Anda di halaman 1dari 22

Referensi Artikel

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA


RHINOSINUSITIS KRONIS

DISUSUN OLEH:
Arina Aulia Ul-Haq G99172101
Beladina Zahrina Dewi G99172052
Annisa Tria Fadila G991902007
Astrida Fesky F G991902008

PEMBIMBING:
dr. Novi Primadewi, Sp.T.H.T.-K.L., M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU KESEHATAN TELINGA, HIDUNG,
TENGGOROK, BEDAH KEPALA, DAN LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Rinosinusitis kronik (RSK) merupakan inflamasi mukosa hidung dan juga sinus
paranasal dengan jangka waktu gejala ≥12 minggu tanpa resolusi komplit dari gejala
dan tanda akut ditandai oleh ≥2 gejala yang salah satunya adalah hidung tersumbat atau
sekret hidung (anterior, posteriornasal drip) (Juanda et al., 2017)
Rinosinusitis kronis memiliki banyak penyebab yang terdiri dari infeksi (virus,
bakteri dan jamur), anatomi, alergi, disfungsi mukosilier kongenital (misalnya fibrosis
kistik, diskinesia siliari primer atau didapat) dan gangguan sistemik. Rinosinusitis
kronik merupakan penyakit yang multifaktor dan memberikan dampak yang sangat
signifikan terhadap kualitas hidup dan memengaruhi kondisi ekonomi. (Schlosser dan
Woodworth, 2009).
Rinosinusitis kronik menjangkiti kurang lebih 10,9% populasi dewasa di Eropa
dan 15% di USA. Sinusitis kronis dapat terjadi dalam hitungan bulan hingga tahun
(Bell et al., 2011). Disebutkan juga rinosinusitis kronik telah mengakibatkan 13 juta
konsultasi kesehatan, 2 juta kunjungan ke UGD, dan 73 juta hari yang mengakibatkan
seorang pekerja tidak masuk kerja di USA (Juanda et al., 2017).

1
BAB II

ANATOMI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL

I. Anatomi Hidung
A. Hidung Luar
Hidung berbentuk piramid dengan puncaknya di atas dan di bagian bawah terdapat
dasar. Piramid hidung terdiri dari tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh otot dan
kulit (Dhingra, 2014).
Sepertiga atas hidung luar merupakan tulang dan duapertiga bawah merupakan
tulang rawan. Bagian tulang terdiri dari dua tulang hidung yang bertemu di garis
tengah dan pada bagian atas dari prosesus nasalis os frontal dan keduanya melekat
diantara prosesus frontalis os maksila (Dhingra, 2014).
Bagian tulang rawan terdiri dari sepasang kartilago nasalis lateralis superior,
sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor), kartilago alar minor
dan kartilago septum (gambar 2.1) (Dhingra, 2014).

Gambar 2.1. Hidung luar (Dhingra, 2014)


B. Hidung Dalam
Dibagi menjadi kavum nasi kanan dan kiri oleh septum nasi. Setiap kavum nasi
berhubungan dengan bagian luar melalui lubang hidung (nares anterior) dan dengan
nasofaring melalui koana. Setiap kavum nasi terdiri dari bagian yang ditutupi kulit,
disebut vestibulum dan bagian yang ditutupi mukosa disebut kavum nasi yang
sebenarnya (Dhingra, 2014).
Vestibulum merupakan bagian anterior dan inferior dari kavum nasi. Vestibulum
dilapisi oleh kulit dan berisi kelenjar sebasea, folikel rambut dan rambut-rambut yang
3
disebut vibrise. Bagian atas vestibulum terbatas pada dinding lateral yang ditandai oleh
ala nasi (katup hidung) yang dibentuk oleh batas belakang dari kartilago nasalis
lateralis superior. Dinding medial vestibulum dibentuk oleh kolumela dan bagian
bawah dari septum nasi (Dhingra, 2014).
Setiap kavum nasi memiliki dinding lateral, medial, superior dan inferior. Pada
dinding lateral terdapat 4 buah konka. Konka menggulung seperti proyeksi tulang yang
dilapisi oleh membran mukosa. Daerah di bawah konka disebut dengan meatus
(Dhingra, 2014).
Konka inferior merupakan struktur dinding lateral hidung yang paling menyolok
pada rinoskopi anterior. Konka inferior terdiri dari tulang yang dilapisi oleh
mukoperiostium, jaringan lunak yang meliputi pleksus kavernosus, dan di atasnya
terdapat mukosa respiratori. Tulang konka inferior berartikulasi dengan tulang
lakrimal di bagian anterior, dan melekat ke prosesus medial dari maksila dan tulang
palatina di bagian lateral. Pleksus kavernosus dapat membesar karena aliran darah
sebagai respon terhadap siklus hidung atau terhadap berbagai macam pemicu dari
lingkungan (Hwang dan Abdalkhani, 2009).
Konka media membentuk batas media dari meatus media dan menjadi tanda utama
yang penting dalam operasi sinus. Orientasi dari konka media berjalan sepanjang 3
bidang yang berbeda dalam perjalanannya dari anterior ke posterior dan dapat
dipahami secara skematik dalam ketiga bagian. Sepertiga anterior dari konka media
berjalan sepanjang bidang sagital. Bagian dari konka media ini adalah yang paling
mudah diamati dengan rinoskopi anterior, dan bagian ini melekat pada dinding lateral
hidung dan lempeng kribriformis di bagian superior. Pada sepertiga tengah, konka
direfleksikan dari orientasi sagital ke koronal, membentuk lamela basalis dari konka
media yang melintang untuk masuk ke dinding lateral hidung. Bagian melintang dari
konka media ini yang memisahkan sel etmoid anterior dari sel etmoid posterior. Pada
bagian anterior dari lamela basalis dari konka media, drainase sel melalui meatus
media. Pada bagian posterior dari lamela basalis, drainase sel melalui meatus superior.
Bagian sepertiga posterior dari konka berjalan pada bidang axial dengan perlekatannya
yang berlanjut sepanjang dinding lateral hidung. Bagian akhir posterior dari konka
media memasuki perbatasan foramen sfenopalatina dan ke tempat munculnya arteri
sfenopalatina ke dalam hidung (Hwang dan Abdalkhani, 2009).
Konka superior merupakan yang paling belakang dari konka-konka yang lain.
Merupakan jalan masuk superior yang paling umum ke dasar tengkorak bersama

