Anda di halaman 1dari 35

Clinical Sains Session

Kekerasan Seksual oleh Anggota Keluarga

Oleh:
Muhammad Ryfki SA 1110313005
Alan Mustaqim 1210311019
Mira Mustika 1210312008
Nurul Husna Muchtar 1210312117
Muthia Rianty 1210312059
Mhicya Utami Ramadhani 1210313064
Novi Jamilah 1210313084
Atika Rosandali 1210313034
Farah Mutiara 1310311021
Aldian Mulyanto Lokaria 1310312093
Oktarina Nurfazriani A 1310312097

Preseptor :
dr. Citra Manlea, Sp.F

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP Dr. M. Djamil Padang
2017
Kata Pengantar
Puji syukur penulis ucapkan Kehadirat Allah SWT atas segala Rahmat dan
Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Clinical Sains
Session dengan judul “Kekerasan oleh Anggota Keluarga”. Salawat beriring salam
penulis panjatkan kepda Nabi Muhammad SAW beserta, keluarga, sahabat dan
pengikutnya.

Terima kasih kepada dr. Citra Manela, Sp.F sebagai preseptor yang telah
memberikan bimbingan dalam proses penyelesaian makalah ini. Terimakasih
kepada para Staf atas bimbingannya selama kepaniteraan klinik pada Bagian Ilmu
Kedoteran Forensik dan Medikolegal, RSUP dr. M. Djamil Padang.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam


penulisan skripsi ini, untuk itu kritik dan saran membangun sangat diharapkan.
Penulis berharap semoga dapat memberikan sumbangan dan manfaat kepada dunia
pendidikan, masyarakat dan penulis lainnya.

Padang, Oktober 2017

Penulis
Daftar Isi
Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
Daftar Tabel iii
Daftar Gambar iv
Absrak v
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 3
1.3 Tujuan Penulisan 3
1.4 Batasan Masalah 3
1.5 Metode Penulisan 3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian kekerasan seksual terhadap anggota keluarga 4
2.2 Dampak kekerasan seksual oleh anggota keluarga 4
2.3 Angka kejadian kekerasan seksual oleh anggota keluarga 9
2.4 peraturan Perundang-Undangan tentang kekerasan seksual oleh anggota
keluarga 12
2.5 Pemeriksaan Medis terhadap korban kekerasan seksual 13
2.6 Pemeriksaan Medis terhadap korban kekerasan seksual 25
III. Penutup 27
Kesimpulan 27
Saran 28
Daftar Pustaka 29
Daftar Gambar
Gambar 1. Beragam jenis selaput dara

22
Abstrak
Kekerasan seksual pada anak adalah keterlibatan seorang anak dalam segala
bentuk aktivitas seksual yang terjadi sebelum anak mencapai batasan umur tertentu
yang ditetapkan oleh hukum negara yang bersangkutan di mana orang dewasa atau
anak lain yang usianya lebih tua atau orang yang dianggap memiliki pengetahuan
lebih dari anak memanfaatkannya untuk kesenangan seksual atau aktivitas seksual.
Menurut Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Biro Pusat Statistik
Tahun 2007, angka kejadian tindak kekerasan terhadap anak di Indonesia adalah
3,02% yang artinya setiap 10.000 anak terdapat 302 anak korban kekerasan.
Kekerasan seksual cenderung menimbulkan dampak traumatis baik pada
anak maupun pada orang dewasa. Dampaknya dapat berupa mimpi buruk,
ketakutan berlebihan terhadap orang lain, sampai gangguan stress pasca trauma,
kecemasan, penyakit jiwa lain seperti gangguan kepribadian, gangguan identitas
bahkan dapat menimbulkan cedera fisik pada anak. Dampak jangka panjang
kekerasan seksual terhadap anak yaitu anak yang menjadi korban kekerasan seksual
pada masa kanak-kanak memiliki potensi untuk menjadi pelaku kekerasan seksual
di kemudian hari.
Tujuan penulisan referat ini yaitu mengetahui peranan dokter umum dalam
menangani kasus kekerasan seksual terhadap anak. Diharapkan hasil referat yang
dilakukan ini diharapkan dapat diperoleh Memberikan informasi yang bermanfaat
untuk mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan tentang tanda-tanda
kekerasan seksual terhadap anak serta tanda-tanda psikologisnya serta menambah
wawasan tentang ilmu kedokteran forensik, khususnya tentang kekerasan seksual
pada anak-anak dan bagaimana cara menangani kasus tersebut.

Kata kunci : kekerasan seksual pada anak, kekerasan oleh anggota keluarga, incest
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Selama beberapa tahun terakhir kecenderungan terjadinya kekerasan

seksual pada anak semakin meningkat jumlahnya. Peningkatan jumlah kasus yang

terlaporkan dan dilaporkan meningkat secara akumulatif hingga 100 kasus setiap

tahunnya antara tahun 2004 ke tahun 2007. Secara umum yang dimaksud dengan

kekerasan seksual pada anak adalah keterlibatan seorang anak dalam segala bentuk

aktivitas seksual yang terjadi sebelum anak mencapai batasan umur tertentu yang

ditetapkan oleh hukum negara yang bersangkutan di mana orang dewasa atau anak

lain yang usianya lebih tua atau orang yang dianggap memiliki pengetahuan lebih

dari anak memanfaatkannya untuk kesenangan seksual atau aktivitas seksual. Di

Indonesia Undang-Undang Perlindungan Anak memberi batasan bahwa yang

dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas

tahun), termasuk anak yang masih dalam kandungan. Umumnya korban kekerasan

seksual pada anak berusia sekitar 5 hingga 11 tahun.1,2

Definisi kekerasan terhadap anak menurut Centers for Disease Control and

Prevention adalah setiap tindakan atau serangkaian tindakan wali atau kelalaian

oleh orang tua atau pengasuh lainnya yang dihasilkan dapat membahayakan, atau

berpotensi bahaya, atau memberikan ancaman yang berbahaya kepada anak.

