Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH FARMAKOLOGI TOKSIKOLOGI II

DIARE & KONSTIPASI

OLEH :

KELOMPOK II

KELAS : TRANSFER A 2022

DOSEN PENGAMPUH MATA KULIAH :

Apt. SUWAHYUNI MUS, S.Si., M.Kes.

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI MAKASSAR

MAKASSAR

2023
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa sehingga
Kami Kelompok 2 dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Diare &
Konstipasi”. Makalah ini kami buat selain untuk menyelesaikan tugas mata kuliah
Farmakologi Toksikologi II, juga kami harapkan untuk dapat menjadi pelajaran
yang berguna bagi yang membaca.
Dalam penyusunan makalah ini, tidak lepas dari hambatan yang kami
hadapi, namun kami menyadari kelancaran dalam penyusunan makalah ini tidak
lain berkat dorongan, bantuan, dan bimbingan semua pihak, sehingga kendala-
kendala yang penulis hadapi dapat teratasi. Oleh karena itu, kami mengucapkan
terima kasih kepada Ibu apt. Suwahyuni Mus, S.Si., M.Kes. selaku dosen mata
kuliah Farmakologi Toksikologi II.
Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih terdapat
kekurangan, mengingat akan keterbatasan kemampuan yang kami miliki, untuk itu
kritik dan saran sangat kami butuhkan dalam makalah ini.

ii
.BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Diare adalah suatu gejala klinis dari gangguan pencernaan
(usus) yang ditandai dengan bertambahnya frekuensi defekasi
lebih dari biasanya dan berulang-ulang yang disertai adanya
perubahan bentuk dan konsistensi feses menjadi lembek atau cair.
Secara klinis penyebab diare dapat dikelompokkan dalam 6
golongan besar, yaitu infeksi (disebabkan oleh bakteri, virus atau
parasit), malabsorpsi, alergi, keracunan, imunodefisiensi dan
sebab-sebab lainnya. Penyebab yang sering ditemukan di lapangan
ataupun secara klinis adalah diare yang disebabkan oleh infeksi
dan keracunan (Depkes, 2011). Penyakit ini terutama disebabkan
oleh makanan dan minuman yang terkontaminasi akibat akses
kebersihan yang buruk. Bersamaan dengan makin tingginya
insidensi diare dalam masyarakat, maka banyak dilakukan upaya-
upaya pengobatan diare. Sampai sekarang, pengobatan antidiare
baik yang tradisional maupun kimia telah banyak dikembangkan
(Milasari Hidayati, 2010).
Konstipasi atau sembelit merupakan gejala proses defekasi
yang bermasalah, ditandai dengan berkurangnya frekuensi defekasi
kurang dari 2 kali seminggu, dengan konsistensi feses yang keras,
disertai rasa sakit waktu mengejan (Dharmika, 2009). Faktor-
faktor yang mempengaruhi terjadinya sembelit kurang
mengkonsumsi makanan berserat, kurang minum air, kebiasaan
buang air besar yang tidak teratur, perubahan rutinitas hidup dan
kurang aktivitas. Sembelit dapat juga akibat efek samping
penggunaan obat-obat tertentu, dan adanya penyakit-penyakit
tertentu (Tjay dan Kirana, 2007). Sembelit apabila tidak dapat
diatasi secara non farmakologis dapat diatasi dengan terapi
farmakologis baik secara konvensional maupun dengan obat
tradisional.
Laksatif atau yang dikenal sebagai pencahar merupakan
terapi farmakologis yang sangat umum digunakan masyarakat.
3
Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar 2020 menunjukkan
sebagian besar penduduk Indonesia masih kurang konsumsi serat
dari sayur dan buah, kurang olah raga dan bertambah makan
makanan yang mengandung pengawet, jadi laksatif masih menjadi
pilihan utama untuk mengatasi konstipasi. Karena tidak semua
laksatif dapat digunakan dalam waktu jangka panjang, maka
pemilihan laksatif yang tepat harus sangat diperhatikan. Laksatif
atau pencahar ringan adalah obat yang berkhasiat untuk
memperlancar pengeluaran isi usus.
Laksatif adalah makanan atau obat-obatan yang diminum
untuk membantu mengatasi sembelit dengan membuat kotoran
bergerak dengan mudah di usus. dalam operasi pembedahan, obat ini
juga diberikan kepada pasien untuk membersihkan usus sebelum
operasi dilakukan. laksatif merupakan obat bebas. obat yang
biasanya digunakan untuk mengatasi konstipasi atau sembelit.
Biasanya obat ini hanya digunakan saat mengalami konstipasi atau
sembelit saja karena mempunyai efek samping. Banyak orang
menggunakan obat pencahar (laksatif) untuk menghilangkan
konstipasi. Obat pencahar adalah obat yang biasa digunakan untuk
mengatasi konstipasi atau sembelit. Konstipasi atau sembelit
merupakan suatu keadaan dimana seseorang mengalami kesulitan
buang air besar atau jarang buang air besar. Untuk mencegah
konstipasi adalah rajin berolahraga, mengkonsumsi makanan kaya
serat. (Rusilanti.2007).
I.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan diare dan konstipasi ?
2. Bagaimana patofisiologi diare dan konstipasi ?
3. Bagaimana penanganan dan penggunaan obat antidiare dan
laksatif ?
4. Apa saja contoh obat antidiare dan laksatif, beserta indikasi,
mekanisme dan efek sampingnya?

4
I.3 Tujuan Makalah

1. Mengetahui pengertian diare dan konstipasi

2. Mengetahui patofisiologi diare dan konstipasi

3. Mengetahui penanganan dan penggunaan obat antidiare dan


laksatif

4. Mengetahui contoh obat antidiare dan laksatif, beserta


indikasi, mekanisme dan efek sampingnya

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Anatomi Fisiologi Saluran Pencernaan


Sistem saluran cerna adalah pintu gerbang bagi gizi makanan, vitamin,
mineral dan cairan ke dalam tubuh. Fungsi sistem ini adalah mencernakan makanan
dengan menghaluskan dan kemudian mengubah secara kimiawi ketiga bagian
utamanya (protein, lemak dan karbohidrat) menjadi unit-unit yang siap direasorpsi
tubuh. Proses pencernaan ini di bantu oleh enzim-enzim pencernaan yang terdapat
pada ludah, getah lambung, dan getah pankreas (Tjay & Rahardja,2015).
Sistem pencernaan pada manusia terdiri atas mulut, lambung, usus dan
mengeluarkan kotorannya melewati anus. Proses pencernaan pada manusia terbagi
menjadi 5 macam yaitu (Kharisma, 2018) :
1. Injesti
Injesti adalah proses menaruh atau memasukkan makanan di mulut. Biasanya
menggunakan tangan atau menggunakan alat bantu seperti sendok, garpu atau
sumpit.
2. Pencernaan mekanik
Proses pencernaan mekanis yaitu proses mengubah makanan menjadi kecil
dan lembut. Pencernaan mekanik dilakukan oleh gigi. Proses ini bertujuan untuk
membantu untuk mempermudah proses pencernaan kimiawi.
3. Pencernaan kimiawi
Proses pencernaan kimiawi yaitu proses mengubah molekul-molekul zat
makanan yang kompleks menjadi molekul – molekul yang lebih sederhana
sehingga mudah dicerna. Pencernaan kimia dilakukan oleh enzim, asam dan air.
4. Penyerapan
Penyerapan adalah Gerakan nutrisi dari system pencernaan ke system
sirkulator melalui osmosis, transport aktif dan difusi.

