Anda di halaman 1dari 18

AKTIVITAS ANTIOKSIDAN HIDROLISAT PROTEIN IKAN WADER

(Rasbora Jacobsoni) DAN IKAN BADER (Barbonymus gonionotus)

PROPOSAL PENELITIAN

Oleh
Wulan Suci Wahyuningtyas
NIM 131710101118

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS NEGERI JEMBER
2016

BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ikan merupakan

salah

satu komoditi

hasil

perairan

yang

banyak

dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia dan memiliki potensi besar bagi Negara
Indonesia. Didukung dengan wilayah Indonesia yang merupakan Negara
Kepulauan, dimana sebagian besar terdiri dari perairan laut seluas 5,8 juta km 2
dan perairan air tawar seperti sungai (Janhidros, 2006). Indonesia menyimpan
potensi kekayaan sumber daya perairan yang belum dieksplorasi secara optimal,
salah satunya adalah sumber daya perikanan air tawar. Jenis ikan air tawar yang
banyak dibudidayakan saat ini antara lain ikan nila, ikan mas, ikan gurame, ikan
patin, dan ikan lele.
Jenis ikan air tawar lain yang mempunyai potensi menguntungkan adalah ikan
wader (Rasbora Jacobsoni) dan ikan bader (Barbonymus gonionotus).

Ikan

wader dan bader merupakan jenis ikan sungai yang sangat melimpah namun
kurang dalam pemanfaatanya. Perlu dilakukan pemanfaatan yang bisa
meningkatkan nilai ekonomi dari bahan baku yang kurang dimanfaatkan ini. Salah
satunya adalah dengan memanfaatkan kandungan protein ikan tersebut sebagai
produk protein hidrolisat, karena kandungan protein dalam ikan wader dan ikan
bader relatif tinggi yaitu masing-masing sebesar 14,8% (Zaelani, 2012) dan 19%
(Nio, 2012). Hidrolisat protein merupakan produk yang dihasilkan dari
pemecahan protein menjadi peptida sederhana dan asam amino melalui
proses hidrolisis dengan menggunakan enzim, asam atau basa dan panas.
Hidrolisat protein pada umumnya memiliki kandungan protein yang tinggi, asam
amino yang lengkap, daya cerna protein yang tinggi dan sifat fungsional yang
baik. Berbagai

jenis

peptida

terdapat

dalam kandungan produk hidrolisis

protein pengolahan ikan yang berfungsi sebagai antihipertensi, antikoagulan,


antidiabetes, antikanker, immunostimulator, pengikat kalsium, hypokolesteremik,
penurun nafsu makan dan antioksidan (Harnedy dan Fitz Gerald, 2012).
Menurut Je et al., (2008), hidrolisat protein ikan telah terbukti memiliki
aktivitas

Antioksidan.

Antioksidan

adalah

senyawa

kimia

yang

dapat

menyumbangkan satu atau lebih elektron kepada radikal bebas, sehingga dapat
menunda atau mencegah oksidasi yang disebabkan oleh radikal bebas. Menurut

penelitian Park et.al (2001), hidrolisat protein dapat menghambat oksidasi lipid
dalam makanan dan seluler sistem. Aktivitas antioksidan dari hidrolisat protein
tergantung pada jenis peptida dalam hidrolisat. Hidrolisat kaya peptida yang
mengandung

asam

amino

hidrofobik,

seperti

Proline-Leucine-Alanine-

Tryptophan-Phenylalanine, diyakini memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi


(Mendiset.al, 2005). Peptida yang mengandung Tryptophan-Tyrosine-Methionine
juga menunjukkan aktivitas antioksidan yang tinggi, diikuti oleh CysteinHistidine-Phenylalanine (Davalose et.al, 2004). Asam aspartat, asam glutamat dan
Lysine memiliki peran yang penting dalam chelation ion logam oleh karboksil dan
asam amino kelompok dalam rantai samping (Rajapakse et.al, 2005). Oleh karena
itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas antioksidan dari hidrolisat
ikan wader dan ikan bader. Penelitian pemanfaatan ikan wader dan ikan bader
sebagai hidrolisat protein kaya antioksidan diharapkan mampu menambah
pengetahuan tentang teknologi pengolahan ikan wader dan ikan bader menjadi
produk yang menguntungkan baik secara ekonomi maupun nutrisi pangan.
1.2 Rumusan Masalah
Ikan wader dan ikan bader mengandung protein masing-masing sebesar
14,8% dan 19%, yang bisa dimanfaatkan menjadi produk hidrolisat. Hidrolisat
protein ikan wader dan ikan bader mengandung senyawa bioaktif antioksidan.
Masalah yang harus dijawab dalam penelitian ini adalah seberapa besar aktivitas
antioksidan pada hidrolisat protein ikan wader.
1.3 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui total protein pada hidrolisat ikan wader (Rasbora Jacobsoni) dan
ikan bader (Barbonymus gonionotus).
2. Mengetahui kadar lemak dan klasifikasi lemak pada hidrolisat ikan wader dan
ikan bader
3. Mengetahui aktivitas antioksidan pada hidrolisat protein ikan wader dan ikan
bader.
1.4 Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Mendorong penggalian sumber-sumber antioksidan alami berbasis potensi
ikan sungai air tawar di Indonesia.