Kekerasan pada anak menurut keterangan World Health Organization dibagi

menjadi lima jenis, yaitu kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan emosional,

penelantaran anak, eksploitasi anak.3


Kekerasan seksual adalah setiap aktivitas pada anak, di mana umur belum

mencukupi menurut izin hukum, yang digunakan untuk sumber kepuasan seksual

orang dewasa atau anak yang sangat lebih tua. Belakangan ini banyak muncul kasus

perilaku seks bebas yang melanda anak-anak di bawah umur, dimana anak

merupakan kelompok yang rentan baik fisik maupun mental. Kekerasan seksual

termasuk oral-genital, genital-genital, genital-rektal, tangan-genital, tangan-rektal

atau kontak tangan-payudara; pemaparan anatomi seksual, melihat dengan paksa

anatomi seksual, dan menunjukkan pornografi pada anak atau menggunakan anak

dalam produksi pornografi. Penelitian yang dilakukan oleh Sudaryono menyatakan

selama tiga dasawarsa masalah anak baik sebagai pelaku maupun korban kekerasan

(kekerasan) dapat dikatakan kurang mendapat perhatian.4

Menurut Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Biro Pusat

Statistik Tahun 2007, angka kejadian tindak kekerasan terhadap anak di Indonesia

adalah 3,02% yang artinya setiap 10.000 anak terdapat 302 anak korban kekerasan.

Kekerasan pada anak itu sendiri terdiri dari kekerasan seksual, fisik, emosional,

eksploitasi anak, perdagangan anak, dan penelantaran anak.5

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan banyak aduan

kekerasan pada anak pada tahun 2010. Dari 171 kasus pengaduan yang masuk,

sebanyak 67,8 persen terkait dengan kasus kekerasan. Dari kasus kekerasan tersebut

yang paling banyak terjadi adalah kasus kekerasan seksual yaitu sebesar 45,7 persen

(53 kasus). Pada tahun 2016, telah terjadi 156 kasus anak sebagai korban kekerasan

seksual yang mencakup pemerkosaan, pencabulan, sodomi, dan pedofilia. 6,7

Maka dari itu, hal yang penting dilakukan adalah memberikan pendidikan

seksual atau pendidikan kesehatan reproduksi bagi anak-anak sedini mungkin, perlu
dilakukan oleh orangtua dan pihak sekolah agar anak tidak mendapatkan informasi

yang salah dari teman, internet, maupun media lainnya.

1.2 Rumusan Masalah

Referat ini membahas pengertian, dampak, angka kejadian, dan peraturan

perundangan-undangan dalam kekerasan seksual oleh anggota keluarga serta

pemeriksaan medis terhadap korban dan pelaku kekerasan seksual oleh anggota

keluarga.

1.3 Tujuan dan Manfaat

1.3.1 Tujuan

Mengetahui peranan dokter umum dalam menangani kasus kekerasan

seksual terhadap anak.

1.3.2 Manfaat

Dari hasil referat yang dilakukan ini diharapkan dapat diperoleh beberapa

manfaat, antara lain :

1. Memberikan informasi yang bermanfaat untuk mengembangkan dan

meningkatkan pengetahuan tentang tanda-tanda kekerasan seksual terhadap

anak serta tanda-tanda psikologisnya.

2. Untuk menambah wawasan tentang ilmu kedokteran forensik, khususnya

tentang kekerasan seksual pada anak-anak dan bagaimana cara menangani

kasus tersebut.
BAB 2

TINJUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Kekerasan Seksual Terhadap Anggota Keluarga

Inses berasal dari Kata bahasa Inggris incest yang berasal dari incestus latin,

yang memiliki arti umum tidak murni, tidak suci. Adapun dalam pengertian modern

sempit kata sifat yang berasal incest muncul di abad ke-16.8 Sebelum adanya istilah

latin, incest dikenal di Anglo Saxon sebagai sib-leger (dari 'kekeluargaan' sibb +

leger 'berbohong') atau mǣġhǣmed (dari kerabat mǣġ', orangtua' + hǣmed'

hubungan seksual') tetapi dalam kurun waktu, kedua kata lebih mengarah pada

penggunaan istilah seperti incester dan incestual.9

Incest atau inses dalam kamus besar Bahasa Indonesia adalah hubungan

seksual antara orang-orang yang bersaudara dekat yang dianggap melanggar adat,

hukum dan agama.10 Inses juga sering diartikan sebagai hubungan seksual yang

terlarang antara kerabat dekat.10 Kriteria inses berdasarkan hasil penelurusan

bahwa inses merupakan suatu hubungan seksual yang dilakukan oleh kerabat yang

sangat dekat dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang dilarang. Namun,

pengertian hubungan inses maupun ruang lingkupnya belum merupakan pengertian

yang baku di dalam masyarakat karena sesungguhnya batasan-batasan inses ini

sangatlah bervariasi baik menurut pandangan agama, sosial-budaya, hukum, adat,

bahkan kelas sosial yang telah disebutkan dalam penjelasan sebelumnya. 11

Apabila dicermati dari berbagai istilah dan kata-kata dari berbagai bahasa

latin, inggris maupun bahasa Indonesia bahasanya arti maupun makna dari inses
hampir memiliki makna yang sama yang mana mengartikan suatu perbuatan yang

berkonotasi kata negatif dan tidak sesuai atau bertentangan. Inses dimaknai sebagai

suatu perbuatan yang dianggap salah, tidak senonoh dan tidak murni. Dalam

pengertian tersebut bahwa inses tidak ada batasan tertentu siapa yang disebut

sebagai pelaku secara spesifik. Bila telah terjadi hubungan seksual di dalam

keluarga yang tidak sepentasnya maka dapat dikategorikan sebagai perilaku inses.