5. Pembuangan
Pembuangan material yang tidak dicerna dari saluran pencernaan melalui
proses defekasi.

6
Terdapat 6 organ utama dalam sistem pencernaan yaitu mulut,
kerongkongan, lambung, usus halus, usus besar, dan anus. Berikut adalah 6 organ
pencernaan manusia beserta bagian-bagiannya (Kharisma,2018) :
1. Mulut
Mulut adalah pintu masuk makanan. Di dalam mulut terdapat lidah, rongga
mulut, kelenjar ludah, dan gigi. Fungsi mulut yaitu menghancurkan makanan,
mencerna, mengecap rasa, dan menelan makanan. Mulut terdiri dari langit-langit,
gigi, gusi, tulang langit-langit, pembuluh darah, saraf langit-langit, amandel, lidah,
dan anak lidah. Di dalam mulut terjadi pencernaan mekanis dan pencernaan kimiawi.
Pencernaan mekanis dengan gigi dan lidah, sedangkan pencernaan kimiawi dengan
ludah yang mengandung enzim ptialin.
2. Kerongkongan
Kerongkongan adalah penghubung antara mulut dan lambung. Kerongkongan
disebut esophagus. Kerongkongan berbentuk tabung dan terdapat otot. Otot pada
kerongkongan berfungsi untuk membawa makanan dari mulut ke lambung dengan
menggunakan gerak peristaltik. Kerongkongan dibagi menjadi 3 bagian, yaitu bagian
superior, bagian tengah, dan bagian inferior. Bagian superior yang sebagian besar
terdiri dari otot rangka. Bagian tengah yang terdiri dari campuran otot rangka (otot
7
lurik) dan otot polos. Bagian inferior yang terdiri dari otot polos.
3. Lambung
Lambung adalah organ pencernaan yang berfungsi untuk mencerna berbagai
zat-zat makanan. Letak lambung berada di bawah sekat rongga badan. Di dalam
lambung terjadi pencernaan kimiawi dengan menggunakan enzim pepsin, renin,
lipase, dan asam lambung (HCl). Lambung terdiri dari 3 bagian utama, yaitu kardiak,
fundus, dan pilorus. Di ujung bagian atas lambung yang berbatasan dengan
kerongkongan terdapat sfingter yang berfungsi untuk menjaga makanan agar tidak
keluar dari lambung dan dimuntahkan kembali. Sedangkan di bagian bawah yang
berbatasan dengan usus 12 jari disebut sfingter pilorus.
4. Usus Halus
Usus halus adalah tempat penyerapan sari-sari makanan, tempat terjadi proses
pencernaan kimiawi dengan bantuan enzim tripsin, enzim disakarase, enzim erepsin,
dan enzim lipase. Sari-sari makanan diserap melalui jonjot-jonjot usus disebut vili.
Seluruh sari makanan kecuali asam lemak dan gliserol diangkut melalui vena porta
menuju ke hati. Sedangkan asam lemak dan gliserol diangkut melalui pembuluh
limfa. Di usus halus terdapat duodenum (usus 12 jari), jejunum, dan ileum.
5. Usus Besar
Usus besar adalah usus yang terbesar. Fungsi usus besar adalah untuk memilah
kembali hasil pencernaan, sebagai tempat terjadi penyerapan air dengan jumlah
yang terbesar dari organ lain dan terjadi proses pembusukan sisa-sisa makanan
dengan bantuan bakteri. Struktur usus besar terdiri dari usus buntu, kolon asedens
(kolon naik), kolon transversum (kolon datar), kolon desendens (kolon turun), dan
rektum. Rektum adalah tempat menyimpan feses sebelum dikeluarkan melalui anus.
6. Anus
Anus atau dubur adalah penghubung antara rektum dengan lingkaran luar
tubuh. Di anus terdapat otot sfingter yang berfungsi untuk membuka dan menutup
anus. Fungsi utama anus adalah sebagai alat pembuangan feses melalui proses
defekasi (buang air besar). Di anus terdapat otot sfingter, rektum, dan vena. Fungsi
otot sfingter adalah untuk membuka atau menutup anus. Sedangkan fungsi rektum
adalah untuk menyimpan feses sementara waktu.
Proses pencernaan makanan dalam system pencernaan manusia pertama-tama,
pencernaan dilakukan oleh mulut, di mulut dilakukan pencernaan mekanik yaitu
proses mengunyah makanan menggunakan gigi dan pencernaan kimiawi
menggunakan enzim ptialin (amilase). Enzim ptialin berfungsi mengubah makanan
dalam mulut yang mengandung zat karbohidrat (amilum) menjadi gula sederhana
(maltosa). Maltosa mudah dicerna oleh organ pencernaan. Selanjutnya, enzim ptialin
bekerja dengan baik pada pH antara 6,8 sampai 7 dan suhu 37oC.
Makanan selanjutnya dibawa menuju lambung dan melewati kerongkongan.
Makanan bisa turun ke lambung karena adanya kontraksi otot-otot di kerongkongan.
Di lambung, makanan akan melalui proses pencernaan kimiawi menggunakan enzim
sebagai berikut :
1. Renin
Renin berfungsi mengendapkan protein pada susu (kasein) dari air susu
(ASI), hanya dimiliki oleh bayi.
2. Pepsin
8
Pepsin berfungsi untuk memecah protein menjadi pepton.
3. HCI (Asam Klorida)
HCl (asam klorida) berfungsi untuk mengaktifkan pepsinogen menjadi
pepsin, sebagai disinfektan, serta merangsang pengeluaran hormon sekretin dan
kolesistokinin pada usus halus.
4. Lipase
Lipase berfungsi untuk memecah lemak menjadi asam lemak dan gliserol.
Namun lipase yang dihasilkan sangat sedikit. Setelah makanan diproses di
lambung yang membutuhkan waktu sekitar 3 - 4 jam, makanan akan dibawa
menuju usus dua belas jari. Pada usus dua belas jari terdapat enzim-enzim
berikut yang berasal dari pankreas, yaitu :
a. Amilase
Amilase yaitu enzim yang mengubah zat tepung (amilum) menjadi gula
lebih sederhana (maltose).
b. Lipase
Lipase yaitu enzim yang mengubah lemak menjadi asam lemak dan
gliserol.
c. Tripsinogen
Jika belum aktif, maka akan diaktifkan menjadi tripsin, yaitu enzim yang
mengubah protein dan pepton rmenjadi dipeptida dan asam amino yang
siap diserap oleh usus halus.
Selain itu, terdapat juga empedu. Empedu dihasilkan oleh hati dan
ditampung di dalam kantung empedu. Selanjutnya, empedu dialirkan melalui saluran
em pedu ke usus dua belas jari. Empedu mengandung garam-garam empedu dan zat
warna empedu (bilirubin). Garam empedu berfungsi uisikan lemak. Zat warna
empedu berwarna kecoklatan, dan dihasilkan mengem dengan cara merombak sel
darah merah yang telah tua di hati. Empedu merupakan hasil ekskresi di dalam hati.
Zat warna empedu memberikan ciri warna cokelat pada feses Selanjutnya makanan
dibawa menuju usus halus. Di dalam usus halus terjadi proses pencernaan kimiawi
dengan melibatkan berbagai enzim pencernaan.
Karbohidrat dicerna menjadi glukosa. Lemak dicerna menjadi asam lemak
dan gliserol, serta protein dicerna menjadi asam amino. Jadi, pada usus dua belas
jari, seluruh proses pencernaan karbohidrat, lemak, dan protein diselesaikan.
Selanjutnya, proses penyerapan (absorbsi) akan berlangsung di usus kosong dan
sebagian besar di usus penyerap. Karbohidrat diserap dalam bentuk glukosa, lemak
diserap dalam bentuk asam lemak dan gliserol serta protein diserap dalam bentuk
asam amino. Vitamin dan mineral tidak mengalami pencernaan dan dapat langsung
diserap oleh usus halus. Makanan yang tidak dicerna di usus halus, misalnya selulosa
bersama dengan lender akan menuju ke usus besar menjadi feses.
Di dalam usus besar terdapat bakteri Escherichia coli. Bakteri ini membantu
dalam proses pembusukan sisa makanan menjadi feses. Selain membusukkan sisa
makanan, bakteri E. coli juga menghasilkan vitamin K. Vitamin K berperan penting
dalam proses pembekuan darah. Sisa makanan dalam usus besar masuk banyak
mengandung air. Karena tubuh memerlukan air, maka sebagian besar air diserap
kembali ke usus besar. Penyerapan kembali air merupakan fungsi penting dari usus
besar. Selanjutnya sisa-sisa makanan akan dibuang melalui anus berupa feses. Proses
9
ini dinamakan defekasi dan dilakukan dengan sadar.

