ILEUS OBSTRUKTIF
A. Konsep Dasar Medis
1. Anatomi fisiologi
a. Anatomi
Usus halus membentang dari pylorus hingga katup ileosekal. Panjang usus halus sekitar 12 kaki atau
3,6 meter . usus ini mengisi bagian tengah dan rongga abdomen. Ujung proksimalnya berdiameter
sekitar 3,8 cm tetapi makin kebawah garis tengahnya semakin berkurang sampai menjadi sekitar dua
cm. usus halus dibagi menjadi duodenum, jejunum dan ileum.
Panjang duedonum sekitar 25 cm mulai dari pylorus sampai jejunum. Pemisahan duodenum dan
jejunum ditandai oleh adanya ligamentum treitz yaitu suatu pita muskulo fibrosa yang berperan
sebagai Ligamentum Suspensorium (penggantung). Sekitar 2/5 dari usus halus adalah jejunum,
Jejunum terletak diregio mid abdominalis sinistra dan ileum terletak di regio mid abdominalis dextra
sebelah bawah. Tiga perlima bagian akhir adalah ileum. Masuknya kimus kedalam usus halus diatur
oleh spingther pylorus, sedangkan pengeluaran zat yang telah tercerna kedalam usus besar yang diatur
oleh katup ileus sekal. Katup illeus sekal juga mencegah terjadinya refluk dari usus besar ke dalam
usus halus. Apendik fermivormis yang berbentuk tabung buntu berukuran sebesar jari kelingking
terletak pada daerah illeus sekal yaitu pada apeks sekum.
Dinding usus halus terdiri dari empat lapisan dasar yang paling luar dibentuk oleh peritoneum.
Peritoneum mempunyai lapisan visceral dan parietal. Ruang yang terletak diantara lapisan-lapisan ini
disebut sebagai rongga peritoneum. Omentum memilik lipatan-lipatan yang diberi nama yaitu
mesenterium yang merupakan lipatan peritoneum lebar menyerupai kipas yang menggantung jejenum
dan ileum dari dinding posterior abdomen, dan memungkinkan usus bergerak dengan leluasa.
Omentum majus merupakan lapisan ganda peritoneum yang menggantung dari kurva tura mayor
lambung dan berjalan turun kedepan visera abdomen. Omentum biasanya mengandung banyak lemak
dan kelenjar limfe yang membantu melindungi peritoneum terhadap infeksi. Omentum minus
merupakan lipatan peritoneum yang terbentuk dari kurvatura lambung dan bagian atas duodenum
menuju ke hati, membentuk ligamentum suspensorium hepatogastrika dan ligamentum
hepatoduodenale .
Usus halus mempunyai dua lapisan lapisan luar terdiri dari serabut serabut longitudinal yang
lebih tipis dan lapisan dalam terdiri atas serabut serabut sirkuler. Penataan yang demikian membantu
gerakan peristaltic usus halus. Lapisan submukosa terdiri atas jaringan ikat sedangkan lapisan mukosa
bagian dalam tebal serta banyak mengandung pembuluh darah dan kelenjar yang berfungsi sebagai
absorbsi. Lapisan mukosa dan sub mukosa membentuk lipatan-lipatn sirkuler yang disebut sebgai
valvula coniventes atau lipatan kercking yang menonjol kedalam lumen sekitar tiga sampai sepuluh
millimeter. Villi merupakan tonjolan-tonjolan mukosa seperti jari-jari yang jumlahnya sekitar 4 atau 5
juta yang terdapat di sepanjang usus halus, dengan panjang 0,5 sampai 1,5 mm. Mikrovilli merupakan
tonjolan yang menyerupai jari-jari dengan panjang sekitar 1 mm pada permukaan luar setiap villus.
Valvula coni ventes vili dan mikrovilli sama sama-menambah luas permukaan absorbsi hingga 1,6 juta
cm2.b. Fisiologi
Usus halus memepunyai dua fungsi utama yaitu pencernaan dan absorbsi bahan-bahan nutrisi
dan air. Proses pencernaan yaitu proses pemecahan makanan menjadi bentuk yang dapat tercerna
melalui kerja berbagai enzim dalam saluran gastrointestinal. Proses pencernaan dimulai dari mulut dan
lambung oleh kerja ptyalin, HCL, Pepsin, mucus dan lipase lambung terhadap makanan yang masuk.
