Anda di halaman 1dari 15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Hewan

Teripang atau timun laut (Sea Cucumber) termasuk dalam filum

Echinodermata yang merupakan salah satu biota laut yang banyak ditemukan di

perairan Indonesia, sebab secara geografis perairan Indonesia terletak di antara

Samudera Pasifik dan Samudera Hindia merupakan habitat terbaik untuk hewan

teripang (Conand dan Byrne, 1993). Teripang adalah hewan tidak bertulang

belakang dengan tubuh berbentuk silinder. Bentuk tersebut menyerupai mentimun

sehingga teripang dikenal dengan nama mentimun laut (sea cucumber) (Martoyo,

et al., 2006). Teripang Pearsonothuria graeffei berwarna krim sampai cokelat

dengan banyak bintik berwarna hitam. Tubuhnya memanjang dibagian perut

dengan lipatan melintang. Terdapat 23-28 tentakel pada mulut bagian depan.

Permukaan anus tidak terdapat gigi ataupun papila. Permukaan punggung (dorsal)

dan perut (ventral) tampak kasar (Conand, et al., 2012). Gambar teripang

Pearsonothuria graeffei dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1. Teripang Pearsonothuria graeffei

6
2.1.1 Sistematika hewan

Determinasi/identifikasi sampel teripang di Pusat Penelitian Oseanografi

LIPI, dengan hasil sebagai berikut:

Filum : Echinodermata

Kelas : Holothuroidea

Ordo : Aspidochirotida

Famili : Holothuriidae

Genus : Pearsonothuria

Spesies : Pearsonothuria graeffei (Semper, 1868).

2.1.2 Habitat

Teripang dapat ditemukan hampir di seluruh perairan pantai di Indonesia,

mulai dari daerah pasang-surut yang dangkal sampai perairan yang lebih dalam.

Teripang lebih menyukai perairan yang jernih dan airnya relatif tenang.

Umumnya, masing-masing jenis teripang mempunyai habitat yang spesifik, ada

jenis teripang yang hidup berkelompok dan ada pula yang hidup soliter (sendiri).

Teripang umumnya menempati ekosistem terumbu karang yang jernih, bebas dari

polusi, air relatif tenang dengan kualitas air cukup baik. Habitat ideal bagi

teripang adalah air laut dengan salinitas 29-33 % yang memiliki kisaran pH 6,5-

8,5; kecerahan air 50-150 cm; kandungan oksigen terlarut 4-8 ppm dan suhu air

laut 20-25O C (Widodo, 2012).

Penyebaran teripang di Indonesia sangat luas. Beberapa daerah penyebaran

antara lain meliputi perairan pantai Madura, Bali, Lombok, Aceh, Bengkulu,

Bangka, Riau, Belitung, Kalimantan (Barat, Timur dan Selatan), Maluku, Timor,

Kepulauan Seribu, dan Sulawesi (Widodo, 2012). Daerah Sulawesi Selatan

7
(Makassar) yang merupakan salah satu penghasil dan pengekspor teripang utama

di Indonesia. Macam-macam teripang yang terdapat di Makassar adalah

Actinopyga echinites, Actinopyga mauritiana, Bohadschia argus, Holothuria

scabra, Stichopus hermanni, Thelenota ananas dan Pearsonothuria graeffei

(Lovatelli, et al., 2004). Habitat dari Pearsonothuria graeffei yaitu terumbu

karang, lereng terumbu, di perairan dangkal pada kedalaman 0 dan 25 meter

(Conand, et.al., 2012).

2.1.3 Morfologi

Teripang memiliki mulut dan anus yang terletak di ujung poros

berlawanan, yaitu mulut di anterior dan anus di posterior, disekitar mulut teripang

terdapat tentakel yang dapat dijulurkan dan ditarik dengan cepat (Karnila, 2011).

Teripang merupakan salah satu anggota hewan berkulit duri (Echinodermata).

Namun, tidak semua jenis teripang mempunyai duri kulitnya. Ada beberapa jenis

teripang yang tidak berduri. Duri-duri pada teripang tersebut sebenarnya

merupakan rangka atau skelet yang tersusun dari zat kapur dan terletak di dalam

kulitnya. Rangka dari zat kapur tersebut tidak dapat dilihat dengan mata biasa.

Oleh karena sangat kecil, rangka baru bisa dilihat dengan bantuan mikroskop

(Martoyo, et al., 2006).

