Anda di halaman 1dari 18

UJI EFEKTIVITAS TERIPANG BILALO (Actinopyga mauritiana)

SEBAGAI ANTIDIABETIK DAN PERBAIKAN JARINGAN HEPAR


PADA MENCIT (Mus musculus) YANG DIINDUKSI ALOKSAN.
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Salah satu hasil laut yang mempunyai nilai ekonomis penting adalah

teripang atau disebut juga dengan teripang, teat fish atau ginseng laut. Secara

ekonomi, teripang memiliki nilai penting, yaitu sebagai sumber biofarmaka hasil

laut potensial dan sebagai makanan kesehatan (Leonardo and Andrew 2013).

Teripang memiliki potensi yang cukup besar di Indonesia, yaitu dengan total hasil

tangkapan mencapai 184631 ton tahun 2004. Hasil tangkapan teripang pada

dasawarsa terakhir cenderung meningkat, dengan rata-rata peningkatan pada tahun

2003-2004 sebesar 51.37%. Saat ini perdagangan teripang telah meluas, terutama

ke Hongkong dan Singapura, yang merupakan dua negara pusat perdagangan

teripang dunia (DKP, 2006).

Pemanfaatan dan penelitian teripang untuk berbagai aspek kesehatan telah

dimulai di Cina sejak dinasti Ming. Secara umum kandungan kimia teripang

adalah air (88.99%bb), protein (38.96%bk), abu (31.43%bk), lemak (4.18%bk),

dan karbohidrat (25.43%bk) (Nurjanah 2008). Teripang juga mengandung asam

amino esensial, kolagen, vitamin E, fosfor, besi, iodium, natrium, vitamin A dan

B (thiamin, riboflavin dan niasin), serta kandungan asam lemak penting pada

teripang adalah EPA dan DHA (Dewi 2008). Kandungan gizi dan bahan bioaktif

yang dikandung teripang sangat bermanfaat untuk penyembuhan berbagai

penyakit, di antaranya diabetes melitus (Dance et al. 2003). Teripang memiliki

kandungan senyawa metabolit sekunder saponin. Peran mendasar dari saponin

teripang adalah sebagai agen antidiabetik. Saponin telah dilaporkan menurunkan


kadar glukosa darah dalam mekanisme yang berbeda seperti regenerasi aksi

insulin melalui peningkatan kadar insulin plasma dan melepaskan insulin dari

pankreas (El Barky, 2017).

Diabetes mellitus (DM) adalah kelainan metabolik kronis yang ditandai

oleh hiperglikemia. Ini adalah penyakit yang paling umum di antara pasien

dengan kanker pankreas dan pankreatitis kronis. Insufisiensi eksokrin pankreas

sangat terkait dengan diabetes, dengan prevalensi tinggi pada kedua tipe I dan II

(Rahman, 2015). DM dihasilkan dari cacat di pankreas di mana sekresi insulin

tidak cukup diproduksi atau sel tidak merespon insulin yang dihasilkan atau

keduanya, menghasilkan kondisi gula darah tinggi. Hiperglikemia kronis akibat

penyakit diabetes dapat menyebabkan kerusakan permanen, disfungsi dan

kegagalan berbagai organ (El Barky, 2017).

Jaringan hepar juga melakukan proses homeostasis kadar glukosa dalam

tubuh khususnya kadar glukosa puasa dimana jumlah glukosa endogen yang

berasal dari hasil glukoneogenesis dan glikogenolisis meningkat. Dalam keadaan

ini insulin berperan pada efek inhibisi kerja metabolisme tersebut. Bila terjadi

resistensi insulin maka kemampuan dalam menginhibisi glukoneogenesis dan

glikogenolisis akan semakin menurun sehingga terjadi peningkatan produksi

kadar glukosa darah dari hepar (Sudoyo, 2009).


Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis tertarik melakukan

penelitian tentang “Uji Efektivitas Teripang bilalo (Actinopyga mauritiana) dilihat

dari Hispatologi Perbaikan Jaringan Hepar Terhadap Mencit (Mus musculus)

Yang Diinduksi Menggunakan Aloksan”.

