Anda di halaman 1dari 18

PERBANDINGAN GASTROPROTECTIV pada EKSTRAK ETANOL DAN

HEKSAN TEMU GIRING (Curcuma heyneana Valeton & Zijp) PADA

MARMUT DENGAN METODE PENGIKATAN H.PYLORUS

1
2

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Saat ini penelitian dan pengembangan tumbuhan obat berkembang pesat.

Jauh sebelum penjajahan Belanda, bangsa Indonesia telah mengenal ilmu

pengetahuan secara tradisional, misalnya dengan tumbuhan, binatang, mineral,

doa dan pijat. Tapi cara-cara tersebut tidak dicatat dengan baik karena teknik

diajarkan secara lisan. Dalam perkembangan penelitian banyak teknik pengobatan

kuno yang hilang atau terlupakan. Oleh karena itu, jenis tumbuhan obat dan

penggunaannya harus dilestarikan oleh generasi penerus (Hariana, 2004).

Tanaman obat temu giring sangat dikenal oleh kalangan masyarakat di

pulau Jawa. Temu giring mempunyai khasiat obat yang sangat membantu dan

menjaga kesehatan serta daya tahan tubuh terhadap penyakit. Masih dalam

keluarga Zingiberaceae, temu giring ini termasuk dalam klasifikasi tanaman

Plantae dan mempunyai nama latin atau ilmiah Curcuma heyneana. Salah satu

kegunaan temu giring (Curcuma heyneana Valeton & Zijp) ini dapat sebagai

gastroprotektif melindungi lambung (Putra, 2015).

Rimpang temu giring terdapat kandungan flavonoid, minyak atsiri,

kurkumin, monoterpen, seskuiterpen, saponin, tanin, dan zat pati

(Hidayat dan Rodame, 2015). Mekanisme kerja dari flavonoid sebagai

gastroprotektif adalah dengan meningkatkan konten prostaglandin di dalam

mukosa lambung, flavonoid dapat mengurangi sekresi histamin dari sel mast

dengan mekanisme penghambatan kerja enzim histidin dekarboksilase, serta

flavonoid memiliki aktivitas penangkal radikal bebas di mana radikal bebas


3

memiliki peranan yang penting dalam pembentukan ulkus dan erosi pada saluran

gastrointestinal (Rahmaniyah, 2015).

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian tentang efek gastroprotektif ektrak n-heksan temu giring (Curcuma

heyneana Valeton & Zijp) pada marmut dengan metode pengikatan pilorus.

1.2. Rumusan masalah

1. Apakah ekstrak n-heksana, air dan etanol rimpang temu giring (Curcuma

heyneana Valeton & Zijp), memiliki efek gastroprotektif pada marmut dengan

metode pengikatan pilorus?

2. Pada dosis berapa ekstrak n-heksana, air dan etanol temu giring (Curcuma

heyneana Valeton & Zijp), memberikan efek gastroprotektif yang paling

optimal dengan metode pengikatan pilorus?

1.3. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui apakah ekstrak n-heksana dan etanol rimpang temu

giring (Curcuma heyneana Valeton & Zijp) dapat memberikan efek

gastropropektif pada marmut dengan metode pengikatan pilorus.

2. Untuk mengetahui pada konsentrasi berapakah ekstrak n-heksana, air dan

etanol temu giring (Curcuma heyneana Valeton & Zijp) dapat memberikan

efek gastroprotektif yang paling optimal dengan metode pengikatan

pilorus.

1.4. Hipotesis

1. Ekstrak n-heksana, dan etanol temu giring dapat memberikan efek

gastroprotektif pada marmut dengan metode pengikatan pilorus.


4

2. Pada konsentrasi tertentu ekstrak n-heksan, air dan etanol dapat memberikan

efek gastroprotektif yang paling optimal pada marmut dengan metode

pengikatan pilorus.