Proses ini berlanjut dalam duodenum terutama oleh kerja enzim-enzim pancreas yang menghindrolisis
karbohidrat, lemak dan protein menjadi zat-zat yang lebih sederhana. Mucus memberikan
perlindungan terhadap asam sekeresi empedu dari hati membantu proses pemecahan dengan
mengemulsikan lemak. Sehingga memberikan permukaan yang lebih luas bagi kerja lipase pancreas.
Absorbsi adalah pemindahan hasil akhir pencernaaan karbohidrat, lemak dan protein melalui dinding
usus kedalam sirkulasi darah dan limfe untuk digunakan oleh sel-sel tubuh. Selain itu juga diabsorbsi
air, elektrolit dan vitamin. Walaupun banyak zat yang diabsorbsi disepanjang usus halus namun
terdapat tempat tempat absorbsi khusus bagi zat-zat gizi tertentu. Absorbsi gula, asam amino dan
lemak hampir selesai pada saat kimus mencapai pertengahan jejunum. Besi dan kalsium sebagian besar
diabsorbsi dalam duodenum dan jejunum. Dan absorbsi kalium memerlukan vitamin D, larut dalam
lemak (A,D,E,K) diabsorsi dalam duodenum dengan bantuan garan-garam empedu. Sebagian besar
vitamin yang larut dalam air diabsorbsi dalam usus halus bagian atas. Absorbsi vitamin B12
berlangsung dalam ileum terminalis melalui mekanisme transport usus yang membutuhkan factor
intrinsic lambung. Sebagian asam empedu yang dikeluarkan kantung empedu kedalam duodenum
untuk membantu pencernaan lemak akan di reabsorbsi dalam ileum terminalis dan masuk kembali ke
hati. Siklus ini disebut sebagai sirkulasi entero hepatic garam empedu, dan sangat penting untuk
mempertahankan cadangan empedu.(Sabara, 2007)
2. Definisi
a. Ileus obstruksi adalah gangguan (apapun penyebabnya) aliran normal isi usus pada traktus
intestinal (Price & Wilson, 2007).
b. Ileus obstruktif adalah suatu penyumbatan mekanis pada usus dimana
merupakan penyumbatan yang sama sekali menutup atau menganggu jalannya isi usus (Sabara,
2007).
c. Ileus obstruksi terjadi ketika ada gangguan yang menyebabkan terhambatnya aliran normal isi
usus sedangkan peristaltiknya normal (Reeves, 2005).
d. Obstruksi Ilius adalah gangguan aliran isi usus yang bisa disebabkan oleh adanya mekanik dan
non mekanik sehingga terjadi askumuli cairan dan gas di lumen usus.
3. Etiologi
a. Adhesi (perlekatan usus halus) merupakan penyebab tersering ileus obstruktif, sekitar 50-
70% dari semua kasus. Adhesi bisa disebabkan oleh riwayat operasi intraabdominal sebelumnya atau
proses inflamasi intraabdominal. Obstruksi yang disebabkan oleh adhesi berkembang sekitar 5% dari
pasien yang mengalami operasi abdomen dalam hidupnya. Perlengketan kongenital juga dapat
menimbulkan ileus obstruktif di dalam masa anak-anak.
c. Neoplasma.Tumor primer usus halus dapat menyebabkan obstruksi intralumen, sedangkan tumor
metastase atau tumor intra abdominal dapat menyebabkan obstruksi melalui kompresi eksternal.
d. Intususepsi usus halus menimbulkan obstruksi dan iskhemia terhadap bagian usus yang
mengalami intususepsi. Tumor, polip, atau pembesaran limphanodus mesentericus dapat sebagai
petunjuk awal adanya intususepsi.
e. Penyakit Crohn dapat menyebabkan obstruksi sekunder sampai inflamasi akut selama masa
infeksi atau karena striktur yang kronik.
f. Volvulus sering disebabkan oleh adhesi atau kelainan kongenital, seperti malrotasi usus.
