Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT


DENGAN KASUS DEMAM THYPOID

Oleh:

Kholifatur Rizqiyah)
(NIM:14201.12.20020)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


STIKES HAFSHAWATY PESANTREN ZAINUL HASAN
PROBOLINGGO
2023
A. ANATOMI FISIOLOGI

Sistem pencernaan atau sistem gastrointestinal (mulai dari mulut sampai


anus) adalah sistem organ dalam manusia yang berfungsi untuk menerima
makanan, mencernanya menjadi zat-zat gizi dan energi, menyerap zat-zat gizi ke
dalam aliran darah serta membuang bagian makanan yang tidak dapat dicerna atau
merupakan sisa proses tersebut dari tubuh.
Saluran pencernaan terdiri dari mulut, tenggorokan (faring), kerongkongan,
lambung, usus halus, usus besar, rectum dan anus. Sistem pencernaan juga meliputi
organ-organ yang terletak di luar saluran pencernaan, yaitu pankreas, hati dan
kandung empedu.
1. Usus Halus (usus kecil)
Usus halus atau usus kecil adalah bagian dari saluran pencernaan yang
terletak di antara lambung dan usus besar. Dinding usus kaya akan pembuluh
darah yang mengangkut zat-zat yang diserap ke hati melalui vena porta.
Dinding usus melepaskan lendir (yang melumasi isi usus) dan air (yang
membantu melarutkan pecahan-pecahan makanan yang dicerna). Dinding usus
juga melepaskan sejumlah kecil enzim yang mencerna protein, gula dan lemak.
Lapisan usus halus : lapisan mukosa (sebelah kanan), lapisan otot melingkar (M
sirkuler), lapisan otot memanjang (M longitudinal) dan lapisan serosa (sebelah
luar). Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu usus dua belas jari(duodenum),
usus kosong (jejenum) dan usus penyerapan (ileum). Villi usus halus terdiri
dari : Pipa berotot (> 6 cm), pencernaan secara kimiawi, penyerapan makanan.
Terbagi atas : Usus 12 jari (duodenum) usus tengah (jejenum), usus penyerapan
(ileum).
a. Usus dua belas jari (Duodenum)
Usus dua belas jari atau duodenum adalah bagian dari usus halus
yang terletak setelah lambung dan menghubungkannya ke usus kosong
(jejenum). Bagian usus dua belas jari merupakan bagian terpendek dari
usus halus, dimulai dari bulbo duodenale dan berakhir di ligamentum
Treitz. Usus dua belas jari merupakan organ retroperitoneal, yang tidak
terbungkus seluruhnya oleh selaput peritoneum. pH usus dua belas jari
yang normal berkisar pada derajat sembilan. Pada usus dua belas jari
terdapat dua muara saluran yaitu dari pancreas dan kantung empedu.
Nama duodenum berasal dari bahasa Latin duodenum digitorum, yang
berarti dua belas jari. Lambung melepaskan makanan ke dalam usus dua
belas jari (duodenum), yang merupakan bagian pertama dari usus halus.
Makanan masuk ke dalam duodenum melalui sfingter pylorus dalam
jumlah yang bisa dicerna oleh usus halus. Jika penuh, duodenum akan
mengirimkan sinyal kepada lambung untuk berhenti mengalirkan
makanan.
b. Usus Kosong (jejenum)
Usus kosong atau jejenum (terkadang sering ditulis yeyunum)
adalah bagian dari usus halus, diantara usus dua belas jari (duodenum)
dan usus penyerapan (ileum). Pada manusia dewasa, panjang seluruh
usus halus antara 2-8 meter, 1-2 meter adalah bagian usus kosong. Usus
kosong dan usus penyerapan digantungkan dalam tubuh dengan
mesenterium. Permukaan dalam usus kosong berupa membran mukus
dan terdapat jonjot usus (vili), yang memperluas permukaan dari usus.
Secara histologis dapat dibedakan dengan usus dua belas jari, yakni
berkurangnya kelenjar Brunner. Secara hitologis pula dapat dibedakan
dengan usus penyerapan, yakni sedikitnya sel goblet dan plak Peyeri.
Sedikit sulit untuk membedakan usus kosong dan usus penyerapan
secara makroskopis. Jejunum diturunkan dari kata sifat jejune yang
berarti “lapar” dalam bahasa inggris modern. Arti aslinya berasal dari
bahasa Latin, jejunus, yang berarti “kosong”.
c. Usus Penyerapan (ileum)
Usus penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir dari usus halus.
Pada sistem pencernaan manusia, ini memiliki panjang sekitar 2-4 m
dan terletak setelah duodenum dan jejunum, dan dilanjutkan oleh usus