Ukuran teripang Pearsonothuria graeffei kering adalah sekitar 15 cm.

Duri-duri pada teripang Pearsonothuria graeffei dapat dilihat menggunakan

mikroskop dengan bentuk batang, rossete (20-90 µm), pseudo-tables (30-50 µm)

yang berasal dari tubuh teripang (Conand, et al., 2012).

8
2.1.4 Manfaat teripang

Penggunaan teripang sudah dikenal sejak 300 tahun lalu pada masyarakat

pulau Langkawi di Semenanjung Malaya digunakan sebagai antiseptik tradisional.

Biasanya air sari teripang diminumkan kepada wanita sehabis melahirkan untuk

menghentikan pendarahan dan mempercepat proses penyembuhan luka khitan

pada anak laki-laki masyarakat tersebut (Karnila, 2011). Masyarakat umumnya

masih melakukan pengolahan tradisional, yaitu teripang dimanfaatkan sebagai

bahan pangan baik dalam bentuk basah maupun dalam bentuk makanan olahan

seperti bakso dan capcay. Sejarah bangsa Cina diketahui penggunaan teripang

sebagai sumber nutrisi, untuk mengatasi gangguan ginjal, menjaga sistem

reproduksi, mengatasi kelelahan, impotensi dan konstipasi. Sejak tahun 1990,

teripang (sea cucumber) diketahui sebagai salah satu sumber kondroitin sulfat

atau disebut juga sea chondroitin yang berguna untuk mengurangi nyeri akibat

rematik saperti rhematoid arthritis atau osteoathirits (Sendih dan Gunawan, 2006).

Pearsonothuria graeffei atau disebut juga teripang bintik hitam yang

dibudidayakan di Sulawesi Selatan (Makassar) berkhasiat sebagai antikanker

karena memiliki kandungan glikosida triterpene sulfat yaitu holothurin A (HA)

dan 24-dehydroechinoside A (DHEA). Selain HA dan DHEA, kandungan lain

dari teripang ini yaitu triterpenoid saponin, glikolipid, dan kondroitin sulfat

(Bordbar, et al., 2011). Pemberian serbuk teripang Stichopus variegatus diteliti

memiliki aktivitas antidiabetik dan meningkatkan superoxide dismutase yang

mampu menurunkan kadar gula darah tikus hiperglikemik yang diinduksi aloksan

(Fitriah, et al., 2013) karena teripang Stichopus variegatus memiliki senyawa

yang sama dengan teripang Pearsonothuria graeffei (Bordbar, et al., 2011).

9
2.1.5 Kandungan senyawa kimia teripang

a. Saponin

Saponin merupakan senyawa glikosida triterpenoida dan glikosida steroida

yang merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun serta dapat

dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan menghemolisa sel

darah merah. Pola glikosida saponin kadang-kadang rumit, banyak saponin yang

mempunyai satuan gula sampai lima dan komponen yang umum ialah asam

glukuronat (Harborne, 1987).

Larutan yang sangat encer dari saponin sangat beracun untuk ikan, dan

tumbuhan yang mengandung saponin telah digunakan sebagai racun ikan dan

beberapa saponin bekerja sebagai antimikroba. Dikenal dua jenis saponin yaitu

glikosida triterpenoid alkohol dan glikosida struktur steroid tertentu yang

mempunyai rantai samping spirorektal. Kedua jenis saponin ini larut dalam air

dan etanol tetapi tidak larut dalam eter. Aglikonnya disebut sapogenin diperoleh

dengan hidrolisis dalam suasan asam atau hidrolisis memakai enzim, dan tanpa

bagian gula ciri kelarutannya sama dengan ciri sterol lain (Robinson, 1995).

Hasil laporan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa saponin merupakan

komponen bioaktif yang memberikan manfaat seperti antidiabetes,

antihiperlipidemia, dan menghambat lipid peroxida. Jadi saponin dapat

menghambat aktivitas radikal bebas dengan memberikan elektron atau atom

hidrogen untuk menginaktifasi radikal bebas. Saponin juga dapat meningkatkan

antioksidan enzim seperti superoxide dismutase (SOD) dan catalase (CAT).