1.2. Rumusan Masalah

1. Apakah teripang bilalo dengan pemberian secara oral dapat menurunkan

kadar gula darah

2. Apakah teripang bilalo mampu memperbaiki jaringan pada hepar dilihat dari

hispatologinya.

1.3. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui efektivitas teripang bilalo dengana pemberian secara oral

mampu menurunkan kadar gula darah.

2. Untuk mengetahui tingkat kemampuan teripang bilalo dalam memperbaiki

jaringan pada hepar di lihat dari hispatologinya.

1.4. Hipotesis

1. Teripang bilalo dengan pemberian secara oral mampu menurunkan kadar

gula darah

2. Teripang bilalo mampu memperbaiki jaringan pada hepar di lihat dari

hisptologinya.

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat menambah data

mengenai senyawa metabolit sekunder dari teripang bilalo serta menjadi

bertambahnya pemanfaatan biota laut yang dapat dijadikan pilihan sebagai

pengembangan alternatif pengobatan menggunakan teripang bilalo.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Uraian Hewan Laut Teripang bilalo (Actinopyga mauritiana)

2.1.1. Teripang bilalo (Actinopyga mauritiana)

Teripang merupakan hewan berkulit duri sehingga tergolong Filum

Echinodermata. Filum Echinodermata terbagi menjadi lima kelas yaitu

Holothuroidea (timun laut atau teripang), Asteroidea (bintang laut), Echinoidea

(bulu babi), Ophiroidea (bintang laut ular), dan Crinoidea (Rusyana, 2016).

Duri-duri pada teripang merupakan butir-butir kapur mikroskopis yang

letaknya tersebar dalam lapisan epidermis. Namun, tidak semua jenis teripang

mempunyai duri pada kulitnya. Untuk hidupnya, teripang lebih menyukai perairan

yang jernih dan airnya relatif tenang. Penyebaran teripang di beberapa daerah di

Indonesia antara lain meliputi perairan pantai Madura, Jawa Timur, Aceh,

Kepulauan Seribu, Sulawesi, Maluku (Martoyo et al.,2006).

2.1.2. Morfologi teripang

Secara morfologi, perbedaan antara teripang jantan dan teripang betina

tidak jelas. Teripang salah satu kelompok biota laut dengan bentuk tubuh

umumnya silindris. Mulut teripang terletak di ujung anterior dan anus terletak

diujung posterior (orally-aborally). Teripang bergerak dengan kaki tabung (podia),

yaitu bagian dari sistem saluran air ambulakra yang bekerja secara hidrolik

Umumnya teripang berkelamin terpisah (dioceus), bereproduksi secara aseksual

dan seksual. Reproduksi aseksual teripang dilakukan dengan cara membelah

tubuh menjadi dua bagian (fission). Masing-masing bagian kemudian akan


tumbuh menjadi individu yang normal. Reproduksi seksual dilakukan secara

eksternal di kolom air laut yaitu dengan melepaskan sel kelamin jantan dan betina

ke dalam kolom air laut sehingga terjadi pembuahan. (Darsono, 1998).

Tubuh teripang lunak, dan lembek atau licin, berdaging dan berbentuk

silindris memanjang seperti buah ketimun dapat berkulit halus atau berbintil-

bintil. Oleh karena itu, hewan ini dinamakan ketimun laut. Teripang dikenal pula

dengan nama suala, sea cucumber (Inggris), beche-de-mer (Perancis), atau dalam

istilah pasar Internasional dikenal dengan nama teatfish. Gerakan teripang sangat

lamban sehingga hampir seluruh hidupnya berada didasar laut. Warna tubuh

teripang bermacam-macam, mulai dari hitam, abu-abu, kecokelat-cokelatan,

kemerah-merahan, kekuningan-kuningan sampai putih. Ukuran teripang juga

berbeda-beda. Spesies terkecil kurang dari 3 cm, tetapi Stichopus dari Filipina

bisa mencapai panjang sampai 1 m dan diameter 24 cm. Kebanyakan teripang dari

Amerika Utara dan Eropa memiliki panjang 10-30 cm (Martoyo, et al., 2006).