buntu. Ileum memiliki pH antara 7 dan 8 (netral atau sedikit basa) dan
berfungsi menyerap vitamin B12 dan garam-garam empedu.
2. Usus Besar (Kolon)
Usus besar atau kolon dalam anatomi adalah bagian usus antara usus buntu
dan rektum. Fungsi utama organ ini adalah menyerap air dari feses. Usus besar
terdiri dari : kolon asendens (kanan), kolon transversum, kolon desendens
(kiri), kolon sigmoid (berhubungan dengan rectum). Banyaknya bakteri yang
terdapat didalam usus besar berfungsi mencerna makanan beberapa bahan dan
membantu penyerapan zat-zat gizi. Bakteri didalam usus besar juga berfungsi
membuat zat-zat penting, seperti vitamin K. Bakteri ini penting untuk fungsi
normal dari usus. Beberapa penyakit serta antibiotik bisa menyebabkan
gangguan pada bakteri-bakteri didalam usus besar. Akibatnya terjadi iritasi
yang bisa menyebabkan dikeluarkannya lendir dan air, dan terjadilah diare.
3. Usus Buntu (sekum)
Usus buntu atau sekum (Bahasa Latin : caecus, “buta”) dalam istilah
anatomi adalah suatu kantung yang terhubung pada usus penyerapan serta
bagian kolon menanjak dari usus besar. Organ ini ditemukan pada mamalia,
burung, dan beberapa jenis reptil. Sebagian besar herbivore memiliki sekum
yang besar, sedangkan karnivora ekslusif memiliki yang kecil, yang sebagian
atau seluruhnya digantikan oleh umbai cacing.
4. Umbai Cacing (Appendix)
Umbai cacing atau apendiks adalah organ tambahan pada usus buntu.
Infeksi pada organ ini disebut apendisitis atau radang umbai cacing. Apendisitis
yang parah dapat menyebabkan apendiks pecah dan membentuk nanah di
dalam rongga abdomen atau peritonitis (infeksi rongga abdomen). Dalam
anatomi manusia, umbai cacing atau dalam bahasa Inggris, vermiform appendix
(atau hanya appendix) adalah ujung buntu tabung yang menyambung dengan
caecum. Umbai cacing terbentuk dari caecum pada tahap embrio. Dalam orang
dewasa, umbai cacing berukuran sekitar 10 cm tetapi bisa bervariasi dari 2
sampai 20 cm. walaupun lokasi apendiks selalu tetap, lokasi ujung umbai
cacing bisa berbeda-beda di retrocaecal atau di pinggang (pelvis) yang jelas
tetap terletak di peritoneum. Banyak orang percaya umbai cacing tidak berguna
dan organ vestigial (sisihan), sebagian yang lain percaya bahwa apendiks
mempunyai fungsi dalam sistem limfatik. Operasi membuang umbai cacing
dikenal sebagai appendiktomi.
5. Rektum dan Anus
Rectum (Bahasa Latin : regere, “meluruskan, mengatur”) adalah sebuah
ruangan yang berawal dari usus besar (setelah kolon sigmoid) dan berakhir di
anus. Organ ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara feses.
Biasanya rektum ini kosong karena tinja disimpang ditempat yang lebih tinggi,
yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja masuk ke
dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air besar (BAB).
Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan material didalam rectum
akan memicu sistem saraf yang menimbulkan keinginan untuk melakukan
defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, seringkali material akan dikembalikan ke
usus besar, dimana penyerapan air akan kembali dilakukan. Jika defekasi tidak
terjadi untuk periode yang lama, konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi.
Orang dewasa dan anak yang lebih tua bisa menahan keinginan ini, tetapi bayi
dan anak yang lebih muda mengalami kekurangan dalam pengendalian otot
yang penting untuk menunda BAB. Anus merupakan lubang di ujung saluran
pencernaan, dimana bahan limba keluar dari tubuh. Sebagian besar anus
terbentuk dari permukaan tubuh (kulit) dan sebagian lainnya dari usus.
Pembukaan dan penutupan anus diatur oleh otot spinter. Feses dibuang dari
tubuh melalui proses defekasi (buang air besar – BAB), yang merupakan fungsi
utama anus.
B. DEFINISI
Demam typhoid adalah salah satu penyakit menular yang disebabkan oleh
Salmonella typhi dan endotoksinnya merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen
oleh leukosit pada jaringan yang meradang (Reilly, 2020). Salmonella typhi
