Anda di halaman 1dari 10

IKAN BANDENG

Ikan bandeng (Chanos chanos), kali pertama ditemukan oleh seseorang peneliti bernama
Dane Forsskål pada Tahun 1925 di laut merah. Ikan Bandeng termasuk dalam famili Chanidae
dengan morfologi ikan yaitu jenis ikan yang mempunyai bentuk memanjang, padat, pipih dan oval
menyerupai torpedo. Perbandingan tinggi dengan panjang total sekitar 1 : (4,0-5,2). Sementara itu,
perbandingan panjang kepala dengan panjang total adalah 1 : (5,2-5,5) (Sudrajat, 2008).
Ukuran kepala seimbang dengan ukuran tubuhnya, berbentuk lonjong dan tidak bersisik.
Bagian depan kepala (mendekati mulut) semakin runcing (Purnowati et al, 2007).
Menurut Sudrajat (2008) Klasifikasi ikan bandeng (Chanos chanos) adalah sebagai berikut:
 Kingdom : Animalia
 Filum : Chordata
 Subfilum : Vertebrata
 Kelas : Osteichthyes
 Subkelas : Teleostei
 Ordo : Malacopterygii
 Famili : Chanidae
 Genus : Chanos
 Spesies : Chanos chanos

Gambar 1. Ikan Bandeng

(Sumber: http://kkp.go.id/an-component/media/upload-gambar-
pendukung/DIT%20PERBENIHAN/SNI%20Perbenihan/7%20SNI%20Bandeng%20New/20866_SNI%206148.1-2013.pdf)