Dimana SOD merupakan enzim antioksidan yang memberikan pertahanan pada

sistem tubuh skarena mengkatalisis radikal superoxida (O2-) untuk membentuk

10
H2O2 dan molekul oksigen. Peningkatan aktivitas SOD menunjukkan aktivitas

katalase dimana katalase mengkatalisis hidrogen peroksida dan melindungi

jaringan dari radikal hidrogen. ROS merupakan penyebab utama diabetes dengan

mengambil elektron dari tubuh. Dengan meningkatnya SOD dan CAT, regulasi

ROS akan meningkat pula sehingga mengurangi resiko penyakit kronis seperti

diabetes (Elekofehintini, et al., 2013).

b. Triterpenoid

Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam

satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C-30 asiklik

yaitu skualena. Triterpenoid dapat dibagi atas empat golongan yaitu triterpenoid

sebenarnya, steroid, saponin dan glikosida jantung. Triterpena atau steroid yang

terutama terdapat sebagai glikosida. Triterpenoid merupakan senyawa yang tidak

berwarna, berbentuk kristal, bertitik leleh tinggi dan optik aktif yang umumnya

sukar dicirikan karena tidak mempunyai kereaktifan kimia (Harborne, 1987).

Menurut Farnswoth (1966), penambahan pereaksi Liebermann-Burchard

memberikan warna biru atau biru hijau untuk steroid saponin dan memberikan

warna merah, pink, atau ungu jika pada sampel yang memiliki senyawa

triterpenoid saponin.

2.2 Ekstraksi

Ekstraksi adalah suatu cara untuk menarik satu atau lebih zat dari bahan

asal dengan menggunakan pelarut. Umumnya zat berkhasiat tersebut dapat ditarik,

namun khasiatnya tidak berubah. Tujuan utama ekstraksi adalah mendapatkan

atau memisahkan sebanyak mungkin zat-zat yang memiliki khasiat pengobatan

11
dari zat-zat yang tidak dibutuhkan, agar lebih mudah digunakan (kemudahan

diabsorpsi, rasa dan pemakaian) dan disimpan dibandingkan simplisia asal dan

tujuan pengobatannya terjamin. Hasil ekstraksi disebut dengan ekstrak yaitu

sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati

atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau

hampir semua pelarut diuapkan (Depkes RI, 1995).

Ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dilakukan dengan beberapa

cara yaitu:

a. Cara dingin

1. Maserasi

Maserasi adalah cara penarikan simplisia dengan merendam

simplisia tersebut dalam cairan penyari dengan beberapa kali pengocokkan

atau pengadukkan pada temperatur kamar sedangkan remaserasi

merupakan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan

penyaringan maserat pertama dan seterusnya (Ditjen POM, 2000).

2. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai

terjadi penyarian sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya

dilakukan pada temperatur kamar (Ditjen POM, 2000). Cara panas

1. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik

didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif

konstan dengan adanya pendingin balik (Ditjen POM, 2000).

12
2. Sokletasi

Sokletasi adalah ekstraksi kontinu menggunakan alat soklet,

dimana pelarut akan terdestilasi dari labu menuju pendingin, kemudian

jatuh membasahi dan merendam sampel dalam tabung soklet dan setelah

pelarut mencapai tinggi tertentu maka akan turun ke labu destilasi setelah

melewati pipa sifon, demikian berulang-ulang (Ditjen POM, 2000).

3. Digesti

Digesti adalah maserasi dengan pengadukan kontinu pada

temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan yaitu secara umum

dilakukan pada temperatur 40-50o C (Ditjen POM, 2000).

4. Infus

Infus adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisa

nabati dengan air pada suhu 90o C selama 15 menit (Depkes RI, 1979).

5. Dekok

Dekok adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia

nabati dengan air pada waktu yang lebih lama ± 30 menit dengan

temperatur sampai titik didih air (Ditjen POM, 2000).

2.3 Diabetes melitus

Diabetes melitus adalah sekelompok sindrom yang ditandai dengan

hiperglikemia; perubahan metabolisme lipid, karbohidrat dan protein; peningkatan

penyakit pembuluh darah. Hampir semua bentuk diabetes melitus disebabkan oleh

menurunnya konsentrasi insulin dalam sirkulasi (defisiensi insulin) dan

menurunnya respons jaringan perifer terhadap insulin (resistensi insulin).

13
Diabetes Melitus ditandai oleh poliuri, polidipsi, dan polifagi disertai

peningkatan kadar glukosa darah atau hiperglikemia (glukosa puasa ≥ 126 mg/dL

atau postpandial ≥ 200 mg/dL atau glukosa sewaktu ≥ 200 mg/dL).

