Anda di halaman 1dari 14

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus)


Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus) merupakan ikan tawar yang paling
tinggi produksinya dan sudah dibudidayakan di seluruh propinsi di Indonesia. Di
Indonesia terdapat beberapa macam strain ikan mujair, yaitu sinyonya, punten,
kumpay, majalaya, kancra domas, taiwan dan merah (Sari et al., 2017). Ikan mujair
merupakan salah satu sumber protein hewani untuk memenuhi gizi masyarakat
Indonesia, sehingga ikan mujair ini mejadi salah satu komoditas ikan tawar yang
banyak dikembangkan di Indonesia (Rupina et al., 2016).
Ikan mujair tergolong jenis ikan yang sangat toleran terhadap perbedaan suhu
air antara 14-32º C. Suhu air optimum yang baik untuk pertumbuhan ikan mujair
berkisar 22-28º C. Ikan mujair mampu beradaptasi terhadap perubahan kandungan
oksigen yang terlarut dalam perairan (Arifin, 2016). Ikan mujair mampu beradaptasi
terhadap perlakuan fisik seperti seleksi, penampungan, penimbangan, dan
pengangkutan. Sifatnya yang sangat adaptif terhadap lingkungan baru, ikan mujair
dengan berbagai strain-nya tersebar hampir di seluruh penjuru dunia (Ndobe & Ya,
2016).

Gambar 2.1 Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus)


Sumber: (Sufyan et al., 2019)
2

1.1.1 Klasifikasi Ikan Mujair

Sifatnya yang sangat adaptif terhadap lingkungan baru, sehingga sangat


mudah untuk ikan mujair beradaptasi di lingkungan baru. Ikan mujair banyak
memiliki sebutan, dalam bahasa Inggris disebut common carp. Di pulau Jawa, ikan
mujair. Ciri khas dari ikan mujair yaitu dagu berwarna kekuning-kuningan dan
tanda tersebut biasanya akan terelihat lebih jelas pada ikan jantan yang sudah
dewasa. Ikan ini memiliki panjang tubuh dua sampai tiga kali dari tinggi badannya
(Prafiadi, Maturahmah, & Barat, 2020). Klasifikasi ikan mujair berdasarkan ilmu
taksonomi hewan (system pengelompokan hewan berdasarkan bentuk tubuh dan
sifat-sifatnya) sebagai berikut.
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Actinopterygii
Ordo : Perciformes
Famili : Cichlidae
Genus : Oreochromis
Spesies : Oreochromis mossambicus
(Sufyan et al., 2019)

1.1.2 Morfologi Ikan Mujair

Ciri-ciri morfologi merupakan ciri-ciri yang menunjukkan bentuk dan


struktur suatu organisme. Karakteristik ikan mujair memiliki bentuk tubuh yang
agak memanjang dan sedikit memipih ke samping (compressed) serta mempunyai
ekor yang berwarna jingga kemerahan jika sudah tumbuh dewasa. Tubuh ikan
mujair ditutupi oleh sisik kecuali pada beberapa strain yang memiliki sedikit sisik.
Moncongnya terletak di ujung tengah (terminal). Bibir ikan mujair terdapat dua
pasang sungut (berbel) dan tidak bergigi. Bagian dalam mulut terdapat gigi
kerongkongan (pharynreal teeth) sebanyak tiga baris berbentuk geraham (Prafiadi
et al., 2020).
Sirip punggung ikan mujair memanjang dari pangkal kepala (chepal) sampai
anal dan bagian pada siripnya terdapat duri yang digunakan untuk alat
3

perlindungan diri. Sirip pungunggnya (dorsal) berjari keras, sedangkan di bagian


akhir bergigi. Seperti halnya, sirip punggung, bagian belakang sirip dubur (anal)
ikan mujair ini berjari keras dan bergigi pada ujungnya. Sirip ekor menyerupai
kipas yang simetris dan berwarna jingga kemerahan. Sisik ikan mujair relatif besar
dan transparan dengan tipe sisik (cycloid) yang terletak beraturan. Terdapat bagian
garis rusuk (linea lateralis) yang terdapat di sepanjang tubuh dengan posisi
melintang dari tutup insang sampai ke ujung belakang pangkal ekor (Lentera,
2012).