1.5 Manfaat penelitian

Manfaat dari penelitian ini yaitu untuk memberikan informasi ilmiah

mengenai efek gastroprotektif dari ekstrak n-heksana, air dan etanol rimpang temu

giring (Curcuma heyneana Valeton & Zijp) terhadap perlindungan pada lambung

sehingga penggunaannya dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Hasil

penelitian diharapkan menjadi dasar penelitian rimpang temu giring (Curcuma

heyneana Valeton & Zijp) sebagai obat alternatif untuk menangani penyakit

terkait lambung
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Uraian Tumbuhan

Temu giring merupakan sautu tumbuhan tahunan. Tumbuhan temu giring

memiliki ketinggian mencapai 2 meter. Temu giring tumbuh liar di hutan-hutan,

terutama pada hutan jati. Herba temu giring mempunyai rimpang yang tumbuh

menyebar kekiri dan kekanan batang secara memanjang sehingga terlihat lurus

dan bengkok kebawah. Rimpang bagian samping umumnya memiliki rasa yang

lebih pahit, dan bila terlihat dagingnya yang berwarna kuning dan berbau aromatis

khas temu giring (Sari, 2008).

2.1.1. Morfologi tanaman temu giring

Herba dengan akar rimpang memanjang, bagian luar kuning pucat, bagian

dalam keputihan, bagian tengah kekuningan, dan kuning terang disekelilingnya.

Bentuk lembaran daun lonjong-menjorong sampai lonjong-melanset. Pembungaan

tumbuh pada tunas yang baru, daun gagang berwarna hijau pucat, dengan

sumbang merah muda pucat dengan ujung gelap, mahkota putih, bibir bunga

5
6

putih,dengan pita median kuning tua sampai kuning (Hidayat dan Rodame,

2015).

2.1.2. Khasiat tumbuhan

Rimpang temu giring banyak dimanfaatkan sebagai obat cacingan

dan penyakit kulit. Temu giring diketahui sangat bermanfaat untuk kecantikan, m

ulai dari mengangkat sel-sel kulit mati,menghaluskan kulit, mengangkat kotoran,

mencerahkan kulit, mengatasi bau badan, dan mengatasi penyakit kulit.

2.2. Lambung

Lambung adalah perluasan organ berongga besar menyerupai kantung

dalam rongga peritoneum yang terletak diantara esofagus dan usus halus. Dalam

keadaan kosong, lambung menyerupai tabung bentuk J, dan bila penuh, berbentuk

seperti buah pir raksasa. Lambung terdiri dari antrum kardia (yang menerima

esofagus), fundus besar seperti kubah, badan utama atau korpus dan pylorus (Price

& Wilson, 2006). Bagian yang mirip kubah disebut fundus, daerah pusat yang

luas disebut korpus, dan bagian distal yang menyempit disebut pylorus. Lambung

mempunyai dua lubang yaitu ostium cardiacum dan ostium pyloricum . Curvatura

minor terdapat pada lambung sebelah kanan sedangkan Curvatura mayor terdapat

pada lambung sebelah kiri.


7

2.3. Tukak Peptic

Secara patologi anatomis, tukak lambung (ulkus peptikum)

adalah kerusakan atau hilangnya jaringan mukosa, submukosa, sampai lapisan

otot daerah saluran pencernaan makanan yang bermandikan cairan lambung asam

pepsin, dengan batas tajam dan bersifat jinak. Tukak lambung banyak terdapat

didaerah anthrum, dan paling sering di curvatura minor lambung (88%),

sedangkan 5% ditemukan sepanjang curvatura mayor (Simadibrata, 2003).


8

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

eksperimental.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Farmakologi Fakultas Farmasi

Universitas Tjut Nyak Dhien Medan.

3.3. Sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah rimpang temu giring

(Curcuma heyneana Valeton & Zijp) yang diperoleh dari pasar Sambu Medan.

Adapun sampel yang diambil adalah rimpang temu giring yang segar dengan

diameter lebih kurang 4 cm.