Hiperglikemia timbul akibat berkurangnya insulin sehingga glukosa darah tidak

dapat masuk ke sel-sel otot, jaringan adiposa atau hepar dan metabolismenya juga

terganggu. Dalam keadaan normal, kira-kira 50% glukosa yang dimakan

mengalami metabolisme sempurna menjadi CO2 dan air, 5% diubah menjadi

glikogen dan kira-kira 30-40% diubah menjadi lemak. Sebenarnya hiperglikemia

sendiri relatif tidak berbahaya, kecuali bila hebat sekali hingga darah menjadi

hiperosmotik terhadap cairan intrasel. Yang berbahaya ialah glikosuria yang

timbul karena glukosa bersifat diuretik osmotik sehingga diuresis sangat

meningkat disertai kehilangan elektrolit. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya

dehidrasi dan hilangnya elektrolit pada pasien DM yang tidak diobati. Karena

adanya dehidrasi, maka badan berusaha mengatasinya dengan banyak minum

(polidipsia). Badan kehilangan 4 kalori untuk setiap gram glukosa yang dieksresi.

Polifagia timbul karena perangsangan pusat nafsu makan di hipotalamus oleh

kurangnya pemakaian glukosa di kelenjar itu (Suherman dan Nafrialdi, 1995).

2.3.1 Jenis-jenis diabetes melitus

a. Diabetes tipe 1

Diabetes tipe 1 merupakan bentuk diabetes parah yang berhubungan

dengan terjadinya ketosis apabila tidak diobati. Diabetes tipe 1 tersebut sangat

lazim terjadi pada anak remaja tetapi kadang-kadang juga terjadi pada orang

dewasa, khususnya yang non-obesitas dan mereka yang berusia lanjut ketika

hiperglikemia tampak pertama kali. Keadaan tersebut merupakan suatu gangguan

14
katabolisme yang disebabkan karena hampir tidak terdapat insulin dalam sirkulasi,

glukagon plasma meningkat dan sel-sel beta pankreas gagal merespons semua

stimulus insulinogenik. Oleh karena itu, diperlukan pemberian insulin eksogen

untuk memperbaiki katabolisme, mencegah ketosis dan menurunkan

hiperglukagonemia dan peningkatan kadar glukosa darah (Katzung, 2002).

b. Diabetes tipe 2

Diabetes tipe 2 merupakan suatu kelompok heterogen yang terdiri dari

bentuk diabetes yang lebih ringan yang terutama terjadi pada orang dewasa tetapi

kadang-kadang juga terjadi pada remaja. Sirkulasi insulin endogen cukup untuk

mencegah terjadinya ketoasidosis tetapi insulin tersebut sering dalam kadar

kurang dari normal atau secara relatif tidak mencukupi karena kurang pekanya

jaringan. Obesitas, yang pada umumnya menyebabkan gangguan pada kerja

insulin merupakan faktor resiko yang biasa tejadi pada diabetes tipe ini, dan

sebagian besar pasien dengan diabetes tipe 2 bertubuh gemuk.

Selain terjadinya penurunan kepekaan jaringan pada insulin, yang telah

terbukti terjadi pada sebagian besar pasien dengan diabetes tipe 2 telepas dari

berat badan, adalah terjadi pula suatu defisiensi respons sel beta pankreas terhadap

glukosa. Baik resistensi jaringan terhadap insulin maupun kerusakan respons sel

beta terhadap glukosa dapat lebih diperparah dengan meningkatnya hiperglikemia,

dan kedua kerusakan tersebut dapat diperbaiki melalui manuver-manuver terapik

yang mengurangi hiperglikemia tersebut (Katzung, 2002).

2.3.2 Insulin

Insulin merupakan suatu protein berukuran kecil dengan berat molekul

5808 pada manusia. Insulin mengandung 51 asam amino yang tersusun dalam dua

15
rantai (A dan B) yang dihubungkan dengan jembatan disulfida. Insulin dirilis dari

sel beta pankreas, pada keadaan basal dengan kecepatan rendah dan pada keadaan

stimulasi sebagai respon terhadap berbagai stimulus, khususnya glukosa dengan

suatu kecepatan yang jauh lebih tinggi. Mekanisme stimulasi rilis insulin adalah

hiperglikemia menyebabkan peningkatan kadar ATP intraseluler, sehingga

menutup kanal kalium yang tergantung pada ATP. Penurunan arus ke luar dari

kalium melalui kanal tersebut menyebabkan depolarisasi sel beta dan terbukanya

kanal kalsium yang tergantung voltase (voltage-gated). Hasil peningkatan

kalsium intraseluler memicu sekresi hormon tersebut (Katzung, 2002).