4
dengan konka media dan membantu menentukan batas dari sel etmoid posterior.
Bagian medial dari konka superior dan bagian lateral dari septum nasi adalah daerah
dari resesus sfenoetmoidalis, dimana ostium sinus sfenoid dapat dijumpai (gambar 2.2)
(Hwang dan Abdalkhani, 2009).

Gambar 2.2. Struktur dinding lateral hidung (Dhingra, 2014)

Konka suprema terkadang terlihat di atas konka superior dan memiliki meatus
yang sempit di bawahnya. Ostium sinus sfenoid terletak di resesus sfenoetmoidalis,
bagian medial dari konka superior atau suprema. Ostium sinus sfenoid secara
endoskopik dapat berada kira-kira 1 cm di atas pinggir atas dari koana posterior dekat
dengan pinggir posterior dari septum nasi (Dhingra, 2014).
Dinding medial kavum nasi dibentuk oleh septum nasi. Septum nasi memisahkan
kedua kavum nasi, menyediakan penopang struktural untuk hidung, dan
mempengaruhi aliran udara di dalam kavum nasi. Septum nasi terdiri dari tulang rawan
dan tulang yang dilapisi oleh mukosa respiratori (Leung, Walsh dan Kern, 2014).
Septum bagian anterior dibentuk oleh lamina kuadrangularis dan premaksila; bagian
posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid dan sinus sfenoid; dan
bagian inferior dibentuk oleh vomer, krista nasalis os maksila, dan krista nasalis os
palatina (gambar 2.3) (Hwang dan Abdalkhani, 2009).

5
Gambar 2.3. Anatomi Hidung, Septum nasi (1), kartilago kuadrangularis (2), os nasal
(3), os vomer (4), krista nasalis os palatina (5), krista nasalis os maksila (6),
membran septum (7) (Leung, Walsh dan Kern, 2014)

Dinding superior kavum nasi bagian anterior yang miring dibentuk oleh tulang
hidung; bagian posterior yang miring dibentuk oleh tulang sfenoid; dan bagian media
yang horizontal dibentuk oleh lamina kribriformis etmoid tempat masuknya nervus
olfaktorius ke kavum nasi (Dhingra, 2014).
Dinding inferior kavum nasi dibentuk oleh prosesus palatina maksila pada ¾
bagian anteriornya dan bagian horizontal dari os palatina pada ¼ bagian posteriornya
(Dhingra, 2014).

II. Anatomi Sinus Paranasal


A. Sinus maksila
Sinus maksila adalah daerah berpneumatisasi di dalam tulang maksila dan
merupakan sinus paranasal yang terbesar. Dinding anterior berasal dari permukaan
fasial os maksila, dinding posterior berbatasan dengan fosa pterigopalatina,
dinding medial merupakan dinding lateral dari kavum nasi, dasar dari sinus adalah
prosesus alveolaris, dan dinding superior adalah dasar orbita (Leung, Walsh dan
Kern, 2014).
B. Sinus Frontal

6
Sinus frontal dapat tidak dijumpai pada satu sisi atau dapat sangat besar
meluas sampai ke atap orbita. Kedua sinus frontal sering asimetris dan dipisahkan
oleh septum intersinus yang tipis dan posisinya sering oblik atau bahkan dapat
tidak sempurna (Dhingra, 2014; Leung, Walsh dan Kern, 2014). Dinding anterior
sinus berhubungan dengan kulit dahi, dinding inferior berhubungan dengan orbita,
dan dinding posterior berhubungan dengan selaput otak dan lobus frontal dari otak
(Dhingra, 2014).
Pembukaan dari sinus frontal berada di dasarnya dan menuju ke meatus
media. Pada meatus media, drainase sinus frontal ke resesus frontalis dijumpai
sebanyak 55%, di atas namun tidak ke infundibulum sebanyak 30%, ke
infundibulum sebanyak 15% dan di atas bula etmoid sebanyak 1% (Dhingra,
2014).
C. Sinus etmoid
Sinus etmoid merupakan rongga berisi udara dengan dinding yang tipis,
dengan jumlah yang bervariasi dari 3 sampai 18, yang mengisi ruangan antara 1/3
atas dari dinding lateral hidung dan dinding medial orbita. Secara klinis sel etmoid
dibagi menjadi etmoid anterior yang bermuara di meatus media, dan etmoid
posterior yang bermuara di meatus superior (Dhingra, 2014). Bula etmoid adalah
sel etmoid anterior yang paling konstan dan yang paling besar. Infundibulum
etmoid mengumpulkan sekresi dari sel etmoid anterior, sinus maksila dan pada
beberapa kasus, sinus frontal. Infundibulum etmoid berhubungan dengan meatus
media melalui hiatus semilunaris (Lee et al, 2008).
Setiap labirin etmoid memiliki hubungan yang penting. Bagian atap dibentuk
oleh fosa cranii anterior, di sebelah lateral dari lamina kribrosa. Selaput otak
membentuk hubungan yang penting disini. Dinding lateral berhubungan dengan
orbita. Lamina dari tulang yang tipis seperti kertas (lamina papirasea) memisahkan
sel udara dari orbita, yang dapat dengan mudah hancur yang dapat menyebabkan
penyebaran infeksi pada etmoid ke orbita. Nervus optikus berhubungan dekat
dengan sel etmoid posterior dan beresiko selama pembedahan etmoid (Dhingra,
2014).
D. Sinus Sfenoid
Kedua sinus sfenoid kanan dan kiri jarang simetris dan dipisahkan oleh septum
tulang yang tipis, posisinya sering miring dan bahkan dapat tidak sempurna.
Derajat pneumatisasi sinus sfenoid bervariasi dan juga perluasan dari sinus dan