2.1.3 Sisik ikan

Sisik ikan merupakan limbah yang belum dimanfaatkan dengan optimal.


Sisik ikan dalam skala industri (diperoleh dari industri fillet ikan) dapat
dimanfaatkan sebagai sumber kolagen. Sisik ikan mengandung proksimat,
kalsium, kitin, alkaloid, benedict, bluret, dan ninhidrin . Sisik ikan merupakan
lapisan terluar dari kulit yang berfungsi sebagai pelindung yang mencegah
masuknya senyawa / benda asing ke dalam tubuh ikan. Variasi sisik ikan ini sangat
luas, dapat dibedakan atasa bentuk, ukuran dan susunannya. Klasifikasi umum
terdiri atas cosmoid, ganoid, placoid, dan elasmoid (cycloid dan ctenoid) yang
sering ditemukan pada kelas teleost (Setyowati & Setyani, 2015).
Meningkatnya produksi ikan yang semarak di kalangan masyarakat akan
diikuti juga peningkatan limbah ikan baik berupa kulit dan sisik ikan, saat ini
belum ada upaya untuk mengolah lebih lanjut limbah perikanan yang berupa kulit
dan sisik ikan. Limbah kulit dan sisik ikan berpotensi dapat dimanfaatkan
sebagai bahan baku pembuatan kolagen. Salah satu permasalahan utama yang
timbul adalah belum tersedianya unit pengolahan limbah perikanan, khususnya
untuk pengolahan kulit dan sisik ikan. Kulit dan sisik ikan ini merupakan salah
satu sumber utama dari kolagen (Kurniasari, 2010).

Gambar 2.2 Sisik Ikan Mujair


Sumber: (Sufyan et al., 2019)
4

2.1.4 Kolagen

Kolagen merupakan protein yang terdapat pada hewan vertebrata dan


invertebrate. Keberadaan kolagen yang rata – rata mencapai 30% dari seluruh
protein yang terdapat didalam tubuh. Kolagen merupakan struktur organic
pembangun tulang, gigi, sendi, otot, dan kulit. Serat kolagen memiliki daya tahan
yang kuat terhadap tekanan dan hingga kini terdapat sekitar 28 tipe kolagen yang
telah di identifikasi. Kolagen mempunyai beberapa tipe, dan tipe- tipe tersebut
terdapat berbagai macam jaringan, antara lain tipe I terdapat pada kebanyakan
jaringan ikat, seperti kulit, tendon, pembuluh darah, serta terdapat di bagian tulang
dan terdapat ekstraksi kolagen dari sisik ikan mengandung kolagen fiber dan
calcium hydroxyapatite (Ca5(PO4)3OH); tipe II terdapat pada bagian kartilago;
tipe III terdapat pada bagian pembuluh darah; tipe IV terdapat pada bagian
membrane basalis pada semua organ; tipe V terdapat pada mata, mata, jaringan
dan tendon; tipe VI terdapat pada hati, ginjal, dan perikondrium; tipe VII terdapat
pada ditengah epidermis dengan dermis; tipe VIII terdapat pada bagian sel
endothelial; tipe IX terdapat pada bagian kartilago; tipe X terdapat pada bagian
kartilago hipertofik dan kartilago yang dimineralkan; tipe XI terdapat pada bagian
kartilago; tipe XII terdapat pada bagian tendon dan kolagen fibril yang terasosiasi;
tipe XIII terdapat pada bagian folikel rambut, epidermis, dan sel-sel pada akar
kuku; tipe XIV hampir sama dengan tipe I; tipe XV terdapat pada banyak dibagian
homolog dan jaringan tertentu; tipe XVI masih belum ditemukan; tipe XVII
terdapat dibagian hemidesmosome dan kulit; tipe XVIII terdapat pada bagian
ginjal dan hati; tipe XIX terdapat pada bagian mata, otak, dan jaringan embrionik;
tipe XX–XVIII terdapat pada hanya bagian transmembran (Nurhayati &
Peranginangin, 2009).
Kolagen yang rata – rata banyak digunakan oleh industri berasal dari kulit
babi dan kulit sapi. Produk yang berbahan dasar kolagen yang berasal dari babi
sangat diharamkan bagi umat islam, sementara penggunaan kolagen dari kulit sapi
dapat menimbulkan potensi akan terjangkitnya beberapa penyakit seperti sapi gila
(mad cow), penyakit kuku dan mulut (foot and mouth), serta Bovine Spongiform
Encephalopathy (BSE). Limbah perikanan dapat dijadikan alternatif sumber
5