disebarkan melalui rute fekal-oral yang memiliki potensi epidemi. Hipertermi
merupakan salah satu tanda gejala klinik pada pasien yang menderita typhoid.
Penyakit typhoid masih sering ditemukan dan menjadi masalah kesehatan penting
di negara berkembang (Andrews et al., 2020)
Demam typhoid merupakan salah satu dari penyakit infeksi terpenting.
Manifestasi yang sering muncul adalah kenaikan suhu tubuh yang sangat
signifikan, hal ini diakibatkan oleh stress fisiologis seperti ovulasi, olahraga berat,
sampai lesi sistem saraf pusat atau infeksi oleh mikroorganisme serta proses non
infeksi seperti radang (Siswanto, 2019). Teknik non-farmakologi yang dapat
digunakan untuk mengurangi kenaikan suhu tubuh pada pasien demam adalah
dengan manajemen demam, yaitu dengan memberikan beberapa tindakan seperti
kompres hangat, plester kompres, pemenuhan kebutuhan nutrisi, dan tirah baring
(Arieska et al, 2019).
Seseorang yang terinfeksi bakteri penyebab tipes bisa menyebar ke seluruh
tubuh yang dapat mempengaruhi banyak organ tubuh penderitanya. Orang yang
terinfeksi penyakit demam tifoid / tipes dapat menularkan bakteri melalui fases dan
urine, makan dan minuman yang sudah terkontaminasi dengan urine atau fases
penderita tipes. Ataupun mengkonsumsi makanan yang ditangani oleh orang yang
sedang mengalami tipes dan belum dinyatakan sembuh oleh dokter, Demam
tifoid termasuk infeksi bakteri yang bisa menyebar ke seluruh tubuh dan
memengaruhi banyak organ. Tanpa perawatan yang cepat dan tepat, penyakit ini
bisa menyebabkan komplikasi serius yang berakibat fatal.
C. ETIOLOGI
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh
bakteri Salmonella Typhi.Bakteri Salmonella Typhi berbentuk batang, Gram
negatif, tidak berspora, motil, berflagel, berkapsul, tumbuh dengan baik pada suhu
optimal 370 C, bersifat fakultatif anaerob dan hidup subur pada media yang
mengandung empedu.Isolat kuman Salmonella Typhi memiliki sifat-sifat gerak
positif, reaksi fermentasi terhadap manitol dan sorbitol positif, sedangkan hasil
negatif pada reaksi indol, fenilalanin deaminase, urease dan DNase
Bakteri Salmonella Typhi memiliki beberapa komponen antigen antara lain
antigen dinding sel (O) yang merupakan lipopolisakarida dan bersifat spesifik
grup.Antigen flagella (H) yang merupakan komponen protein berada dalam flagella
dan bersifat spesifik spesies.Antigen virulen (Vi) merupakan polisakarida dan
berada di kapsul yang melindungi seluruh permukaan sel.Antigen ini menghambat
proses aglutinasi antigen O oleh anti O serum dan melindungi antigen O dari proses
fagositosis.Antigen Vi berhubungan dengan daya invasif bakteri dan efektivitas
vaksin.Salmonella Typhi menghasilkan endotoksin yang merupakan bagaian
terluar dari dinding sel, terdiri dari antigen O yang sudah dilepaskan,
lipopolisakarida dan lipid A.Antibodi O, H dan Vi akan membentuk antibodi
agglutinin di dalam tubuh.Sedangkan, Outer Membran Protein (OMP) pada
Salmonella Typhi merupakan bagian terluar yang terletak di luar membran
sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel dengan lingkungan
sekitarnya.OMP sebagain besar terdiri dari protein purin, berperan pada
patogenesis demam tifoid dan antigen yang penting dalam mekanisme respon imun
host. OMP berfungsi sebagai barier mengendalikan masuknya zat dan cairan ke
membran sitoplasma selain itu berfungsi sebagai reseptor untuk bakteriofag dan
bakteriosin
D. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis demam tifoid pada anak sering kali tidak khas dan sangat
bervariasi yang sesuai dengan patogenesis demam tifoid. Spektrum klinis demam
tifoid tidak khas dan sangat lebar, dari asimtomatik atau yang ringan berupa panas
disertai diare yang mudah disembuhkan sampai dengan bentuk klinis yang berat
baik berupa gejala sistemik panas tinggi, gejala septik yang lain, ensefalopati atau
timbul komplikasi gastrointestinal berupa perforasi usus atau perdarahan.Hal ini
mempersulit penegakan diagnosis berdasarkan gambaran klinisnya saja. Demam
merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul pada semua penderita