2. Menambah pengetahuan tentang ilmu terapan yang lebih menguntungkan dari


ikan wader dan ikan bader.
3. Meningkatkan nilai guna ikan wader dan ikan bader

yang belum

termanfaatkan secara optimal untuk produksi senyawa bioaktif.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Ikan Wader
Ikan Wader (Rasbora jacobsoni) merupakan ikan berukuran kurang lebih 720 cm, memiliki warna tubuh coklat kekuningan, berwarna agak gelap di bagian

dorsal, sisik tepi ikan wader bergaris coklat, dan biasanya hidup secara berkoloni.
Ikan wader sering ditemukan hidup berkelompok di dasar sungai-sungai kecil
berbatu yang berarus sedang dengan kisaran suhu antara 22 - 24C dan pH
perairan anta ra 6,0 6,5 (Froese & Pauly, 2010). Menurut Djumanto et al,
(2008) di Indonesia terdapat 43 spesies ikan dari genus rasbora, salah satunya
adalah rasbora jacobsoni yang tersebar diwilayah Sumatra, Jawa, Kalimantan,
Bali, Nusa Tenggara dan Sulawesi. Setiap jenis ikan wader memiliki sifat yang
berbeda, baik ukuran tubuh, kecepatan pertumbuhan, dan rasa dagingnya
(Budiharjo, 2002). Berikut adalah klasifikasi ikan wader (Rasbora jacobsoni)
Kingdom

: Animalia

Phylum

: Chordata

Sub Philum

: Vertebrata

Class

: Pisces

Ordo

: Cypriniformes

Familia

: Cyprinidae

Genus

: Rasbora

Species

: Rasbora jacobsoni

Ikan wader memiliki kandungan protein yang relatif tinggi yaitu sebesar
14,8% (Zaelani, 2012). Kandungan protein yang tinggi ini membuatnya cocok
untuk diolah sebagai bahan pangan sehari-hari maupun olahan lain seperti
hiddrolisat protein. Pada umumnya ikan wader dimanfaatkan untuk dikonsumsi
secara lokal sebagai lauk, karena selain kandungan proteinya yang tinggi, ikan
wader memiliki tekstur daging yang lembut dan rasa yang gurih, duri di dalam
tubuhnya juga tidak terlalu besar. Ikan wader pada umumnya dimanfaatkan untuk
dikonsumsi secara lokal sebagai lauk (Indrayana, 2012). Berikut adalah
kandungan nilai gizi ikan wader dalam 100 gram daging.
Tabel 2.1 Kandungan gizi ikan wader dalam 100 g daging
Kandungan Gizi
Kalori (Kal)
Air (%)
Protein (g)
Lemak (g)
Kolesterol (mg)

Nilai
84
76
14,8
2,3
58

Zat besi (mg)


Sumber : Zaelani (2012)

0,3

2.2 Ikan Bader


Ikan bader (Barbonymus gonionotus) atau yang sering disebut dengan ikan
tawes merupakan ikan yang mempunyai bentuk badan agak panjang kurang lebih
7-15 cm dan pipih dengan punggung meninggi. Ikan bader banyak ditemukan di
Indonesia terutama di perairan pulau Jawa seperti rawa, danau, dan sungai yang
jernih dengan kisaran suhu antara 22 - 28C dan pH perairan antara 7. Ikan
bader mempunyai mulut yang kecil terletak pada ujung hidung, memiliki garis
rusuk sempurna yang berjumlah antara 29-31 buah. Badan berwarna keperakan
agak gelap di bagian punggung. Sirip punggung dan sirip ekor berwarna abuabu atau kekuningan (Kottelat et al.,1993).
Ikan bader termasuk ke dalam famili Cyprinidae, sama seperti ikan mas dan
ikan nilem. Berikut adalah klasifikasi ikan tawes menurut Nelson (2006).
Kingdom