3.4. Hewan uji

Hewan yang digunakan dalam penelitian adalah marmut sehat yang

berumur 2-3 bulan dan berat badan 150-200 gram berjumlah 24 ekor. Hewan uji

diperoleh dari salah satu pet shop yang terdapat pada desa Helvetia Kecamatan

Sunggal Medan.

3.5. Alat dan Bahan

3.5.1. Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat bedah hewan,

benang, alat untuk pembuatan preparat histologi, alat gelas laboratorium,

mikroskop, sonde lambung, timbangan analitik,dan timbangan hewan, blender,

rotary evaporator, freeze dryer.


9

3.5.2. Bahan

Bahan yang digunakan adalah ekstrak n-heksana, air dan etanol temu

giring, akuades, CMC-Na 0,5%, formalin 10%, hematoksisilin eosin (HE),

ranitidin.

3.6. Pengolahan Sampel

3.6.1. Pengumpulan Sampel

Sampel yang digunakan adalah rimpang temu giring yang masih segar

yang diperoleh dari pasar Sambu Medan. Pengambilan sampel dilakukan secara

purposif, yaitu tanpa membandingkan dengan tumbuhan serupa dari daerah lain.

3.6.2. Identifikasi tumbuhan

Identifikasi tumbuhan dilakukan pada Herbarium Medanense Universitas

Sumatera Utara (USU).

3.6.3. Pembuatan serbuk simplisia

Rimpang temu giring (Curcuma heyneana Valeton & Zijp) dibersihkan

dari kotoran. Kemudian dicuci di bawah air yang mengalir dan ditiriskan

kemudian dirajang tipis-tipis, setelah itu dikeringkan di lemari pengering pada

suhu 40-50oC. Dilakukan sortasi kering, kemudian diserbukkan dengan

menggunakan blender. Serbuk rimpang temu giring disimpan dalam wadah

tertutup.

3.6.4. Pembuatan ekstrak n-heksana dan etanol rimpang temu giring


(Curcuma heyneana Valeton & Zijp) dengan cara perkolasi.

Sebanyak 1 kg serbuk simplisia dimasukkan ke dalam bejana tertutup

dan dibasahi dengan cairan penyari n-heksana, dimaserasi sekurang-kurangnya

2 jam. Massa dipindahkan sedikit demi sedikit ke dalam perkolator, kemudian

cairan penyari dituangkan secukupnya dan di atas simplisia masih terdapat


10

selapis cairan penyari, perkolator ditutup dan dibiarkan selama 24 jam. Keran

perkolator dibuka, cairan dibiarkan menetes dengan kecepatan 20 tetes tiap

menit. Cairan penyari ditambahkan berulang-ulang sehingga selalu terdapat

selapis cairan penyari di atas simplisia. Proses perkolasi dilakukan sampai

tetesan terakhir yang keluar dari perkolator tidak berwarna.

Perkolat yang diperoleh disuling dengan tekanan rendah pada suhu

tidak lebih dari 50°C menggunakan alat rotary evaporator hingga diperoleh

ekstrak kental, kemudian dilanjutkan dengan pengeringan beku menggunakan

freeze dryer pada suhu -40°C tekanan 2 atm selama 24 jam, diperoleh ekstrak

kering (Depkes RI, 1984) yang selanjutnya disebut ekstrak n-heksana temu

giring (ENTG) dan ekrak etanol temu giring (EETG)

3.7. Pembuatan Larutan Uji

3.7.1. Larutan CMC 0,5%

Ditimbang CMC 0,5 gram dan ditaburkan ke dalam lumpang yang berisi

40 ml air panas. Didiamkan selama 20 menit. Setelah CMC mengembang

dilakukan proses penggerusan hingga homogen dan selanjutnya ditambahkan air

hingga 100 ml.