Secara umum ada dua kategori inses. Pertama parental incest, yaitu hubungan

antara orang tua dan anak. Kedua Sibling incest, yaitu hubungan antara saudara

kandung. Kategori incest dapat diperluas lagi dengan memasukkan orang-orang

lain yang memiliki kekuasaan atas anak tersebut, misalnya paman, bibi, kakek,

nenek, dan sepupu. 11

Kategori parental inses merupakan kategori terberat dalam kriteria inses dimana

inses ini merupakan inses yang benar-benar murni dari hubungan sedarah yang

merupakan inti dari keluarga, karena perbuatan tersebut dilakukan oleh orangtua

terhadap anak-anaknya sendiri, siklus perbuatan inses yang terjadi pada akhirnya

akan terulang kembali, dan inses yang dilakukan oleh orangtua terhadap anak

merupakan perbuatan yang di kategorikan semakin berat dan dilakukan dengan

sering oleh orangtua karena kekuasaan orang tua yang kuat. Orangtua dan anak

yang terjebak dalam hubungan semacam ini akan mengalami “learned

helplessness” (belajar menerima ketidakberdayaan) dan menjadi submisif

(penurut). Artinya dari waktu ke waktu anak yang melakukan perbuatan inses

cenderung memilih untuk bertahan menghadapi hasrat seksual dari orangtua dan

tidak mampu menolak atau meninggalkan perbuatan tersebut dengan alasan bahwa

keluarga inti yang melakukannya.


Untuk sibling inses juga masih bagian dari inses keluarga inti, merupakan

kriteria kedua setelah parental inses yang mana hubungan yang dilakukan antara

kakak dan adik kandung, fase hubungan inses yang dilakukan masih dapat dicegah

ataupun dihindari dengan dukungan dan perlindungan dari orangtua, sehingga

dampak yang ditimbulkan berbeda dengan hubungan inses yang dilakukan antara

orangtua dan anak. Untuk family inses merupakan hubungan seksual yang

dilakukan oleh kerabat dekat dimana orang-orang tersebut memiliki kekuasaan atas

anak tersebut dan masih memiliki hubungan sedarah baik garis keturunan lurus ke

bawah ataupun ke atas maupun berhubungan darah dalam garis keturunan

menyamping, misalnya paman, bibi, kakek, nenek, keponakan, sepupu, saudara

kakek nenek dan hal tersebut berdasarkan adanya suatu ikatan keluarga sedarah. 11

Dari karakteristik inses beberapa hal diatas yang ada bahwasanya inses

dapat digolongkan menjadi perbuatan yang terjadi atas dasar saling suka dan saling

memuaskan (meskipun mengetahui bahwa perbuatan tersebut merupakan

perbuatan yang dilarang, perbuatan tersebut terjadi untuk membuat senang salah

satu pihak, perbuatan tersebut untuk mencegah pihak untuk melakukan kekerasan

terhadap orang lain, perbuatan tersebut dilakukan akibat tidak berdaya). 11

2.2 Dampak Kekerasan Seksusal oleh Anggota Keluarga

Kekerasan seksual cenderung menimbulkan dampak traumatis baik pada

anak maupun pada orang dewasa. Kasus kekerasan seksual sering tidak terungkap

karena adanya penyangkalan terhadap peristiwa kekerasan seksual yang terjadi,

terutama jika kekerasan seksual ini terjadi pada anak-anak, karena anak-anak

korban kekerasan seksual tidak mengerti bahwa dirinya menjadi korban. Menurut
Beitch-man et.al, anak yang mengalami kekerasan seksual membutuhkan waktu

satu hingga tiga tahun untuk terbuka pada orang lain. Korban sulit mempercayai

orang lain sehingga cendrung merahasiakan peristiwa kekerasan seksualnya. Selain

itu, anak cenderung takut melaporkan karena merasa terancam akan konsekuensi

yang lebih buruk bila melapor, merasa malu untuk menceritakan peristiwa

kekerasan seksualnya, mereka merasa bahwa peristiwa kekerasan seksual itu terjadi

karena kesalahan dirinya dan peristiwa kekerasan seksual membuat anak merasa

bahwa dirinya mempermalukan nama keluarga.12

Dampak jangka pendeknya akan mengalami mimpi-mimpi buruk, ketakutan

yang berlebihan pada orang lain, dan konsentrasi menurun yang akhirnya akan

berdampak pada kesehatan. Jangka panjangnya, ketika dewasa nanti dia akan

mengalami fobia pada hubungan seks atau bahkan akan terbiasa dengan kekerasan

sebelum melakukan hubungan seksual. Bisa juga setelah menjadi dewasa, anak

tesebut akan mengikuti apa yang dilakukan kepadanya semasa kecilnya. Sementara

itu, Weber dan Smith (2010) mengungkapkan dampak jangka panjang kekerasan

seksual terhadap anak yaitu anak yang menjadi korban kekerasan seksual pada masa

kanak-kanak memiliki potensi untuk menjadi pelaku kekerasan seksual di

kemudian hari.12

Selain itu muncul gangguan-gangguan psikologis seperti gangguan stress

pasca trauma, kecemasan, penyakit jiwa lain termasuk gangguan kepribadian dan

gangguan identitas disosiatif, kecenderungan untuk reviktimisasi di masa dewasa,

bulimia nervosa, bahkan adanya cedera fisik kepada anak. Secara fisik, korban

mengalami penurunan nafsu makan, sulit tidur, sakit kepala, tidak nyaman di sekitar

vagina atau alat kelamin, berisiko tertular penyakit menular seksual, luka di tubuh
akibat perkosaan dengan kekerasan, kehamilan yang tidak diinginkan dan lainnya.