Volvulus lebih sering sebagai penyebab obstruksi usus besar.
g. Batu empedu yang masuk ke ileus. Inflamasi yang berat dari kantong empedu
menyebabkan fistul dari saluran empedu ke duodenum atau usus halus yang menyebabkan batu
empedu masuk ke traktus gastrointestinal. Batu empedu yang besar dapat terjepit di usus halus,
umumnya pada bagian ileum terminal atau katup ileocaecal yang menyebabkan obstruksi.
h. Striktur yang sekunder yang berhubungan dengan iskhemia, inflamasi, terapi radiasi, atau
trauma operasi.
i. Penekanan eksternal oleh tumor, abses, hematoma, intususepsi, atau penumpukan cairan.
k. Divertikulum Meckel yang bisa menyebabkan volvulus, intususepsi, atau hernia Littre.
l. Fibrosis kistik dapat menyebabkan obstruksi parsial kronik pada ileum distalis dan kolon kanan
sebagai akibat adanya benda seperti meconium
4. Insiden
Setiap tahunnya 1 dari 1000 penduduk dari segala usia didiagnosa ileus obstruksi
Di Indonesia tercatat ada 7.059 kasus ileus paralitik dan obstruktif tanpa hernia yang dirawat inap dan
7.024 pasien rawat jalan pada tahun 2004 menurut Bank data Departemen Kesehatan Indonesia.
Peristaltik usus dihambat sebagian akibat pengaruh toksin atau trauma yang mempengaruhi kontrol
otonom pergerakan usus. Peristaltik tidak efektif, suplai darah tidak terganggu dan kondisi tersebut
hilang secara spontan setelah 2 sampai 3 hari.
b. Obstruksi mekanik
Terdapat obstruksi intralumen atau obstruksi mural oleh tekanan ekstrinsik. Obstruksi mekanik
digolongkan sebagai obstruksi mekanik simpleks (satu tempat obstruksi) dan obstruksi lengkung
tertutup (paling sedikit 2 obstruksi). Karena lengkung tertutup tidak dapat didekompresi, tekanan
intralumen meningkat dengan cepat, mengakibatkan penekanan pebuluh darah, iskemia dan infark
(strangulasi) sehingga menimbulkan obstruksi strangulate yang disebabkan obstruksi mekanik yang
berkepanjangan. Obstruksi ini mengganggu suplai darah, kematian jaringan dan menyebabkan gangren
dinding usus.
6. Patofisiologi
Semua peristiwa patofisiologik yang terjadi setelah obstruksi usus adalah sama, tanpa memandang
apakah obstruksi tersebut diakibatkan oleh penyebab mekanik atau non mekanik. Perbedaan utama
adalah pada obstruksi paralitik peristaltik dihambat dari permulaan, sedangkan pada obstruksi mekanik
peristaltik mula-mula diperkuat, kemudian intermitten, dan akhirnya hilang. Sekitar 6-8 liter cairan
diekskresikan ke dalam saluran cerna setiap hari. Sebagian besar cairan diasorbsi sebelum mendekati
kolon. Perubahan patofisiologi utama pada obstruksi usus adalah adanya lumen usus yang tersumbat,
ini menjadi tempat perkembangan bakteri sehingga terjadi akumulasi gas dan cairan (70% dari gas
yang tertelan). Akumulasi gas dan cairan dapat terjadi di bagian proksimal atau distal usus. Apabila
akumulasi terjadi di daerah distal mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan intra abdomen dan
intra lumen. Hal ini dapat meningkatkan terjadinya peningkatan permeabilitas kapiler dan ekstravasasi
air dan elektrolit di peritoneal. Dengan peningkatan permeabilitas dan ekstravasasi menimbulkan
retensi cairan di usus dan rongga peritoneum mengakibatakan terjadi penurunan sirkulasi dan volume
darah. Akumulasi gas dan cairan di bagian proksimal mengakibatkan kolapsnya usus sehingga terjadi
distensi abdomen. Terjadi penekanan pada vena mesenterika yang mengakibatkan kegagalan
oksigenasi dinding usus sehingga aliran darah ke usus menurun, terjadilah iskemi dan kemudian
nekrotik usus. Pada usus yang mengalami nekrotik terjadi peningkatan permeabilitas kapiler dan
pelepasan bakteri dan toksin sehingga terjadi perforasi. Dengan adanya perforais akan menyebabkan
bakteri akan masuk ke dalam sirkulasi sehingga terjadi sepsis dan peritonitis.