II.2 Diare
II.2.1 Pengertian Diare
Diare adalah peningkatan frekuensi dan penurunan konsistensi tinja sebagai
dibandingkan dengan pola usus normal seseorang. Ini sering merupakan gejala
penyakit sistemik. Diare akut umumnya didefinisikan sebagai durasi lebih pendek
dari 14 hari, diare persisten selama durasi lebih dari 14 hari, dan diare kronis lebih
lama dari 30 hari. Sebagian besar kasus diare akut disebabkan oleh infeksi virus,
bakteri, atau protozoa, dan umumnya terbatas sendiri (Joseph Dkk, 2015).
Menurut World Health Organization (WHO) penyakit diare didefinisikan
sebagai suatu penyakit yang ditandai dengan perubahan bentuk dan konsistensi tinja
yang lembek sampai mencair dan bertambahnya frekuensi buang air besar yang
lebih dari biasanya yaitu 3 kali atau lebih dalam sehari yang mungkin dapat disertai
dengan muntah atau tinja yang berdarah (Saputri, N. et.al. 2019).
II.2.2 Patofisiologi Diare
Menurut Suriadi (2001), patofisiologi dari Gastroenteritis adalah
meningkatnya motilitas dan cepatnya pengosongan pada intestinal merupakan
akibat dari gangguan absorbsi dan ekskresi cairan dan elektrolit yang berlebihan,
cairan sodium, potasium dan bikarbonat berpindah dari rongga ekstraseluler
kedalam tinja, sehingga mengakibatkan dehidrasi kekurangan elektrolit dan dapat
terjadi asidosis metabolik.
Diare yang terjadi merupakan proses dari transpor aktif akibat rangsangan
toksin bakteri terhadap elektrolit ke dalam usus halus, sel dalam mukosa intestinal
mengalami iritasi dan meningkatnya sekresi cairan dan elektrolit. Mikroorganisme
yang masuk akan merusak sel mukosa intestinal sehingga mengurangi fungsi
permukaan intestinal. Perubahan kapasitas intestinal dan terjadi gangguan absorbsi
cairan dan elektrolit. Peradangan akan menurunkan kemampuan intestinal untuk
mengabsorbsi cairan dan elektrolit dan bahan-bahan makanan ini terjadi pada
sindrom malabsorbsi. Peningkatan motilitas intestinal dapat mengakibatkan
gangguan absorbsi intestinal.
Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare ada 3 macam yaitu:
1) Gangguan Osmotik
Akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan
menyebabkan tekanan dalam rongga yang tidak dapat diserap akan
menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus. Isi rongga usus yang
berlebihan akan merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga timbul
diare.
2) Gangguan sekresi akibat rangsangan tertentu (misalnya toksin) pada dinding
usus akan terjadi peningkatan sekresi air dan elektrolit ke dalam rongga usus
dan selanjutnya timbul diare karena terdapat peningkatan isi rongga usus.
3) Gangguan motilitas usus
Hiperperistaltik akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus untuk
menyerap makanan sehingga timbul diare. Sebaliknya bila peristaltik usus
menurun akan mengakibatkan bakteri kambuh berlebihan, selanjutnya timbul
diare pula.
10
Dari ketiga mekanisme diatas menyebabkan:
1) Kehilangan air dan elektrolit (terjadi dehidrasi) yang mengakibatkan gangguan
keseimbangan asam basa (asidosis metabolik hipokalemia)
2) Gangguan gizi akibat kelaparan (masukan kurang, pengeluaran bertambah)
3) Hipoglikemia
4) Gangguan sirkulasi darah.
Menurut Elizabeth J. Corwin (2001), diare adalah peningkatan fluiditas atau
volume tinja dan frekuensi buang air besar. Faktor-faktor yang mempengaruhi
volume tinja dan konsistensi meliputi kadar air usus besar dan adanya makanan yang
tidak terserap, bahan yang tidak terserap, dan sekresi usus. Diare volume besar
biasanya disebabkan oleh jumlah air yang berlebihan, sekresi, atau keduanya usus.
Diare volume kecil biasanya disebabkan oleh motilitas usus yang berlebihan. Diare
juga bisa disebabkan oleh stimulasi parasimpatis usus yang diprakarsai oleh faktor
psikologis seperti ketakutan atau stres.
Tiga mekanisme utama diare adalah osmosis, sekresi, dan motilitas:
1. Diare osmotik: Adanya zat yang tidak dapat diserap, seperti gula sintetis,
atau peningkatan jumlah Partikel osmotik di usus, meningkatkan tekanan
osmotik dan menarik kelebihan air ke usus meningkatkan berat dan
volume tinja.
2. Diare sekretori: Patogen atau tumor mengiritasi otot dan lapisan mukosa
usus. Konsekuensinya peningkatan motilitas dan sekresi (air, elektrolit, dan
lendir) menyebabkan diare.
3. Diare motilitas: Peradangan, neuropati, atau obstruksi menyebabkan
peningkatan refleks dalam kemungkinan motilitas usus dan menghilangkan
hambatan.
Sebagai akibat diare akut maupun kronis menurut Nursalam (2008) akan
terjadi:
1) Kehilangan air dan elektrolit (dehidrasi)
Kondisi ini dapat mengakibatkan gangguan keseimbangan asam basa
(metabolik asidosis), karena:
a) Kehilangan natrium bikarbonat bersama tinja
b) Adanya ketosis kelaparan dan metabolisme lemak yag tidak sempurna,
sehingga benda keton tertimbun dalam tubuh
c) Terjadi penimbunan asam laktat karena adanya anoksia jaringan
d) Produk metabolisme yang bersifat asam meningkat karena tidak dapat
dikeluarkan oleh ginjal (terjadi oliguri dan anuria)
e) Pemindahan ion natrium dan cairan ekstraseluler kedalam cairan
intraseluler
Secara klinis, asidosis dapat diketahui dengan memperhatikan pernapasan
yang bersifat cepat, teratur, dan dalam (pernapasan
kusmaul).
2) Hipoglikemia
Hipoglikemia terjadi pada 2-3% dari anak-anak yang menderita diare dan lebih
sering terjadi pada anak yang sebelumnya sudah menderita KKP, karena:
a) Penyimpanan persediaaan glycogen dalam hati terganggu
b) Adanya gangguan absorpsi glukosa (walaupun jarang terjadi).
11
Gejala hipoglikemia akan muncul juka kadar glukosa darah menurun sampai
40% pada bayi dan 50 % pada anak-anak. Hal tersebut dapat berupa lemas,
apatis, peka rangsang, tremor, berkeringat, pucat, syok, kejang sampai koma.

