontal) 100%
Kurang enak di perut 50%
Nyeri tulang, persendian, dan otot 50%
Berak-berak 50%
Muntah 50%
Gejala:
Demam 100%
Nyeri tekan perut 75%
Bronkitis 75%
Toksik >60%
Letargik >60%
Lidah tifus (kotor) 40%
(Sjamsuhidayat. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. EGC. Jakarta. 1998.)
a. Pada kondisi demam, dapat berlangsung lebih dari 7 hari, febris reminten, suhu tubuh berangsur
meningkat
b. Ada gangguan saluran pencernaan, bau nafaas tidak sedap,bibir kering pecah-pecah (ragaden),
lidah ditutpi selaput putih kotor (coated tongue, lidah limfoid) ujung dan tepinya kemerahan,
biasanya disertai konstipasi, kadang diare, mual muntah, dan jarang kembung.
c. Gangguan kesadaran, kesadaran pasien cenderung turun, tidak seberapa dalam, apatis sampai
somnolen, jarang sopor, koma atau gelisah
d. Relaps (kambung) berulangnya gejala tifus tapi berlangsung ringan dan lebih singkat.
7. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan leukosit
Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat leukopenia dan
limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah sering dijumpai. Pada kebanyakan
kasus demam typhoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi berada pada batas-batas normal
bahkan kadang-kadang terdapat leukosit walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder.
Oleh karena itu pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk diagnosa demam typhoid.
2. Pemeriksaan SGOT Dan SGPT
SGOT Dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat kembali normal
setelah sembuhnya typhoid.
3. Biakan darah
Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila biakan darah
negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid. Hal ini dikarenakan hasil
biakan darah tergantung dari beberapa faktor :
a. Teknik pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang lain, hal ini
disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang digunakan. Waktu pengambilan darah
yang baik adalah pada saat demam tinggi yaitu pada saat bakteremia berlangsung.
b. Saat pemeriksaan selama perjalanan Penyakit
Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada minggu pertama dan
berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh biakan darah dapat positif
kembali.
c. Vaksinasi di masa lampau
Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat menimbulkan antibodi dalam
darah klien, antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga biakan darah negatif.
d. Pengobatan dengan obat anti mikroba
Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti mikroba pertumbuhan
kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin negatif.
e. Uji Widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin
yang spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum klien dengan typhoid juga terdapat
pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi
salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah
untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita tifoid
Uji widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibody terhadap kuman Salmonella typhi.
Uji widal dikatakan bernilai bila terdapat kenaikan titer widal 4 kali lipat (pada pemeriksaan
ulang 5-7 hari) atau titer widal O > 1/320, titer H > 1/60 (dalam sekali pemeriksaan) Gall kultur
dengan media carr empedu merupakan diagnosa pasti Typoid Fever bila hasilnya positif, namun
demikian, bila hasil kultur negatif belum menyingkirkan kemungkinan tifoid, karena beberapa
alasan, yaitu pengaruh pemberian antibiotika, sampel yang tidak mencukupi. Sesuai dengan
kemampuan SDM dan tingkat perjalanan penyakit Typoid Fever, maka diagnosis klinis Typoid
Fever diklasifikasikan atas:
1. Possible Case dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan gejala demam,gangguan
saluran cerna, gangguan pola buang air besar dan hepato/splenomegali. Sindrom Typoid Fever
belum lengkap. Diagnosis ini hanya dibuat pada pelayanan kesehatan dasar.
2. Probable Case telah didapatkan gejala klinis lengkap atau hampir lengkap, serta didukung oleh
gambaran laboraorium yang menyokong Typoid Fever (titer widal O > 1/160 atau H > 1/160 satu
kali pemeriksaan).