3.7.2. Larutan suspensi ENTG & EETG 10%

Ditimbang ekstrak sebanyak 1 gram dalam 10 ml CMC 0,5%. Dimasukkan

ekstrak kedalam lumpang yang berisi sedikit larutan CMC 0,5% , gerus hingga

larut. Dimasukkan kedalam labu tentukur 10 ml dicukupkan sampai garis tanda .

3.7.3. Larutan ranitidin 0,2%


11

Digerus 1 tablet ranitidin yang mengandung 150 mg ranitidin. Serbuk

ranitidin yang telah digerus kemudian ditambahkan larutan CMC 0,5% sedikit

demi sedikit dan digerus homogen, lalu dicukupkan hingga 75 ml.

3.8. Persiapan hewan Uji

Hewan uji di aklimitasi selama 1 (satu) minggu dengan tujuan

mengadaptasikan hewan uji dengan lingkungan yang baru. Tahap ini dilakukan

pengamatan terhadap keadaan umur hewan uji, meliputi berat badan dan keadaan

fisiknya. Trikus dipuasakan namun tetap diberi minum selama 26 jam sebelum

diberi perlakuan. Tikus yang diikut sertakan dalam percobaan adalah tikus sehat

dengan ciri-ciri bulu tidak berdiri, meningkatnya berat badan dan aktif.

3.9. Pengelompokkan Hewan Uji dan penetapan Dosis

Tabel 3.1 Pengelompokkan hewan uji dan penetapan dosis ekstrak

Kelompok Uji Pengikatan Dosis Ekstrak Keterangan

pilorus (mg/kgBB)

I ✔ 100 Dosis I

II ✔ 200 Dosis II

III ✔ 400 Dosis III

IV ✔ 0.5% Pembawa

V ✔ Ranitidin 150 mg kontrol positif

VI ✔ - kontrolnegatif

Keterangan ✔= Dilakukan pengikatan Pilorus


12

- = Tidak diberikan suspensi Ekstrak

3.10. Pelaksanaan Orientasi

Uji orientasi dilakukan untuk menentukan ke efektifan metode pengikatan

pilorus sebagai penginduksi tukak lambung. Pilorus pada Tikus diikat sehingga

menyebabkan terjadinya tukak lambung pada Hewan uji.

3.11. Pelaksanaan Percobaan

Marmut dengan berat 150-170 g dipuasakan selama 24 jam hanya diberi

minum air secukupnya. Selama waktu percobaan mereka ditempatkan tunggal di

kandang untuk menghindari saling menggigit satu sama lain dan memakan

kembali vesesnya. Sepuluh hewan digunakan per dosis dan dikontrol. Sebelum di

lakukan pembedahan terlebih dahulu di anastesi menggunakan dietil eter lalu di

bedah di bagian tengah perut. Pilorus diikat, dilakukan perawatan agar tidak

terjadi kerusakan pada suplai darah atau traksi pada pilorus. Perut di genggam

dengan menggunakan klem dengan baik, hindari kerusakan ulserasi akan selalu

berkembang pada titik-titik tersebut. Dinding perut ditutup dengan jahitan.

senyawa uji kemudian diberikan secara oral setiap dosis.

Hewan ditempatkan selama 19 jam dalam silinder plastik dengan

diameter dalam 45 mm yang ditutup pada kedua ujungnya dengan kawat.

Setelah itu, hewan dikorbankan menggunakan anestesi dietil eter. Perut dibuka

dan ligatur, kemudian lambung di angkat dari dalam perut. Lambung

dikeringkan dalam tabung centrifuge. Di sepanjang kelengkungan yang lebih

besar lambung dibuka dan disematkan diatas pelat gabus. Mukosa diperiksa

dengan stereomikroskop. Pada tikus, dua perlima bagian atas perut membentuk
13

rumen dengan epitel skuamosa dan memiliki sedikit mekanisme perlindungan

terhadap cairan lambung tindakan korosif. di bawah punggung bukit yang

membatasi, di bagian kelenjar lambung daripada di bagian bawah, membentuk

antrum. oleh karena itu, lesi terjadi terutama di rumen dan di antrum. jumlah ulkus

dicatat dan tingkat keparahan dicatat dengan skor berikut.