3) Gangguan gizi
Sewaktu anak menderita diare, sering terjadi gangguan gizi sehingga terjadi
penurunan berat badan. Hal ini disebabkan karena:
a) Makanan sering dihentikan oleh orang tua karena takut diare atau
muntahnya akan bertambah hebat, sehingga orang tua hanya sering
memberikan air teh saja.
b) Walaupun susu diteruskan, sering diberikan dengan pengenceran dalam
waktu yang terlalu lama.
c) Makanan diberikan sering tidak dapat dicerna dan diabsorpsi dengan baik
karena adanya hiperperistaltik.
4) Gangguan sirkulasi
Gangguan sirkulasi ini terjadi sebagai akibat diare yang dengan atau tanpa
disertai muntah, maka dapat terjadi gangguan sirkulasi darah berupa renjatan
atau syok hipovolemik. Akibat perfusi jaringan berkurang dan terjadinya
hipoksia, asidosis bertambah berat sehingga dapat mengakibatkan
perdarahan didalam otak, kesadaran menurun, dan bila tidak segera ditolong
maka penderita dapat meninggal.
Dalam lambung makanan dicerna menjadi “bubur” (chymus), kemudian
diteruskan ke usus halus untuk diuraikan lebih lanjut oleh enzim-enzim pencernaan.
Setelah zat-zat gizi diresorpsi oleh villi ke dalam darah, sisa IchymusI yang terdiri dari
90% air dan sisa makanan yang sukar dicernakan, diteruskan ke usus besar (colon).
Bakteri-bakteri yang biasanya selalu berada di sini (flora) mencernakan lagi sisa-sisaa
(serat-serat) tersebut, sehingga sebagian besar daripadanya dapat diserap lagi
selama perjalanan melalui usus besar. Air juga diresorpsi kembali, sehingga lambat
laun isi usus menjadi lebih padat dan dikeluarkan dari tubuh sebagai tinja (Tjay &
Rahardja, 2015).
II.3 Penanganan dan Penggunaan Obat
II.3.1 Penanganan
a) Diare akut
Merupakan mekanisme perlindungan alamiah dari tubuh untuk
mengeluarkan zat-zat yang merugikan dari saluran pencernaan dan
kebanyakan berlangsung selewat (maksimal 1-2 minggu). Bila gejala ini
disertai demam dan/atau darah dalam feses janganlah ditangani dengan obat
diare.
Pada umumnyadiare akut disebabkan oleh infeksi virus atau kuman, atau
dapat pula akibat efek samping obat atau gejala dari gangguan saluran cerna
(perubahan pola makan) dan bisa juga disebabkan oleh aktivitas fisik
berlebihan. Umumnya gangguan ini bersifat self-limiting dan bila tanpa
komplikasi tidak perlu ditangani dengan obat, kecuali rehidrasi oral bila ada
bahaya dehidrasi. Hanya pada bentuk diare bakteriil yang sangat serius perlu
dilakukan terapi dengan antibiotik. Pilihan utama adalah amoksisilin,
kotrimoksazol dan senyawa fluorkinolon. Loperamida banyak digunakan
12
untuk mengurangi frekuenso defekasi pada diare viral dan akut tanpa demam
atau tanpa darah dalam tinja.
Diare akut pada balita selain dapat disebabkan oleh gastro-enteritis,
dapat pula diakibatkan oleh infeksi non-enteral, misalnya infeksi telinga
tengah (otitis media) atau meningitis. Bisa juga disebabkan oleh penggunaan
antibiotika.
b) Diare kronis
Diare yang bertahan lebih dari 2 minggu (terus-menerus atau berselang-
seling) umumnya disebut kronis dan harus selalu diselidiki penyebabnya a.l.
melalui sigmoidoscopy dan biopsi rektal karena kemungkinan adanya tumor di
usus besar atau penyakit usus meradang kronis (Crohn, colitis ulcerosa).
Penyebab lain adalah intoleransi laktosa, radioterapi, penyakit infeksi,
insufisiensi pankreas (diare lemak), Irritable Bowel syndrome (IBS) dan
penggunaan laksansia yang berkelanjutan.
Untuk diare kronis ringan tanpa infeksi atau peradangan usus yang
parah, dapat digunakan loperamida, terkecuali bila terdapat infeksi oleh
mikroba invasif atau peradangan usus parah (darah dalam feses, demam).
Diare kronis pada anak-anak dapat pula diakibatkan oleh intoleransi atau
alergi terhadap bahan makanan (misalnya susu sapi, gluten), cystic fibrosis
dan IBS.
Diare pada bayi dan anak-anak kecil pada umumnya tidak ditangani
dengan obat, tetapi yang utama adalah pemberian cairan dan elektrolit
disertai diet (Tjay & Rahardja, 2015).
II.3.2 Penggunaan Obat
1. Terapi Non-Farmakologi
Diet merupakan prioritas utama dalam penanganan diare, terutama
produk susu selama 24 jam pertama. Meskipun demikian diet makanan padat
terbukti dapat mengontrol diare osmotik. Untuk pasien diare yang disertai
mual dan muntah, diet makanan lunak harus dilakukan selama 24 jam. Namun
hal yang berbeda justru terjadi pada diare akibat infeksi bakteri pada anak.
Pemberian makanan ekstra/ASI harus terus diberikan karena dapat
mengurangi angka kematian. Selain diet, hal yang harus dilakukan adalah
pemberian cairan elektrolit selama diare. Cairan elektrolit diberikan secara
oral pada pasien sadar, dan parenteral pada pasien dengan mual-muntah
berat maupun tak sadar (Josep T dkk, 2008 dalam Diana 2018).
2. Terapi Farmakologi
a) Opiat dan Turunannya
Cara kerja golongan ini adalah dengan memperlambat motilitas usus
sehingga meningkatkan absopsi karena waktu kontak makanan/minuman
dengan usus meningkat. Opium sudah tidak digunakan dalam pengobatan
diare karena memiliki daya adiksi yang kuat dan resiko penyalahgunaan
yang tinggi. Sebagai gantinya, digunakan turunan opiat yaitu loperamid.
Loperamid adalah obat yang sering digunakan pada pengobatan
diare akut dan kronik kecuali pada diare akibat E. coli, Shigella dan diare
pada anak di bawah 6 tahun. Loperamid bekerja dengan menghambat
protein pengikat kalsium dan mengontrol sekresi ion Cl-.Dosis lazim
13
loperamid pada dewasa adalah 4 mg, diikuti 2 mg setiap habis buang air
besar maksimal 16 mg per hari Sedangkan pada anak dengan berat badan
lebih dari 30 kg, loperamid diberikan dalam rentang 8 jam, masing-masing
2 mg dan pada anak dengan berat badan 20-30 kg, loperamid diberikan
sebanyak 2 mg setiap 12 jam. Walaupun jarang, efek samping loperamid
adalah mengantuk yang diperparah dengan konsumsi alkohol, mual, mulut
kering, dan konstipasi. Loperamid dikontraindikasikan terhadap pasien
yang alergi terhadap loperamid, pasien dengan nyeri perut, perdarahan
lambung, feses berdarah atau kehitaman (Wijoyo, 2013 dalam Diana
2018).
b) Adsorben
Adsorben digunakan untuk pengobatan simptomatik dengan
mekanisme kerja adsorben menyerap toksin dan kelebihan cairan di dalam
usus sehingga feses akan menjadi lebih padat dan frekuensi buang air
berkurang. Efek samping yang mungkin terjadi yaitu konstipasi, dan perut
terasa penuh (Wijoyo, 2013 dalam Diana 2018).
1) Karbo Adsorben
Mekanisme kerja karbo adsorben adalah dengan menyerap toksin yang
ada di dalam usus dan menghambat absoprsinya. Obat ini sering
digunakan sebagai terapi emergensi untuk keracunan yang disebabkan
oleh obat atau senyawa kimia. Dosis lazim obat ini adalah 1 g/kg berat
badan sebanyak 5-6 kali per hari. Efek samping karbo adsorben adalah
muntah, konstipasi, dan feses berwarna hitam. Untuk perhatian,
produk susu dapat mengurangi kemampuan adsorpsi obat ini.
2) Kaolin/Pektin
Kaolin dan pektin sering dikombinasikan (kaopektat) sebagai adsorben
dan protektor terhadap mukosa usus dengan komposisi kaolin
sebanyak 5,7 gram/30 mL dan pektin sebanyak 130 mg/30 mL.
Kaopektat harus segera diminum setiap kali habis buang air besar
sebanyak 30-120 mL(10). Sedangkan dosis lazim pada anak-anak usia 6-
12 tahun adalah 30-60 mL, dan anak usia 3-5 tahun adalah 15-30mL.