: Animalia

Phylum

: Chordata

Class

: Actinopterygi

Sub Class

: Neopterygi

Ordo

: Cypriniformes

Familia

: Cyprinidae

Genus

: Barbonymus

Species

: Barbonymus gonionotus

Dalam kehidupan sehari-hari, ikan bader banyak dimanfaatkan sebagai


menu pangan. Ikan bader banyak disukai oleh masyarakat untuk dikonsumsi
karena mempunyai daging dengan tekstur yang kenyal, sedikit lemak, dan bergizi
tinggi. Ikan ini memiliki nilai protein sebesar 19% (Neo, 2012) dan kandungan
asam lemak Omega-3

sebesar 1,5/100 gram (Muthmainnah, 2008). Berikut

adalah kandungan nilai gizi ikan bader dalam 100 gram daging.
Tabel 2.2 Kandungan gizi ikan bader dalam 100 g daging
Kandungan gizi
Energi (kal)
Air (g)
Protein (g)

Nilai
193
66
19

Lemak (g)
Mineral (g)
Kalsium (mg)
Fosfor (g)
Besi (mg)
Sumber : Neo, 2012

13
20
48
150
0,4

2.3 Hidrolisis Protein


Protein merupakan suat zat makanan yang berfungsi sebagai bahan bakar, zat
pembangun dan pengatur dalam tubuh (Sari, 2011). Protein mempunyai struktur
yang mengandung N, C, H, O, kadang mengandung S, P, dan Fe (Sudarmadji,
1989). Molekul protein tersusun dari sejumlah asam amino yang saling berikatan
oleh suatu ikatan yang dinamakan peptida. Asam amino dan peptida dapat
dihasilkan dengan cara menghidrolisis protein. Menurut Haslaniza et al. (2010),
hidrolisis protein merupakan protein yang mengalami degradasi hidrolitik dengan
asam, basa, atau enzim proteolitik yang menghasilkan produk berupa asam amino
dan peptida. Hidrolisis enzimatik telah terbukti efektif untuk mendapatkan
hidrolisat protein dari produk ikan. Beberapa enzim proteolitik termasuk Alkalase,
Protease, Papain atau Bromelin biasa digunakan untuk menghidrolisis protein ikan
untuk produksi hidrolisat protein (Chalamaiah, 2012).
Papain merupakan enzim proteolitik hasil isolasi dari getah penyadapan
buah pepaya (Carica papaya L.). Enzim tersebut dapat diproduksi dalam
bentuk bubuk maupun larutan. Pengunaan enzim papain sangat beragam,
diantaranya

digunakan

untuk

pengempuk

daging, konsentrat protein, dan

hidrolisat protein (Dwinastiti, 1992). Enzim protease juga bisa didapatkan dari
tanaman biduri baik dari getah, batang, maupun daun. Hasil karakterisasi enzim
protease biduri berdasarkan spesifitasnya termasuk dalam golongan eksopeptidase
(Witono, 2004).
Metode enzimatik lebih disukai dari teknik hidrolisis kimia karena hidrolisis
kimia melibatkan penggunaan asam kuat atau alkali yang dapat menurunkan
kandungan asam amino. Namun, hidrolisis dengan menggunakan enzim biasanya
menghasilkan jumlah asam amino bebas yang rendah tergantung pada enzim yang
digunakan (Ghaly et al, 2013). Hidrolisis protein dipengaruhi oleh konsentrasi
bahan penghidrolisis, suhu, pH dan waktu hidrolisis. Peningkatan konsentrasi