Bagian ikan bandeng seperti tertera pada gambar adalah sebagai berikut:
1. Mulut
2. Sirip Punggung (Dorsal fin)
3. Sirip Dada (Pectoral fin)
4. Sirip Perut (Ventral fin)
5. Sirip Dubur (Anal fin)
6. Gurat Sisi (Linea lateralis)
7. Sirip Ekor (Caudal fin)
Sirip dada ikan bandeng terbentuk dari lapisan semacam lilin, berbentuk segitiga, terletak
dibelakang insang disamping perut. Sirip punggung pada ikan bandeng terbentuk dari kulit yang
berlapis dan licin, terletak jauh dibelakang tutup insang dan berbentuk segiempat. Sirip punggung
tersusun dari tulang sebanyak 14 batang. Sirip ini terletak persis pada puncak punggung dan
berfungsi untuk mengendalikan diri ketika berenang. Sirip perut terletak pada bagian bawah tubuh
dan sirip anus terletak di bagian depan anus. Di bagian paling belakang tubuh ikan bandeng
terdapat sirip ekor berukuran paling besar dibandingkan sirip - sirip lain. Pada bagian ujungnya
berbentuk runcing, semakin ke pangkal ekor semakin lebar dan membentuk sebuah gunting
terbuka. Sirip ekor ini berfungsi sebagai kemudi laju tubuhnya ketika bergerak (Purnowati et al.,
2007).
Habitat dan Kebiasaan Hidup Ikan Bandeng (Chanos chanos)
Ikan bandeng termasuk jenis ikan eurihaline, dimana dapat hidup pada kisaran kadar garam
yang cukup tinggi (0 – 140 promil). Oleh karena itu ikan bandeng dapat hidup di daerah tawar
(kolam/sawah), air payau (tambak), dan air asin (laut) (Purnowati, et al., 2007).
Ketika mencapai usia dewasa, ikan bandeng akan kembali ke laut untuk berkembang biak
(Purnomowati, dkk., 2007). Pertumbuhan ikan bandeng relatif cepat, yaitu 1,1-1,7 % bobot
badan/hari (Sudrajat, 2008), dan bisa mencapai berat rata -rata 0,60 kg pada usia 5 - 6 bulan jika
dipelihara dalam tambak (Murtidjo, 2002).
Ikan bandeng merupakan jenis ikan laut yang daerah penyebarannya meliputi daerah
tropika dan sub tropika (Pantai Timur Afrika, Laut Merah sampai Taiwan, Malaysia, Indonesia
dan Australia). Di Indonesia penyebaran ikan bandeng meliputi sepanjang pantai utara Pulau Jawa,
Madura, Bali, Nusa Tenggara, Aceh, Sumatra Selatan, Lampung, Pantai Timur Kalimantan,
sepanjang pantai Sulawesi dan Irian Jaya. (Purnowati, et al., 2007).
Ikan bandeng mempunyai kebiasaan makan pada siang hari. Di habitat aslinya ikan
bandeng mempunyai kebiasaan mengambil makanan dari lapisan atas dasar laut, berupa tumbuhan
mikroskopis seperti: plankton, udang renik, jasad renik, dan tanaman multiseluler lainnya.
Makanan ikan bandeng disesuaikan dengan ukuran mulutnya, (Purnomowati, dkk., 2007). Pada
waktu larva, ikan bandeng tergolong karnivora, kemudian pada ukuran fry menjadi omnivore. Pada
ukuran juvenil termasuk ke dalam golongan herbivore, dimana pada fase ini juga ikan bandeng
sudah bisa makan pakan buatan berupa pellet. Setelah dewasa, ikan bandeng kembali berubah
menjadi omnivora lagi karena mengkonsumsi, algae, zooplankton, bentos lunak, dan pakan buatan
berbentuk pellet (Aslamyah, 2008).
Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Ikan Bandeng (Chanos chanos)
Pertumbuhan merupakan suatu perubahan bentuk akibat pertambahan panjang, berat dan
volume dalam periode tertentu secara individual. Pertumbuhan juga dapat diartikan sebagai
pertambahan jumlah sel-sel secara mitosis yang pada akhirnya menyebabkan perubahan ukuran
jaringan. Pertumbuhan bagi suatu populasi adalah pertambahan jumlah individu, dimana faktor
yang mempengaruhinya dapat berupa faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi umur,
keturunan dan jenis kelamin, sedangkan faktor eksternal meliputi suhu, makanan, penyakit, media
budidaya, dan sebagainya (Haryono et al, 2001).
Sintasan (survival rate) adalah persentase ikan yang hidup dari jumlah ikan yang dipelihara
selama masa pemeliharaan tertentu dalam suatu wadah pemeliharaan. Kelangsungan hidup ikan
dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya kualitas air, ketersediaan pakan yang sesuai dengan
kebutuhan ikan, kemampuan untuk beradaptasi dan padat penebaran. Tingkat kelangsungan hidup
dapat digunakan dalam mengetahui toleransi dan kemampuan ikan untuk hidup (Effendi, 1997).
Survival rate ikan air tawar di dalam lingkungan berkadar garam bergantung pada jaringan
insang, laju 9 konsumsi oksigen, daya tahan atau toleransi jaringan terhadap garam - garam dan