Kaopektat sebaiknya tidak diminum bersamaan dengan obat lain
karena dapat mengganggu absorpsi obat tersebut. Efek samping obat
ini adalah konstipasi, terutama pada anak < 3 tahun dan lansia.
3) Attapulgit
Sama seperti adsorben lainnya, attapulgit bekerja dengan cara
menyerap toksin yang mengiritasi usus. Walaupun demikian attapulgit
lebih sempit penggunaannya karena tidak dapat diberikan pada pasien
dengan diare yang disertai demam, darah atau lendir, pasien yang
diberi antasida, antibiotik golongan kuinolon dan tetrasiklin, serta pada
pasien dibawah enam tahun. Dosis lazim attapulgit pada dewasa
adalah 1200- 1500 mg tiap habis buang air atau tiap 2 jam, maksimal
9000 mg per hari.
4) Dioctahedral smectite
Dioctahedral Smectite adalah suatu zat dengan kerja lokal melindungi
mukosa usus, menyerap toksin, bakteri dan rotavirus, serta
14
memulihkan mukosa usus yang rusak. Dosis anak usia 6-12 tahun
adalah 4,5 g per hari dalam 2-3 kali pemberian, sedangkan untuk usia
>12 tahun 9 g per hari dalam 2-3 kali pemberian.
c) Antisekresi Bismuth subsalisilat
Obat yang termasuk ke dalam golongan ini, bekerja dengan
menghambat sekresi, mengurangi inflamasi dan antibakteri. Dosis lazim
obat ini adalah 524 mg setiap 30-60 menit, maksimal 8 kali sehari. Jika
digunakan berlebihan, bismuth subsalisilat dapat mengakibatkan mual-
muntah, mengurangi daya koagulasi darah, serta perubahan warna lidah
dan feses menjadi kehitaman. Bismuth subsalisilat tidak boleh digunakan
bersama dengan tetrasiklin (Josep T, dkk, 2008 dalam diana 2018).
d) Spasmolitik
Obat golongan ini memiliki mekanisme kerja dengan mengurangi
kontraksi otot perut yang menyebabkan mulas, nyeri perut, bahkan kolik.
Yang termasuk ke dalam jenis obat golongan ini adalah ekstrak belladon
(dewasa: 3x5-10 mg), papaverin HCl (dewasa: 3x40 mg), dan hiosin HBr
(dewasa: 4x10-20 mg, anak <12tahun: 3x10 mg). Efek samping dari obat
golongan ini adalah kekeringan pada kulit disekitar mulut, konstipasi,
bahkan aritmia (ISFI, 2012 dalam Diana 2018).
e) Antibiotik
Antibiotik tidak boleh diberikan pada semua jenis diare karena dapat
mengakibatkan resistensi bakteri, hilangnya flora normal usus, penyakit
ikutan seperti gangguan ginjal, hati, dan diare, serta peningkatan biaya
yang tak perlu. Antibiotik hanya digunakan pada diare yang disertai
darah/lendir, demam tinggi, dan terdapat leukosit pada pemeriksaan
feses. Sedangkan diare yang tidak diketahui pasti sebabnya (diare
nonspesifik), diare akibat rotavirus, maupun diare akibat konsumsi
makanan/obat tertentu adalah jenis-jenis diare yang tidak diperbolehkan
menggunakan antibiotik. Antibiotik yang dapat digunakan pada diare,
adalah tetrasiklin, siprofloksasin, eritromisin, kotrimoksazol, dan
metronidazole (Wijoyo, 2013 Dalam Diana 2018).
1) Tetrasiklin
Tetrasiklin digunakan pada diare yang disertai lendir, disebabkan
karena cholera dengan mekanisme kerja menghambat sintesa protein
sel. Tetrasiklin paling baik diminum pada keadaan perut kosong (1 jam
sebelum makan atau 2 jam sesudah makan). Hal yang perlu
diperhatikan ketika meminum tetrasiklin adalah jangan diberikan
bersamaan dengan susu, antasida, zink, maupun zat adsorben karena
dapat mengganggu absorpsinya. Selain itu penggunaan tetrasiklin
harus dihindari pada anak di bawah 12 tahun (menyebabkan gigi
berwarna kuning permanen) dan wanita hamil.
2) Siprofloksasin
Siprofloksasin yang termasuk golongan kuinolon ini memiliki spectrum
kerja luas. Absorpsinya terganggu dengan adanya makanan sehingga
lebih baik digunakan 1 jam sebelum makan atau 2 jam sesudah makan.
3) Eritromisin
15
Merupakan alternatif bagi pasien yang alergi terhadap antibiotik
golongan penicillin yang berkerja dengan cara menghambat sintesa
protein sel bakteri. Eritromisin paling baik diminum 1 jam sebelum
makan atau 2 jam sesudah makan. Efek samping yang sering terjadi
adalah rasa terbakar di perut (heart burn), dan mual-muntah.
4) Kotrimoksazol
Kotrimoksazol adalah kombinasi dari dua jenis obat, yaitu
sulfametoksazol dan trimetoprim dengan komposisi 1:5 dengan
mekanisme kerja antagonis kompetitif terhadap bakteri. Kotrimoksazol
sebaiknya diminum bersamaan dengan makanan karena dapat memicu
mual dan muntah. Efek samping kotrimoksazol adalah pembentukan
kristal urea namun pada penggunaan yang terus-menerus dapat
mengakibatkan leukopenia dan hemolisis.
5) Metronidazol
Metronidazol hanya digunakan pada diare yang disertai lendir,
disebabkan karena amebiasis. Kadar puncak terapi tercapai setelah 5-
12 jam setelah pemakaian. Metronidazol dapat memicu gangguan
nafsu makan, dan mual yang diperparah dengan konsumsi alcohol
(Katzung dkk, 2012 dalam Diana 2018).
f) Lain-lain
1) Zink
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, zink sangat bermanfaat
terhadap proses penyembuhan diare karena dapat membantu
regenerasi mukosa usus yang rusak. Selain itu zink adalah salah satu
mikronutrien yang sangat diperlukan dalam proses enzimatis di dalam
tubuh dan dapat menangkal radikal bebas. Umumnya zink hanya
diberikan kepada pasien diare anak dengan dosis 10 mg per hari untuk
anak usia di bawah 6 bulan dan 20 mg per hari untuk anak usia 6 Sesuai
tatalaksana LINTAS DIARE (tidak menggunakan antibiotik,
menggunakan oralit dan zink). Tidak sesuai tatalaksana LINTAS DIARE
(menggunakan antibiotik, tidak menggunakan oralit dan zink) bulan ke
atas. Zink diberikan selama 10 hari berturut-turut walaupun diare
sudah membaik. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah kekambuhan
diare selama 3 bulan ke depan (Josep dkk, 2008 Dalam Diana 2018).
2) Probiotik
Probiotik adalah bakteri baik yang diberikan dengan tujuan untuk
menggantikan flora usus normal yang hilang selama diare. Probiotik
yang sering digunakan adalah Lactobacillus sp. dan Bifidobacterium sp.
dengan dosis bervariasi. Penggunaan probiotik pada penanganan diare
masih diperdebatkan karena probiotik hanya bermanfaat jika
dikonsumsi dalam keadaan hidup sedangkan pada kebanyakan sediaan
yang ada, probiotik sudah mati (Josep dkk, 2008 Dalam Diana 2018).
II.3 KONSTIPASI
II.3.1 Pengertian Konstipasi
Konstipasi merupakan gangguan pada pola eliminasi akibat adanya feses kering
atau keras yang melewati usus besar. Konstipasi adalah bukan penyakit melainkan
16
gejala yang dimana menurunnya frekuensi BAB disertai dengan pengeluaran feses
yang sulit, keras dan mengejan. BAB yang keras dapat menyebabkan nyeri rectum.
Kondisi ini terjadi karena feses berada di intestinal lebih lama, sehingga banyak air
yang diserap. Perjalanan feses yang lama karena jumlah air yang diabsorpsi sangat
kurang menyebabkan feses menjadi kering dan keras (Mubarak, Indrawati, &
Susanto, 2015). Konstipasi dengan kelemahan otot abdomen dengan defekasi kurang
2 kali seminggu (PPNI, 2017).
Konstipasi merupakan kesulitan dalam pengeluaran tinja lebih dari 2 minggu,
yang konsistensi tinja bersifat keras, kering dan kecil yang dapat menyebabkan nyeri
ketika dikeluarkan (Loka, Sinuhaji, & Yudiyanto, 2014). Konstipasi adalah
ketidakmampuan melakukan defekasi tinja secara sempurna yang tercermin dari tiga
aspek, yaitu berkurangnya frekuensi berhajat dari biasanya, tinja lebih keras dari
