Anda di halaman 1dari 8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi dan Biologi Ikan Peres

Ikan peres (Osteochilus kappeni) merupakan salah satu komoditas

budidaya ikan air tawar dari kelompok Cyprinidae. Nama ikan peres ialah sebutan

dalam bahasa Gayo, Aceh Tengah. Ikan peres masih dalam satu genus dengan

ikan nilem Ostheochilus hasselti, Djajadiredja et al. (1997) melaporkan

penyebaran ikan ini meliputi beberapa negara di asia tenggara seperti, Kamboja,

Malaysia, Vietnam, Thailand dan Indonesia (Pulau Kalimantan, Sulawesi, Jawa

dan Sumatra).

Klasifikasikan ikan peres (Osteochilus kappeni) menurut Bleeker (1856)

adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Actinopterygii
Ordo : Ostariophysi
Famili : Cyprinidea
Genus : Osteochilus
Spesies : Osteochilus kappeni
Nama lokal : Peres, Aceh Tengah

Sumber: UPT BBI Lukub Badak


Gambar 2.1 Ikan peres (Osteochilus kappeni)

5
Menurut Susanto, (2012) ikan yang berasal dari genus Osteochilus

memiliki beberapa ciri yang dapat dibedakan dengan ikan lain. Ikan dari genus

(Osteochilus) ini mempunyai mulut yang dapat disembulkan dan bertubuh pipih.

Mulut ikan ini terletak diujung hidung (terminal). Sirip perut terletak di belakang

sirip dada (abdominal). Terdapat sepasang sungut di sudut-sudut mulutnya yang

berfungsi sebagai peraba. Tubuhnya bewarna hijau keabu-abuan dengan sirip

punggung memiliki 3 jari-jari keras dan 12-18 jari-jari lunak.

Ciri - ciri ikan ini memiliki bentuk badan yang agak memanjang

(Compressed) yang berbeda pada ikan ini diantaranya terdapat 4 perbedaan yaitu

sirip ekor berbentuk cagak dan simetri, Pada sirip dubur memiliki 3 jari-jari keras

dan 5 jari-jari lunak, Sirip perut dan sirip dada hampir sama panjang namun sirip

perut terdiri dari 1 jari-jari keras dan 8 jari-jari lunak serta pada sirip dada terdiri

dari 1 jari-jari keras dan 13-15 jari-jari lunak. Retno, (2002) menyatakan bahwa

warna terang dibagian perut dan punggung agak berwarna kemerahan. terdapat

sisik-sisik gurat sisi dengan jumlah 33-36 (Djuhanda, 1985). Nuryanto, (2001)

menyatakan tinggi batang ekor hampir sama dengan panjang batang ekor dengan

dikelilingi 16 sisik, dan pada bagian depan sirip punggungnya dikelilingi 26 sisik

(Kottelat, 1993).

2.2 Habitat Ikan Peres (O. kappeni)

Pratiwi et al. 2011 menyatakan Ikan ini pada umumnya hidup pada

perairan yang berarus sedang, dengan dasar berpasir dengan elevasi yang tinngi,

pada kisaran pH 6,5 – 7 dan dapat hidup pada kisaran suhu 22 – 26 oC dengan

suhu optimum 18 – 28 oC (Asanawi, 1983). Oksigen terlarut untuk kehidupan ikan

ini berkisar antara 5 -8 mg/L (Cholik et al., 2005). Ikan peres ( nilem) hidup

6
dengan baik pada ketinggian 800 – 1000 mdpl namun ketingginan optimum ialah

800 mdpl, kadar oksigen pemijahan berkisar 5 – 6 mg/L dengan karbondioksida

(CO2) optimum ≤ 1 ppm (Willoughby, 1999).

2.3 Kebiasaan Makan (Food Habit) ikan Peres (O. Kappeni)

Ikan peres dikelompokkan dalam ikan bersifat omnivor cenderung

herbivorn(pemakan segala), biasanya pakan ikan nilem berupa detritus, jasad yang

menempel, perypiton dan epifiton, sehingga ikan ini cenderung hidup pada dasar

perairan pendapat ini senada dengan penyataan Khairuman dan Amri, (2008)

menyatakan pada Fase larva dan benih ikan nilem sangat menyukai pakan berupa

fitoplankton dan zooplankton. Hasil penelitian lain oleh Djajaseweka el al. (2005)

menyebutkan keterkaitan yang sama yaitu ikan nilem memanfaatkan beberapa

jenis lumut dan alga sebagai pakan dan mampu mencerna protein pada kisaran 27

– 42 % protein. Ikan nilem sering disebut sebagai ikan pembersih perairan

(biocleaning agent) karena sifatnya yang memakan detritus dan peryphyton serta

lumut yang menempel di jaring (Jangkaru, 1989) ikan ini sangat cocok diperlihara

di keramba jaring apung (KJA)