enzim akan meningkatkan volume hidrolisat protein ikan yang bersifat tak
larut menjadi senyawa nitrogen yang bersifat larut (Hidayat, 2005).
2.4 Hidrolisat Protein
Hidrolisat protein merupakan produk yang dihasilkan dari peruraian protein
menjadi senyawa-senyawa berantai pendek karena adanya proses hidrolisis baik
oleh enzim, asam maupun basa. Hidrolisat protein bisa didapatkan dari bahan
pangan yang mengandung protein seperti kacang-kacangan, daging, maupun ikan.
Pengolahan ikan menjadi hidrolisat protein bertujuan untuk mengatasi kerusakan
ikan dan mendapatkan bahan pangan yang lebih mudah dicerna oleh tubuh karena
proteinya telah terurai menjadi asam amino dan peptida yang lebih sederhana.
Pemanfaatan hidrolisat protein ikan adalah untuk pembuatan pepton yang
digunakan sebagai media pertumbuhan mikroorganisme dan dibutuhkan dalam
perkembangan bioteknologi (Wijayanti, 2009). Hidrolisat protein ikan pada
industri pangan dapat ditambahkan ke dalam suplemen makanan diet dan pada
industri farmasi digunakan untuk pembuatan produk-produk dermatologis, seperti
krim pembersih muka dan pelembab kulit. Selain itu, hidrolisat protein ikan dapat
digunakan secara fungsional sebagai bahan pengemulsi (Schimidi et al., 1994).
Dewasa ini, telah dikembangkan hidrolisat protein ikan dari jenis ikan air
tawar yaitu ikan bader dan wader. Produksi hidrolisat protein dari ikan wader dan
ikan bader merupakan proses yang cukup sederhana (Sari, 2015). Langkah awal
yang dilakukan adalah pencampuran bahan baku dengan air, kemudian diikuti
dengan penyesuaian suhu dan pH optimal, penambahan enzim dan reaksi
hidrolisis enzimatis pada waktu tertentu, selanjutnya penginaktivasian enzim, dan
langkah terakhir adalah pengeringan dan pemekatan (Kristinsson, 2007).
Hidrolisat protein memiliki sifat fungsional penting dalam pengolahan pangan,
seperti flavour enhancer, pembentuk tekstur, dan kelarutan tinggi dalam air (Hall
dan ahmad, 1992). Komposisi kimia hidrolisat ikan dapat dilihat pada Tabel 2.3
Tabel 2.3 Komposisi kimia hidrolisat ikan wader per 100 g
Kandungan gizi
Air (g)
Abu (g)
Lemak (g)
Total Nitrogen (g)

Nilai
7,28
8,19
16,27
20,07

Sumber : Lestari, 2016


Hidrolisat protein ikan dapat diproduksi secara kimiawi dan enzimatis.
Hidrolisis secara enzimatis lebih efisien, murah, menghasilkan hidrolisat protein
ikan tanpa kehilangan asam amino esensial, serta terhindar dari perubahan atau
kerusakan produk yang bersifat non-hidrolitik (Jonson and Peterson, 1974),
karena pada proses hidrolisis dengan asam maupun basa dapat merusak sebagian
asam amino dan juga menghasilkan senyawa beracun seperti lysin-alanin
(Aariyani et al, 2003). Menurut Je et al., (2008), hidrolisat protein ikan telah
terbukti memiliki aktivitas Antioksidan. Aktivitas antioksidan dari hidrolisat
protein tergantung pada jenis peptida dalam hidrolisat.
2.5 Antioksidan
Antioksidan adalah senyawa kimia yang dapat menyumbangkan satu atau lebih
elektron

kepada

radikal

bebas,

sehingga

oksidasi yang disebabkan oleh radikal

dapat menunda atau mencegah

bebas. Menurut Miller et al (2000),

antioksidan dapat menangkap radikal bebas sehingga menghambat mekanisme


oksidatif yang merupakan penyebab penyakit-penyakit degeneratif seperti
penyakit jantung, kanker, katarak, disfungsi otak dan artritis. Menurut Inglod
dalam Gordon (1994), antioksidan dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan
mekanismenya yaitu antioksidan primer dan sekunder. Antioksidan primer
(antioksidan pemutus rantai reaksi oksidasi) merupakan antioksidan yang dapat
bereaksi dengan radikal lipid dan mengubahnya menjadi produk yang stabil.
Sebuah senyawa dapat disebut sebagai antioksidan primer apabila senyawa
tersebut dapat mendonorkan atom hidrogennya dengan cepat ke radikal lipid dan
radikal antioksidan yang dihasilkan lebih stabil dari radikal lipid atau dapat
diubah menjadi produk lain yang lebih stabil (Gordon, 1990). Senyawa yang
termasuk dalam kelompok antioksidan primer (Chain-breaking antioxidant)
adalah vitamin E (tokoferol), vitamin C (asam askorbat), -karoten, glutation dan
sistein (Taher, 2003). Antioksidan sekunder (antioksigen pencegah) merupakan
antioksidan yang dapat mengurangi kecepatan dari rangkaian reaksi pada tahap
inisiasi dari reaksi oksidasi. Pada dasarnya tujuan antioksidan sekunder