Sedangkan kekerasan seksual yang dilakukan oleh anggota keluarga adalah bentuk

inses, dan dapat menghasilkan dampak yang lebih serius dan trauma psikologis

jangka panjang, terutama dalam kasus inses orangtua. Trauma akibat kekerasan

seksual pada anak akan sulit dihilangkan jika tidak secepatnya ditangani oleh

ahlinya.

Finkelhor dan Browne mengkategorikan empat jenis dampak trauma akibat

kekerasan seksual yang dialami oleh anak-anak, yaitu:12

1. Pengkhianatan (Betrayal).

Kepercayaan merupakan dasar utama bagi korban kekerasan seksual.

Sebagai seorang anak, mempunyai kepercayaan kepada orangtua dan

kepercayaan itu dimengerti dan dipahami. Namun, kepercayaan anak dan

otoritas orangtua menjadi hal yang mengancam anak.

2. Trauma secara Seksual (Traumatic sexualization).

Russel menemukan bahwa perempuan yang mengalami kekerasan

seksual cenderung menolak hubungan seksual, dan sebagai konsekuensinya

menjadi korban kekerasan seksual dalam rumah tangga. Finkelhor mencatat

bahwa korban lebih memilih pasangan sesama jenis karena menganggap laki-

laki tidak dapat dipercaya.


3. Merasa Tidak Berdaya (Powerlessness)

Rasa takut menembus kehidupan korban. Mimpi buruk, fobia, dan

kecemasan dialami oleh korban disertai dengan rasa sakit. Perasaan tidak

berdaya mengakibatkan individu merasa lemah. Korban merasa dirinya tidak

mampu dan kurang efektif dalam bekerja. Beberapa korban juga merasa sakit

pada tubuhnya. Sebaliknya, pada korban lain memiliki intensitas dan dorongan

yang berlebihan dalam dirinya.

4. Stigmatization

Korban kekerasan seksual merasa bersalah, malu, memiliki gambaran

diri yang buruk. Rasa bersalah dan malu terbentuk akibat ketidakberdayaan dan

merasa bahwa mereka tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol dirinya. Anak

sebagai korban sering merasa berbeda dengan orang lain, dan beberapa korban

marah pada tubuhnya akibat penganiayaan yang dialami. Korban lainnya

menggunakan obat-obatan dan minuman alkohol untuk menghukum tubuhnya,

menumpulkan inderanya, atau berusaha menghindari memori kejadian

tersebut.

2.3 Angka Kejadian Kekerasan Seksual oleh Anggota Keluarga

Kekerasan seksual pada anak merupakan masalah kesehatan paling umum

yang dihadapi anak-anak dengan konsekuensi yang paling serius. Sekitar 1 dari 10

anak akan mengalami kekerasan seksual sebelum berusia 18 tahun. Sekitar 1 dari 7

anak perempuan dan 1 dari 25 anak laki-laki akan mengalami kekerasan seksual

sebelum berusia 18 tahun.13


Pelaku kekerasan bisa oleh tetangga, teman dan anggota keluarga. Orang

yang melakukan pelecehan seksual terhadap anak-anak dapat ditemukan di

keluarga, sekolah, gereja, pusat rekreasi, liga olahraga pemuda, dan tempat-tempat

lain yang dikumpulkan anak-anak. Sekitar 90% anak-anak yang menjadi korban

pelecehan seksual mengenali pelakunya. Hanya 10% anak-anak yang dilecehkan

secara seksual disalahgunakan oleh orang asing. Sekitar 30% anak-anak yang

mengalami pelecehan seksual dilecehkan oleh anggota keluarga.14,15 Semakin muda

korbannya, semakin besar kemungkinan pelaku adalah anggota keluarga. Dari

mereka yang melakukan pelecehan seksual anak di bawah enam, 50% adalah

anggota keluarga. Anggota keluarga juga melakukan pelecehan seksual 23% anak-

anak yang berusia 12 sampai 17.16 Sekitar 60% anak-anak yang mengalami

pelecehan seksual dilecehkan oleh orang-orang yang dipercaya oleh keluarga. 14,15

Faktor risiko berikut didasarkan pada kasus pelecehan seksual yang

dilaporkan dan teridentifikasi: Struktur keluarga adalah faktor risiko yang paling

penting dalam pelecehan seksual terhadap anak. Anak-anak yang tinggal dengan

dua orang tua kandung yang sudah menikah memiliki risiko penyalahgunaan yang

rendah. Risikonya meningkat saat anak-anak tinggal dengan orang tua tiri atau

orang tua tunggal. Anak-anak yang hidup tanpa orang tua (anak asuh) 10 kali lebih

mungkin dilecehkan secara seksual daripada anak-anak yang tinggal dengan orang

tua biologis. Anak-anak yang tinggal dengan orang tua tunggal yang memiliki

pasangan hidup berada pada risiko tertinggi: mereka 20 kali lebih mungkin menjadi

korban pelecehan seksual anak daripada anak-anak yang tinggal dengan kedua

orang tua biologis.17 Gender juga merupakan faktor utama dalam pelecehan seksual.