kontrol permeabilitas (Wulandari, 2006).
Kelangsungan hidup sebagai salah satu parameter uji kualitas benih. Peluang hidup suatu
individu dalam waktu tertentu, sedangkan mortalitas adalah kematian yang terjadi pada suatu
populasi organisme yang dapat menyebabkan turunnya populasi (Wulandari 2006).
Ikan yang berukuran kecil atau benih akan lebih rentan terhadap parasit, penyakit dan
penanganan yang kurang hati - hati. Kelangsungan hidup larva ditentukan oleh kualitas induk,
telur, kualitas air, serta rasio antara jumlah makanan dan kepadatan larva (Effendi, 1997).
Peningkatan padat tebar akan mengganggu proses fisiologi dan tingkah laku ikan terhadap
ruang gerak yang pada akhirnya dapat menurunkan kondisi kesehatandan fisiologis sehingga
pemanfaatan makanan, pertumbuhan dan kelangsungan hidup mengalami penurunan
(Darmawangsa, 2008).
Respon stress terjadi dalam tiga tahap yaitu tanda adanya stress, bertahan, dan kelelahan.
Proses adaptasi ikan pada tahap awal akan mulai mengeluarkan energinya untuk bertahan dari
stress. Selama proses bertahan ini pertumbuhan akan menurun. Dampak dari stress ini
mengakibatkan daya tahan tubuh ikan menurun dan selanjutnya terjadi kematian. Gejala ikan
sebelum mati yaitu warna tubuh menghitam, pergerakan tidak berorientasi, dan mengeluarkan
lendir pada permukaan kulitnya (Darmawangsa, 2008).
Kualitas Air
Kualitas air menurut (Effendi, 2003) adalah sifat air dan kandungan mahluk hidup, zat
energi, atau komponen lain di dalam air. Kualitas air penting untuk diperhatikan dalam transportasi
tertutup benih ikan bandeng. Kematian ikan pada sistem pengangkutan pada umumnya disebabkan
oleh kadar CO2 yang tinggi, akumulasi amoniak, hiperaktivitas ikan, infeksi bakteri dan luka fisik
akibat penanganan yang kasar.
Suhu
Suhu perairan merupakan parameter fisika yang sangat mempengaruhi pola kehidupan
biota akuatik seperti penyebaran, kelimpahan dan mortalitas (Wijayanti, 2007).
Suhu mempengaruhi aktivitas metabolisme organisme, karena itu 8 penyebarannya di
diperairan dibatasi oleh suhu (Kordi dan Tanjung, 2007). Variasi suhu dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu antara lain tingkat intensitas cahaya yang tiba dipermukaan perairan, keadaan cuaca,
awan dan proses pengadukan serta radiasi matahari (Maniagasi et al,2013).
Direktorat Jendral Perikanan Budidaya (2010) menyatakan bahwa keadaan suhu air yang
optimal untuk kehidupan benih ikan bandeng adalah 27-30 ˚C. Kehidupannya mulai terganggu
pada apabila suhu perairan mulai turun sampai 15-20 ˚C atau meningkat di atas 35 ˚C. Aktivitasnya
terhenti pada perairan yang suhunya di bawah 6 ˚C atau di atas 42 ˚C. Sedangkan menurut Zakaria
(2010), suhu optimal untuk nila berkisar antara 26-33 ˚C.
Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman (pH) merupakan salah satu parameter penting dalam suatu perairan
karena mengontrol tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan dalam air. Nilai pH
menggambarkan seberapa besar tingkat keasaman atau kebasaan suatu perairan. Tingkat keasaman
merupakan faktor yang penting dalam proses pengolahan air untuk perbaikan kualitas air. Kondisi
perairan bersifat netral apabila nilai pH sama dengan 7, kondisi perairan bersifat asam bila pH
kurang dari 7, sedangkan pH lebih dari 7 kondisi perairan bersifat basa (Irianto dan Triweko,
2011).
Derajat keasaman suatu perairan dipengaruhi oleh konsentrasi CO2 dan senyawa yang
bersifat asam (Lesmana, 2002). Selanjutnya Purnawati (2002), menambahkan bahwa derajat
keasaman sering digunakan sebagai petunjuk untuk menyatakan baik buruknya keadaan air
sebagai lingkungan hidup. Menurut Kordi (2008), ikan bandeng mempunyai toleransi yang
panjang terhadap derajat keasaman yaitu antara 7-9 dan menurut Direktorat Jendral Perikanan
Budidaya (2010) derajat keasaman yang optimum adalah 7,2-8,3.
Oksigen terlarut (DO)
Oksigen merupakan salah satu faktor pembatas, sehingga apabila ketersediaannya didalam
air tidak mencukupi kebutuhan biota budidaya, maka segala aktivitas biota akan terhambat (Kordi
dan Tanjung, 2007). Oksigen diperlukan ikan untuk respirasi dan metabolisme dalam tubuh ikan
untuk aktivitas berenang, pertumbuhan, reproduksi dan lain- lain. Nilai oksigen di dalam budidaya