7
struktur yang berhubungan dengannya. Kavum sinus dapat besar dan meluas
sampai ke sayap sfenoid dan bahkan pterigoideus (Dhingra, 2014).
Ostium sinus sfenoid terbuka ke resesus sfenoetmoid. Pada suatu penelitian
dari ostium sinus sfenoid mengidentifikasikan bahwa ujung dari bagian
posteroinferior dari konka superior sebagai petunjuk untuk mengidentifikasi
ostium alami sinus sfenoid. Pada kebanyakan kasus ujung dari bagian
posteroinferior dari konka superior terletak pada bidang horizontal yang sama
seperti dasar dari sinus sfenoid. Ostium terletak di sebelah medial dari konka
superior pada 83% kasus dan di sebelah lateral pada 17% kasus (Leung, Walsh dan
Kern, 2014).

Gambar 2.4. Sinus Paranasal (National Cancer Institute, 2015)

8
Gambar 2.5. Kompleks ostiomeatal (Hwang dan Abdalkhani, 2009)

9
BAB III

RHINOSINUSITIS KRONIS

ETIOLOGI
Rinosinusitis kronis memiliki banyak penyebab yang terdiri dari infeksi (virus, bakteri dan
jamur), anatomi, alergi, disfungsi mukosilier kongenital (misalnya fibrosis kistik, diskinesia siliari
primer atau didapat) dan gangguan sistemik. Adanya bakteri di dalam hidung dan sinus paranasal
pada populasi rinosinusitis kronis telah dapat dibuktikan, dan kebanyakan praktisi percaya bahwa
bakteri memiliki peranan pada sebagian besar kasus. Apakah bakteri memiliki peranan secara
langsung atau tidak langsung dalam perkembangan rinosinusitis kronis belum dapat ditentukan
secara pasti (Schlosser dan Woodworth, 2009).
a. Progresi dari Rinosinusitis Akut
Kondisi yang mempengaruhi rinosinusitis kronis sama dengan infeksi akut dalam hal
faktor ekstrinsik, intrinsik, sistemik dan faktor lokal penjamu. Selanjutnya, episode berulang
dari rinosinusitis akut pada akhirnya dapat menyebabkan disfungsi mukosa dan infeksi
kronis. Gejala pada rinosinusitis kronis lebih bervariasi dibanadingkan dengan rinosinusitis
akut. Rinosinusitis kronis secara khas mengalami disregulasi mukosa yang luas dan proses
inflamasi kronis yang sangat sulit untuk diterapi. Penyakit ini sering tahan terhadap terapi
obat-obatan dan pembedahan yang tersedia saat ini. Kortikosteroid sistemik lebih sering
digunakan pada rinosinusitis kronis, oleh karena penyakit ini mempunyai komponen
inflamasi kronis yang mendasari secara signifikan. Selanjutnya rinosinusitis akut secara
histologi menunjukkan proses eksudatif yang ditandai dengan inflamasi neutrofilik dan
nekrosis, sedangkan rinosinusitis kronis merupakan proses proliferatif yang paling sering
ditandai dengan menebalnya membran mukosa dan lamina propria. Karena rinosinusitis akut
hampir selalu merupakan infeksi, ini ditandai dengan normal inflamasi tipe T helper 1 (Th1)
yang berhubungan dengan dikeluarkannya neutrofil sebagai tipe sel predominan untuk
melawan infeksi. Sementara itu tipe inflamasi infeksius ini predominan pada rinosinusitis
kronis sekunder terhadap fibrosis kistik, diskinesia siliari dan rinosinusitis yang berasal dari
infeksi gigi, kebanyakan rinosinusitis kronis memiliki respon inflamasi tipe atopi (Th2)
dimana eosinofil merupakan sel inflamasi yang predominan pada rinosinusitis kronis atopi
maupun non atopi (Schlosser dan Woodworth, 2009).
b. Faktor Anatomi
Pada beberapa kasus, rinosinusitis kronis berkembang dari infeksi bakteri kronis pada