kolagen, sehingga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan kolagen yang halal dan
mengurangi nilai tambah limbah perikanan khususnya di Indonesia. Bahan baku
limbah perikanan yang dapat digunakan untuk memproduksi kolagen terdapat
beberapa macam yaitu tulang ikan, kulit ikan dan sisik ikan. Serat kolagen
memiliki daya tahan yang kuat terhadap tekanan (Nurhayati & Peranginangin,
2009).
Kolagen terbagi menjadi enam kelompok yaitu kolagen fibrillar, jaringan,
fibrillar terasosiasi, verankerungsifibrillen, rangkaian mutiara, dan transmembran.
Kolagen juga digunakan dalam bedah cardiovascular, ophthalmology, bedah
plastik, urologi, neurologi, dan ortopedik (Nurhayati & Peranginangin, 2009).
Kolagen dari luar berfungsi dalam fase maturasi, dan membantu kolagen lama
yang di dalam tubuh untuk memberikan bantuan pada jaringan baru untuk
pembentukan serabut – serabut kolagen pada waktu fase remodeling saat
penyembuhan luka (Setyowati & Setyani, 2015). Sisik ikan juga dapat
dimanfaatkan kembali, dikarenakan di dalam sisik ikan terdapat senyawa kimia
yang mempunyai kadar 41% - 84% yang berupa protein organik (kolagen dan
ichtylepidin) dan sisanya merupakan garam organik dan residu mineral seperti
kalsium karbonat dan magnesium karbonat. Terdapat beberapa komponen yang
terkandung didalam sisik ikan antara lain adalah 70% air, 27% protein, 2% abu,
dan 1% lemak. Sisik ikan mengandung senyawa organik sebesar 40% - 90% dan
selebihnya mengandung kolgen sisik ikan, tanpa memperhatikan spesies ikan
tersebut (Budirahardjo, 2010).

2.2 Gel
Menurut Christanti, Putri, & Agustina (2016) gel merupakan sediaan semipadat
yang jernih, tembus cahaya dan mengandung zat aktif. Gelomerupakanosediaan
semipadateyang terdiri dari suspensi yangodibuat dari partikel anorganik yang kecil
atau molekul organikoyang besarnterpenetrasi oleh suatu cairan. Sediaan gelodipilih
karena mudah mengering, membentuk lapisanofilm yang mudah dicuciedan
memberikan rasa dingin di kulit (Sayuti, 2015). Gel mempunyai beberapa sifat antara
lain yakni melembabkan, menyejukan, mudah penggunaanya, mudah berpenetrasi
6

pada kulit sehingga memberikan efek yang nyaman dan mudah untuk penyembuhan
luka (Mursyid, 2015).

2.2.1 Proses Pembuatan Gel

Pada penelitian ini dibuat sediaan gel dengan kosentrasi ekstrak yaitu 3%,
7% dan 11%. Bahan yang akan diperlukan disiapkan, kemudian menimbang bahan
dengan formulasi yang ada. Mengekstrak dengan konsentrasi 3% melarutkan
dalam sebagian air kemudian memanaskan dengan suhu 50°C, ditambahkan Na-
CMC dan diaduk hingga homogen, menambahkan gliserin, propilenglikol dan
aquades dengan pengadukan secara kontininyu hingga terbentuk gel. Gel yang
telah terbentuk kemudian disimpan ditempat yang gelapdan dingin selama
semalam. Prosedur ini juga sama dilakukan pada ekstrak 3%, 7% dan 11% (Lidia,
Amalia, & Vebriolla, 2018)