ikan sangat penting karena kondisi yang kurang optimal untuk pertumbuhan dan perkembangan
dapat mengakibatkan ikan stress 9 (Salmin, 2005).
Faktor pembatas bagi kandungan oksigen terlarut dalam perairan ialah kehadiran
organisme fotosintesis, suhu, tingkat penetrasi cahaya, tingkat kederasan aliran air dan jumlah
bahan organik yang diuraikan dalam air (Effendi, 2003). Kandungan oksigen terlarut yang optimal
bagi ikan bandeng adalah 3–7 mg/l (Kordi, 2008), sedangkan data dari Direktorat Jendral
Perikanan Budidaya (2010) mengatakan bahwa kandungan oktigen terlarut unruk ikan bandeng
adalah berada pada kisaran optimum 3,0–8,5 ppm. Apabila konsentrasi oksigen cukup tinggi, larva
menyebar secara merata dalam tangki. Sebaliknya, apabila konsentrasi oksigen sangat rendah,
benih berkonsentrasi dibagian yang banyak arus aerasi atau jalan pemasukan air (Slembrouck, et
al., 2005).
Salinitas
Salinitas Menurut Supono (2008), salinitas dapat didefinisikan sebagai total konsentrasi
ion–ion terlarut dalam air. Dalam budidaya perairan, salinitas dinyatakan dalam (°/oo) atau ppt (
part perthousand ). Salinitas air berpengaruh terhadap tekanan osmotik air, semakin tinggi salinitas
akan semakin besar pula tekanan osmotiknya sehingga biota yang hidup di air asin mampu
menyesuaikan dirinya terhadap tekanan osmotik dari lingkungannya (Kordi dan Tanjung, 2007).
Direktorat Jendral Perikanan Budidaya (2010) menyatakan bahwa keadaan salinitas air yang
optimal untuk kehidupan benih ikan bandeng adalah 29–32 ppt sedangkan menurut Kordi dan
Tanjung (2007), salinitas optimal untuk bandeng adalah berkisar antara 0–35 ppt.
Ikan bandeng termasuk jenis ikan eurihalin, sehingga ikan bandeng dapat dijumpai di
daerah air tawar, air payau, dan air laut. Selama masa perkembangannya, ikan bandeng menyukai
hidup di air payau atau daerah muara sungai. Ketika mencapai usia dewasa, ikan bandeng akan
kembali ke laut untuk berkembang biak (Purnomowati, dkk., 2007). Pertumbuhan ikan bandeng
relatif cepat, yaitu 1,1-1,7 % bobot badan/hari (Sudrajat, 2008), dan bisa mencapai berat rata-rata
0,60 kg pada usia 5-6 bulan jika dipelihara dalam tambak (Murtidjo, 2002).
Kadar Ammonia
Amonia Amonia merupakan senyawa beracun hasil ekskresi atau pengeluaran kotoran
yang berbentuk gas. Selain itu amonia bisa berasal dari pakan yang tidak dimakan oleh ikan
sehingga larut dalam air. Amonia akan mengalami proses nitrifikasi dan dinitrifikasi sesuai siklus
nitrogen dalam air ssehingga menjadi nitrit (NO2) dan nitrat (NO3). Dalam proses nitrifikasi dan
denitrifikasi dapat berjalan lancar bila tersedia bakteri Nitrobacter dan Nitrosomonas dalam jumlah
yang cukup. Nitrobacter berperan mengubah amonia menjadi nitrit, sedangkan Nitrosomonas
mengubah nitrit menjadi nitrat (Haliman dan Adijaya, 2005).
Nitrit beracun bagi ikan karena mengoksidadi Fe²+ dalam hemoglobin, sehingga
kemampuan darah untuk mengikat oksigen sangat rendah. Toksisitas 10 dari nitrit yaitu
mempengaruhi transport oksigen dalam darah dan merusak jaringan. Kadar nitrit 6,4 ppm NO²-N
dapat menghambat pertumbuhan udang vannamei sebanyak 50 % (Mahmudi, 2005).
Menurut Poernomo (1988), pengaruh langsung dari kadar amonia yang tinggi dapat
mematikan karena rusaknya jaringan insang. Lembaran insang akan membengkak sehingga fungsi
insang sebagai alat pernafasan menjadi terganggu. Amonia bebas bersifat toksik terhadap
organisme akuatik. Toksisitas ini akan meningkat jika terjadi penurunan kadar oksigen terlarut,
pH dan suhu. Kadar amonia pada perairan alami biasanya kurang dari 0,1 mg/L (Effendi 2003).
IKAN NILA
Ikan nila merupakan jenis ikan air tawar yang mempunyai nilai konsumsi cukup tinggi.
Bentuk tubuh memanjang dan pipih ke samping dan warna putih kehitaman atau kemerahan. Ikan
nila berasal dari Sungai Nil dan danau-danau sekitarnya. Sekarang ikan ini telah tersebar ke
negara-negara di lima benua yang beriklim tropis dan subtropis. Di wilayah yang beriklim dingin,
ikan nila tidak dapat hidup baik (Sugiarto, 1988). Ikan nila disukai oleh berbagai bangsa karena
dagingnya enak dan tebal seperti daging ikan kakap merah (Sumantadinata, 1981). Terdapat tiga
jenis ikan nila yang dikenal, yaitu nila biasa, nila merah (nirah) dan nila albino (Sugiarto, 1988).