10
rongga sinus dengan adanya obstruksi ostium anatomis. Abnormalitas anatomis
menyebabkan penyempitan saluran yang mengakibatkan seseorang dapat mengalami
rinosinusitis kronis, terutama dengan adanya beberapa macam inflamasi yang dapat berulang
kembali. Beberapa variasi anatomi yang juga dapat menyebabkan seseorang menderita
rinosinusitis kronis termasuk diantaranya sel Haller (infundibular), jalur pengaliran sinus
frontal yang sempit karena sel ager nasi ataupun sel frontal yang besar. Sekali ostium
tersumbat, terjadi hipoksia lokal pada rongga sinus dan sekresi sinus menumpuk. Hal ini
menyebabkan terbentuknya lingkungan yang cocok untuk perkembangan bakteri yang cepat.
Toksin bakteri dan mediator endogen selanjutnya merusak terutama epitel respiratori bersilia
dan akibatnya terjadi penurunan mucociliary clearance. Terjadi lingkaran setan dengan
tertahannya hasil sekresi dan infeksi lebih lanjut (Schlosser dan Woodworth, 2009).
c. Disfungsi Mukosilier
Mucociliary clearance merupakan hal yang penting khususnya dalam menjaga
homeostasis sinus paranasal. Gerakan silia epitel mengeluarkan alergen, bakteri dan polutan
yang terperangkap pada mukus atau lapisan jeli dari lapisan mukosilier melalui jalur drainase
alami. Sisa mukus pada cairan perisilier atau lapisan sol yang memungkinkan eliminasi yang
cepat dari sekresi yang kental. Mucociliary clearance dapat diganggu oleh rusaknya fungsi
siliari yang disebabkan oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik atau perubahan kekentalan dan
produksi mukus. Faktor intrinsik yang dapat menyebabkan disfungsi silia diantaranya
diskinesia siliari primer atau sindrom Kartagener. Faktor ekstrinsik yang dapat mengganggu
mucociliary clearance diantaranya trauma oleh iritan lingkungan, mediator endogen dari
inflamasi, atau trauma operasi. Pasien dengan fibrosis kistik memiliki kekentalan mukus yang
tinggi sebagai proses sekunder dari perubahan transpor air dan elektrolit. Lapisan jeli dan sol
dari lapisan mukus juga dipengaruhi, dengan demikian menghalangi pengeluaran bakteri.
Iritan yang berasal dari udara, alergen, paparan udara dingin, ataupun infeksi virus pada
saluran pernafasan atas dapat meningkatkan produksi mukus dan melampaui kecepatan
mucociliary clearance. Semua faktor-faktor ini dapat menyebabkan penumpukan mukus di
dalam sinus, menurunkan pengeluaran bakteri dan menciptakan lingkungan yang cocok untuk
perkembangan bakteri (Schlosser dan Woodworth, 2009).
d. Inflamasi Tulang
Penelitian baru-baru ini menyatakan bahwa tulang mungkin dapat berperan aktif
dalam proses penyakit ini; inflamasi yang berhubungan dengan RSK dapat menyebar melalui
sistem Haversian di dalam tulang. Angka perubahan tulang pada RSK sama seperti pada
osteomyelitis. Selanjutnya, operasi yang menginduksi infeksi baik dengan Staphylococcus

11
aureus atau pun Pseudomonas aeruginosa dapat menginduksi semua perubahan klasik dari
osteomyelitis dan menginduksi perubahan inflamasi kronik di sepanjang mukosa pada jarak
yang signifikan dari daerah infeksi. Oleh karena itu, inflamasi tulang mungkin merupakan
faktor penting dalam penyebaran perubahan inflamasi kronis dan dapat menjelaskan
kekebalan terhadap terapi medis. Masih belum jelas, apakah tulang menjadi terinfeksi dengan
bakteri atau terapi medis. Namun masih belum jelas apakah tulang benar-benar menjadi
terinfeksi dengan bakteri atau perubahan yang diamati benar-benar reaktif (Schlosser dan
Woodworth, 2009).
e. Sinusitis Dentogen
Patologi pada gigi dapat menyebabkan sinusitis pada sinus maksila dengan
penyebaran selanjutnya ke sinus yang berdekatan. Patologi ini dapat berupa infeksi gigi,
abses akar gigi, fistel oro-antral dan prosedur operasi pada mulut yang menimbulkan sinusitis.
Pasien-pasien ini khususnya membutuhkan terapi, baik terapi pada mulut maupun sinus untuk
mengeradikasi infeksi (Schlosser dan Woodworth, 2009).
f. Biofilm
Penelitian yang terbaru membuktikan bahwa P. aeruginosa membentuk biofilm pada
sinus, yang mungkin menyebabkan penyakit pada sinus yang membandel. Bakteri yang
menghasilkan bifilm merupakan organisasi kompleks dari bakteri yang melekat pada
permukaan. Biofilm sangat kompleks, merupakan struktur tiga dimensi dari bakteri hidup,
yang secara in vivo membentuk menara dan lapisan organisme hidup yang dibungkus oleh
polisakarida. Mereka dapat menyerang pertahanan tubuh penjamu dan menunjukkan
penurunan kepekaan terapi antibiotik baik secara lokal maupun secara sistemik. Bertahannya
biofilm disebabkan oleh metode pertumbuhannya. P. aeruginosa berkembang dalam
mikrokoloni yang dikelilingi oleh matriks ekstraseluler dari alginat eksopolisakarida. Biofilm
yang terbentuk pada permukaan mukosa disebut dengan biofilm mukosa, sebagai bakteri
penghasil biofilm yang terbentuk pada lingkungan khusus dari mukosa bersilia, daerah yang
diharapkan memiliki proteksi terhadap formasi biofilm (Lee et al, 2008; Schlosser dan
Woodworth, 2009).