2.3 Luka

2.3.1 Definisi Luka

Luka dapat diartikan sebagai diskontinuitas dari suatu jaringan atau suatu
keadaan rusaknya sebagian dari beberapa jaringan tubuh. Kerusakan ini dapat
disebabkan oleh trauma benda tajam dan benda tumpul, perubahan suhu, zat
kimia, ledakan, sengatan listrik atau gigitan serangga (Purnama, Ratnawulan,
Farmasi, & Padjadjaran, 2017). Ketika terjadi luka, tubuh secara otomatis
melakukan proses penyembuhan luka melalui kegiatan biokimia dan bioseluler
yang terjadi secara komplek. Berdasarkan waktu dan proses penyembuhannya,
luka dapat diklasifikasikan menjadi luka akut dan luka kronik, luka akut
merupakan cedera jaringan yang dapat pulih kembali seperti keadaan normal
dengan bekas luka yang minimal dalam rentang waktu 7-14 hari, sedangkan
luka kronik merupakan luka dengan proses pemulihan yang lambat, dengan
waktu penyembuhan lebih dari 12 minggu dan terkadang dapat menyebabkan
kecacatan.
Penyebab utama dari luka kronik adalah cedera mekanikal karena faktor
eksternal, dimana terjadi kontak antara fisiologis sehingga darah susah
7

melakukan fase remodelisasi dan sering terjadi pembusukan di sekitar luka


(seperti diabetes mellitus), infeksi terus-menerus, dan rendahnya tindakan
pengobatan yang diberikan. Luka akut yang menjadi salah satu penyebabnya
adalah kegagalan pemulihan karena kondisi penyakit turunan salah satunya
ialah hemofilia (darah sukar membeku), sehingga pada fase remodeling sangat
susah luka untuk menutup, sedangkan jika normal dalam penyembuhan luka
maka akan mengalami pembentukan jaringan fibrin, kemudian memproduksi
agen pembekuan darah dan menyebabkan pendarahan terhenti (Purnama et al.,
2017). Luka dalam aktifitas sehari – hari sering terjadi kapan pun, berdasarkan
penyebabnya luka dapat dibagi atas luka karena luka mekanis dan zat kimia.
Pada luka mekanis, biasanya luka yang terjadi bervariasi bentuk dan dalamnya
sesuai dengan benda yang mengenainya sedangkan zat kimia merupakan luka
yang disebabkan oleh cairan yang bersifat asam (Christanti et al., 2016).

2.3.2 Luka Insisi

Luka insisi merupakan luka yang dibentuk karena cedera atau


pembedahan. Luka insisi ini sering terjadi dalam aktivitas karena teriris oleh
benda tajam. Luka ini umumnya disebabkan oleh benda tajam, biasanya
mencakup seluruh luka benda-benda seperti pisau, kaca, seng, dan lain – lain
(Pratiwi, 2015). Luka insisi merupakan hasil dari prosedur invasif yang biasa
dilakukan untuk prosedur pemeriksaan atau pengobatan suatu penyakit
(Rahmawati, 2015). Klasifikasi luka berdasarkan mekanisme cedera terdiri dari
luka insisi, luka kontusi, luka laserasi atau luka tusuk, sedangkan klasifikasi
luka berdasarkan tingkat kontaminasi luka saat pembedahan terdiri dari luka
bersih, luka kontaminasi bersih, luka terkontaminasi, dan luka kotor atau
terinfeksi (Veterinaria et al., 2011).

2.4 Proses Penyembuhan Luka

2.4.1 Tahapan Penyembuhan Luka

Penyembuhan luka merupakan sebuah proses transisi yang paling


kompleks dalam fisiologi manusia yang memiliki 3 fase utama yang dapat
8

melibatkan serangkaian reaksi dan interaksi kompleks antara sel dan mediator
(Prasetyono, 2009). Tipe penyembuhan luka terbagi menjadi tiga macam,
berdasarkan karakteristik jumlah jaringan yang hilang yaitu, penyembuhan luka
primer (primary intention healing), penyembuhan luka sekunder (secondary
intention healing), dan penyembuhan luka tersier (tertiary intention healing)
(Hariyanto, Herawati, & Wahyuningsri, 2015). Menurut Qomariyah (2014)
penyembuhan luka adalah suatu bentuk proses usaha untuk memperbaiki
kerusakan yang terjadi. Komponen utama dalam proses penyembuhan luka adalah
kolagen disamping sel epitel. Fibroblas adalah sel yang bertanggung jawab untuk
sintesis kolagen.