2.4 Vitamin C dan Peranannya

Untuk mempertahankan keadaan tubuh yang normal, ikan memerlukan

protein dari zat organik dengan jumlah tertentu tergantung dari jenis dan ukuran

ikan tersebut salah satunya ialah vitamin C. Endang et al., (2012) menyatakan

vitamin C berfungsi sebagai zat yang dimanfaatkan untuk kekebalan tubuh,

mengurangi stres serta mempercepat penyebuhan luka, salah satu diantaranya

yaitu vitamin C (asam ascorbat). Johnny et al. (2007) menyatakan vitamin C juga

7
berfungsi mempercepat dalam hidroksilasi dengan formulasi kolagen yang

penting untuk penyeimbangan kulit dan jaringan lainya. Ikan tidak mempunyai

enzim L-gulonolakton oksidase sehingga ikan tidak dapat mengsintesis vitamin C

sendiri oleh tubuhnya. (Sandnes et al., 1984) untuk melengkapi kebutuhan

vitamin C maka harus tersedia didalam pakan.

Penembahan dosis vitamin C dalam pakan ikan bervariasi. hasil penelitian

pada ikan lele dumbo oleh Zulkifli, (2007) menyebutkan dosis 100 mg/kg pakan

memberikan hasil terbaik, ikan betok sebanyak 375 mg/kg pakan berpengaruh

terhadap pertumbuhan dan respon imun (Sunarto et al. 2008), untuk ikan baung

sebanyak 200 mg/kg pakan memberikan pengaruh untuk pertumbuhan (Ukur,

2005) serta pada ikan patin 50 mg/kg pakan memberikan pengaruh terbaik

terhadap pertumbuhan dan nilai konversi pakan ikan Patin (Tang dan Zulkifli,

1999). Sedangkan ikan kerapu macan (Epinephelus fuscogurtatus) dapat

mempengaruhi pertumbuhan benih serta meningkatkan ketahanan tubuh ikan (Giri

et al. 2003). Mian et al. (2013) pada ikan rainbow trout menyatakan

pemberianan vitamin C dan E 50 mg/kg pakan mampu meningkatkan

pertumbuhan dan kesehatan ikan. Penelitian lain oleh Endang et al. (2012) dosis

vitamin C yang optimal 200 mg/kg dalam pakan berpengaruh terhadap

pertumbuhan dan kelulushidupan benih ikan Selais.

Semakin tinggi kadar vitamin C dalam pakan menyebabkan retensi lemak

semakin meningkat, sehingga kadar lemak ikan juga ikut naik (Jusadi et al. 2006).

Hal ini terjadi karena adanya fungsi anti oksidan dari vitamin C yang akan

melindungi asam lemak tidak jenuh sehingga tidak teroksidasi. Sehingga

pertumbuhan ikan akan semakin tinggi dan penggunaan pakan akan lebih efesien.

8
Menurut Suhartono et al. (2004) Penambahan vitamin C dalam pakan

dapat meningkatkan kadar hemoglobi. Dengan meningkatnya hemoglobin dalam

darah berdampak terhadap asupan makanan dan oksigen dalam darah sehingga

dapat diedarkan keseluruh tubuh yang akhirnya dapat mendukung kelangsungan

hidup dan pertumbuhan ikan. Selajutnya Suwirya et al. (2008) menyatakan

bahwa ikan yang mengalami defesiensi vitamin C, kandungan hemaglobinnya

dalam darah akan menurun.

2.5 Imunitas pada Ikan

Sistem imun dapat dibagi menjadi dua yaitu sistem imun spesifik dan

sistem imun non-spesifik. Sistem imun spesifik dapat dikelompokkan menjadi dua

: sistem imun spesifik humoral dan sistem imun spesifik selular. Sistem imun

spesifik humoral jika dirangsang oleh benda asing akan berkembang menjadi

plasma yang membentuk antibodi dan dilepaskan sehingga ditemukan dalam

darah. Baratawidjaja (1991) menyatakan antibodi tersebut berfungsi sebagai

pertahanan terhadap infeksi virus, bakteri (ekstraseluler) dan dapat menetralisir

toksit. Sedangkan sistem imun spesifik selular berperan melawan

mikroorganisme intraselular, seperti makrofag yang sulit dijangkau oleh antibodi

(Kresno 1996).

Sistem imun non-spesifik merupakan upaya pertahanan tubuh yang

memberikan respon langsung terhadap antigen, proses fagositosis berfungsi

sebagai pengahancur serangan benda asing secara non-spesifik. sedangkan sistem

imun spesifik tidak dapat memberikan respon langsung terhadap antigen tanpa

diawali pengenalan terlebih dahulu. Pengertian non-spesifik ditunjukan terhadap

9
mikroorganisme tertentu yang telah ada dan berfungsi sejak lahir seperti lendir

dan bagian tubuh lainya, sedangkan pengertian spesifik yaitu kemampuan untuk

mengenal benda asing yang segera dikenal dan terjadi sensitisasi sel-sel sistem

imun sehingga bila benda asing yang sama muncul maka akan dikenal lebih

cepat dan segera dihancurkan (Baratawidjaja 1991).