(preventive antioksidant) adalah mencegah terjadinya radikal yang paling


berbahaya yaitu radikal hidroksil (Taher, 2003).
Antioksidan berdasarkan sumber perolehannya terdapat 2 macam, yaitu
antioksidan alami dan buatan. Antioksidan alami merupakan antioksidan hasil
ekstraksi bahan alami, sedangkan antioksidan buatan (sintetik) merupakan
antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesa reaksi kimia (Kochhar dan Rossell,
1990). Buah dan sayur umumnya mengandung nutrisi dan senyawa fitokimia yang
mampu berperan sebagai antioksidan. Selain itu, antioksidan juga terdapat pada
bahan pangan hewani misalnya daging atau hidrolisat protein dari bahan pangan
hewani tertentu yang mengandung senyawa bioaktif peptida
2.6 Peptida Sebagai Antioksidan
Peptida adalah. Beberapa penelitian tentang pencernaan secara in vitro
membuktikan bahwa peptida yang dihasilkan dari protein makanan tertentu
oleh enzim pencernaan manusia memiliki aktivitas antioksidan yang kuat.
Peptida ini menghambat peroksidasi lipid dan menetralkan hidroksil dan
radikal superoksida. Antioksidan digunakan untuk melindungi DNA terhadap
kerusakan

radikal. Hidrolisat protein lebih efektif

menghambat peroksidasi

lemak daripada tokoferol dan efisien menangkap radikal bebas termasuk OH


dan O2-. Hidrolisat protein juga mengurangi peroksida yang menghasilkan
sitotoksisitas pada fibroblast paru-paru embrio manusia dan juga melindungi DNA
dari kerusakan radikal (Xiong, 2010). Pada dasarnya hidrolisat protein hewani
dan nabati semuanya mengandung peptida antioksidan. Tidak semua peptida
bersifat antioksidasi dan beberapa ada yang prooksidasi.
Umumnya antioksidan peptida mampu bertindak sebagai pengikat radikal
bebas,

donor

proton

dan

menghambat

pengikatan

ion

logam. Peptida

antioksidan umumnya terdiri dari 2 10 residu asam amino, dan urutan asam
amino menjadi faktor penentu keberhasilan antioksidan peptida. Keberadaan
asam amino tertentu terutama histidin, tirosin, triptofan, methionin, sistein
dan prolin, berkorelasi signifikan dengan aktivitas peptida menangkap radikal
bebas. Pengikatan ion logam oleh peptida juga bisa merubah siklus redoks
yang

sangat

penting

untukbeberapa

oksidasi

pembentukan

logam.

Menggunakan ferritin (serum polipeptida) sebagai contoh, ion (Fe 3+) yang
tidak terlalu reaktif dibatasi dalam rongga polipeptida, membentuk atom dan
bersatu membentuk Fe(OH)3 yang tidak bisa dikonversi menjadi ion (Fe2+) yang
lebih reaktif. Terganggunya
berkurangnya Fe2+ bebas,

keseimbangan
dengan

redoks

demikian

besi

mencegah

menyebabkan
penguraian

hidroperoksida (Xiong, 2010)


Peptida hasil pemecahan protein akan mengalami perubahan karakteristik
fisik/ kimia dari protein alamiahnya sebelum mengalami degradasi. Peptida tidak
berasa atau pahit kecuali peptida yang mengandung glutamat atau asam aspartat
yang berasa manis. Secara nutrisi, dalam bentuk peptida akan meningkatkan
bioavailability asam amino dibandingkan dengan protein bahkan asam amino
bebasnya. Peptida juga mempunyai berat molekul rendah sehingga kurang
menimbulkan alergi dibandingkan dengan protein alamiahnya (Host dan Halken
2004).
2.7 Parameter Pengamatan
2.7.1 Total Protein
Penentuan kadar protein terlarut dapat menggunakan Metode Lowry. Prinsip
kerja dari metode Lowry adalah adanya reaksi antara protein dan asam
fosfotungsat-fosfomolibdat pada suasana alkali akan memberikan warna biru yang
intensitasnya tergantung pada konsentrasi protein yang ditera (Nisa, dkk., 2007).
Jumlah protein yang terlarut selama inkubasi bergantung pada kecepatan reaksi
proses hidrolisisnya yang dipengaruhi suhu, pH, konsentrasi enzim dan substrat.
Empat faktor tersebut saling berikatan. Pada kadar substrat tertentu didapatkan
kecepatan reaksi yang maksimum, sehingga jika kadar substrat dinaikkan,
kecepatan tidak berubah. Pada pH yang terlalu tinggi atau terlalu rendah, enzim
akan mengalami denaturasi. Oleh karena itu, selama proses hidrolisis dibutuhkan
pH optimum enzim. Reaksi kimia berjalan lebih cepat pada suhu optimum
(Koesoemawardani, dkk., 2001)
2.7.2 Kadar Lemak dan Klasifikasi Lemak