Masalah lain yang timbul dari distensi abdomen adalah penurunan fungsi usus dan peningkatan sekresi
sehingga terjadi peminbunan di intra lumen secara progresif yang akan menyebabkan terjadinya
retrograde peristaltic sehingga terjadi kehilangan cairan dan elektrolit. Bila hal ini tidak ditangani
dapat menyebabkan syok hipovolemik. Kehilangan cairan dan elektrolit yang berlebih berdampak pada
penurunanan curah jantung sehingga darah yang dipompakan tidak dapat memenuhi kebutuhan seluruh
tubuh sehingga terjadi gangguan perfusi jaringan pada otak, sel dan ginjal. Penurunan perfusi dalam
sel menyebabkan terjadinya metabolisme anaerob yang akan meningkatkan asam laktat dan
menyebabkan asidosis metabolic. Bila terjadi pada otak akan menyebabkan hipoksia jaringan otak,
iskemik dan infark. Bila terjadi pada ginjal akan merangsang pertukaran natrium dan hydrogen di
tubulus prksimal dan pelepasan aldosteron, merangsang sekresi hidrogen di nefron bagian distal
sehingga terjadi peningaktan reabsorbsi HCO3- dan penurunan kemampuan ginjal untuk membuang
HCO3. Hal ini akan menyebabkan terjadinya alkalosis metabolic. (Price &Wilson, 2017)
Pathway
7. Manifestasi Klinik
8. Pemeriksaan Penunjang
a. Sinar x abdomen menunjukkan gas atau cairan di dalam usus
b. Barium enema menunjukkan kolon yang terdistensi, berisi udara atau lipatan sigmoid
yang tertutup.
c. Penurunan kadar serum natrium, kalium dan klorida akibat muntah, peningkatan hitung
SDP dengan nekrosis, strangulasi atau peritonitis dan peningkatan kadar serum amilase
karena iritasi pankreas oleh lipatan usus.
d. Arteri gas darah dapat mengindikasikan asidosis atau alkalosis metabolic.
9. Penatalaksanaan
Dasar pengobatan ileus obstruksi adalah koreksi keseimbangan elektrolit dan cairan,
menghilangkan peregangan dan muntah dengan dekompresi, mengatasi peritonitis dan syok
bila ada, dan menghilangkan obstruksi untuk memperbaiki kelangsungan dan fungsi usus
kembali normal.
a. Resusitasi
Dalam resusitasi yang perlu diperhatikan adalah mengawasi tanda - tanda vital, dehidrasi
dan syok. Pasien yang mengalami ileus obstruksi mengalami dehidrasi dan gangguan
keseimbangan ektrolit sehingga perlu diberikan cairan intravena seperti ringer laktat.
Respon terhadap terapi dapat dilihat dengan memonitor tanda - tanda vital dan jumlah
urin yang keluar. Selain pemberian cairan intravena, diperlukan juga pemasangan
nasogastric tube (NGT). NGT digunakan untuk mengosongkan lambung, mencegah
aspirasi pulmonum bila muntah dan mengurangi distensi abdomen.
b. Farmakologis
Pemberian obat - obat antibiotik spektrum luas dapat diberikan sebagai profilaksis.
Antiemetik dapat diberikan untuk mengurangi gejala mual muntah.
c. Operatif
Operasi dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi nasogastrik untuk mencegah sepsis
sekunder. Operasi diawali dengan laparotomi kemudian disusul dengan teknik bedah yang
disesuaikan dengan hasil eksplorasi selama laparotomi. Berikut ini beberapa kondisi atau
pertimbangan untuk dilakukan operasi: Jika obstruksinya berhubungan dengan suatu
simple obstruksi atau adhesi, maka tindakan lisis yang dianjurkan. Jika terjadi obstruksi
stangulasi maka reseksi intestinal sangat diperlukan. Pada umumnya dikenal 4 macam
cara/tindakan bedah yang dilakukan pada obstruksi ileus:
1) Koreksi sederhana (simple correction).
Hal ini merupakan tindakan bedah sederhana untuk membebaskan usus dari jepitan,
misalnya pada hernia incarcerata non-strangulasi, jepitan oleh streng/adhesi atau pada
volvulus ringan.
2) Tindakan operatif by-pass.
Membuat saluran usus baru yang “melewati” bagian usus yang tersumbat, misalnya pada
tumor intralurninal, Crohn disease, dan sebagainya.