demam tifoid.
Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1-2 hari menjadi parah
dengan gejala yang menyerupai septisemia oleh karena Streptococcus atau
Pneumococcus daripada S. typhi. Menggigil tidak biasa didapatkan pada demam
tifoid tetapi pada penderita yang hidup di daerah endemis malaria, menggigil lebih
mungkin disebabkan oleh malaria. Namun demikian demam tifoid dan malaria
dapat timbul bersamaan pada satu penderita. Sakit kepala hebat yang menyertai
demam tinggi dapat menyerupai gejala meningitis, di sisi lain S. typhi juga dapat
menembus sawar darah otak dan menyebabkan meningitis. Manifestasi gejala
mental kadang mendominasi gambaran klinis, yaitu konfusi, stupor, psikotik atau
koma. Nyeri perut kadang tak dapat dibedakan dengan apendisitis. Pada tahap
lanjut dapat muncul gambaran peritonitis akibat perforasi usus
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika
dibandingkan dengan penderita dewasa. Masa tunas rata-rata 10-20 hari, yang
tersingkat 4 hari jika infeksi terjadi melalui makanan, sedangkan yang terlama
sampai 30 hari jika infeksi melalui minuman. Selama masa inkubasi mungkin
ditemukan gejala prodormal, yaitu tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan
tidak bersemangat
E. KLASIFIKASI
1. Demam intermitem
Suhu tubuh akan berubah ubah dalam interval yang teratur , antara peroide
demam dan periode suhu normal serta subnormal .bila demam seperti ini terjadi
setiap dua hari sekali disebut tersiana dan bila dua hari bebabs demam
diantaranya dua serangan demam disebut kuartana
2. Demam remitem
Terjadi fluktuasi suhu rentang yang luas dan berlangsung selama 24 jam ,dan
selama itu suhu tubuh berada diatas normal
3. Demam kekambuhan
Masa febril yang pendek selama beberapa hari diselingi dengan periode
suhu normal selama 1-2 hari
4. Demam konstan
Suhu tubuh akan sedikit berfluktausi ,tetapi tetap berada diatas suhu normal
.suhu yang meningkatkan secara cepat menjadi demam setelah priode normal
dan kembali normal dalam beberapa jam disebut sebagai fiver spike
F. PATOFISIOLOGI
Patogenesis demam tifoid merupakan proses yang kompleks yang melalui
beberapa tahapan. Setelah kuman Salmonella typhi tertelan, kuman tersebut dapat
bertahan terhadap asam lambung dan masuk ke dalam tubuh melalui mukosa usus
pada ileum terminalis. Bakteri melekat pada mikrovili di usus, kemudian melalui
barier usus yang melibatkan mekanisme membrane ruffling, actin rearrangement,
dan internalisasi dalam vakuola intraseluler. Kemudian Salmonella typhi menyebar
ke sistem limfoid mesenterika dan masuk ke dalam pembuluh darah melalui sistem
limfatik. Bakteremia primer terjadi pada tahap ini dan biasanya tidak didapatkan
gejala dan kultur darah biasanya masih memberikan hasil yang negatif. Periode
inkubasi ini terjadi selama 7-14 hari.
Bakteri dalam pembuluh darah ini akan menyebar ke seluruh tubuh dan
berkolonisasi dalam organ-organ sistem retikuloendotelial, yakni di hati, limpa, dan
sumsum tulang. Kuman juga dapat melakukan replikasi dalam makrofag. Setelah
periode replikasi, kuman akan disebarkan kembali ke dalam sistem peredaran darah
dan menyebabkan bakteremia sekunder sekaligus menandai berakhirnya periode
inkubasi. Bakteremia sekunder menimbulkan gejala klinis seperti demam, sakit
kepala, dan nyeri abdomen. Bakteremia dapat menetap selama beberapa minggu
bila tidak diobati dengan antibiotik. Pada tahapan ini, bakteri tersebar luas di hati,
limpa, sumsum tulang, kandung empedu, dan Peyer’s patches di mukosa ileum
terminal. Ulserasi pada Peyer’s patches dapat terjadi melalui proses inflamasi yang
mengakibatkan nekrosis dan iskemia. Komplikasi perdarahan dan perforasi usus
dapat menyusul ulserasi. Kekambuhan dapat terjadi bila kuman masih menetap
dalam organ-organ system retikuloendotelial dan berkesempatan untuk
berproliferasi kembali. Menetapnya Salmonella dalam tubuh manusia diistilahkan
sebagai pembawa kuman atau carrier (Linson et al., 2019)
G. PATHWAY
Salmonella typhosa