Kerja insulin mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein dan lemak.

Insulin menaikkan pengambilan glukosa ke dalam sel-sel sebagian besar jaringan;

menaikkan penguraian glukosa secara oksidatif; menaikkan pembentukkan

glikogen dalam hati dan juga dalam otot dan mencegah penguraian glikogen;

menstimulasi pembentukkan protein dan lemak dari glukosa. Semua proses ini

menyebabkan kadar glukosa darah menurun akibat pengaruh insulin. Dalam

jaringan lemak dan hati insulin merangsang pengambilan asam lemak bebas yang

selanjutnya disimpan dalam bentuk trigliserida (lemak cadangan). Selain itu

insulin sebaliknya bekerja memobilisasi lemak dan penguraian lemak (lipolisis).

Kerja insulin lainnya ialah menaikkan pengambilan ion kalium ke dalam sel dan

menurunkan kerja katabolik glukokortikoid dan hormon kelenjar tiroid

(Mutschler, 1991).

2.3.3 Antidiabetika oral

Insulin sebagai polipeptida hanya dapat diberikan secara parenteral.

Karena itu, penyuntikan insulin yang dibutuhkan tiap hari sangat membebani para

16
penderita diabetes. Sehubungan dengan itu, kemajuan yang berarti diperoleh, pada

saat turunan sulfonilurea dan turunan biguanida yag dapat dipakai secara oral

telah digunakan untuk mengobati diabetes mellitus. Walaupun demikian,

berdasarkan pengalaman sampai saat ini, dan sebagian karena efek samping yang

serius maka seharusnya pemakaian antidiabetika oral pada pokoknya lebih

dikurangi daripada sebelumnya. Obat-obat ini hanya diindikasi jika tidak terdapat

diabetes tipe 1; tindakan diet tidak cukup; tidak perlu diberikan insulin sebagai

pengganti antidiabetika oral.

a. Sulfonilurea

Mekanisme kerjanya membebaskan insulin yang dapat dimobilisasi dari

sel beta pankreas dan pada saat yang sama memperbaiki tanggapan terhadap

rangsang glukosa fisiologik. Ini berarti bahwa obat ini hanya berkhasiat jika

produksi insulin tubuh sendiri paling kurang sebagian masih bertahan atau dengan

kata lain obat ini tidak berkhasiat jika tidak ada produksi insulin. (Mutschler,

1991). Contoh antidiabetika oral kelompok sulfonamida adalah golongan pertama

adalah tolbutamid, asetoheksamida, tolazamida dan klorpropamida. Generasi

kedua adalah gliburida (glibenklamida), glipizida, gliklazida dan glimepirid yang

lebih kuat dibandingkan senyawa sebelumnya (Goodman dan Gilman, 2006).

Kontraindikasi, sulfonilura tidak dapat diberikan pada diabetes tipe 1, pada

asetonuria parah, pada prakoma dan koma diabetik, pada gangguan fungsi ginjal

yang parah dan semua dekompensasi metabolisme dalam penyakit infeksi, operasi

dan tekanan-tekanan lain. Demikian juga pada saat kehamilan dianjurkan untuk

mengganti dengan insulin (Mutschler, 1991).

17
b. Biguanide

Metformin, fenformin dan buformin merupakan obat antidiabetes

golongan ini. Metformin jarang menyebabkan komplikasi asidosis laktat sehingga

masih bisa diresepkan namun dengan tindakan hati-hati. Metformin bersifat

antihiperglikemia bukan hipoglikemia yang tidak menyebabkan pelepasan insulin

dari pankreas dan tidak menyebabkan hipoglikemia bahkan dalam dosis besar

(Goodman dan Gillman, 2006). Biguanida paling sering diresepkan pada pasien

dengan obesitas yang hipeglikemianya disebabkan oleh kerja insulin yang tidak

efektif. Oleh karena metformin merupakan agen hemat-insulin dan tidak

meningkatkan berat badan atau menyebabkan hipoglikemia. Maka, metformin

menawarkan keuntungan yang melebihi insulin dan sulfonilurea untuk mengobati

hiperglikemia pada pasien (Katzung, 2002).