2.2. Diabetes Mellitus

Diabetes Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan

karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kinerja

insulin atau kedua-duanya (ADA, 2010). Menurut WHO, Diabetes Melitus (DM)

didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan

multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan

gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat dari

insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi insulin dapat disebabkan oleh gangguan

produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas atau disebabkan

oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (Depkes, 2008).


Hepar merupakan organ yang berperan penting dalam tubuh manusia.

Metabolisme intermedier dari seluruh bahan makanan berlangsung di hepar.

Hepar merupakan tempat utama untuk aktivitas sintesis, katabolik, dan

detoksifikasi dalam tubuh. Selain itu, hati berperan dalam ekskresi pigmen darah.

Sel-sel Kupffer dalam hati juga ikut berperan dalam reaksi imunologik.

Kerusakan hepar dapat disebabkan oleh berbagai agen antara lain virus, alkohol,

dan obat-obatan (seperti isoniazid, aspirin, tetrasiklin). Agen-agen tersebut dapat

menyebabkan gangguan fungsi hepar berupa karsinoma ataupun sirosis hepatis

(Junqueira et al, 2007).

Berdasarkan teori, sel parenkim hepar terdiri atas hepatosit. Hepar dibagi

menjadi lobus dan dibagi lagi menjadi lobulus oleh jaringan ikat yang disebut

kapsula Gibson. Lobulus hepar terdiri dari beberapa sinusoid bersatu pada vena

sentralis pada bagian tengah. Vena sentralis ini tersusun atas sel-sel endotel. Di

daerah antara lobulus dapat ditemukan portal triad yang terdiri dari vena porta,

arteri hepatica, pembuluh limfe, dan duktus biliaris (Gartner, 2012). Hepatosit

berbentuk polihedral dengan diameter 20-30 μm dengan susunan dari perifer ke

medial menuju vena sentralis. Diantara dua barisan hepatosit terbentuk sebuah

saluran yang disebut kanalikuli biliaris. Kanalikuli ini tidak memiliki endotel.

Hepatosit memiliki nukleus yang berbentuk bulat dan besar yang letaknya di

tengah sel (Kuehnel, 2002).

2.2.1. Klasifikasi DM

Klasifikasi etiologi Diabetes mellitus menurut American Diabetes

Association, 2010 adalah sebagai berikut:


a. Diabetes tipe 1 (destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin

absolut):

1) Autoimun.

2) Idiopatik.

Pada Diabetes tipe 1 (Diabetes Insulin Dependent), lebih sering ternyata

pada usia remaja. Lebih dari 90% dari sel pankreas yang memproduksi insulin

mengalami kerusakan secara permanen. Oleh karena itu, insulin yang diproduksi

sedikit atau tidak langsung dapat diproduksikan. Hanya 13 sekitar 10% dari semua

penderita diabetes melitus menderita tipe 1. Diabetes tipe 1 kebanyakan pada usia

dibawah 30 tahun. Para ilmuwan percaya bahwa faktor lingkungan seperti infeksi

virus atau faktor gizi dapat menyebabkan penghancuran sel penghasil insulin di

pankreas (Merck, 2008).

b. Diabetes tipe 2 (bervariasi mulai yang terutama dominan resistensi insulin

disertai defesiensi insulin relatif sampai yang terutama defek sekresi insulin

disertai resistensi insulin). Diabetes tipe 2 ( Diabetes Non Insulin Dependent) ini

tidak ada kerusakan pada pankreasnya dan dapat terus menghasilkan insulin,

bahkan kadang -kadang insulin pada tingkat tinggi dari normal. Akan tetapi, tubuh

manusia resisten terhadap efek insulin, sehingga tidak ada insulin yang cukup

untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Diabetes tipe ini sering terjadi pada dewasa

yang berumur lebih dari 30 tahun dan menjadi lebih umum dengan peningkatan

usia. Obesitas menjadi faktor resiko utama pada diabetes tipe 2. Sebanyak 80%

sampai 90% dari penderita diabetes tipe 2 mengalami obesitas. Obesitas dapat

menyebabkan sensitivitas insulin menurun, maka dari itu orang obesitas 14


memerlukan insulin yang berjumlah sangat besar untuk mengawali kadar gula

darah normal (Merck, 2008).

c. Diabetes tipe lain.