pada sebelumnya dan pada palpasi abdomen teraba masa tinja (skibala) (Muzal,
2017).
Orang normal biasanya buang air besar sedikitnya 3x dalam seminggu. Beberapa
definisi mengenai konstipasi yang biasanya digunakan dalam studi klinis diantaranya
meliputi:
a. Kurang dari 3x buang air besar dalam seminggu bagi perempuan dan kurang dari
5x dalam seminggu bagi laki-laki.
b. Kurang dari 2x buang air besar dalam seminggu.
c. Kesulitan dalam defekasi dan kurang dari 1x buang air besar dalam sehari
denganusaha minimal.
(Dipiro et al., 2005)
Berbagai defenisi yang ada ini menyebabkan kesulitan dalam mengklasifikasikan
konstipasi, oleh karena itu suatu komisi internasional mendefenisikan dan
mengklasifikasikan konstipasi berdasarkan frekuensi buang air besar, konsistensi dan
kesulitan defekasi (Dipiro et al.,2005)
Kriteria konstipasi adalah sebagai berikut (WHO.2007)
a. Kurang dari 3x buang air besar dalam seminggu
b. Feses yang keras lebih dari 25% bowel movements
c. BAB tidak bisa keluar sepenuhnya
d. Mengejan berlebihan lebih dari 25% bowel movement
e. Sensasi adanya hambatan pada anus.
II.3.2 Etiologi Konstipasi
Kemungkinan penyebab tertundanya defeksi yang dapat menimbulkan
konstipasi mencakup (Sherwood, 2014):
a. Mengabaikan keinginan untuk buang air besar
b. Berkurangnya motilitas kolon karena usia, emosi, atau diet rendah serat
c. Obstruksi gerakan feses di usus besar oleh tumor lokal atau spasme kolon
d. Gangguan reflex defekasi, misalnya karena cedera jalur-jalur saraf yang terlibat
II.3.3 Patofisiologi konstipasi
Konstipasi bukan suatu penyakit, tetapi merupakan gejala dari suatu penyakit
atau masalah. Penyakit yang dapat menyebabkan konstipasi diantaranya adalah
penyakit GI tract (irritable bowel syndrome), penyakit metabolit (diabetes),
gangguan endokrin (hypothyroidism). Konstipasi umumnya disebabkan karena
makanan yang kurang serat atau penggunaan obat yang memiliki efek samping
17
konstipasi misalnya opiate. Selain itu dapat juga dipengaruhi faktor psikogenik lain.
Konstipasi sering dilaporkan terjadi pada usia tua, kemungkinan dikarenakan diet
yang kurang tepat (rendah serat dan cairan), menurunnya kekuatan otot dinding
perut, serta penurunan aktivitas fisik (Dipiro et al.,2005).
Pemahaman tentang fisiologis normal aliran cairan dan elektrolit dan proses
dari buang air besar merupakan dasar untuk membahas pengembangan sembelit
dan diare. Tiga aspek utama adalah fungsi penyerapan usus kolon, motilitas colonc
dan refleks buang air besar (Herfindal et al., 2000). Volume harian cairan melintasi
duodenum adalah 9 liter untuk orang-orang mengkonsumsi makanan tiga kali sehari.
Sekitar 8 liter cairan per hari diserap oleh usus kecil. Namun, usus besar menyerap
0,9-1,4 liter per hari, 90% dari cairan awal. Kemampuan absorpsi dari usus besar
melebihi dari usus kecil, yang menyerap hanya 75% dari cairan awal. Fecal output
harian kurang lebih 200 ml, yang mengandung ± 5 mEq natrium dan kalium 8 mEq
(Herfindal et al., 2000).
Reflex defekasi dipicu oleh gerakan massa di kolon yang mendorong tinja ke
dalam rektum, peregangan yang terjadi di rektum merangsang reseptor regang di
dinding rektum. Refleks ini menyebabkan sfingter ani internus (yaitu otot polos)
melemas dan rektum dan kolon sigmoid berkontraksi lebih kuat. Sfingter anal
eksterna kemudian menjadi relaksasi dan feses dikeluarkan mengikuti peristaltik
kolon melalui anus. Relaksasi sfingter tidak cukup kuat, maka sfingter ani eksterna
dibantu otot puborektal akan berkontraksi secara refleks dan refleks sfingter interna
akan menghilang, sehingga keinginan defekasi juga menghilang. Proses defekasi yang
tidak lancar akan menyebabkan feses menumpuk hingga menjadi lebih banyak dari
biasanya dan dapat menyebabkan feses mengeras yang kemudian dapat berakibat
pada spasme sfingter ani. Feses yang terkumpul di rektum dalam waktu lebih dari
satu bulan menyebabkan dilatasi rektum yang mengakibatkan kurangnya aktivitas
peristaltik yang mendorong feses keluar sehingga menyebabkan retensi feses yang
semakin banyak. Peningkatan volume feses pada rektum menyebabkan kemampuan
sensorik rektum berkurang sehingga retensi feses makin mudah terjadi (Van Den
Berg dkk, 2007).
II.3.4 Penatalaksanaan konstipasi
Banyaknya macam-macam obat yang dipasarkan untuk mengatasi konstipasi,
merangsang upayauntuk memberikan pengobatan secara simptomatik. Sedangkan
bila mungkin, pengobatan harusditujukan pada penyebab dari konstipasi.
Penggunaan obat pencahar jangka panjang terutamayang bersifat merangsang
peristaltik usus, harus dibatasi. Strategi pengobatan dibagi menjadi:
1. Pengobatan non-farmakologis
Karena keadaan ini sangat menganggu, diharuskan untuk menangani dengan
sebaik baiknya. Penanganan konstipasi dilakukan dengan melancarkan pencernaan
agar penderita dapat buang air besar dengan baik dan teratur. Penanganan pertama
yang paling penting dan utama yang biasanya sering dianjurkan yaitu memperbaiki
pola makan dan gaya gidup sehat, terlebih lagi mengkonsumsi banyak serat. Serat
merupakan salah satu bagian dari makanan yang pada dasarnya tidak bisa diserap
oleh tubuh, sehingga dengan begitu akan dikeluarkan dalam bentuk kotoran.
Contoh bahan makanan yang banyak mengandung serat seperti: sayur, buah dan
sereal. Apabila asupan makanan yang dikonsumsi memiliki serat yang cukup, maka
18
akan berdampak pada kelancaran buang air besar. Selain cara tersebut, ada
beberapa cara yang bisa dilakukan untuk memperlancar sistem pencernaan
menurut (Nurarif dan Kusuma, 2015), seperti:
a. Anjurkan untuk meningkatkan asupan nutrisi maupun cairan yang mengandung
tinggi serat.
b. Melakukan pemijatan halus pada bagian perut berguna untuk merangsang
pergerakan usus besar.
c. Memperbanyak waktu olahraga seperti pada pagi hari atau sore hari atau bisa
dengan latihan room aktif dan pasif jika memiliki keterbatasan aktivitas.
d. Mendukung intake cairan tinggi serat jus dari buah dan sayur lalu minum air
putih hangat yang banyak setiap harinya, kecuali dikontraindikasikan.
e. Jangan mengabaikan jika sudah merasakan ingin buang air besar, bisa
menggunakan alat bantu jika ada masalah kelemahan atau kelumpuhan otot.
2. Terapi farmakologis
Apabila langkah penanganan awal seperti diatas tidak mengalami perubahan
atau tidak efektif, biasanya dokter akan menyarankan untuk menggunakan obat
pencahar (Nugroho, 2014). Hal yang perlu diingat saat menggunakan obat pencahar
yaitu harus meningkatkan konsumsi air putih maka akan memperlancar proses
buang air besar. Obat pencahar memiliki beberapa jenis menurut antaranya:
a. Obat pencahar osmotic (Ganiswara, S. G. 1995)
Mekanisme kerja: menarik air kedalam lumen usus dan tinja menjadi lebih
lembek setelah 3-6 jam. Peristaltic usus meningkat akibat pengaruh tidak langsung
karena daya osmotiknya.contoh sediaan osmotic yang sering digunakan antara lain:
1) Magnesium sulfat (Garam inggris)
Indikasi: konstipasi, pengososngan usus sebelum perosedur radiologi dan
bedah.
Kontra indidkasi: gangguan ginjal, heart block, obstruksi usus, penyakit saluran
cerna akut.
Efek samping: kolik, dehidrasi
Dosis: dewasa: 5-10 gram dilarutkan dalam 250 ml air sebelum makan pagi atau
saat perut kososng (bekerja selama 2-4 jam)