EPIDEMIOLOGI
Rinosinusitis kronik (RSK) merupakan inflamasi mukosa hidung dan juga sinus paranasal
dengan jangka waktu gejala ≥12 minggu tanpa resolusi komplit dari gejala dan tanda akut ditandai
oleh ≥2 gejala yang salah satunya adalah hidung tersumbat atau sekret hidung (anterior,
posteriornasal drip). Kondisi ini dapat disertai nyeri wajah spontan, atau menurunnya sensasi

12
penghidu serta hasil temuan nasoendoskopi berupa sekret mukopurulen atau polip yang berasal dari
meatus media dan atau obstruksi mukosa pada meatus media, dan/atau hasil dari computed
tomography (CT) scan berupa perubahan mukosa pada kompleks osteomeatal dan atau sinus
paranasal.
Rinosinusitis kronik menjangkiti kurang lebih 10,9% populasi dewasa di Eropa dan 15% di
USA. Data di Subbagian Rinologi-Alergi Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan
Tenggorok Bedah Kepala dan Leher (THT-KL) Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran/Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin (RSHS) pada tahun 2011 tercatat 45% kasus
rinosinusitis dari seluruh kasus di Poliklinik Rinologi Alergi, terdiri atas 46,04% laki-laki dan
53,86% perempuan. Prevalensi rinosinusitis kronik lebih banyak pada perempuan dibanding dengan
laki-laki dengan perbandingannya adalah 6:4. Rinosinusitis kronik merupakan penyakit yang
multifaktor dan memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap kualitas hidup dan
memengaruhi kondisi ekonomi. Disebutkan juga rinosinusitis kronik telah mengakibatkan 13 juta
konsultasi kesehatan, 2 juta kunjungan ke UGD, dan 73 juta hari yang mengakibatkan seorang
pekerja tidak masuk kerja di USA (Juanda et al., 2017).

PATOFISIOLOGI
Rinosinusitis istilah bagi suatu proses inflamasi yang melibatkan mukosa hidung dan sinus
paranasal. Rhinitis dan sinusitis umumnya terjadi bersamaan, sehingga terminology saat ini yang
lebih diterima adalah rinosinusitis. Radang menimbulkan peningkatan jumlah sekresi dan edema
pada mukosasinonasal. Bila kondisi ini berlanjut, sekresi akan mengisi sinus karena terganggunya
fungsi silia atau penyumbatan ostium sinus, atau keduanya. Bila drainase terganggu, akan terjadi
penurunan tekanan oksigen sebagian dan proliferasi bakteri pathogen. Stasis pada sinus maksilaris
setelah infeksi akut merupakan akibat dari berkurangnya aktivitas silia yang dapat menjadi
predisposisi infeksi bakteri. Sinus maksila cenderung mengalami stasis karena ostiumnya terletak
tinggi di dinding medial. Namun, stasis dalam sinus maksilaris juga dapat terjadi karena polip hidung,
paling sering pada sinus ethmoid yang secara efektif memblokir meatus nasi media dan drainase
sinus.
Stasis juga dapat terjadi karena adanya kelainan anatomi seperti deviasi septi nasi atau concha
bullosa yang keduanya dapat menghambat drainase dari meatus nasi media. Sinusitis dapat terjadi
dalam bentuk akut/kronis. Sinusitis akut sering terjadi setelah rhinitis alergi/infeksi virus pada
saluran pernafasan bagian atas. Alergi hidung yang kronis, adanya benda asing, dan deviasi septi nasi
dianggap sebagai predisposisi yang paling umum. Perubahan-perubahan pada sinusitis kronis
biasanya bersifat irreversible yang ditandai dengan penebalan mukosa dan pseudo polip dengan

13
mikroabses, granulasi, dan jaringan parut. Sinusitis kronis dapat terjadi dalam hitungan bulan hingga
tahun (Bell et al., 2011).

GEJALA KLINIS
Rinosinusitis kronis adalah Istilah penyakit yang digunakan untuk menggambarkan kongesti
hidung yang berlangsung selama 8 hingga 12 minggu. Pasien yang terserang umumnya mengeluh
mengenai lemas, sakit kepala samar-samar, rasa bengkak pada wajah, dan sakit pada gigi-gigi
posterior atas. Pada pemeriksaan sering didapatkan discharge nasal purulen sehingga menyebabkan
obstruksi nasal yang mengakibatkan menurunnya fungsi penghidu. Pemeriksaan rontgen mulanya
memperlihatkan penebalan mukosa sinus, yang sering digantikan dengan opasifikasi karena
meningkatkan pembengkakan mukosa atau adanya timbunan cairan didalam sinus, atau keduanya.
Proyeksi waters tegak digunakan untuk melibat ketinggian udara atau cairan yang disebabkan karena
keberadaan eksudat nanah di dalam minimal 1 sinus. Perubahan posisi dapat menambah rasa tidak
enak. Membungkukan kepala biasanya akan memperberat rasa sakit, sedangkan mendongakkan
kepala, mengurangi rasa sakit tersebut dan melancarkan drainase unilateral (Pedersen, 2011).