Gambar 2. Ikan Nila

(Sumber: http://3.bp.blogspot.com/-l17wvRf5glQ/T021c1Pw2iI/AAAAAAAACFQ/6D_t7TPURTw/s320/ikan+nila.jpg)

Menurut Saanin (1984), ikan nila (Oreochromis niloticus) mempunyai klasifikasi sebagai berikut:
 Kingdom : Animalia
 Filum : Chordata
 Subfilum : Vertebrata
 Kelas : Osteichtyes
 Subkelas : Acanthopterygii
 Ordo : Percomorphi
 Subordo : Percoidea
 Famili : Cichlidae
 Genus : Oreochromis
 Spesies : Oreochromis niloticus

Morfologi Ikan Nila


Morfologi ikan nila (Oreochromis niloticus) menurut Saanin (1968), mempunyai ciri-ciri
bentuk tubuh bulat pipih, punggung lebih tinggi, pada badan dan sirip ekor (caundal fin) ditemukan
garis lurus (vertikal). Pada sirip punggung ditemukan garis lurus memanjang. Ikan Nila
(Oreochormis niloticus) dapat hidup diperairan tawar dan mereka menggunakan ekor untuk
bergerak, sirip perut, sirip dada dan penutup insang yang keras untuk mendukung badannya. Nila
memiliki lima buah Sirip, yaitu sirip punggung (dorsal fin), sirip data (pectoral fin) sirip perut
(ventral fin), sirip 3 anal (anal fin), dan sirip ekor (caudal fin). Sirip punggungnya memanjang dari
bagian atas tutup ingsang sampai bagian atas sirip ekor. Terdapat juga sepasang sirip dada dan
sirip perut yang berukuran kecil dan sirip anus yang hanya satu buah berbentuk agak panjang.
Sementara itu, jumlah sirip ekornya hanya satu buah dengan bentuk bulat.
Habitat Dan Kebiasaan Hidup Ikan Nila
Ikan nila merupakan ikan konsumsi yang umum hidup di perairan tawar, terkadang ikan
nila juga ditemukan hidup di perairan yang agak asin (payau). Ikan nila dikenal sebagai ikan yang
bersifat euryhaline (dapat hidup pada kisaran salinitas yang lebar). Ikan nila mendiami berbagai
habitat air tawar, termasuk saluran air yang dangkal, kolam, sungai dan danau. Ikan nila dapat
menjadi masalah sebagai spesies invasif pada habitat perairan hangat, tetapi sebaliknya pada
daerah beriklim sedang karena ketidakmampuan ikan nila untuk bertahan hidup di perairan dingin,
yang umumnya bersuhu di bawah 21 °C (Harrysu, 2012).
Menurut Mudjiman (2001), Ikan Nila (Oreochormis niloticus) adalah termasuk campuran
ikan pemakan campuran (omnivora).
Ikan nila mempunyai kemampuan tumbuh secara normal pada kisaran suhu 14-38 °C
dengan suhu optimum bagi pertumbuhan dan perkembangannya yaitu 25-30 °C. Pada suhu 14 °C
atau pada suhu tinggi 38 °C pertumbuhan ikan nila akan terganggu. Pada suhu 6 °C atau 42 °C
ikan nila akan mengalami kematian. Kandungan oksigen yang baik bagi 4 pertumbuhan ikan nila
minimal 4mg/L, kandungan karbondioksida kurang dari 5mg/L dengan derajat keasaman (pH)
berkisar 5-9 (Amri, 2003).
Menurut Santoso (1996), pH optimum bagi pertumbuhan nila yaitu antara 7-8 dan warna
di sekujur tubuh ikan dipengaruhi lingkungan hidupnya. Bila dibudidayakan di jaring terapung
(perairan dalam) warna ikan lebih hitam atau gelap dibandingkan dengan ikan yang dibudidayakan
di kolam (perairan dangkal). Pada perairan alam dan dalam sistem pemeliharaan ikan, konsentrasi
karbondioksida diperlukan untuk proses fotosintesis oleh tanaman air. Nilai CO2 ditentukan antara
lain oleh pH dan suhu. Jumlah CO2 di dalam perairan yang bertambah akan menekan aktivitas
pernapasan ikan dan menghambat pengikatan oksigen oleh hemoglobin sehingga dapat membuat