Penentuan kadar minyak atau lemak suatu bahan dapat dilakukan


dengan alat ekstraktor Soxhlet. Ekstraksi dengan alat Soxhlet merupakan
cara ekstraksi yang efisien, karena pelarut yang digunakan dapat diperoleh
kembali. Dalam penentuan kadar minyak atau lemak, bahan yang diuji harus
cukup kering, karena jika masih basah selain memperlambat proses ekstraksi,
air dapat turun ke dalam labu dan akan mempengaruhi dalam perhitungan
(Ketaren, 1986:36).
Penentuan klasifikasi lemak dapat menggunakan TLC (Thin Layer
Chromatography) yang biasa disebut Kromatografi lapis tipis (KLT). Pada
kromatografi lapis tipis, fase diamnya berupa lapisan yang seragam (uniform)
pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, pelat aluminium,
atau pelat plastik. Penjerap yang paling sering digunakan pada TLC adalah silika
dan serbuk selulosa, sementara mekanisme sorpsi-desorpsi (suatu mekanisme
perpindahan solut dari fase diam ke fase gerak atau sebaliknya) yang utama
pada TLC adalah partisi dan adsorbsi. Lapisan tipis yang digunakan sebagai
penjerap juga dapat dibuat dari silika yang telah dimodifikasi, resin penukar ion,
gel eksklusi, dan siklodekstrin yang digunakan untuk pemisahan kiral. Beberapa
penjerap TLC serupa dengan penjerap yang digunakan pada HPTLC. Lempeng
silika gel dapat dimodifikasi untuk membentuk penjerap fase terbalik dengan cara
membacemnya menggunakan parafin cair, minyak silikon, atau dengan lemak.
Lempeng fase terbalik jenis ini digunakan untuk identifikasi hormon-hormon
steroid.
2.7.3 Distribusi Berat Molekul Hidrolisat
Berat molekul merupakan variabel yang penting sebab berhubungan
langsung dengan sifat kimia polimer. Umumnya polimer dengan berat molekul
tinggi mempunyai sifat yang lebih kuat. Polimer polimer diangggap memiliki
berat molekul yang berkisar antara ribuan hingga jutaan dengan berat molekul
optimum yang bergantung pada struktur kimia dan penerapannya. Nilai berat
molekul yang diperoleh bergantung pada besarnya ukuran dalam metode
pengukurannya. Sampel suatu polimer sesungguhnya terdiri atas sebaran ukuran
molekul dan sebaran massa molekul. Oleh karena itu setiap penentuan massa
molekul akan menghasilkan harga rata rata. Berat molekul juga dapat diukur

dengan menggunakan alatberpa gell filtration chromatography. Prinsip dari teknik


filtrasi gel (kromatografi filtrasi gel) adalah pemisahan molekul berdasarkan
perbedaan ukurannya.
2.7.4 Penentuan Antioksidan
1. DPPH
Aktivitas antioksidan diukur berdasarkan kemampuan dalam menangkap
radikal bebas (radical scavenging ability/ RSA) DPPH (1,1-diphenyl-1-2Picrylhidroksil). DPPH adalah radikal bebas yang memiliki nitrogen tidak stabil
dengan absorbansi maksimal pada panjang gelombang 517 nm dan memiliki
warna biru gelap (keunguan). Keberadaan antioksidan akan menetralisasi radikal
DPPH dengan menyumbangkan elektron kepada DPPH sehingga menghasilkan
perubahan warna dari biru pekat menjadi warna biru yang semakin memudar.
Penghilangan warna akan sebanding dengan jumlah elektron yang diambil oleh
DPPH sehingga dapat diukur secara spektrofotometri.
2. Reducing Power
Metode ini didasarkan pada prinsip peningkatan absorbansi dari reaksi
campuran. Peningkatan absorbansi menunjukan peningkatan aktivitas antioksidan.
Dalam metode ini, antioksidan membentuk kompleks berwarna terhadap kalium
ferrisianida, asam trikloroasetat dan besi (III) klorida, lalu serapan diukur pada
panjang gelombang 700 nm. Peningkatan pada serapan campuran reaksi
menunjukan kekuatan mereduksi dari antioksidan (Joseph et al, 2005).
3. Aktivitas Chelating Besi (Fe2+)
Chelating logam merupakan

senyawa

yang

memiliki

kemampuan

membentuk khelat dengan logam seperti besi (Fe 2+). Penggunaan chelating
logam

mampu mengurangi pembentukan ROS

(Reactive Oxygen Species)

melalui reaksi Fenton dan Haber Weis, sehingga mengurangi terjadinya stres
oksidatif dan mengurangi ketersediaan ion logam seperti besi (Fe2+) untuk
membentuk -amyloid plaques (agregrasi Amyloid peptide) (Smith et al.,
2007). Penentuan aktivitas chelating logam ion besi

sampel uji dapat

dilakukan dengan menggunakan metode FIC (Ferrous Ion Chelating). Metode

ini membandingkan kemampuan sampel uji untuk bersaing dengan ferrozine


dalam membentuk kompleks dengan ion besi (Fe 2+ /ion fero) (Elmastas et al.,
2006). Penentuan kadar kompleks Fe2+ - ferrozine dapat dilakukan dengan
metode spektrofotometri sinar tampak yang absorbansinya diukur pada
panjang gelombang maksimumnya.