 0 = Tidak ada ulkus

 1 = ulkus superfisial

 2 = ulkus dalam

 3 = perforasi

volume isi lambung diukur. setelah sentrifugasi, keasaman ditentukan dengan

titrasi dengan 0,1 NaOH.

Evaluasi:

indeks ulkus U1 dihitung: U1 = UN + US + UP

 UN : rata-rata jumlah ulkus per hewan

 US : rata-rata skor keparahan

 UP : persentase hewan dengan ulkus

Inhibisi ulcer

Persen inhibisi tukak merupakan gambaran dari efektivitas preventif dari

ekstrak n-heksana temu giring terhadap tukak lambung yang disebabkan karena

penggunaan AINS jangka waktu panjang. Persen inhibisi ditentukan dengan cara

berikut :

(IK (−)− IP)


Persen inhibisi tukak = x 100 %
IK (−)

Keterangan :

IK = Indeks tukak kontrol negative


14

IP = Indeks tukak kelompok dosis

1. Pengamatan histologi lambung

Pembuatan preparat histologi dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

a. Fiksasi

Organ lambung yang telah dipotong dibersihkan dengan NaCl 0,9%

kemudian difiksasi dengan larutan Bouin dan direndam selama 24 jam dalam

tempat tertutup rapat. Larutan Bouin terdiri dari:

Asam pikrat jenuh 75 ml

Formalin 4% 25 ml

Asam asetat glacial 5 ml

Kemudian dilkukan pencucian dengan menggunakan alkohol 70 % yang

diganti berkali-kali hingga warna kuning hilang.

b. Dehidrasi & penjernihan

Dehidrasi dilakukan dengan cara merendam lambung dalam alkohol

bertingkat, dimulai dengan alkohol presentase rendah. Pertama-tama lambung

direndam dalam alkohol 70% selama 24 jam, kemudian dalam alkohol 96%

sebanyak 2 kali masing-masing selama 1 jam. Selanjutnya, lambung direndam

dalam alkohol absolut, 2 kali masing-masing selama 15 menit. Proses ini

dilakukan untuk menarik air dan dehidran lainnya yang terdapat didalam jaringan

agar nantinya seluruh ruang-ruang antar sel dalam jaringan dapat diisi oleh

molekul – molekul paraffin.

c. Infiltrasi

Jaringan lambung yang telah didehidrasi, kemudian direndam dalam

paraffin cair dalam dua tahap. Pertama, jaringan lambung dimasukkan ke dalam
15

paraffin I selama 1 jam, kemudian dimasukkan ke dalam paraffin II selama 1 jam

dalam suatu inkubator atau oven dengan suhu <60°C. Hal ini dimasudkan agar

jaringan mendapatkan suatu lingkungan paraffin yang betul-betul murni, selain itu

untuk mencegah tertahannya sejumlah besar zat penjernih didalam jaringan,

karena akan menyebabkan jaringan menjadi lunak dan sukar diiris. Suhu incubator

ini tidak boleh terlalu tinggi karena kebanyakan enzim menjadi tidak aktif pada

suhu 57 °C. Selain itu, waktu yang dibutuhkan untuk memanaskan tidak boleh

terlalu lama karena akan menyebabkan jaringan menjadi keras dan sukar diiris.

d. Penananman

Jaringan lambung yang telah diinfiltrasi dimasukkan kedalam cetakan

berupa kotak-kotak kertas yang berisi paraffin cair hingga terendam. Paraffin yang

digunakan pada penanaman mempunyai titik cair yang sama dengan paraffin yang

digunakan pada infiltrasi. Kemudian jaringan dibiarkan pada suhu kamar hingga

dingin dan membeku. Setelah paraffin menjadi keras, maka blok paraffin yang

berisi jaringan dapat dilepaskan dari kotak kertas. Kelebihan paraffin disekitar

jaringan dipotong dan dirapikan lalu direkatkan pada kayu pemegang dengan

pemanasan.