3. Definite Case Diagnosis pasti, ditemukan S. Thypi pada pemeriksaan biakan atau positif
S.Thypi pada pemeriksaan PCR atau terdapat kenaikan titerWidal 4 kali lipat (pada pemeriksaan
ulang 5-7 hari) atau titer widal O> 1/320, H > 1/640 (pada pemeriksaan sekali) (Widodo, D.
2007. Buku Ajar Keperawatan Dalam. Jakarta: FKUI.
8. PENATALAKSANAAN
A. Medis
a. Anti Biotik (Membunuh Kuman) :
1) Klorampenicol
2) Amoxicilin
3) Kotrimoxasol
4) Ceftriaxon
5) Cefixim
b. Antipiretik (Menurunkan panas) :
1) Paracetamol
B. Keperawatan
1. Observasi dan pengobatan
2. Pasien harus tirah baring absolute sampai 7 hari bebas demam atau kurang lebih dari
selam 14 hari. MAksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi
perforasi usus.
3. Mobilisasi bertahap bila tidak panas, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.
4. Pasien dengan kesadarannya yang menurun, posisi tubuhnya harus diubah pada waktu-
waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia dan dekubitus.
5. Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan karena kadang-kadang terjadi konstipasi
dan diare.
6. Diet
v Diet yang sesuai ,cukup kalori dan tinggi protein.
v Pada penderita yang akut dapat diberi bubur saring.
v Setelah bebas demam diberi bubur kasar selama 2 hari lalu nasi tim
v Dilanjutkan dengan nasi biasa setelah penderita bebas dari demam selama 7 hari
(Smeltzer & Bare. 2002. Keperawatan Medikal Bedah II. Jakarta: EGC).
9. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
a. Pengkajian Esofagus dan abdomen kiri atas
1) Esofagus dan abdomen kiri atas
Perawat menanyakan tentang napsu makan pasien; tetap sama,meningkat atau menurun.
Adakah ktidaknyamanan saat menelan, bila ada apakah terjadi hanya karena pada
makanan tertentu?
Adakah gejala lain seperti rugurgitasi, regurgitasi noctural, kembung(eruktasi), yeri ulu
hati, tekanan subesternal, sensasi makanan menyangkut ditenggorokan, perasaan penuh
setelah makan dalam jumlah sedikit, mual, muntah dan penuruna berat badan.
Apakah gejala meningkat dengan emosi? Jika ada tanyakan waktu kejadian, faktor
penghilang atau pemberat seperti perubahan posisi, kembung, antasida atau muntah.
b. Pengkajian lambung
Anamnese:
Apakah pasien mengalami nyeri ulu hati, tidak dapat makan, mual atau muntah
Apakah gejala terjadi kapan saja? Sebelum atau sesudah makan?setelah makan makanan
pedas atau mencerna obat tertentu?
Apakah gejala berhubungan dengan ansietas, stress alergi, makan atau minum terlalu
banyak, atau makan terlalu cepat?
Pemeriksaan fisik;
Palpasi ringan dari ujung kiri atas abdomen sampai sedikit melewati garis kuadran kanan atas
untuk mendeteksi adanya nyeri tekan.
c. Pengkajian abdomen kuadran kanan atas
1) Hati dan kandung empedu
Anamnese:
Kaji adanya keluhan digestif; mual, muntah, muntah darah,anoreksia, diare dan melena
Tanyakan apakah pasien telah mengalami perubahan berat badan atau intoleransi
terhadap diet; mual, muntah, kejang dalam 24 jam terakhir
Tanyakan apakan pasien menggunakan zat atau obat tertentu yang bersifat hepatoksik
Pemeriksaan fisik;
Inspeksi:
v Warna kulit
v Sclera mata untuk menilai adanya ikterus
v Pembesaran abdomen akibat cairan (asites)
Perkusi :
untuk menilai luasnya asites dapat dilakukan perkusi abdomen, apabila sudah terdapat cairan
dalam kavum peritoneal maka daerah pinggang akan menonjol ketika pasian dalam posisi
supinasi. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan shifting dullness aau dengan mendeteksi
gelombang cairan.