BAB 3. METODE PENELITIAN


3.1 Bahan dan Alat Penelitian
3.1.1 Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah ikan wader, ikan bader,
enzim papain yang didapat dari getah buah pepaya, enzim biduri yang didapat dari

getah tanaman biduri. Bahan kimia yang digunakan adalah aquades, NaOH 0,1 N,
heksan, dietil eter, asam asetat, asam fosfomolibdat, etanol, asetonitril, DPPH,
metanol, larutan buffer fosfat, ferricianide.
3.1.2

Alat Penelitian
Peralatan yang digunakan meliputi blender stainless steel, sentrifuse dan

tabungnya, gelas ukur, beaker glass, pipet mikro, pipet ukur, ball pipet, tabung
reaksi, labu ukur, mortar, kuvet pH meter, vortex, lemari pendingin, waterbath,
neraca analitik, pemanas listrik, spatula, oven, labu kjeldahl, aluminium foil,
spektrofotometer, destilator, desikator, FP-528 LECO nitrogen analyser,
kromatografi lapis tipis (KLT), gel filtration chromatography
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Biokimia Hasil
Pertanian, dan Laboratorium Analisa Terpadu Jurusan Teknologi Hasil Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember, pada bulan Desember hingga
Februari 2016/2017.
3.3 Metode Penelitian
3.3.1 Pelaksanaan Penelitian
Tahap awal penelitian adalah pembuatan hidrolisat ikan wader dan ikan
bader menggunakan enzim biduri yang didapatkan dari getah tanaman biduri dan
enzim papain yang didapatkan dari getah buah pepaya. Selanjutnya adalah
pembuatan hidrolisat kering ikan wader dan bader dimulai dengan memfillet
ikan untuk memisahkan daging dengan kepala, kotoran, sisik dan tulangnya.
Daging ikan yang didapat dari proses filleting kemudian ditimbang sebanyak
100

gram

dan

pengukusan

ini

dilakukan
adalah

pengukusan selama

untuk

melunakkan

10

menit.

daging ikan

Fungsi
agar

dari

mudah

dihancurkan dan memunculkan flavor ikan. Setelah itu dihancurkan dengan


ditambahkan

aquades dengan

perbandingan

aquades

dan bahan 2:1

(berat/volume) dari berat daging ikan wader sebelum dilakukan pengukusan.


Suspensi ikan wader diatur pHnya dengan ditambahkan NaOH 0,1 N hingga
mencapai pH 7. Pengaturan pH ini bertujuan agar enzim dapat bekerja
optimal dalam menghidrolisis protein karena enzim biduri yang digunakan
optimal pada pH 7. Suspensi ikan wader dengan pH 7 ditambahkan enzim biduri
dan papain dengan konsentrasi 63,4% dan 36,3%. Konsentrasi enzim biduri dan

papain yang ditambahkan berdasarkan berat daging ikan wader sebelum


dilakukan pengukusan. Suspensi ikan wader yang telah ditambahkan dengan
enzim kemudian dilakukan hidrolisis. Selanjutnya dididihkan dengan suhu
100oC selama 10 menit untuk menginaktifkan enzim. Hidrolisat yang dihasilkan
dikeringkan dalam oven selama kurang lebih 18 jam pada suhu 60oC. Setelah
kering hidrolisat ikan wader dilakukan penumbukan untuk menghaluskan
dengan menggunakan mortar.
Hidrolisat kering ikan wader yang didapat dilakukan analisis total
protein, kadar lemak dan klasifikasi lemak, distribusi berat molekul hidrolisat dan
aktivitas antioksidan yang meliputi DPPH, reducing power, dan aktivitas
chelating besi (Fe2+)
3.3.2