Anak perempuan lima kali lebih mungkin dilecehkan dibandingkan laki-laki. Usia
pada laki-laki juga berperan dalam kejadian pelecehan seksual. 8% korban berusia

12 sampai 17 tahun adalah laki-laki. 26% korban di bawah usia 12 tahun adalah

laki-laki.16 Usia adalah faktor signifikan dalam pelecehan seksual. Meskipun ada

risiko untuk anak-anak dari semua umur, anak-anak paling rentan terhadap

pelecehan antara usia 7 dan 13 tahun. Usia rata-rata dilaporkan pelecehan seksual

berusia 9 tahun.18 Namun, lebih dari 20% anak-anak mengalami pelecehan seksual

sebelum usia 8 tahun.16 Ras dan etnis merupakan faktor penting dalam

mengidentifikasi pelecehan seksual. Anak-anak Afrika Amerika memiliki hampir

dua kali risiko pelecehan seksual dibandingkan anak-anak kulit putih. Anak-anak

etnis Hispanik memiliki risiko sedikit lebih besar daripada anak-anak kulit putih

non-Hispanik.17 Risiko pelecehan seksual meningkat tiga kali lipat untuk anak-anak

yang orang tuanya tidak berada dalam angkatan kerja.17 Anak-anak di rumah status

sosial ekonomi rendah tiga kali lebih mungkin untuk diidentifikasi sebagai korban

pelecehan seksual.3 Anak-anak yang tinggal di daerah pedesaan hampir dua kali

lebih mungkin diidentifikasi sebagai korban pelecehan seksual.17 Anak-anak yang

menyaksikan atau menjadi korban kejahatan lainnya secara signifikan lebih

mungkin untuk menjadi dilecehkan secara seksual.19


2.4 Peraturan Perundang-undangan tentang Kekerasan Seksual oleh

Anggota Keluarga

Ancaman pidana atas kekerasan seksual menurut UU No 23 Tahun 2004

tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga:20

1. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual terhadap orang yang

menetap dalam lingkup rumah tangganya, dipidana dengan pidana penjara

paling lama 12 tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (Pasal 46)

2. Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya untuk

melakukan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial

dan/atau tujuan tertentu, dipidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling

lama 15 tahun atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (Pasal 47)

Dalam hal perbuatan pemaksaan hubungan seksual sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 46 dan Pasal 47, mengakibatkan korban:

1. Mendapat luka berat yang tidak memberi harapan atau sembuh sama sekali,

2. Mengalami gangguan daya pikir sekurang-kurangnya selama 4 minggu terus

menerus atau 1 tahun tidak berturut-turut,

3. Mengalami gugur kandungan atau matinya janin dalam kandungan, atau

4. Mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana penjara paling

singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun atau denda paling sedikit Rp

25.000.000,00 dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (Pasal 48)


Menyetubuhi istri di bawah umur sebagaimana diatur dalam Pasal 288

KUHP21

1) Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang

diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum

waktunya untuk dikawinkan, bila perbuatan itu mengakibatkan luka-luka,

diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.

2) Bila perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara

paling lama 8 tahun.

3) Bila perbuatan itu mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama

12 tahun.

Menyetubuhi istri dewasa yang dianggap sebagai kasus penganiayaan,

sehingga menimbulkan:

1. Luka ringan, diatur dalam pasal 351 KUHP ayat 1

2. Luka sedang, diatur dalam pasal 352 KUHP

3. Luka berat, diatur dalam pasal 351 KUHP ayat 3

2.5 Pemeriksaan Medis terhadap Korban Kekerasan Seksual

Dalam melakukan Prinsip Pemeriksaan dan Penatalaksanaan Korban

(P3K) kekerasan seksual, terdapat beberapa aspek etik dan medikolegal yang harus

diperhatikan. Karena korban juga berstatus sebagai pasien, dan yang akan diperiksa

adalah daerah “sensitif”, hal utama yang harus diperhatikan adalah memperoleh

informed consent. Informasi tentang pemeriksaan harus diberikan sebelum

pemeriksaan dimulai dan antara lain, mencakup tujuan pemeriksaan dan

kepentingannya untuk pengungkapan kasus, prosedur atau teknik pemeriksaan,


tindakan pengambilan sampel atau barang bukti, dokumentasi dalam bentuk rekam

medis dan foto, serta pembukaan sebagian rahasia kedokteran guna pembuatan

visum et repertum. Apabila korban cakap hukum, persetujuan untuk pemeriksaan

harus diperoleh dari korban. Syarat-syarat cakap hukum adalah berusia 21 tahun

atau lebih, atau belum 21 tahun tapi sudah pernah menikah, tidak sedang menjalani

hukuman, serta berjiwa sehat dan berakal sehat. Apabila korban tidak cakap hukum

persetujuan harus diminta dari walinya yang sah. Bila korban tidak setuju diperiksa,

tidak terdapat ketentuan undang-undang yang dapat memaksanya untuk diperiksa

dan dokter harus menghormati keputusan korban tersebut. Selain itu, karena pada

korban terdapat barang bukti (corpus delicti) harus diperhatikan pula prosedur legal

pemeriksaan.22

Setiap pemeriksaan untuk pembuatan visum et repertum harus dilakukan

berdasarkan permintaan tertulis (Surat Permintaan Visum/SPV) dari polisi penyidik

yang berwenang. Korban juga harus diantar oleh polisi penyidik sehingga keutuhan

dan originalitas barang bukti dapat terjamin. Apabila korban tidak diantar oleh

polisi penyidik, dokter harus memastikan identitas korban yang diperiksa dengan

mencocokkan antara identitas korban yang tercantum dalam SPV dengan tanda

identitas sah yang dimiliki korban, seperti KTP, paspor, atau akta lahir. Catat pula

dalam rekam medis bahwa korban tidak diantar oleh polisi. Hal ini harus dilakukan

untuk menghindari kemungkinan kesalahan identifikasi dalam memeriksa korban.22

Seorang dokter yang memeriksa kasus kekerasan seksual harus bersikap

objektif imparsial, konfidensial, dan profesional. Objektif imparsial artinya seorang

dokter tidak boleh memihak atau bersimpati kepada korban sehingga cenderung

mempercayai seluruh pengakuan korban begitu saja. Hal yang boleh dilakukan
adalah berempati, dengan tetap membuat penilaian sesuai dengan bukti-bukti

objektif yang didapatkan secara sistematis dan menyeluruh. Tetap waspada

terhadap upaya pengakuan atau tuduhan palsu (false allegation) dari korban.