Mekanisme kerja dari metformin yaitu berpindahnya metformin menuju ke

sel hati melalui transporter OCT1 yang akan menghambat respirasi mitokondria

(complex 1) dan menyebabkan kurangnya energi di dalam sel sehingga

menghambat glukoneogenesis di hati. Hal ini terjadi dengan 2 cara yaitu pertama,

dengan bekurangnya ATP menyebabkan meningkatkan konsentrasi AMP yang

diduga berkontribusi menghambat proses glukoneogenesis (karena berkurangnya

ATP). Kedua, peningkatan AMP ini merupakan mediator kunci signal yang

bertujuan menghambat signal cAMP-PKA melalui adenilat siklase, menghambat

FBPase (kunci dari enzim glukoneogenesis), dan menghambat sintesis kolesterol

yang berkontribusi untuk metabolisme jangka panjang (Rena, et al., 2013).

18
c. Penghambat alfa-glucosidase

Penghambat alfa-glucosidase merupakan penghambat kompetitif alfa-

glucosidase usus yang dapat memecah oligosakarida atau disakarida menjadi

monosakarida dan diserap duodenum dan jejenum menuju ke dalam aliran darah.

Akibat klinis hambatan enzim adalah untuk meminimalkan pencernaan pada usus

bagian atas dan menunda pencernaan (dan juga absorpsi) zat tepung dan

disakarida yang masuk pada usus kecil bagian distal, sehingga menurunkan

glikemik setelah makan sebanyak 45-60 mg/dL dan menciptakan suatu efek

hemat-insulin. Contoh agen penghambat alfa-glukosidase adalah miglitol dan

akarbose (Katzung, 2002).

2.3.4 Aloksan

Aloksan (2, 4, 5, 6-tetraoxypyrimidine; 5,6-dioxyuracil) disintesis dengan

oksidasi asam urat yang dimana efeknya pada kelinci terjadi nekrosis tertentu dari

pulau pankreas. Sehingga aloksan digunakan untuk hewan model insulin

dependen diabetes mellitus. Aloksan diberikan secara parenteral: intravena,

intraperitonial atau subkutan. Dosis intravena Aloksan untuk menjadikan tikus

diabetes adalah 65 mg/kg BB (Gruppuso, et al., 1990, Boylan, et al., 1992).

Ketika aloksan diberikan intraperitonial dan subkutan dosis efektif harus 2-3 kali

lebih tinggi. Dosis intraperitoneal dibawah 150 mg/kg BB mungkin ticak cukup

untuk mendorong diabetes pada tikus (Katsumata, et al., 1992, 1993).

2.3.5 Mekanisme aloksan

Aloksan meningkatkan pengeluaran insulin tiba-tiba, pelepasan insulin

akibat aloksan dikarenakan respon dari penekanan pulau Langerhans. Penyerapan

aloksan dengan cepat oleh sel beta pankreas merupakan faktor penyebab diabetes.

19
Selain itu, aloksan dapat mereduksi dan mengurangi kerja dari gluthathione

(GSH) dan protein bound sulfhydryl (-SH) grup. Aloksan tereduksi menjadi asam

dialurik dan kemudian teroksidasi membentuk reactive oxygen species (ROS) dan

superoxide radicals dan dengan adanya H2O2 yang berasal dari superoxide

dismutase (SOD) dan besi sehingga menghasilkan radikal hidroksil yang reaktif.

ROS diperbaiki oleh ADP-ribosylation. ROS dapat merusak DNA pankreas dan

menginaktivasi kerja dari enzim antioksidan seperti superoxide dismutase,

catalase. Selain itu, aloksan meningkatkan konsentrasi ion Ca2+ bebas di sel beta.

Masuknya kalsium ke dalam sel beta dikarenakan oleh aloksan untuk

mendepolarisasi pankreas sel beta yang lebih terbuka tergantung saluran kalsium

dan meningkatkan masuknya kalsium ke dalam sel pankreas. Peningkatan ion

Ca2+ disertai ROS dapat menyebabkan kerusakan sel beta pulau pankreas (Rohilla

dan Ali, 2012).

20

Anda mungkin juga menyukai