Rancangan Penelitian
Penelitian dilakukan dengan menguunakan metode deskriptif yang terdiri

dari dua faktor. Faktor A yaitu hidrolisat protein dari bahan baku ikan wader.
Faktor B yaitu hidrolisat protein dari bahan baku ikan bader.
3.4 Parameter Analisis
Parameter yang diamati dalam penelitian ini meliputi:
1. Total protein
2. Kadar lemak dan klasifikasi lemak
3. Distribusi berat molekul hidrolisat
4. Aktivitas antioksidan
a. DPPH
b. Reducing power
c. Aktivitas Chelating besi (Fe2+)
3.5 Prosedur Analisa
3.5.1 Total Protein
Kandungan total protein dari hidrolisat protein ikan wader dan ikan bader
ditentukan menggunakan alat berupa nitrogen analyzer FP-528 LECO (LECO, St
Joseph, MI, USA) yang dikalibrasi dengan asam ethylene diamine tetra acetic.
3.5.2 Kadar lemak dan klasifikasi lemak
Kadar lemak dan klasifikasi lemak yang terkandung dalam hidrolisat
protein ikan wader dan ikan bader ditentukan dengan alat yaitu kromatografi lapis
tipis (KLT) dengan menggunakan pelarut berupa heksana, dietil eter atau asam
asetat (65: 35: 1). lempeng disemprot dengan 10% asam fosfomolibdat yang
dilarutkan dalam etanol dan dipanaskan pada suhu 120 C selama 5 menit.
3.5.3 Distribusi berat molekul protein

Distribusi berat molekul dari hidrolisat protein ikan wader dan bader
diukur dengan menggunakan alat berupa gel filtration chromatography dengan
FPLC AKTA(Amersham Biosciences, Uppsala, Swedia) menggunakan kolom
Superdex Peptida10/300 GL dengan detektor UV pada 254 nm. Pelarut eluen yang
dipakai adalah 30% asetonitril dengan 0,1% asam trifluoroasetat pada kecepatan
aliran 0,5 ml / menit. Kurva kalibrasi berat molekul dibuat dengan menggunakan
standart sebagai berikut:
Ribonuklease A (13.700 Da), Aprotinin (6500 Da), Angiotensin I (1296 Da),
Bradikinin (1060 Da) dan Triglicin (189 Da).
3.5.4 Aktivitas Antioksidan
1. DPPH
Aktivitas antioksidan dalam mereduksi radikal bebas dari hidrolisat protein
ikan ditentukan dengan kemampuanya dalam mereduksi DPPH. Sebanyak 50L
sampel dicampur dengan 100L dari Tris larutan buffer (50 mM, pH 7.4) dan
dengan 850 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH) dalam 0,1 mM metanol.
Campuran itu kemudian disimpan pada suhu kamar 30 menit dalam keadaan
gelap. Reduksi radikal DPPH kemudian diukur pada absorbansi 515 nm. Selain
pengukuran terhadap sampel, juga dilakukan pengukura nterhadap blanko.
Pengukran nilai blanko ini dilakukan untuk memperoleh nilai absorbansi yang
nantinya digunakan sebagai acuan dari nilai absorbansi sampel. aktivitas
antioksidan DPPH dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:
DPPH (%) = (1

A sampe l A kontrol
)
A blanko

2. Reducing power
Reducing power dari hidrolisat protein ikan wader dan ikan bader ditentukan
menurut metode dari Oyaizu (1988). Sebanyak 2 mL dari setiap hidrolisat pada
konsentrasi protein yang berbeda (3-20 mg / mL), ditambahkan ke 2 mL dalam
0,2 mM bufer fosfat (pH 6,6) dan 2 ml (konsentrasi 1%) kalium ferricyanide.
Campuran reaksi diinkubasi pada 50 C selama 20 menit dan kemudian
ditambahkan 2 mL (konsentrasi 10%) TCA. Campuran disentrifugasi pada 1500
selama 10 menit. Sebanyak 2 mL dari supernatan dicampur dengan 2 mL air
destilasi dan 0,4 mL besi klorida (konsentrasi 0,1%). Absorbansi larutan yang
dihasilkan tercatat sebesar 700 nm setelah 10 menit.
3. Aktivitas Chelating besi (Fe2+)

Aktivitas chelating besi dari hidrolisat protein ikan wader dan bader diukur
dengan metode Decker dan Welch (1990). Sebanyak 3,7 ml air destilasi
ditambahkan ke dalam 1 mL dari setiap hidrolisat protein ikan pada konsentrasi
yang berbeda (0,2-1 mg / mL). Kemudian, ditambahkan 100L besi klorida 2
mM. Setelah 3 menit, reaksi dihambat oleh penambahan 200l ferrozine 5 mM.
Campuran tersebut dikocok dengan kuat dan dibiarkan pada suhu kamar selama
10 menit. Absorbansi diukur pada panjang gelombang 562 nm. Selain pengukuran
pada sampel, juga dilakukan pengukuran pada blanko yang dibuat dengan cara
yang sama tanpa menambahkan ferrozine. Kapasitas chelating besi dihitung
dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
A sampel A kontrol
(1
)
Aktivitas chelating besi (%) =
A blanko

Anda mungkin juga menyukai