1) Efek genetik fungsi sel beta

2) DNA mitokondria.

3) Efek genetik kerja insulin.

4) Penyakit eksokrin pankreas :

a) Pankreatitis.

b) Tumor/ pankreatektomi.

c) Pankreatopati fibrokalkulus.

5) Endokrinopati.

a) Akromegali.

b) Sindroma Cushing.

c) Feokromositoma.

d) Hipertiroidisme.

6) Karena obat/ zat kimia.

7)Pentamidin, asam nikotinat.

8) Glukokortikoid, hormon tiroid.

d. Diabetes mellitus Gestasional

Diabetes mellitus yang muncul pada masa kehamilan, umumnya bersifat

sementara, tetapi merupakan faktor risiko untuk DM Tipe 2.


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini dilakukan secara eksperimental, dengan mempergunakan

sampel teripang bilalo (Actinopyga mauritiana). Penelitian ini meliputi penyiapan

bahan uji, identifikasi/determinasi bahan uji, pembuatan ekstrak dari teripang

bilalo (Actinopyga mauritiana) dengan cara ekstraksi dingin memakai pelarut

etanol PA, membuat dalam berbagai konsentrasi ekstrak etanol teripang bilalo

(Actinopyga mauritiana), serta dilakukan evaluasi meliputi uji histologi.

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Farmakologi dan Laboratorium

Farmasetika Fakultas Farmasi Universitas Tjut Nyak Dhien Medan.

3.2. Bahan dan Alat

3.3.1. Bahan

Penelitian ini menggunakan teripang bilalo (Actinopyga mauritiana) yang

diperoleh dari Desa Lamreh, Kecamatan Baitussalam, Kabupaten Aceh, Provinsi

NAD.

Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk ekstraksi, dan pembuatan

preparat histologi. Na. CMC Pelet, sabun, obat anestesi lokal Emla, alkohol 70%,

dan salep Gentamicin 0,1%, eter, Neutral Buffered Formalin (NBF) 10%, NaCl

fisiologis 0,9 %, parafin, bahan untuk pewarnaan seperti alkohol bertingkat (70,

80 %, 90 %, dan 95 %), silol, pewarna hematoksilin dan eosin, akuades, dan

bahan perekat Entellan®

3.3.2. Alat
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah kandang mencit, sekat

kandang, kawat, timbangan digital, scalpel, stopwatch, jangka sorong, saringan,

beaker glass, lumpang, kamera digital, mikrotom (Leica RM2235), tissue

prosesor, staining jar, mikroskop cahaya (Olympus BX41) yang dilengkapi

dengan alat mikrofotografi (DP12), gelas objek, kaca penutup, wadah

penyimpanan organ, inkubator 37ºC.

3.4. Prosedur kerja

3.4.1. Penyiapan bahan

Teripang dibersihkan dari kotoran dengan cara mencucinya di bawah

aquadest mengalir hingga bersih, ditiriskan kemudian ditimbang beratnya. Isi

perut dan air dalam tubuh teripang bilalo segar dikeluarkan dengan cara

membelah secara melintang pada bagian perut kemudian mengeluarkan kotoran

dan memijat-mijat sehingga isi perut dan air dapat ke luar dan tubuh teripang

bilalo menjadi gepeng. Teripang ditiriskan lalu dirajang.