Saluran pencernaan

Diserap oleh usus halus

Bakteri memasuki aliran darah sistemik


Kelenjar limfoid Hati Limpa Endotoksin
Usus halus

Tukak Hepatomegali Splenomegali Demam

Pendarahan dan nyeri perabahan


Perforasi mual/tidak nafsu makan

Perubahan nutrisi

Resiko kurang volume cairan

Gambar 1:Pathway typhoid


H. KOMPLIKASI
1. Pendarahan usus.
Bila sedikit, hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan
benzidin. Jika perdarahan banyak, maka terjadi melena yang dapat disertai
nyeri perut dengan tanda-tanda renjatan.
2. Perforasi usus. Timbul biasanya pada minggu ketiga /setelahnya dan terjadi
pada bagian distal ileum.
3. Peritonitis.
Biasanya menyertai perforasi,tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus.
Ditemukan gejala abdomenakut, yaitu nyeri perut hebat, dinding abdomen
tegang, dan nyeri tekan
4. Komplikasi di luar usus.
Terjadi karena lokalisasi peradangan akibat sepsis, yaitu meningitis,
kolesistisis, ensefalopati, dan lain-lain. (Fauzan, 2019)
I. PENATALAKSANAAN
Menurut Inawati (2017) pengobatan/penatalaksanaan pada penderita
Demam thypoid adalah sebagai berikut
1. Penatalaksanaan medis
a. Pasien demam thypoid perlu dirawat, pasien harus mengalami tirah baring
ditempat tidur sampai minimal 7 sampai 14 hari. Maksud untuk tirah baring
ini adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi pendarahan usus atau
perforasi usus. Mobilisasi untuk pasien harus dilakukan secara bertahap,
sesuai dengan pulihannya kekuatan pasien. Kebersihan tempat tidur,
pakaian, dan peralatan yang dipakai pasien. Pasien dengan kesadaran
menurun, posisi tubuhnya minimal 2 jam harus diubah-ubah pada waktu-
waktu tertentu untuk menghindari terjadi adanya dekubitus. Defekasi dan
buang air kecil perlu diperhatikan karena kadang-kadang terjadi obstipasi
dan retensi air kemih
b. Diet dan terapi penunjang Diet makanan untuk penderita demam thypoid ini
harus mengandung cukup intake cairan dan tinggi protein, serta rendah
serat. Diet bertahap untuk pasien demam thypoid diberi bubur, kemudian
bubur kasar dan akhirnya diberi nasi. Beberapa peneliti menunjukan bahwa
pemberian makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa
(pantang sayuran dengan serat kasar) dan diet tinggi serat akan
meningkatkan kerja usus sehingga resiko perforasi usus lebih kuat.
c. Pemberian obat Terapi Obat-obatan atibiotika anti inflamasi dan anti
piretik: Pemberian antibiotika sangat penting dalam mengobati demam
thypoid karena semakin bertambahnya resitensi antibiotic, pemberihan
terapi empirik merupakan masalah dan kadang-kadang controversial.
Kebanyakan regimen antibiotik disertai dengan 20% kumat.
2. Penatalaksanaan Keperawatan
Menurut (Nugroho, 2020) tindakan keperawatan
yang dilakukan untuk pasien dengan demam thypoid antara lain: a. a. a. a.
a.Gangguan suhu tubuh (Hipertermi).
1) Kaji penyebab hipertermi
2) Jelaskan pada klien/keluarga pentingnya mempertahankan masukan
cairan yang adekuat untuk mencegah dehidrasi.
3) Ajarkan/lakukan upaya mengatasi hipertermi dengan kompres hangat,
sirkulasi cukup, pakaian longgar dan kering dan pembatasan aktivitas
. 4) Jelaskan tanda-tanda awal hipertermi: kulit kemerahan, letih, sakit
kepala, kehilangan nafsu makan.
b. Kebutuhan nutrisi dan cairan
1) Tentukan kebutuhan kalori harian yang realistis dan secara adekuat,
konsulkan pada ahli gizi.
2) Timbang BB secara berkala.
3) Jelaskan pentingnya nutrisi yang adekuat
4) Ciptakan suasana yang membangkitkan selera makanan: tampilan pada
makanan, sajian makanan dalam keadaan hangat, makan secara bersamaan,
suasana yang tenang, lingkungan yang bersih.
5) Pertahankan kebersihan mulut sebelum dan sesudah makan
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Muttaqin, (2019) pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien
demam thypoid antara lain sebagai berikut
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan darah
Untuk mengindentifikasi adanya anemia karena asupan makanan yang
terbatas, malabsorspi, hambatan pembentukan darah dalam sumsum, dan
penghancuran sel darah merah dalam pendarahan darah. Leukopenia dengan
jumlah lekosit antara 3000- 4000 mm3 ditemukan pada fase demam. Hal ini
diakibatkan oleh penghancuran lekosit oleh endotoksin. Aneosinofilia yaitu
hilangnya eosinophil dari darah tepi. Trombositopenia terjadi pada stadium
panas yaitu pada minggu pertama. Limfositosis umumnya jumlah limfosit
meningkat akibat rangsangan endotoksin laju endap darah meningkat
b. Pemeriksaan Leukosit
Pada kebanyakan kasus demam thypoid, jumlah leukosit pada sediaan darah
tepi dalam batas normal, malahan kadang terdapat leukositosis, walaupun tidak
ada komplikasi atau infeksi sekunder.
c. Pemeriksaan feses
Didapatkan adanya lendir dan darah, dicurigai akan bahaya perdarahan
pada usus dan perforasi