Hindari pula perkataan atau sikap yang “menghakimi” atau menyalahkan korban

atas kejadian yang dialaminya. Dokter juga harus menjaga konfidensialitas hasil

pemeriksaan korban. Komunikasikan hasil pemeriksaan hanya kepada yang berhak

mengetahui, seperti kepada korban dan/atau walinya (jika ada), serta penyidik

kepolisian yang berwenang. Tuangkan hasil pemeriksaan dalam visum et repertum

sesuai keperluan saja, dengan tetap menjaga kerahasiaan data medis yang tidak

terkait dengan kasus. Profesionalitas dokter dalam melakukan P3K kekerasan

seksual ditunjukkan dengan melakukan pemeriksaan sesuai dengan kaidah-kaidah

ilmu kedokteran yang umum dan mutakhir, dengan memperhatikan hak dan

kewajiban korban (sekaligus pasien) dan dokter.22

Secara umum tujuan pemeriksaan korban kekerasan seksual adalah untuk:


22

1. Melakukan identifikasi, termasuk memperkirakan usia korban

2. Menentukan adanya tanda-tanda persetubuhan, dan waktu terjadinya, bila

mungkin.

3. Menentukan adanya tanda-tanda kekerasan, termasuk tanda intoksikasi

narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA).

4. Menentukan pantas/tidaknya korban untuk dikawin, termasuk tingkat

perkembangan seksual.

5. Membantu identifikasi pelaku.


Beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan korban

kekerasan seksual:22

 Lakukan pemeriksaan sedini mungkin setelah kejadian, jangan dibiarkan

menunggu terlalu lama. Hal ini penting untuk mencegah rusak atau berubah

atau hilangnya barang bukti yang terdapat di tubuh korban, serta untuk

menenangkan korban dan mencegah terjadinya trauma psikis yang lebih berat.

 Pada saat pemeriksaan, dokter harus didampingi perawat yang sama jenis

kelaminnya dengan korban (biasanya wanita) atau bidan. Tujuannya adalah

untuk mengurangi rasa malu korban dan sebagai saksi terhadap prosedur

pemeriksaan dan pengambilan sampel. Selain itu, hal ini juga perlu demi

menjaga keamanan dokter pemeriksa terhadap tuduhan palsu bahwa dokter

melakukan perbuatan tidak senonoh terhadap korban saat pemeriksaan.

 Pemeriksaan harus dilakukan secara sistematis dan menyeluruh terhadap

seluruh bagian tubuh korban, tidak hanya terhadap daerah kelamin saja.

 Catat dan dokumentasikan semua temuan, termasuk temuan negatif.

Langkah-langkah pemeriksaan adalah sebagai berikut:22

1. Anamnesis

Pada korban kekerasan seksual, anamnesis harus dilakukan dengan bahasa

awam yang mudah dimengerti oleh korban. Gunakan bahasa dan istilah-istilah yang

sesuai tingkat pendidikan dan sosio-ekonomi korban, sekalipun mungkin terdengar

vulgar.22 Lakukan wawancara sendiri dengan anak, berapapun usianya dan dengan

persetujuannya, izinkan anak mengekspresikan dirinya secara spontan, hindari

mengubah atau menafsirkan kata-katanya. Jika wawancara bersama keluarga,


sesuaikan wawancara tanpa membuatnya tampak seperti penyelidikan polisi.23

Anamnesis dapat dibagi menjadi anamnesis umum dan khusus. Hal-hal yang harus

ditanyakan pada anamnesis umum mencakup, antara lain:

 Umur atau tanggal lahir

 Status pernikahan

 Riwayat paritas dan/atau abortus

 Riwayat haid (menarche, hari pertama haid terakhir, siklus haid)

 Riwayat koitus (sudah pernah atau belum, riwayat koitus sebelum dan/atau

setelah kejadian kekerasan seksual, dengan siapa, penggunaan kondom atau alat

kontrasepsi lainnya)

 Penggunaan obat-obatan (termasuk NAPZA)

 Riwayat penyakit (sekarang dan dahulu)

 Keluhan atau gejala yang dirasakan pada saat pemeriksaan

Sedangkan anamnesis khusus mencakup keterangan yang terkait kejadian

kekerasan seksual yang dilaporkan dan dapat menuntun pemeriksaan fisik, seperti:

a. What & How:

- Jenis tindakan (pemerkosaan, persetubuhan, pencabulan, dan sebagainya).

- Adanya kekerasan dan/atau ancaman kekerasan, serta jenisnya.

- Adanya upaya perlawanan.

- Apakah korban sadar atau tidak pada saat atau setelah kejadian.

- Adanya pemberian minuman, makanan, atau obat oleh pelaku sebelum atau

setelah kejadian.

- Adanya penetrasi dan sampai mana (parsial atau komplit).

- Apakah ada nyeri di daerah kemaluan.


- Apakah ada nyeri saat buang air kecil/besar.

- Adanya perdarahan dari daerah kemaluan.

- Adanya ejakulasi dan apakah terjadi di luar atau di dalam vagina.

- Penggunaan kondom.