DIAGNOSIS
Diagnosis rhinosinusitis kronis dapat ditegakan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang lainnya. Rhinosinusitis Task Force (RSTF), yang didirikan oleh American
Academy of Otolaryngology —Head and Neck Surgery (AAO-HNS) mengkalsifikasikan gejala
rhinosinusitis kronis menjadi gejala mayor dan gejala minor. Apabila pada pasien terdapat dua atau
lebih dari gejala mayor atau satu gejala mayor dan dua atau lebih gejala minor selama lebih dari 12
minggu, maka diagnosis rhinosinusitis kronis dapat dipertimbangkan (Kern 2007).

Gejala Mayor Gejala Minor


Nyeri pada daerah muka (pipi,dahi Sakit kepala
,hidung) / ketika ditekan
Hidung buntu Demam
Discharge purulen pada hidung / sekret Halitosis
berwarna
Hiposmia / anosmia Lemas
Sekret purulen di cavum nasal saat Nyeri pada gigi geraham
pemeriksaan
Batuk

14
Nyeri pada telinga / rasa penuh pada
telinga
Tabel 2.1 Gejala mayor dan minor dari Rhinosinusitis Kronis (RSTF 1996, Kern 2007)

Anamnesis yang cermat dan diperlukan teliti sangat diperlukan terutama dalam menilai
gejala-gejala yang disebutkan di atas. Hal ini penting terutama pada RSK karena perlu digali
kemungkinan faktor penyebab lain selain inflamasi itu sendiri. Adanya penyebab infeksi baik kuman
maupun virus, riwayat alergi atau kelainan anatomis di dalam rongga hidung dapat dipertimbangkan
dari riwayat penyakit yang lengkap. Penderita dengan latar belakang alergi mempunyai riwayat yang
khas terutama karakteristik gejala pilek sebelumnya, riwayat alergi dalam keluarga serta adanya
faktor lingkungan yang mempengaruhi.
Pemeriksaan yang penting adalah rinoskopi anterior dan posterior karena merupakan
pemeriksaan non-invasif. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior dapat dijumpai adanya kelainan-
kelainan di rongga hidung yang berkaitan dengan rhinosinusitis seperti pada konka terdapat
hiperemi, sekret, udem, krusta, septum deviasi, polip ataupun tumor. Sedangkan rinoskopi posterior
adalah pemeriksaan untuk melihat rongga hidung bagian belakang dan nasofaring. Melalui
pemeriksaan ini dapat diketahui kelainan yang terdapat di belakang rongga hidung dan nasofaring
seperti post nasal drib dan lain-lain.
Pemeriksaan lain yang invasif namun masih dipertimbangkan adalah nasoendoskopi.
Pemeriksaan ini diperlukan untuk mendapatkan gambaran diperbesar dari mukosa nasal, turbinate,
dan konka nasalis. Melalui endoskopi, dapat membantu menilai integritas mukosa, serta secara
langsung melihat perubahan pada mukosa, polip, krutsta, dan atau nasal discharge. Melalui
endoskopi juga dapat dilakukan kultur. Discharge nasal yang berubah warna, polip, pembengkakakn
polypoid dari mukosa, pada pemeriksaan endoskopi ataupun rinoskopi anterior serta adanya edema
dan eritema dari meatus nasi media atau bula etmoidalis yang terlihat melalui endoskopi dapat terlihat
pada pasien yang mengalami rhinosinusitis kronis. Apabila edema, eritema dan jaringan granulasi
tidak ditemukan pada meatus nasi media dan bula etmoidalis perlu dilakukan pemeriksaan radiologis
untuk menilai kondisi sinus untuk dapat menegakkan diagnosis rhinosinusitis kronis (Benninger et
al 2003, Kern 2007).

15
Gambar 2.1 Gambaran endoskopi A. Cavum nasalis dekstra normal ; B. Cavum nasalis sinistra
dengan polip dan discharge (Sedaghat 2012).

Computed tomography scanning (CT-Scan) perlu dilakukan dengan indikasi penderita


rhinosinusitis kronis atau rhinosinusitis rekuren. Potongan coronal CT dapat menunjukkan gambaran
struktur tulang dan mukosa sehingga menentukan pilihan terapi yang tepat serta evaluasi dari terapi.
CT-Scan juga membantu untuk melakukan operasi pada kasus rhinosinusitis yang perlu di operasi.
Pada kasus rhinosinusitis kronis dapat ditemukan gambaran penebalan mukosa, perubahan susunan
tulang, air-fluid level pada CT-Scan.

Gambar 2.1 Gambaran CT-Scan sinus normal (Trichenor 2006)


Keterangan : +, batas sinus maksilaris; *, ostium sinus maxillaris; C, concha bullosa; E, sinus

16
etmoidalis; IT, turbinatus inferior; MT, turbinatus media; S, septum; U, prosesus uncinatus

Gambar 2.1 Gambaran CT-Scan sinus yang mengalami rhinosinusitis (Trichenor 2006)
Keterangan : +, penebalan sinus maksllaris; *, meatus nasi media; E, sinus etmoidalis; M, sinus
maksilaris; O, ostium sinus maksilaris; P, polip.

Untuk melakukan diagnosis rhinosinusitis kronis diperlukan perpaduan dari hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti CT-Scan (Leung 2008).