d. Tes widal
Tes widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan anti bodi
(aglutinin). Agglutinin yang spesifik terhadap sallmonela terdapat dalam serum
pasien demam thypoid, juga pada orang yang pernah ketularan salmonella dan
pada orang yang pernah divaksinasi terhadap demam thypoid. Anti gen yang
digunakan pada tes widal adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan
dan diolah di laboratorium. Maksud tes widal adalah untuk menentukan
adanya agglutinin dalam serum pasien yang disangka menderita demam
thypoid. Akibat infeksi oleh kuman salmonella, pasien membuat anti bodi
(agglutinin)
e. Biakan darah
Biakan darah positif memastikan demam thypoid, tetapi biakan darah
negative tidak menyingkirkan demam thypoid, karena pada pemeriksaan
minggu pertama penyakit berkurang dan pada minggu-minggu berikutnya pada
waktu kambuh biakan akan terjadi positif lagi
f. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan ini untuk mengetahui apakah adanya kelainan atau komplikasi
akibat demam thypoid.
DAFTAR PUSTAKA
Fauzan, Rahmat. (2019). Asuhan Keperawatan pada an. Z dengan Demam Typoid Di
Ruangan Anak RSUD dr. Achmad Mochtar. Stikes Perintis Padang :
Bukittinggi.Vol. 133 Hal

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Demam Tifoid pada Anak di RSUD Tugurejo
Semarang Galuh Ramaningrum , Hema Dewi Anggraheny , Tiara Perdana Putri
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Semarang.
HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN KEBIASAAN MAKAN DENGAN
GEJALA DEMAM THYPOID PADA MAHASISWA FAKULTAS
KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS HALU OLEO TAHUN 2017
Rois Kurnia Saputra, Ruslan Majid,Hartati Bahar
JURNAL ILMIAH MAHASISWA KESEHATAN MASYARAKAT VOL. 2/NO.6/ Mei
2017; ISSN 250-731X
PENERAPAN ALGORITMA NAÏVE BAYES UNTUK MEMPREDIKSI GEJALA
DEMAM TIFOID PADA PUSKESMAS CIBADAK Abdullah Khabari Kamil ,
Resti Yulistria , Apip Supiandi , Gunawan
VIVA MEDIKA Jurnal Kesehatan, Kebidanan, dan Keperawatan
http://ejournal.uhb.ac.id/index.php/VM/issue/archive STUDI KASUS
IMPLEMENTASI EVIDENCE-BASED NURSING: WATER TEPID SPONGE
BATH UNTUK MENURUNKAN DEMAM PASIEN TIFOID Andan
Firmansyah,Henri setiawan ,Heri aryanto
16

Anda mungkin juga menyukai