Gambar 2.3 Luka insisi pada mencit


(Sumber : Qomariyah, 2014)
Proses penyembuhan luka memiliki 3 fase yaitu fase inflamasi, fase
proliferasi dan maturasi (Purnama et al., 2017).
a. Respons inflamasi akut terhadap cedera. Durasi waktu yang dibutuhkan pada
fase ini sekitar 0-3 hari, perubahan yang terjadi yakni dengan vasokontriksi
pada pembuluh darah yang rusak dengan membentuk trombosit dan diperkuat
dengan serabut fibrin untuk membentuk bekuan. Pada jaringan yang rusak
akan melepaskan histamin dan mediator lain sehingga menyebabkan
vasodilatasi pada pembuluh darah yang tidak rusak untuk memberikan suplai
darah ke daerah yang rusak sehingga pada daerah tersebut terasa hangat dan
berwarna kemerahan. Permeabilitas kapiler meningkat dan cairan yang kaya
protein mengalir ke ruang interstisial, menyebabkan edema lokal dan mungkin
kehilangan fungsinya. Leukosit polimorfonuklear dan makrofag bermigrasi
keluar dari kapiler dan masuk ke daerah yang rusak sebagai reaksi terhadap
9

agens kemotaktik yang dipacu dengan adanya cedera (Purnama et al., 2017).
Menurut Sussman dan Jensen (2007), tanda dan gejala klinis pada fase
inflamasi terdiri dari kemerahan (rubor), teraba hangat (calor), nyeri (dolor),
adanya pembengkakan (tumor) dan hilangnya fungsi (fungsiolesa) .
b. Fase proliferasi terjadi sekitar 3-24 hari, fibroblas mulai meletakkan substansi
dasar dan serabut-serabut kolagen serta pembuluh darah mulai menginfiltrasi
luka, Setelah membentuk kolagen maka akan terjadi peningkatan yang cepat
pada kekuatan rengangan luka. Kapiler dibentuk oleh endotelial, yang disebut
angiogenesis, dan dengan adanya kapiler baru tersebut maka bekuan fibrian
akan dikeluarkan. Tanda-tanda inflamasi mulai berkurang. Granulasi mulai
terbentuk dan berwarna merah terang (Purnama et al., 2017). Fase proliferasi
akan berakhir setelah tertutupnya permukaan luka, epitel dermis dan lapisan
kolagen terbentuk.
c. Fase maturasi atau remodeling terjadi sekitar 24-365 hari setelah cedera.
Hilangnya kulit, sel epitel pada pinggir luka dan sisa-sisa folikel rambut, serta
glandula sebasea dan glandula sudorifera, yang diakibatkan oleh cedera
membelah dan mulai bermigrasi di atas jaringan granula baru. Jaringan
tersebut hanya bisa bergerak di atas jaringan yang hidup maka mereka lewat
di bawah dermis yang mengering. Kontraksi luka disebabkan karena
miofibroblas kontraktil yang membantu menyatukan tepi-tepi luka. Terdapat
suatu penurunan progresif dalam vaskularitas jaringan parut yang berubah
warnanya dari merah kehitaman menjadi putih. Serabut-serabut kolagen
mengadakan reorganisasi sehingga kekuatan regangan meningkat (Purnama et
al., 2017). Menurut Sussman dan Jensen (2015), tanda dan gejala klinis pada
fase maturasi adalah inflamasi sudah hilang, fibroblas sudah meninggalkan
granulasi dan jaringan berwana merah muda.

2.4.2 Faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka

Faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka dibagi menjadi dua macam


yaitu faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor Intrinsik yaitu ketika luka terinfeksi,
respon inflamatori berlangsung cukup lama dan penyembuhan luka menjadi
10

terlambat. Faktor ektrinsik dapat memperlambat penyembuhan luka meliputi


perubahan usia, malnutrisi, dan penyakit seperti diabetes melitus (DM).
Malnutrisi dapat mempengaruhi beberapa area dari proses penyembuhan.
Kekurangan protein juga dapat menurunkan sintesa dari kolagen dan leukosit.
Ketika luka terinfeksi, respon inflamatori berlangsung cukup lama dan
penyembuhan luka menjadi terlambat. Luka tidak akan sembuh selama terjadi
infeksi pada area luka (Dictara, Angraini, & Musyabiq, 2018).