TATALAKSANA
Penatalaksanaan rinosinusitis bergantung pada kondisi masing-masing penderita. Pada
rhinosinusitis kronis terapi medikamentosa atau pembedahan mungkin menjadi pilihan yang lebih
baik. Terapi medikamentosa merupakan terapi yang penting karena lebih sederhana,mudah
dilaksanakan serta relatif lebih murah dari terapi pembedahan.
Tujuan terapi medikamentosa yang utama adalah untuk mengembalikan fungsi drainase
sinus. Pada dasarnya yang ingin dicapai oleh terapi medikamentosa adalah kembalinya kondisi
normal di dalam rongga hidung. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan pelembaban untuk
mengurangi/menghilangkan udem mukosa serta mengembalikan fungsi transpor mukosiliar.
Kortikosteroid menjadi pilihan utama dalam pengobatan karena merupakan agen anti-
inflamasi yang poten Kortikosteroid topikal (semprot hidung) dapat diberikan untuk pasien dengan
rhinosinusitis kronis. Kortikosteroid topikal bermanfaat untuk mengurangi inflamasi dan mengurangi
sensitifitas reseptor kolinergik mukosa rongga hidung sehingga mengurangi sekresi. Beberapa
17
kortikosteroid yang tersedia dalam bentuk semprot hidung diantaranya adalah : beklometason,
flutikason, mometason. Mometason dan flutikason lebih direkomendasikan karena memiliki
bioavaibilitas yang rendah sehingga dapat mengurangi komplikasi penggunaan kortikosteroid.
Pemakaian kortikosteroid dalam bentuk semprot hidung perlu diperhatikan karena harus dipakai
secara teratur, bukan hanya ketika timbul keluhan.
Jika dengan semprot hidung tidak efektif dalam beberapa bulan, pemberian nasal drops
seperti flutikason atau beklomwtason dapat dipertimbangkan namun penggunaan jangka panjang
tidak direkomendasikan. Pada penderita rhinosinusitis dengan riwayat alergi, pemberian steroid nasal
dengan atau tanpa antihistamin oral menjadi pilihan terapi lini pertama. Lini kedua adalah pemberian
flutikason dan azelastin dikombinasikan dengan semprot hidung. Pada rhinosinusitis kronis disertai
pembentukan polip, pemberian kortikosteroid sistemik dapat dipertimbangkan namum
penghentiannya harus dilakukan secara bertahap (tapering off) (Leung 2008, Kern 2007).
Selain pemberian kortikosteroid, irigasi dengan nasal salin dapat mengurangi gejala pada
rhinosinusitis kronis berdasarkan studi systematic review dan meta-analysis. Irigasi salin dapat
dilakukan sebelum pemberian kortikosteroid intra nasal.
Pada kondisi terapi medikamentosa tidak efektif, diperlukan terapi pembedahan. Terapi
pembedahan dilakukan dengan pembedahan endoskopi sinus. Tujuan terapi ini adalah untuk
mendapatkan ventilasi dan drainase dari sinus paranasal dan memperbesar sinus paranasal agar obat
topical dapat bekerja (Carter 2019, Sedaghat AR 2012).

KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada kasus rhinosinusitis kronis antara lain :
a. Kelainan orbita
Penyebaran infeksi ke orbita paling sering terjadi pada sinusitis etmoid, frontal dan
maksila. Gejala dan tanda yang patut dicurigai sebagai infeksi orbita antara lain edema
preorbita, selulitis orbita, dan nyeri berat pada mata. Kelainan dapat mengenai satu mata atau
menyebar ke kedua mata. Penyebaran infeksi rinosinusitis ke orbita dapat melalui penyebaran
langsung melalui defek kelainan bawaan, foramen atau garis sutura yang terbuka, erosi tulang
terutama pada lamina papirasea dan tromboflebitis retrograd langsung melalui pembuluh
darah vena yang tidak berkatup yang menghubungkan orbita dengan wajah, kavum nasi, dan
sinus paranasal.
b. Kelainan intrakranial
Penyebaran infeksi ke intracranial dapat menimbulkan meningitis, abses ekstradural,
dan thrombosis sinus kavernosus. Gejala dan tanda yang perlu dicurigai antara lain sakit

18
kepala yang tajam, progresif dan terlokalisasi, paresis nervus kranialis, serta perubahan status
mental dalam tahap lanjut.
c. Komplikasi lain
Osteomyelitis sinus maksila, abses subperiosteal, bronchitis kronis dan bronkiektasi
dapat menyertai pasien yang mengalami rhinosinusitis kronis. (Schwartz 2006, Choi 2001).