Palpasi:
Palpasi pada daerah kuadran kanan atas dibawah rongga iga untuk mendapatkantepi bawah hati,
untuk memeriksa pembesaran hati.
Letakan tangan kiri dibawah toraks posterior kanan pasien pada iga kesebelas dan dua belas,
kemudian memberi tekanan keatas. Dengan jari-jari tangan kanan mengarah pada tepi kostal
kanan, perawat meletakan tangan di atas kuadran kanan atas tepat dibawah tepi hati.pada saat
perawat menekan keatas dan kebawah secara perlahan, pasien menarik napas dalam melalui
abdomen. Pada saat pasien berinhalasi, perawat mencoba memalpasi tepi hati pada saat hati
menurun.
Pada keadaan normal hati tidak mengalami nyeri tekan dan memiliki tepi yang teratur dan tajam.
Administrasi analgetik :.
1. Cek program pemberian analogetik; jenis, dosis,
dan frekuensi.
2. Cek riwayat alergi..
3. Tentukan analgetik pilihan, rute pemberian dan
dosis optimal.
4. Monitor TTV sebelum dan sesudah pemberian
analgetik.
5. Berikan analgetik tepat waktu terutama saat nyeri
muncul.
6. Evaluasi efektifitas analgetik, tanda dan gejala
efek samping.
3 Ketidakseimbang Status gizi : asupan gizi Manajemen Nutrisi Manajemen nutrisi dan monitor
an nutrisi kurang 1. kaji pola makan klien nutrisi yang adekuat dapat
dari kebutuhan Setelah dilakukan askep 2. Kaji adanya alergi makanan. membantu klien mendapatkan
tubuh selama ....x24 jam pasien3. Kaji makanan yang disukai oleh klien. nutrisi sesuai dengan kebutuha
menunjukan: 4. Kolaborasi dg ahli gizi untuk penyediaan nutrisi tubuhnya.
status nutrisi adekuat terpilih sesuai dengan kebutuhan klien.
dibuktikan dengan BB 5. Anjurkan klien untuk meningkatkan asupan
stabil tidak terjadi mal nutrisinya.
nutrisi, tingkat energi 6. Yakinkan diet yang dikonsumsi mengandung
adekuat, masukan nutrisi cukup serat untuk mencegah konstipasi.
adekuat 7. Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi dan
pentingnya bagi tubuh klien.
Monitor Nutrisi
1. Monitor BB setiap hari jika memungkinkan.
2. Monitor respon klien terhadap situasi yang
mengharuskan klien makan.
3. Monitor lingkungan selama makan.
4. Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak
bersamaan dengan waktu klien makan.
5. Monitor adanya mual muntah.
6. Monitor adanya gangguan dalam proses
mastikasi/input makanan misalnya perdarahan,
bengkak dsb.
7. Monitor intake nutrisi dan kalori.
1. Aru W. Sudoyo.(2009) Buku ajar ilmu penyakit dalam. Ed V.Jilid III. Jakarta: Interna
Publishing
2. Departemen Kesehatan RI. (2009). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2008. Depkes RI,
Jakarta
3. Nugroho, Susilo, (2011). Pengobatan Typoid Fever. Yogyakarta: Nuha Medika
4. Mansjoer, Arif. (2009). Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta : Media Aesculapius.
5. Simanjuntak, C. H, (2009). Typoid Fever, Epidemiologi dan Perkembangan Penelitian.
Cermin Dunia Kedokteran No. 83.)
6. Sjamsuhidayat. (1998). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. EGC. Jakarta.
7. Smeltzer & Bare. (2002). Keperawatan Medikal Bedah II. Jakarta: EGC
8. Soedarmo, Sumarmo S Poorwo, dkk. (2012). Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Jakarta:
IDAI)
9. Widodo, D. (2007). Buku Ajar Keperawatan Dalam. Jakarta: FKUI