3) Membuat fistula entero-cutaneus pada bagian proximal dari tempat obstruksi, misalnya
pada Ca stadium lanjut.
4) Melakukan reseksi usus yang tersumbat dan membuat anastomosis ujung-ujung usus
untuk mempertahankan kontinuitas lumen usus, misalnya pada carcinoma colon,
invaginasi, strangulata, dan sebagainya. Pada beberapa obstruksi ileus, kadang-kadang
dilakukan tindakan operatif bertahap, baik oleh karena penyakitnya sendiri maupun
karena keadaan penderitanya, misalnya pada Ca sigmoid obstruktif, mula-mula dilakukan
kolostomi saja, kemudian hari dilakukan reseksi usus dan anastomosis.
10. Komplikasi
a. Nekrosis usus, perforasi usus, dikarenakan obstruksi yang sudah terjadi selalu lama pada
organ intra abdomen.
b. Sepsis, infeksi akibat dari peritonitis, yang tidak tertangani dengan baik dan cepat.
d. Abses Sindrom usus pendek dengan malabsorpsi dan malnutrisi, karena absorbsi toksin
dalam rongga peritonium sehinnga terjadi peradangan atau infeksi yang hebat pada intra
abdomen.
f. Gangguan elektrolit, karena terjadi gangguan absorbsi cairan dan elektrolit pada usus.
PENGKAJIAN
1) Identitas Pasien
Klien masuk RS tanggal 28 Mei 2003 jam 18.00 Wita dan langsung dilakukan operasi cyto
jam 21.00 Wita. Saat pengkajian tanggal 29 Mei 2003 klien mengeluh nyeri pada daerah luka
post operasi seperti diiris-iris dan ditusuk-tusuk, nyeri terasa sampai ke samping kiri/ kanan
perut nyeri lebih terasa apabila klien melakukan pernafasan perut. Nyeri ilang apabila klien
tenang dan tidak merasa tegang pada daerah perut. Intensitas nyeri ± 3 – 5 menit.
Klien pernah menderita penyakit yang sama dengan riwayat operasi 2 kali yaitu pada tahun
2001 di RSUD Ulin, 2002 di RS Islam dan yang terakhir di RSUD Ulin, tidak ada riwayat
hypertensi, penyakit menular ataupun keganasan.
Tidak ada diantara anggota keluarga yang mengalami sakit seperti klien, tidak ada diantara
keluarga yang mempunyai riwayat hypertensi, penyakit menular atau keganasan.
Diagnostik Test
1) Pemeriksaan sinar X: akan menunjukkan kuantitas abnormal dari gas dan cairan dalam
usus.
2) Pemeriksaan simtologi
3) Hb dan PCV: meningkat akibat dehidrasi
4) Leukosit: normal atau sedikit meningkat
5) Ureum dan eletrolit: ureum meningkat, Na+ dan Cl- rendah
6) Rontgen toraks: diafragma meninggi akibat distensi abdomen
7) Rontgen abdomen dalam posisi telentang: mencari penyebab (batu empedu, volvulus,
hernia).
8) Sigmoidoskopi: menunjukkan tempat obstruktif.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Kekurangan volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan intake yang tidak adequat
dan ketidakefektifan penyerapan usus halus yang ditandai dengan adanya mual, muntah,
demam dan diaforesis.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d gangguan absorbsi nutrisi.
c. Ketidak efektifan pola nafas berhubungan dengan distensi abdomen
d. Gangguan pola eliminasi: konstipasi berhubungan dengan disfungsi motilitas usus.
e. Nyeri berhubungan dengan distensi abdomen
f. Kecemasan berhubungan dengan perubahan status kesehatan.
3. Perencanaan Keperawatan
a. Kekurangan volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan intake yang tidak adequat
dan ketidakefektifan penyerapan usus halus yang ditandai dengan adanya mual, muntah,
demam dan diaforesis.
Tujuan :
Kebutuhan cairan dan elektrolit terpenuhi, Mempertahankan hidrasi adekuat dengan bukti
membran mukosa lembab, turgor kulit baik, dan pengisian kapiler baik, tanda-tanda vital
stabil, dan secara individual mengeluarkan urine dengan tepat.