- Tindakan yang dilakukan korban setelah kejadian, misalnya apakah korban

sudah buang air, tindakan membasuh/douching, mandi, ganti baju, dan

sebagainya.

b. When:

- Tanggal dan jam kejadian, bandingkan dengan tanggal dan jam melapor.

- Apakah tindakan tersebut baru satu kali terjadi atau sudah berulang.

c. Where:

- Tempat kejadian.

- Jenis tempat kejadian (untuk mencari kemungkinan trace evidence dari

tempat kejadian yang melekat pada tubuh dan/atau pakaian korban).

d. Who:

- Apakah pelaku dikenal oleh korban atau tidak.

- Jumlah pelaku.

- Uusia pelaku.

- Hubungan antara pelaku dengan korban.

2. Pemeriksaan fisik

Saat melakukan pemeriksaan fisik, gunakan prinsip “top-to-toe”. Artinya,

pemeriksaan fisik harus dilakukan secara sistematis dari ujung kepala sampai ke

ujung kaki. Pelaksanaan pemeriksaan fisik juga harus memperhatikan keadaan

umum korban. Apabila korban tidak sadar atau keadaan umumnya buruk, maka
pemeriksaan untuk pembuatan visum dapat ditunda dan dokter fokus untuk ”life-

saving” terlebih dahulu. Selain itu, dalam melakukan pemeriksaan fisik, perhatikan

kesesuaian dengan keterangan korban yang didapat saat anamnesis. Pemeriksaan

fisik yang dilakukan dapat dibagi menjadi pemeriksaan umum dan khusus.

Pemeriksaan fisik umum mencakup:

• Tingkat kesadaran

• Keadaan umum

• Tanda vital

• Penampilan (rapih atau tidak, dandan, dan lain-lain)

• Afek (keadaan emosi, apakah tampak sedih, takut, dan sebagainya)

• Pakaian (apakah ada kotoran, robekan, atau kancing yang terlepas)

• Status generalis

• Tinggi badan dan berat badan

• Rambut (tercabut/rontok)

• Gigi dan mulut (terutama pertumbuhan gigi molar kedua dan ketiga)

• Kuku (apakah ada kotoran atau darah di bawahnya, apakah ada kuku yang

tercabut atau patah)

• Tanda-tanda perkembangan seksual sekunder.

• Tanda-tanda intoksikasi NAPZA.

• Status lokalis dari luka-luka yang terdapat pada bagian tubuh selain daerah

kemaluan.

Pemeriksaan fisik khusus bertujuan mencari bukti-bukti fisik yang terkait

dengan tindakan kekerasan seksual yang diakui korban dan mencakup pemeriksaan:
• Daerah pubis (kemaluan bagian luar), yaitu adanya perlukaan pada jaringan lunak

atau bercak cairan mani.

• Penyisiran rambut pubis (rambut kemaluan), yaitu apakah adanya rambut pubis

yang terlepas yang mungkin berasal dari pelaku, penggumpalan atau perlengketan

rambut pubis akibat cairan mani.

• Daerah vulva dan kulit sekitar vulva/paha bagian dalam (adanya perlukaan pada

jaringan lunak, bercak cairan mani).

• Labia mayora dan minora (bibir kemaluan besar dan kecil), apakah ada perlukaan

pada jaringan lunak atau bercak cairan mani.

• Vestibulum dan fourchette posterior (pertemuan bibir kemaluan bagian bawah),

apakah ada perlukaan.

• Hymen (selaput dara), catat bentuk, diameter ostium, elastisitas atau ketebalan,

adanya perlukaan seperti robekan, memar, lecet, atau hiperemi). Apabila

ditemukan robekan hymen, catat jumlah robekan, lokasi dan arah robekan (sesuai

arah pada jarum jam, dengan korban dalam posisi litotomi), apakah robekan

mencapai dasar (insersio) atau tidak, dan adanya perdarahan atau tanda

penyembuhan pada tepi robekan.

• Vagina (liang senggama), cari perlukaan dan adanya cairan atau lendir.

• Serviks dan porsio (mulut leher rahim), cari tanda-tanda pernah melahirkan dan

adanya cairan atau lendir.

• Uterus (rahim), periksa apakah ada tanda kehamilan.

• Anus (lubang dubur) dan daerah perianal, apabila ada indikasi berdasarkan

anamnesis.

• Mulut, apabila ada indikasi berdasarkan anamnesis.


• Daerah-daerah erogen (leher, payudara, paha, dan lain-lain), untuk mencari

bercak mani atau air liur dari pelaku.

• Tanda-tanda kehamilan pada payudara dan perut.

Kesulitan utama yang umumnya dihadapi oleh dokter pemeriksa adalah

pemeriksaan selaput dara. Bentuk dan karakteristik selaput dara sangat bervariasi

(Gambar 1). Pada jenis-jenis selaput dara tertentu, adanya lipatan-lipatan dapat

menyerupai robekan. Karena itu, pemeriksaan selaput dara dilakukan dengan traksi

lateral dari labia minora secara perlahan, yang diikuti dengan penelusuran tepi

selaput dara dengan lidi kapas yang kecil untuk membedakan lipatan dengan

robekan. Pada penelusuran tersebut, umunya lipatan akan menghilang, sedangkan

robekan tetap tampak dengan tepi yang tajam.22


Gambar 1. Beragam jenis selaput dara.22

Saat melakukan pemeriksaan fisik, dokumentasi yang baik sangat penting.