ikan menjadi stress. Kandungan CO2 dalam air untuk kegiatan pembesaran nila sebaiknya kurang
dari 15 mg/liter (Sucipto dan Prihartono, 2005).
Laju Pertumbuhan Spesifik atau Spesific Growth Rate (SGR)
Menurut Wahyuningsih dan Barus (2006), pertumbuhan dapat didefinisikan sebagai
pertumbuhan ukuran berupa panjang dan berat pada waktu tertentu atau perubahan kalori yang
tersimpan menjadi jaringan somatik dan reproduksi. Pada proses pertumbuhan laju anabolisme
akan melebihi laju katabolisme.
Menurut Effendie (2002), pertumbuhan merupakan proses biologis yang kompleks yang
akan dipengaruhi berbagai faktor dimana 5 pertumbuhan akan menunjukkan adanya pertambahan
panjang, berat dalam suatu satuan waktu. Ikan nila memiliki ketahanan yang tinggi terhadap
penyakit, tahan terhadap lingkungan air yang kurang baik. Kelangsungan hidup ikan dapat
dilakukan dengan cara yaitu: pemilihan pakan/pelet jenis terapung dan Pemberian pakan
menyebar, tidak terkonsentrasi pada area tertentu (Suyanto, 2004).
OSMOREGULASI
Osmoregulasi merupakan proses menjaga keseimbangan antara jumlah air dan zat terlarut
yang ada dalam tubuh hewan. Proses inti dalam osmoregulasi adalah osmosis. Dimana osmosis
merupakan pergerakan air dari cairan yang mempunyai kandungan air lebih tinggi menuju cairan
yang mempunyai kandungan air lebih rendah (Isnaeni, 2006). Kondisi ini kemudian memaksa ikan
ataupun organisme lain untuk dapat melakukan proses penyesuaian dan pertahanan tubuh terhadap
perbadaan konsentrasi ion dan konsentrasi cairan baik dalam tubuh ikan sendiri maupun terhadap
lingkungan tempat hidupnya.
Definisi osmoregulasi sendiri adalah proses pengaturan tekanan osmotic yang berlangsung
di dalam tubuh organisme. Ada dua kategori dalam proses menghadapi tekanan osmotik air media
yaitu ormoregulator dan osmokonformer. Dalam kondisi perairan yang tidak menentu baik
hipertonik maupun hipotonik, ikan berusaha mempertahankan tekanan osmotic cairan tubuhnya
(Taufik dan Eni, 2011).
Setiap jenis ikan memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam mempertahankan
tekanan osmosis dalam tubuhnya. Disamping itu, perbedaan kondisi lingkungan juga berpengaruh
terhadap ketahanan osmoregulasi yang terjadi pada tubuh ikan. Berdasarkan perbedaan itulah
maka ikan dikelompokkan menjadi tiga 3 yakni ikan air tawar, ikan air payau dan ikan air laut.
Kemampuan tubuh terhadap perubahan salinitas menjadi pembeda ketiganya. Pada ikan air tawar
cara membatasi pemasukan air dan kehilangan ion yakni dengan cara membentuk permukaan
tubuh yang impermeable terhadap air sedangkan untuk ikan air laut osmoregulasi diperoleh dengan
memasukan ion tertentu dari air laut, pemasukan tersebut membuat cairan tubuh hewan menjadi
hiperosmotik dibandingkan air laut. Untuk ikan air payau hewan ini memiliki tingkat adaptasi yang
baik terhadap perubahan kadar garam dihabitatnya (Isnani, 2006). Oleh sebabnya termasuk dalam
kelompok hewan euryhalin.
Perbedaan toleransi ikan terhadap perubahan salinitas diperairan sangat ditentukan oleh
fungsi fisiologinya. Menurut Isnani (2006) ikan yang mampu untuk Menggunakan insangnya
sebagai tempat pengambilan ataupun pembuangan air dan berbagai zat terlarut membuat hewan