19
Sediaan: sediaan serbuk: magnesium sulfat (generic), garam inggris
Nama obat Bentuk sediaan Efek samping keterangan
dan dosis
Magnesium Bubuk, dosis Mual, dehidrasi, Pemberian oral
sulfat dewasa 15-30 g dekompen. sasi dapat diabsorpsi
ginjal, hipotensi 20%. Efek
paralisis pencahar terlihat
pernapasan setelah 3-6 jam.
Susu Suspensi, dosis
magnesium dewasa. 15-30
ml
Magnesium Dosis dowasa 2- Efek pencahar
oksida 4 gram terlihat setelah 6
jam.
Magnesium sitrat Dosis dewasa Harga mahal.
Natrium fosfat 200 ml. diuresis,
Dosis dewasa dehidrasi
Nalrium sulfat 4-8 g
Dosis dewasa
15 g

2) Laktulosa
Indikasi: konstipasi, ensefalopati heptikum.
Efek samping: kembung, sendawa, flatus, kram, rasa tidak enak pada perut,
mual, muntah.
Dosis: dewasa: konstipasi: 15-30 ml (setara dengan 10-20 g) sebagai dosis
tunggal atau terbagi. Anak 5-10 tahun: 2x10 ml perhari. Anak 1-5 tahun: 2x5 ml
perhari. Bayi ≤1 tahun:2x2,5 ml per hari.
Sediaan: syrup 10 g/15 ml: laktulosa generic, dulcolactol. Syrup 3,335 g/5 ml:
duphalac, opilax, lactulax,solax,pralax.
b. Obat pencahar stimulant/rangsangan (Ganiswara, S. G. 1995).
Mekanisme kerja: merangsang mukosa, saraf intramural atau otot polos usus
sehingga meningkatkan peristallisis dan sekresi lender usus. Contoh obat pencahar
ini yaitu:
1) Bisacodyl
Indikasi: konstipasi, pembersihan kolon sebelum prosedur radiologi dan bedah.
Kontra indikasi: ileus, obstruksi intestinal, inflammatory bowel disease akut,
appendicitis, dehidrasiberat, fissure anal, hemoroid (untuk pemberian
supositoria)
Efek samping: gangguan saluran cerna (keram dan nyeri abdomen, diare) reaksi
alergi, hipokalemia, iritasi local pada penggunaan suppositoria.
20
Interaksi obat: antasida dan susu dapat mengurangi absorpsi (beri jarak 1 jam).
Dosis: dewasa dan anak-anak: ≤10 tahun. Konstipasi: 5 mg per oral (malam),
atau suppositoria 10 mg (pagi). Pembersih kolon: 10-20 mg per oral (malam),
dilanjutkan dengan 10 mg suppositoria (pagi). Anak 4-10 tahun, konstipasi: 5 mg
per oral (malam) atau suppositoria 5 mg (pagi). Pembersih kolon: 5 mg per oral
(malam), dilanjutkan dengan 5 mg suppositoria (pagi).
Sediaan: sediaan oral tablet 5 mg: bicolax, Dulcolax, laxana. Sediaan
suppositoria 10 mg: custodiol, Dulcolax, stolax. Suppositoria anak 5 mg:
Dulcolax.
c. Emolin (Ganiswara, S. G. 1995)
Mekanisme kerja: melunakan tinja tanpa merangsang peristaltic usus. Contoh
sediaan pencahar emolin yang sering digunakan antara lain:
Nama obat Bentuk sediaan Efek samping keterangan
dan dosis
Dinatrium Tablet 50-300 Pada hewan coba Etek pencahar
sulfosuksinat mg. Suspensi 4 menyebabkan terlihat setelah
mg/ml. Dosis muntah dan diare 24-28 jam
anak 10-40
mg/hari.