2.4.3 Faktor-faktor yang Menghalangi Penyembuhan Luka

Sjamsuhidajat dan Jong (1997) menyatakan bahwa terdapat beberapa


faktor yang dapat mempengaruhi penghalang penyembuhan luka yaitu faktor
lokal dan faktor umum.
1. Faktor lokal
a. Oksigenasi
Oksigenasi merupakan faktor terpenting yang berpengaruh pada
kecepatan penyembuhan. Secara klinik, pada daerah dengan
vaskularisasi yang baik luka lebih cepat sembuh daripada jaringan
dengan vaskularisasi yang buruk. Penyembuhanya bakal terlang jka
jahitan atau balutan kasa pada luka terlalu ketat.
b. Hematoma
Hematoma atau seroma menghalangi penyembuhan dengan
menambah jarak tepi-tepi luka dan jumlah debriment yang diperlukan
sebelum fibrosis dapat terbentuk. Selain itu produk darah merupakan
salah satu media subur untuk pertumbuhan bakteri dan infeksi luka.
c. Teknik operasi
Penyembuhan luka normal membutuhkan keseimbangan antara
lisis kolagen dan pembentukan kolagen. Enzim kolagenase
menggerakkan kolagen sebagai bagan dari proses “remodeling‟. Pada
pembuatan luka abdomen, kolagenase melemahkan pasien sampai 6 mm
dari tepi sayat. Jahitan harus terletak dibawah daerah lemah, agar tetap
bisa melekat kuat sampai proses penyembuhan memperbaiki kekuatan
11

ke arah perbaikan. Lisis kolagen bisa meningkat bila ada infeksi. Hal ini
bisa dijelaskan mengapa luka memburuk pada pasien dengan luka
terinfeksi.
2. Faktor umum
a. Nutrisi
Kekurangan vitamin C dapat menghalangi hidroksilasi lisin dan
prolin, sehingga kolagen tidak dapat dikeluarkan oleh fibroblas.
b. Seng
Seng sangat diperlukan dalam proses penyembuhan pada penderita luka
bakar yang parah, tetapi aksinya belum diketahui dengan jelas dikarenakan
penelitiannya masih lanjut.
c. Steroid
Steroid dapat menghalangi penyembuhan dengan menekan proses
peradangan dan bisa menambah lisis kolagen. Efeknya nyata selama 4 hari
pertama. Setelah itu, efeknya bisa berkurang hanya untuk menghambat
ketahanan normal terhadap infeksi.
d. Sepsis
Sepsis sistemik dapat memperlambat penyembuhan. Mekanisme ini
belum bisa diketahui, tapi berhubungan dengan kebutuhan asam amino
untuk dapat membentuk molekul kolagen.
e. Obat sitotoksik
Obat-obatan jenis 5-fluorourasil, siklofosfamid, metotreksak dan
mustrat nitrogen dapat menghalangi penyembuhan luka dengan cara
menekan pembelahan fibrobas dan pembentukan kolagen.

2.5 Mencit (Mus musculus) Jantan


Mencit adalah hewan yang mudah ditangani, penakut, fotofobik, cenderung
sembunyi dan berkumpul bersama sesamanya, lebih aktif pada malam hari, suhu
normal 37,5ºC dan laju respirasi normal 163/menit. Mencit merupakan mamalia yang
memiliki waktu berkembang biak yang relatif cepat (Kartika, 2013). Mencit juga
memiliki komponen darah serta organ-organ yang dapat mewakili mamalia.
12