tersebut memiliki toleransi besar (eurohalin) terhadap perbuahan salinitas dibanding dengan ikan-
ikan yang tidak memiliki daya toleransi yang besar terhadap perubahan salinitas tersebut atau
dalam hal ini bersifat stenohalin.
Osmoregulasi adalah proses pengaturan konsentrasi cairan dengan menyeimbangkan
pemasukkan serta pengeluaran cairan tubuh oleh sel atau organisme hidup, atau pengaturan
tekanan osmotik cairan tubuh yang layak bagi kehidupan sehingga proses-proses fisiologis dalam
tubuh berjalan normal. Rahardjo (1980) menyatakan bahwa osmoregulasi adalah pengaturan
tekanan osmotik cairan tubuh yang layak bagi kehidupan ikan sehingga prosesproses fisiologis
tubuhnya berjalan normal. Menurut Stickney (1979), salinitas berhubungan erat dengan proses
osmoregulasi dalam tubuh ikan yang merupakan fungsi fisiologis yang membutuhkan energi.
Organ yang berperan dalam proses tersebut antara lain ginjal, insang, kulit, dan membran mulut
dengan berbagai cara. Osmoregulasi juga berfungsi ganda sebagai sarana untuk membuang zat-zat
yang tidak diperlukan oleh sel atau organisme hidup.
Pada saat ikan sakit, luka atau stres, proses osmosis akan terganggu sehingga air akan lebih
banyak masuk ke dalam tubuh ikan dan garam lebih banyak keluar dari tubuh. Akibatnya beban
kerja ginjal ikan untuk memompa air keluar dari dalam tubuhnya meningkat. Apabila hal tersebut
terus berlangsung dapat menyebabkan ginjal menjadi rusak sehingga ikan mati. Pada keadaan
normal ikan mampu memompa air kurang lebih 1/3 dari bobot total tubuhnya setiap hari.
Penambahan garam ke dalam air diharapkan dapat membantu menjaga ketidak seimbangan ini
sehingga ikan tetap bertahan hidup dan mempunyai kesempatan untuk memulihkan dirinya dari
luka atau penyakit. Tentunya dosis untuk ikan harus diatur sedemikian rupa sehingga kadar
garamnya tidak lebih tinggi daripada kadar garam dalam darah ikan. Apabila kadar garam dalam
air lebih tinggi dari kadar garam darah, efek sebaliknya akan terjadi, air akan keluar dari tubuh
ikan dan garam masuk ke dalam darah, akibatnya ikan terdehidrasi dan akhirnya akan mati.
Osmoregulasi sangat penting pada hewan air karena tubuh ikan bersifat permeabel terhadap
lingkungan maupun larutan garam. Sifat fisik lingkungan yang berbeda menyebabkan terjadinya
perbedaan proses osmoregulasi antara ikan air tawar dengan ikan air laut. Pada ikan air tawar, air
secara terus-menerus masuk ke dalam tubuh ikan melalui insang. Ini secara pasif berlangsung
melalui suatu proses osmosis yaitu, terjadi sebagai akibat dari kadar garam dalam tubuh ikan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan lingkungannya. Dalam keadaan normal proses ini berlangsung
seimbang. Ikan air tawar harus selalu menjaga dirinya agar garam tidak melarut dan lolos ke dalam
air. Garam-garam dari lingkungan akan diserap oleh ikan menggunakan energi metaboliknya. Ikan
mempertahankan keseimbangannya dengan tidak banyak minum air, kulitnya diliputi mucus,
melakukan osmosis lewat insang, produksi urinnya encer, dan memompa garam melalui sel-sel
khusus pada insang. Secara umum kulit ikan merupakan lapisan kedap, sehingga garam di dalam
tubuhnya tidak mudah bocor ke dalam air. Satu-satunya bagian ikan yang berinteraksi dengan air
adalah insang.