Dosis dewasa
Dioktilkalsium 50-500 mg/hari. Kolik usus Sifat-silatnya
sulfoksuksinat Kapsul 50 dan mirip dengan
240 mg Dosis dioktilnatrium
dewasa 50-240 sulfosuksinat
mg/hari
Parafin cair Mengganggu
absorpsi zat-zat
larut lemak. Lipid
Dosis dowasa pnaumonia.
15-30 ml/hari Hipoprotrombinomia
Dosis 30 mg dan pruritus ani.
Minyak zaitun

1) Paraffin cair
Indikasi: konstipasi
Kontra indikasi: anak ≤ 3 tahun, nyeri abdomen, mual, muntah, obstruksi
usus, pengerasan tinja.
Efek samping: iritasi anal (jangka Panjang), gangguan absorpsi vitamin larut
lemak.
Dosis: 10 ml pada malam hari bila perlu. Maksimal 45 ml. saran: tidak boleh
21
digunakan sebelum tidur.
Sediaan: paraffin liquidum (generic). Sediaan paraffin cair yang dikombinasi
dengan bahan lain: laxadine syrup (per 5 ml mengandung phenolftalein 55
mg, paraffin 1200 mg, gliceryn 378 mg)
d. Pembentuk massa (bulk laxative)
Mekanisme kerja: mengikat air dan ion dalam lumen kolon sehingga volume
tinja akan bertambah dan konsistensinya juga lunak. Contoh sediaan pembentuk
massa yang sering digunakan antara lain (Ganiswara, S. G. 1995):
1) Isphagula/psyllium
Indidkasi: konstipasi
Kontra indikasi: kesulitan menelan, obstruksi usus, atoni kolon.
Efek samping: perut kembung, obstruksi saluran cerna, hipersensitivitas.
Dosis: dewasa: ½-1 sachet diberikan 1-3x sehari. Anak ≥ besar dari 6 tahun:
¼ -1/2 sachet diberikan 1-3 x sehari. Bubuk dicampur dengan 150 ml air,
diberikan setelah makan. Lama terapi 2-3 hari.
Sediaan: mulax (serbuk 7 g)

22
Nama obat Bentuk Efek samping keterangan
sediaan obat
dan dosis
Semisintetik:
Metilselulosa Bubuk/granula Obstruksi usus Efek
500 mg dan esofagus pencahar
Tablet/kapsul terlihat
500 mg. Dosis setelah 12-
anak 3-4 kali 24 iam
500 mg/hari.
Dosis dewasa
2-4 kali 1,5
g/hari
Natriumkarboksimelilselulosa Tablet 0,5 dan Silat-sifatnya
1 g, Kapsul sama seperti
650 mg. Dosis metilselulosa,
dewasa 3-6 g. kecuali tidak
larut dalam
cairan
lambung.
Kalsium polikarbolil 1-2 x 1 .000
mg sehari,
maksimum 6
g/hari disertai
air minum 250
ml.
Zat Alami: Dosis 30 mg Kaya akan
Agar hemiselulosa

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Buku Saku Petugas
Kesehatan Lintas Diare. Jakarta.
Dharmika D. Pendekatan Klinis Penyakit Gastroenterologi. In : Sudoyo W.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Internal Publishing; 2009.
Dipiro JT, Talbert, RL., Yee GC.,Wells BG, editor. 2005. Phermacotherapy
A
23
Pathopysiologic Approach. Ed Ke-6. New York: McGraw-Hill
Ganiswara, S. G. 1995. Farmakologi Dan Terapi Edisi 4. Gaya Baru Jakarta
Milasari Hidayati. 2010. Uji efek antidiare ekstrak etanol 50% daun salam
(syzygium polyanthum (wight.)walp.) terhadap mencit jantan
yang diinduksioleum ricini.
Mubarak, Wahit I, Dkk. 2015. Buku Ajar Ilmu Keperawatan Dasar (Buku
1). Jakarta Salemba Medika
Nurarif. A. H. Dan Kusuma H. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnose Medis dan NANDA NIC-NOC Jilid 1.
Jogjakarta: Media Action
http://etd.eprints.ums.ac.id/9434/1/K100050020.pdf. 22 November
2011.
PPNI. 2017. Standar intervensi keperawatan indonesia (SIKI). Jakarta
Tan Hoan Tjay & Kirana Rahardja. 2007. Obat-obat penting: Khasiat,
Penggunaan dan Efek-efek Sampingnya. Edisi 6. PT. Elex Media
Komputindo. Jakarta.
Rusilanti dan Kusharto CM. Sehat dengan makanan berserat. Jakarta : PT.
Agro Media Pustaka; 2007.
Sherwood, Lauralee. 2014. Fisiologi Manusia Dari Sel Ke System Edisi 9.
Jakarta: EGC
World Health Organization (Who), Maternal Mortality In 2005. Geneva
Departemen Of Reproductive Health And Research. Who 2017

24

Anda mungkin juga menyukai