3.4.2. Pembuatan ekstrak teripang bilalo

Teripang yang telah dirajang kemudian diekstraksi, yaitu dengan cara

ekstraksi dingin. Sampel dimasukkan ke dalam bejana lalu ditambah larutan

penyari etanol 96%. Perbandingan sampel dengan pelarut penyari yaitu 25 bagian

sampel berbanding dengan 75 bagian pelarut. Bejana kemudian ditutup rapat dan

disimpan pada suhu kamar selama 3 hari terlindungi dari cahaya matahari sambil

sesekali diaduk setiap 3 jam sekali. Kemudian diserkai sehingga diperoleh

maserat I. Selanjutnya ampas diekstraksi kembali dengan etanol 96% selama 3

hari terlindungi dari cahaya matahari sambil sesekali diaduk, kemudian diserkai

diperoleh maserat II. Maserat I dan II yang diperoleh kemudian digabungkan dan
dipekatkan dengan rotary evaporator pada temperatur 400C sampai diperoleh

ekstrak kental teripang bilalo (Actinopyga mauritiana).

3.5. Pengujian Aktivitas Antidiabetes

Sampel yang digunakan adalah mencit dengan berat 250-300 gram dan

usia 2-3 bulan sebanyak 24 ekor. Hewan uji dipuasakan selama 16-18 jam

kemudian dilakukan pengukuran kadar glukosa darah awal. Selanjutnya, hewan

uji diinduksi dengan aloksan dosis 150 mg/kg BB secara intraperitoneal. Setelah 3

hari dilakukan pengukuran kadar glukosa hewan uji. Mencit dikatakan diabetes

jika kadar glukosa > 200 mg/dL.

3.6. Pengukuran Kadar Glukosa Darah (GlukoDr 2016)

Glukosa darah diukur menggunakan glukometer dengan menggunakan kit

komersial strip GlucoDr. Glukotest ini secara otomatis akan hidup ketika strip

dimasukan. Kadar glukosa darah akan terukur setelah 10 detik dan dinyatakan

dalam satuan mg/dl. Pengambilan darah mencit yaitu dari ujung ekor (vena

lateralis), diusap menggunakan kasa alkohol hingga darah terkumpul di ujung

ekor kemudian diarahkan pada strip yang terhubung dengan glukometer ditunggu

10 detik dan dibaca skala yang tertera pada layar (mg/dL). Kadar glukosa darah

diukur pada hari sebelum induksi aloksan (hari ke-0), kemudian pada pemberian

sediaan yaitu hari ke-2 (48 jam setelah diinduksi aloksan), kemudian dihari ke-7,

14 dan 21.

3.7. Analisis Histopatologi (Beesley 1995)

Analisis histopatologi yang dilakukan meliputi proses nekropsi, pengambilan

sampel, fiksasi, dehidrasi, penjernihan (clearing) embedding, pemotongan

(Keirman 1990), pewarnaan Haematoxylin Eosin (HE), penutupan sediaan dan


pengamatan dengan mikroskop cahaya. Perubahan yang terjadi pada organ hati

dinilai dengan metode skoring. Skoring dibuat berdasarkan tingkat keparahan

perubahan jaringan hati adalah sebagai berikut:

0= tidak terdapat perubahan (normal)

1= kerusakan ringan (terjadi perdarahan)

2= kerusakan sedang (terjadi perdarahan dan atau degenerasi vakuola)

3= kerusakan berat (terjadi perdarahan dan atau degenarasi vakoula serta nekrosis)

3.8. Nekropsi, Pengambilan Sampel dan Fiksasi Pankreas Mencit

Sebelum dilakukan pembedahan terlebih dahulu mencit dibius dengan

euthal 200 mg/kg bb dan dimatikan dengan meberikan ketamine 80 mg/kg bb dan

xylazine 10 mg/kg bb. Setelah tidak sadar, hewan coba dibedah dengan

melakukan sayatan sepanjang torak sampai pubis. Organ diambil dan ditimbang,

lalu dimasukkan kedalam pot berlebel yang berisi buffer normal formalin (BNF)

10% untuk proses fiksasi. Setelah matang sampel diiris setebal ± 3 mm2, lalu

dimasukkan ke dalam kaset tissue berlabel dan siap didehidrasi.