Kriteria hasil:
1. Tanda vital normal (N:70-80 x/menit, S: 36-37 C, TD: 110/70 -120/80 mmHg)
2. Intake dan output cairan seimbang
3. Turgor kulit elastic
4. Mukosa lembab
5. Elektrolit dalam batas normal (Na: 135-147 mmol/L, K: 3,5-5,5 mmol/L, Cl: 94-111
mmol/L).
Intervensi Rasional
1. Kaji kebutuhan cairan pasien 1. Mengetahui kebutuhan cairan
pasien.
2. Observasi tanda-tanda vital: N, TD, 2. Perubahan yang drastis pada tanda-
P, S tanda vital merupakan indikasi
kekurangan cairan.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d gangguan absorbsi nutrisi.
Tujuan :
Berat badan stabil dan nutrisi teratasi.
Kriteria hasil :
1. Tidak ada tanda-tanda mal nutrisi.
2. Berat badan stabil.
3. Pasien tidak mengalami mual muntah.
Intervensi Rasional
1. Tinjau faktor-faktor individual 1. Mempengaruhi pilihan
yang mempengaruhi intervensi.
kemampuan untuk mencerna
makanan, mis: status puasa,
mual, ileus paralitik setelah
2. Menentukan kembalinya
selang dilepas.
peristaltik ( biasanya dalam 2-4
2. Auskultasi bising usus;
hari ).
palpasi abdomen; catat pasase
3. Meningkatkan kerjasama
flatus.
pasien dengan aturan diet.
3. Identifikasi kesukaan /
Protein/vitamin C adalah
ketidaksukaan diet dari pasien.
kontributor utuma untuk
Anjurkan pilihan makanan
pemeliharaan jaringan dan
tinggi protein dan vitamin C.
perbaikan. Malnutrisi adalah
fator dalam menurunkan
pertahanan terhadap infeksi.
4. Sindrom malabsorbsi dapat
terjadi setelah pembedahan usus
4. Observasi terhadap terjadinya halus, memerlukan evaluasi
diare; makanan bau busuk dan lanjut dan perubahan diet, mis:
berminyak. diet rendah serat.
5. Mencegah muntah.
Menetralkan atau menurunkan
5. Kolaborasi dalam pemberian
pembentukan asam untuk
obat-obatan sesuai indikasi:
mencegah erosi mukosa dan
Antimetik, mis: proklorperazin
kemungkinan ulserasi.
(Compazine). Antasida dan
inhibitor histamin, mis:
simetidin (tagamet).
Kriteria hasil:
pasien mengungkapkan penurunan ketidaknyamanan; menyatakan nyeri pada tingkat
dapat ditoleransi, menunjukkan relaks.
Intervensi Rasional
1. Observasi TTV: N, TD, HR, P tiap 1. Nyeri hebat yang dirasakan pasien
shif akibat adanya distensi abdomen
dapat menyebabkan peningkatan
hasih TTV.
2. Kaji keluhan nyeri, karakteristik 2. Mengetahui kekuatan nyeri yang
dan skala nyeri yang dirasakan dirasakan pasien dan menentukan
pesien sehubungan dengan adanya tindakan selanjutnya guna mengatasi
distensi abdomen nyeri.
3. Berikan posisi yang nyaman: posisi 3. Posisi yang nyaman dapat
semi fowler mengurangi rasa nyeri yang
dirasakan pasien
4. Ajarkan dan anjurkan tehnik
4. Relaksasi dapat mengurangi rasa
relaksasi tarik nafas dalam saat
Intervensi Rasional
merasa nyeri nyeri
5. Anjurkan pasien untuk
menggunakan tehnik pengalihan saat 5. Mengurangi nyeri yang dirasakan
merasa nyeri hebat. pasien.
6. Kolaborasi dengan medic untuk
terapi analgetik 6. Analgetik dapat mengurangi rasa
nyeri
3. Membuat pola eliminasi sesuai kebutuhan fisik dan gaya hidup dengan ketetapan jumlah
dan konsistensi
Donna Ignatavician, (2006). Medical Surgical Nursing. Volume 2. St. Louis Missouri: Elsevier
Sounders
Lewis Heitkemper Diksen, (2007). Medical Surgical Nursing. Volume 2. St. Louis Missouri: Mosby
Elsevier.
Rahayu Rejeki handayani, bahar asril. Buku ajar ilmu penyakit Dalam. Jakarta : Departemen
Pendidikan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jilid III edisi IV ; 2007.
1405-1410