Salah satu upaya meningkatkan imun ikan yaitu dengan cara

meningkatkan respon imun non-spesifik makhluk hidup tersebut dengan

menggunakan imunostimulan (Secombes 1996; Rukyani et al. 1997; Johnny et

al. 2001; 2002) dan vitamin C (Johnny et al. 2005). Dalam aktivitasnya Sistem

imun yang melindungi tubuh memerlukan bahan imunostimulan yang dapat

mempercepat aktivitas imun non-spesifik sebelum imun spesifik belum

memberikan respon terhadap benda asing. vitamin C ialah salah satu bahan

imunostimulan yang dapat digunakan, sehingga fungsi kerjanya yang

menstimulasi dan menekan komponen sistem kekebalan baik respon kekebalan

spesifik maupun non-spesifik (Agrawal dan Singh 1999).

Menurut Anderson (1992) respon imunitas pada ikan dapat distimulasi

oleh imunostimulator. Jaringan limfoid ialah pembentuk respon imunitas yang

menyatu dengan myeloid yang dikenal dengan jaringan limfomyeloid pada

ikan. Organ limfomyeloid pada ikan teleostei adalah limpa, ginjal depan,

dan timus. Jaringan limfomyeloid adalah sel-sel darah dan respon imunitas baik

seluler maupun hormonal (Rijkers, 1981 dan Fange, 1982). Leukosit merupakan

jenis sel yang aktif dalam sistem pertahanan tubuh.

10
Menurut Irianto (2005) Leukosit dihasilakn oleh organ timus dan ginjal,

selanjutnya diangkut dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Chinabut et al.

(1991) menyatakan Leukosit dibagi menjadi dua yaitu agranulosit dan granulosit

berdasarkan ada tidaknya granul pada sitoplasma. Agranulosit terdiri atas limfosit

dan monosit. Granulosit terdiri atas neutrofil, eosinofil dan basofil. Anderson

(1992) juga melaporkan komunikator dan aplikasi dalam mekanisme pertahanan

humoral dan selular ikan yang berperan ialah bahwa interleukin, interferon, dan

sitokin. Oleh sebab itu, mekanisme pertahanan tubuh yang sinergis antara

pertahanan humoral dan selular ditandai dengan adanya interleukin, interferon,

dan sitokin (Alifuddin 1999).

Imunostimulan merupakan kelompok senyawa biologi dan sintetis yang

dapat meningkatkan kekebalan spesifik dan non-spesifik (Zafran et al. 1998;

Johnny et al. 2001; 2004; Johnny dan Roza 2002; 2004; Roza et al. 2002; 2003;

2004; 2005). Imunostimulan yang sering dipakai untuk imunostimulasi adalah

LPS (lipopolisakarida), levamisol, serta beberapa vitamin seperti vitamin A, B

dan vitamin C juga dapat digunakan sebagai imunostimulan (Sohne 2000 dalam

Alifuddin et al. 2001). Bahan imunostimulan salah satunya vitamin C, telah

terbukti secara positif berpengaruh terhadap respon non spesifik pada sistem imun

beberapa jenis ikan (Verlhac et al.1996; Li dan Gatlin 2003; Lin dan Shiau 2005).

2.6 Pertumbuhan Ikan dan Kelulushidupan (SR)

Pertumbuhan merupakan panjang dalam satuan waktu, Effendi, (2002)

menyatakan dalam istilah yang sederhana pertumbuhan adalah penambahan berat,

jika dilihat secara biologis pertumbuhan ialah proses yang kompleks yang

11
dipengaruhi oleh berbagai faktor. Laju anabolisme akan melebihi laju katabolisme

dalam proses pertumbuhan (Wahyuningsih dan Alexander, 2006). Wiadnya,

(2000) menyatakan pertumbuhan pada ikan dapat dipengaruhi oleh faktor dalam

dan faktor luar, factor dalam yang yang berperan seperti kandungan oksigen

terlarut (O2), suhu air, ammonia, salinitas serta fotoperiode, pada factor dalam

yang berpengaruh yaitu seks, umur, keturunan, parasit serta penyakit. Kedua

factor tersebut berjalan beriringan dengan faktor lainya seperti nutrisi yang

terkandung dalam pakan serta kemampuan ikan dalam mencerna makanan.

Kelulushidupan merupakan kamampuan ikan dalam bertahan hidup,

dengan perbandingan jumlah individu yang hidup pada akhir penelitian dengan

jumlah individu pada awal penelitian, kelulushidupan (sintasasan) dipengaruhi

oleh faktor biotik dan abiotik, faktor biotik seperti parasit, competitor,

kemampuan beradaptasi, serta penanganan manusia terhadap ikan sedangkatn

faktor abiotik yang berpengaruh ialah faktor fisika dan kimia pada lingkungan

(Rika, 2008)

12

Anda mungkin juga menyukai