Mencit (Mus musculus) termasuk mamalia pengerat (Rodensia) yang cepat


berkembang biak, mudah dipelihara dalam jumlah banyak, variasi genetiknya cukup
besar serta sifat anatomis dan fisiologisnya terkarakteristik dengan baik (Akbar, 2010).
Klasifikasinya adalah sebagai berikut (Kartika, 2013) :
Kingdom : Animalia
Class : Mammalia
Order : Rodentia
Family : Muridae
Genus : Mus
Spesies : Mus musculus
Mencit (Mus musculus) merupakan hewan yang paling umum digunakan pada
penelitian laboratorium sebagai hewan percobaan, pada umumnya persentase bahan
percobaan pada mencit yaitu sekitar 40-80%. Mencit memiliki beberapa keunggulan
yang cukup banyak sebagai hewan percobaan (khususnya digunakan dalam penelitian
laboratorium biologi), yaitu siklus hidup yang relatif pendek, variasi sifat-sifatnya
tinggi, jumlah anak per kelahiran banyak, dan sangat mudah dalam penanganannya
(Hasanah & Masri, 2015).

2.6 Hasil Penelitian Sebagai Pemanfaatan Sumber Belajar


Sumber belajar sangat membantu dalam berlangsungnya kegiatan belajar.
Secara garis besar dari kegiatan perencanaannya sumber belajar dibagi menjadi dua,
antara lain; sumber belajar yang dimanfaatkan dan sumber belajar yang dirancang.
Sumber belajar yang sudah dirancang untuk memberikan fasilitas belajar mengajar
yang terarah dan bersifat normal. Sumber belajar yang dimanfaatkan tidak
dirancang untuk keperluan pembelajaran secara khusus dan diterapkan,
dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran, serta keberadaannya dapat ditemukan
(Hamid, 2016).
Dalam hubungannya dengan fungsi sumber belajar mengajar, Morrison dan
Kemp mengatakan bahwa sumber belajar yang ada agar dapat difungsikan dan
dimanfaatkan dengan sebaik mungkin dalam proses pembelajaran. Jonassen
(2015) Berikut ini fungsi dari sumber belajar untuk:
13

1. Meningkatkan produktivitas pembelajaran, melalui:


A. mempercepat laju belajar dan membantu pengajar untuk menggunakan waktu
secara lebih baik
B. mengurangi beban guru/dosen dalam menyajikan informasi, sehingga dapat
lebih banyak membina dan mengembangkan gairah belajar murid/mahasiswa;
2. Memberikan kemungkinan pembelajaran yang sifatnya lebih individual, melalui:
A. mengurangi kontrol guru/dosen yang kaku dan tradisional,
B. memberikan kesempatan kepada murid/mahasiswa untuk belajar sesuai
dengan kemampuannya;
3. Memberikan dasar yang lebih ilmiah terhadap pengajaran, melalui:
A. perencanaan program pembelajaran yang lebih sistematis,
B. pengembangan bahan pembelajaran berbasis penelitian;
4. Lebih memantapkan pembelajaran, melalui:
A. peningkatkan kemampuan manusia dalam penggunaan berbagai media
komunikasi,
B. penyajian data dan informasi secara lebih konkrit;
5. Memungkinkan belajar secara seketika, melalui
A. pengurang jurang pemisah antara pelajaran yang bersifat verbal dan abstrak
dengan realitas yang sifatnya konkrit.
B. memberikan pengetahuan yang bersifat langsung;
6. Memungkinkan penyajian pembelajaran yang lebih luas, terutama dengan adanya
media massa, melalui:
A. pemanfaatan secara bersama yang lebih oleh luas tenaga tentang kejadian-
kejadian yang langka,
B. penyajian informasi yang mampu menembus batas geografis.
14

2.7 Kerangka Konsep

Insisi Punggung
Mencit jantan Gel Sisik Ikan Mujair
Dapat Mempercepat
Proses Penyembuhan Luka
Terbentuk Luka Insisi Pada Mencit Jantan
Insisi

Penyembuhan Kolagen Protein Organik Residu Mineral


Luka (Durasi) (Kolagen dan Garam
Ichtylepidin) Inorganik

Luka Sembuh

Variabel yang diteliti :


Variabel yang tidak diteliti :

Gambar 2.4 Kerangka Konsep

3.2 Hipotesis
Ada pengaruh berbagai konsentrasi gel sisik ikan mujair (Oreochromis
mossambicus) dalam mempercepat proses penyembuhan luka insisi pada mencit
jantan (Mus musculus)

Anda mungkin juga menyukai