3.9. Dehidrasi dan Penjernihan Sampel (Kierman 1990)

Kaset tissue yang berisi sampel dimasukkan ke dalam keranjang dan

ditempatkan pada alat tissue-processor otomatis. Proses dehidrasi pada alat ini

dilakukan dengan alkohol konsentrasi bertingkat dengan urutan alkohol 70%,

alkohol 80% (2 kali pada larutan yang berbeda), alkohol 90%, dan alkohol absolut

(2 kali pada larutan yang berbeda), masing-masing selama 2 jam. Lalu dilakukan

penjernihan dengan menggunakan xilol (3 kali pada larutan yang berbeda)

masing-masing selama 40 menit. Proses ini kemudian dilanjutkan dengan

menggunakan parafin 60ºC sebanyak 4 kali selama 30 menit. Pada tahap


pencucian keranjang yang berisi sampel direndam berturut-turut dalam xilol,

alkohol 90% dan akuades masing-masing selama 1 jam. Kaset tissue yang berisi

sampel dikeluarkan dari alat dan sampel siap untuk ditanam dalam parafin

(embedding).

3.10. Embedding (Kierman 1990)

Proses embedding dilakukan dengan menggunakan alat tissue-tek.

Embedding dimulai dengan memasukkan parafin cair sebanyak ¼ dari volume

cetakan ke dalam cetakan, kemudian potongan jaringan dimasukkan kira-kira

sampai menyentuh dasar cetakan, lalu cetakan dipenuhi dengan parafin cair dan

diberi label. Parafin dibiarkan membeku selama beberapa menit, setelah itu

dilepaskan dari cetakan.

3.11. Pemotongan dengan Rotary Microtom (Kierman 1990)

Setelah parafin membeku, kemudian dilakukan pemotongan jaringan

dengan menggunakan rotary microtom setebal 4-5 μm. Hasil cetakan diletakkan di

atas permukaan air yang dipanaskan sampai suhu 40ºC. Setelah itu potongan

diletakkan pada preparat dan dikeringkan di dalam inkubator sekurang-kurangnya

selama 2 jam suhu 56ºC.

3.12. Pewarnaan Hematoxylin Eosin (Kierman 1990)

Prosedur pewarnaan HematoxylinEosin (HE) mengacu pada metode

Kierman (1990). Proses pewarnaan diawali dengan proses deparafinisasi atau

penghilangan parafin dengan menggunakan larutan xylol dilanjutkan dengan

pemasukkan kembali air ke dalam jaringan (rehidrasi) dengan merendam jaringan

dalam larutan alkohol dengan konsentrasi bertingkat menurun. Kemudian


dilakukan pembilasan dengan air keran yang mengalir (lakukan kontrol dengan

menggunakan mikroskop cahaya untuk mengetahui intensitas warna). Selanjutnya

jaringan dimasukkan ke dalam larutan eosin dan diikuti proses dehidrasi dengan

menggunakan alkohol konsentrasi bertingkat menaik; pada saat dibilas dengan

alkohol absolut, jaringan kembali dikontrol dengan mikroskop cahaya. Proses

penjernihan (clearing) dilakukan dengan larutan xylol dan diakhiri dengan

menutup jaringan menggunakan kaca penutup dari bahan perekat Entellan®

(proses mounting).

3.13. Pewarnaan Immunohistokimia (Beesley 1995)

Tahapan pewarnaan immunohistokimia dimulai dari pembuatan sediaan

histopatolgi. Setelah deparafinasi dan dehidrasi dan rehidrasi, sediaan direndam

dalam air mengalir selama 5 menit, lalu direndam dalam akuades selama 5 menit,

kemudian direndam dalam 1 mL H2O2 30% selama 5 menit, dan sediaan

direndam diakuades selama 5 menit. Selanjutnya, sediaan direndam pada buffer

sitrat suhu 100ºC selama 20 menit, kemudian direndam di air mengalir selama 5

menit dan akuades selama 5 menit, lalu direndam dalam phosfat buffer solution

(PBS) sebanyak 2 kali masing-masing selama 2 menit. Setelah itu, sediaan ditetesi