Gambar 3. Osmoregulasi pada ikan air tawar Gambar 4. Osmoregulasi pada ikan air laut

(Sumber: Smith, 1982 dalam Fujaya, 1999) (Sumber: Smith, 1982 dalam Fujaya, 1999)

Adapun organ-organ tubuh yang berperan sebagai tempat berlangsungnya osmoregulasi


adalah insang, saluran pencernaan, intergumen (kulit) dan organ eksresi pada kelenjar antena
(Mantel dan Farmer 1983, dalam Kordi dan Andi, 2007).
Menurut Yunus (2009), organ osmoregulasi yaitu:
Insang
Pada Insang, sel-sel yang berperan dalam osoregulasi adalah sel-sel chloride yang terletak
pada dasar lembaran-lembaran insang. Perubahan ion pada sel-sel Chlorida osearodrom berbeda
dengan patdrom. Pada diadrom selama migrasi antara air tawar dan air laut membran dan
mitokondria sel mengalami perubahan besar sehingga dapat bersifat seperti oseadrom bila berada
di air laut dan potadrom bila di air tawar.
Ginjal
Ginjal melakukan dua fungsi utama:
(1) mengeksresikan sebagian besar produk akhir metabolisme tubuh,
(2) Mengatur konsentrasi cairan tubuh.
Usus
Setelah air masuk divalent tetap di dalam usus sebagai cairan rectal agar osmolaritas usus
sama dengan darah.

Hormon osmoregulasi
Pada sebagian besar penelitian menyatakan bahwa terdapat dua hormon yang sangat
penting dalam proses osmoregulasi yaitu hormon prolaktin dan kortisol. Prolaktin disekresikan
oleh sel-sel yang berada di kelenjar pituitari ikan dan berperan penting dalam mencegah difusi
Na+ keluar melalui membran permeable pada ikan-ikan air tawar. Hormon steroid yaitu kortisol,
diproduksi dalam sel-sel internal di ginjal bagian atas (head kidney) dan berperan penting pada
proses adaptasi ikan-ikan euryhaline pada perairan. Kortisol pada ikan teleostei euryhaline
berperan dalam mengekskresikan ion melalui insang dengan menstimulasi sel-sel kloride untuk
aktivitas proliferasi, diferensiasi, dan ekskresi karena level plasma kortisol meningkat selama
periode migrasi atau transfer dari air tawar ke air laut. Oleh karena itu, kortisol dikenal sebagai
“Hormon Air Laut” (Morgan, 1997).
Lebih lanjut dilaporkan pada beberapa penelitian terakhir menyatakan bahwa kortisol juga
berperan dalam osmoregulasi pada beberapa ikan air tawar. Hormon lain yang terlibat dalam
osmoregulasi dan bekerja secara sinergis antara lain growth hormone dan insulin-like growth
factor, thyroxine, dan tri-iodothyrosine, catecholamines, glucagon, somastomastin, stanniocalcin,
urotensin, dan natriuretic peptides.

Anda mungkin juga menyukai