e. Penyayatan

Sebelum dilakukan penyayatan, kayu pemegang dipasang pada mikrotom

dan pisau mikrotom diatur agar dapat dihasilkan sayatan dengan tebal 6µm.

f. Penempelan pada gelas objek

Penempelan dilakukan pada gelas objek bersih yang telah diolesi sedikit

albumin Mayer (campuran albumin telur dan gliserin dengan perbandingan 1:1,

campuran tersebut ditetesi dengan fenol atau timol agar tidak terjadi penjamuran
16

dan lebih tahan lama) untuk merekatkan jaringan pada gelas objek. Kemudian

pada gelas objek tersebut dipanaskan diatas paraffin stretcher dengan kisaran suhu

45-50 °C sampai jaringan mengembang dengan baik, proses ini bertujuan untuk

merentangkan sayatan jaringan dan merekatkannya pada gelas objek.

g. Melarutkan parafin

Paraffin yang merekat disekitar sayatan dapat dihilangkan dengan cara

merendam gelas objek didalam larutan xilol selama lebih kurang 15 menit. Jika

proses ini tidak sempurna, maka paraffin yang tertinggal didalam jaringan dapat

mengganggu masuknya zat ke dalam jaringan, sehingga hasil pewarnaan tidak

sesuai diharapkan.

h. Hidrasi

Masukkan gelas objek dalam larutan alkohol dengan konsentrasi turun

masing-masing selama 2 menit pada alkohol absolute, kemudian alkohol 96%,

alkohol 70%, dan dicuci dengan air bersih.

i. Pewarnaan

Gelas objek yang telah dihidrasi direndam dalam larutan hematoksilin

eosin selama 4 menit. Kemudian gelas objek dicuci dengan air mengalir hingga

bagian diluar jaringan bersih dari zat warna. Jika pewarnaan dengan

hematoksisilin eosin telah selesai, jaringan kemudian diwarnai dengan

hematoksisilin eosin selama 4 menit.

j. Dehidrasi

Gelas objek yang telah melalui proses pewarnaan kemudian direndam

dalam larutan alkohol dengan konsentrasi menaik yaitu alkohol 70% selama 2

menit, dan campuran alkohol: xilol (1:1) selama 5 menit.


17

k. penjernihan

gelas objek yang telah didehidrasi direndam dalam larutan xilol sebanyak

tiga kali, masing-masing selama 2 menit.

i. Penutupan

Sebelum xilol mongering, tutup dengan gelas penutup yang sebelumnya

telah ditetesi dengan Canada balsam. Usahakan agar tidak terdapat gelembung

udara.
18

Daftar Pustaka

Hariana., Arif. (2004). Tumbuhan Obat dan Khasiatnya. Jakarta: Swadaya

Hidayat, Syamsul dan Rodame M. Napitupulu. 2015. Kitab Tumbuhan Obat.

Jakarta: Agriflo.

Rahmaniyah, Syafaatur Nur. 2015. Uji Efek Penyembuhan Ulkus dari Perasan
Daging Buah Mangga Podang Urang (Mangifera Indica L.) Pada
Lambung yang di Induksi Aspirin. Jurnal Wiyata. Nomor 2 volume 2.

Price, S. A. dan Wilson, L. M. (2006). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit, Edisi 6, Volume 1. Jakarta: EGC.

Putra, Aditya Maulana perdana., Rustifah., Arsyad, Muhammad. (2015). Uji daya
hambat ekstrak etanol temu giring (Curcuma Heyneana VAL.) Terhadap
Pertumbuhan Escherichia Coli Secara In Vitro. Jurnal Ilmiah Manuntung:
1 (1) 68-74.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam. Jakarta: Internal Publishing; 2009.

Anda mungkin juga menyukai