20-30 μL antibodi primer dan diinkubasi selama 60 menit, kemudian sediaan

direndam dalam PBS sebanyak 3 kali masing-masing selama 2 menit, lalu diberi

larutan trakkie universal link sebanyak 20-30 μL dan diinkubasi 20 menit. Setelah

itu, sediaan direndam dalam PBS sebanyak 3 kali masing-masing 2 menit, lalu

ditambahkan Trek-avidin HRP pada sediaan dan diinkubasi selama 10 menit,

kemudian sediaan direndam dalam PBS sebanyak 3 kali masing-masing 2

menit.Selanjutnya sediaan diberi pewarna 3,3 diaminobenzidine (DAB) sebanyak


20-30 μL dan diinkubasi selama 2-3 menit, kemudian direndam akuades selama 5

menit, dan diberi pewarna hematoksilin selama 15 detik, lalu direndam dalam

akuades selama 5 menit, alkohol 95% sebanyak 2 kali masing-masing 30 detik,

alkohol 100% sebanyak 2 kali masing-masing 10 kali celup, kemudian direndam

dalam xilol sebanyak 3 kali masing-masing selama 15 menit. Setelah proses

pewarnaan selesai kaca preparat dikeringkan dan ditetesi dengan zat perekat 3-

aminopropiltrieksisilen dan selanjutnya ditutup dengan kaca objek, kemudian

preparat diberi label dan siap untuk diamati dibawah mikroskop cahaya.

Pengamatan terhadap sediaan dengan pewarnaan immunohistokimia adalah

melihat tingkat perbaikan jaringan hepar.


Daftar Pustaka

ADA (American Diabetes Association)., 2010. Diagnosis and Classification of


Diabetes Mellitus. Diabetes Care Vol.33:S62-9.

Beesley JE. 1995. Immuno-cytochemistry : A Practical Approach. IRL. Press


Oxford University Press. New York.

Zamora.N Leonardo And Jeffs Andrew G. 2013. A Review Of The Research On


The Australasian Sea Cucumber, Australostichopus Mollis
(Echinodermata: Holothuroidea) (Hutton 1872), With Emphasis On
Aquaculture. Journal of Shellfish Research, Vol. 32, No. 3, 613–627.

Darsono, prapto., (1998). Pengenalan Secara Umum Tentang


Teripang(Holothurians). Oseana 23 (1) 1-8.

Dewi KH. 2008. Kajian ekstraksi steroid teripang pasir (Holothuria scabra J)
sebagai sumber testosteron alami [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.

DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2006. Pedoman Umum


KelembagaanTempat Pelelangan Ikan. Direktorat Pemasaran Dalam
Negeri. Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan.
Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia

Kierman JA. 1990. Histopatological and Histochemical Methods: theory and


Practice. New York: Pergamon Press.

Martoyo, Z., Aji, M., dan Winanto, T. J. (2006). Budidaya Teripang. Edisi revisi.
Jakarta: Penebar Swadaya. Halaman 5-18.
Nurjanah S. 2008. Identifikasi steroid teripang pasir (Holothuria scabra) dan
bioassay produk teripang sebagai sumber aprodisiaka alami dalam upaya
peningkatan nilai tambah teripang [disertasi]. Bogor: Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Rahman MH, Ali MY. Pancreatic Disorders and Diabetes Mellitus. Faridpur Med.
Coll. J. 2015; 10: 36-39.

ROBERTSON,R.P., J.HARMON, P.O.TRAN and V.POITOUT. 2004. β-Cell


glucose toxicity, lipotoxicity, and chronic oxidative stress in type 2
diabetes. Diabetes 53: S119- S124.

Rusyana, Adun, (2016). Zoologi Invertebrata (teori dan praktek). Cetakan kelima.
Bandung: Alfabeta. Halaman 118-130.
Sudoyo Aru W, Setyohadi B, Idrus A, Marcellus SK, Setiati S. 2009. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.
Gartner, Hiatt LP, Strum JL, et al. Biologi Sel dan Histologi Edisi ke-6. Jakarta:
Binarupa Aksara Publisher. 2012.

Kuehnel W. Color Atlas of Cytology, Histology, and Microscopic Anatomy.


4thEdition. Germany: Thieme. 2002

Anda mungkin juga menyukai