19
BAB III
PENUTUP

Hidung dibagi menjadi dua bagian, yaitu hidung bagian luar dan hidung bagian dalam.
Hidung luar berbentuk pyramid. Sepertiga hidung luat merupakan tulang dan duapertiganya
bawah merupakan tulang Hidung dalam diagi menjadi kavum nasi kanan dan kiri oleh septum
nasi, Sinus paranasal terdiri atas beberapa bagian, yaitu sius maksila, sinus frontal, sinus
etmoid, dan sinus sfenoid. Sinus maksila merupakan sinus yang terbesar.
Rinosinusitis kronik (RSK) merupakan inflamasi mukosa hidung dan juga sinus
paranasal. Rinosinusitis kronis memiliki banyak penyebab yang terdiri dari infeksi (virus,
bakteri dan jamur), anatomi, alergi, disfungsi mukosilier kongenital (misalnya fibrosis kistik,
diskinesia siliari primer atau didapat) dan gangguan sistemik. Bakteri memiliki peranan
penyebab terbesar dari sebagian kasus. Prevalensi rinosinusitis kronik lebih banyak pada
perempuan dibanding dengan laki-laki dengan perbandingannya adalah 6:4.
Rhinosinusitis menggambarkan kongesti hidung yang berlangsung selama 8 hingga 12
minggu. Pasien umumnya mengeluh lemas, sakit kepala samar-samar, rasa bengkak pada
wajah, dan sakit pada gigi-gigi posterior atas. Pasien juga mengalami penurunan penghidu.
Perubahan posisi membungkukkan kepala akan memperberat rasa sakit sedangkan
mendongakkan kepala akan mengurangi rasa sakit.
Diagnosis rhinosinusitis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. AAO-HNS mengkalsifisikan gejala RSK menjadi gejala mayor dan
gejala minor. Apabila pada pasien terdapat dua atau lebih dari gejala mayor atau satu gejala
mayor dan dua atau lebih gejala minor selama lebih dari 12 minggu, maka diagnosis
rhinosinusitis kronis dapat dipertimbangkan. Pemeriksaan yang penting adalah rinoskopi
anterior dan posterior karena merupakan pemeriksaan non-invasif. Pemeriksaan invasive yang
dipertimbangkan adalah nasoendoskopi. Pemeriksaan penunjang seperti foto SPN dan CT Scan
juga diperlukan.
Kortikosteroid menjadi pilihan utama dalam pengobatan karena merupakan agen anti-
inflamasi yang poten. Tetapi, tatalaksana lengkap tergantung dari kondisi dan etiologi masing-
masing penderita. Jika terapi medikamentosa tidak efektif, dilakukan terapi pembedahan.
Komplikasi yang dapat terjadi yaitu kelainan di orbita dan intracranial.

20
DAFTAR PUSTAKA

Bell GW, Joshi BB, Macleod RI. 2011. Maxillary sinus disease: diagnosis and treatment. British
Dental Journal, 210 (3): 113-118.
Benninger MS, Ferguson BJ, Hadley JA, et al. Adult chronic rhinosinusitis: def initions, diagnosis,
epidemiology, and pathophysiology. Otolaryngol Head Neck Surg. 2003;129(3 Suppl):S1–
32.
Carter A, Nikesh D, and Saiful AH. 2019. Chronic rhinosinusitis. BMJ 364 (2019): l131.
Choi SS, Grundfast KM. 2001. Complications in Sinus Disease. In Disease of The Sinuses, Diagnosis
and Management. B.C.Decker Inc. p. 169-77
th
Dhingra PL. 2007. Disease of Ear Nose and Throat. 4 Ed.New Delhi, India : Elsevier. pp : 129-135;
145-148.
Hwang, PH & Abdalkhani, A. 2009. Embryology, Anatomy and Physiology of the nose and

Paranasal Sinuses in: Ballenger’s Otorhinolaryngology. BC Decker Inc, Connecticut, 17 thed,


Vol 2, p. 455-63.
Juanda IJ, Madiadipoera T, Ratunanda SS. 2017. Adaptasi budaya, alih bahasa indonesia, dan
validasi sino-nasal outcome test (snot)-22. Majalah Kedokteran bandung, 49 (4): 267-273.
Kern EB, Sherris D, Stergiou AM, Katz LM, Rosenblatt LC, Ponikau J. 2007. Diagnosis and
treatment of chronic rhinosinusitis: focus on intranasal Amphotericin B. Ther Clin Risk
Manag. 2007;3(2):319–325. doi:10.2147/tcrm.2007.3.2.319
Lee YA, Boffetta P, Sturgis EM, et al. 2008. Involuntary Smoking and Head and Neck Cancer Risk:
Pooled Analysis in the International Head and Neck Cancer Epidemiology Consortium. Cancer
Epidemiol Biomarkers Prev. 17:1974-1981.
Leung, RM, Walsh, WE, Kern, RC. 2014. Sinonasal anatomy and physiology. In: Johnson JT, Rosen
CA. Bailey’s head and neck surgery fifth edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
p. 360.
Leung, Roxanne S, Rohit Kl. 2008. The diagnosis and management of acute and chronic sinusitis.
Primary care: Clinics in office practice 35.1 (2008): 11-24.
National Cancer Institute. 2015. General Information About Salivary Gland Cancer
www.cancer.gov.
Pedersen GW. 2011. Buku ajar praktis bedah mulut. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, pp:
266-267.

21
Schlosser, RJ; Woodworth, BA. 2009. Chronic rhinosinusitis and polyposis in: Ballenger’s
th
Otorhinolaryngology. BC Decker Inc, Connecticut, 17 ed, Vol 2, p. 575.
Schwartz G and White S. 2006. Complications of Acute and Chronic Sinusitis and Their
Management. In Sinusitis – From Microbiology to Management. Taylor & Francis, New
York. p. 269-90 7.
Sedaghat, AR., Gray ST, Wilke CO, Caradonna, DS. 2012. Risk factors for development of chronic
rhinosinusitis in patients with allergic rhinitis. International forum of allergy & rhinology.
Vol. 2. No. 5. Hoboken: Wiley Subscription Services, Inc., A Wiley Company.
Tichenor WS. Sinusitis for physicians 1998–2006 [online] 2006. Accessed on 15 August 2006.
URL:http://www.sinuses.com/search_site.cgi?fname=md.htm&db=s&skw=diagnosis&meth
od=and.

22

Anda mungkin juga menyukai