Selain melakukan pencatatan dalam rekam medis, perlu dilakukan pemotretan

bukti-bukti fisik yang ditemukan. Foto-foto dapat membantu dokter membuat

visum et repertum. Dengan pemotretan, korban juga tidak perlu diperiksa terlalu

lama karena foto-foto tersebut dapat membantu dokter mendeskripsi temuan secara

detil setelah pemeriksaan selesai.22

Pemeriksaan genital dan anal normal tidak mengesampingkan kemungkinan

pelecehan seksual (lesi yang mencurigakan sangat jarang ditemukan, IMS (infeksi
menular seksual) tidak biasa pada anak-anak dan jarang terjadi pada remaja dalam

situasi ini).23

3. Pemeriksaan penunjang

Pada kasus kekerasan seksual, perlu dilakukan pemeriksaan penunjang

sesuai indikasi untuk mencari bukti-bukti yang terdapat pada tubuh korban. Sampel

untuk pemeriksaan penunjang dapat diperoleh dari, antara lain:

 Pakaian yang dipakai korban saat kejadian; diperiksa lapis demi lapis untuk

mencari adanya trace evidence yang mungkin berasal dari pelaku, seperti darah

dan bercak mani, atau dari tempat kejadian, misalnya bercak tanah atau daun-

daun kering.

 Rambut pubis; yaitu dengan menggunting rambut pubis yang menggumpal atau

mengambil rambut pubis yang terlepas pada penyisiran.

 Kerokan kuku; apabila korban melakukan perlawanan dengan mencakar pelaku

maka mungkin terdapat sel epitel atau darah pelaku di bawah kuku korban.

 Swab; dapat diambil dari bercak yang diduga bercak mani atau air liur dari kulit

sekitar vulva, vulva, vestibulum, vagina, forniks posterior, kulit bekas gigitan

atau ciuman, rongga mulut (pada seks oral), atau lipatan-lipatan anus (pada

sodomi), atau untuk pemeriksaan penyakit menular seksual.

 Darah; sebagai sampel pembanding untuk identifi kasi dan untuk mencari

tanda-tanda intoksikasi NAPZA.

 Urin; untuk mencari tanda kehamilan dan intoksikasi NAPZA.

Hal yang harus diperhatikan pada tahap ini adalah keutuhan rantai barang

bukti dari sampel yang diambil (chain of custody). Semua pengambilan,


pengemasan, dan pengiriman sampel harus disertai dengan pembuatan berita acara

sesuai ketentuan yang berlaku. Hal ini lebih penting apabila sampel akan dikirim

ke laboratorium dan tidak diperiksa oleh dokter sendiri.

Setelah pemeriksaan forensik terhadap korban selesai, dilakukan tindak

lanjut baik dari aspek hukum maupun medis. Dari segi hukum, tindak lanjut pada

umumnya berupa pembuatan visum et repertum sesuai SPV dari penyidik polisi.22

Seorang korban kekerasan seksual sering tidak hanya membutuhkan

layanan pemeriksaan untuk pembuatan visum et repertum, tapi juga tindak lanjut

medis. Tindak lanjut medis dapat mencakup penatalaksanaan psikiatrik dan

penatalaksanaan bidang obstetri-ginekologi. Tidak jarang seorang korban

kekerasan seksual mengalami trauma psikis sehingga membutuhkan terapi atau

konseling psikiatrik.22 Tujuannya adalah untuk mencari tanda-tanda sugestif tapi

tidak spesifik seperti gangguan stres pasca-trauma, status depresi, masalah perilaku

(seks, hubungan, di sekolah), atau perubahan perkembangan intelektual dan

emosional anak.23 Terapi tersebut dapat membantu korban mengatasi trauma psikis

yang dialaminya sehingga tidak berkepanjangan dan korban dapat melanjutkan

hidupnya seoptimal mungkin. Dalam bidang obstetri-ginekologi, korban kekerasan

seksual mungkin memerlukan tindakan pencegahan kehamilan serta pencegahan

atau terapi penyakit menular seksual. Apabila sudah terjadi kehamilan, korban

mungkin membutuhkan perawatan kehamilan atau terminasi kehamil-an sesuai

ketentuan undang-undang. Dalam melakukan tindak lanjut, sangat penting bagi

dokter untuk melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait. Koordinasi yang

baik diperlukan antara dokter pemeriksa dengan dokter yang memberikan tata

laksana lanjutan agar korban mendapatkan perawatan yang diperlukan. Selain itu,
dokter juga harus menjalin kerjasama yang baik dengan pihak polisi penyidik agar

hasil pemeriksaan dokter dapat bermanfaat bagi pengungkapan kasus.22

2.6 Pemeriksaan Medis terhadap Pelaku Kekerasan Seksual

Pemeriksaan terhadap pria tersangka dapat dilakukan pemeriksaan terhadap

pakaian, catat adanya bercak semen, darah dan sebagainya. Bercak semen tidak

mempunyai arti dalam pembuktian, sehingga tidak perlu ditentukan. Darah

mempunyai nilai karena kemungkinan berasal dari darah deflorasi, untuk

selanjutnya dapat dilakukan pemeriksaan golongan darah. Dapat ditemukan tanda

bekas kekerasan; akibat perlawanan korban.24

Untuk mengetahui apakah seorang pria baru melakukan persetubuhan, dapat

dilakukan pemeriksaan ada tidaknya sel epitel vagina pada glans penis. Cara

melakukan pemeriksaan dengan menekankan kaca objek pada glans penis, daerah

korona atau frenulum, kemudian diletakkan terbalik diatas cawan yang berisi

larutan lugol. Uap yodium akan mewarnai lapisan pada kaca objek tersebut.

Sitoplasma sel vagina akan berwarna coklat tua karena mengandung glikogen.

Warna coklat tadi cepat hilang namun dengan meletakkan kembali sediaan diatas

cairan lugol maka warna coklat akan kembali lagi.24 Perlu dilakukan pemeriksaan

sekret uretra untuk menentukan apakah terdapat infeksi menular seksual.24

Pada kasus kekerasan seksual anak yang meragukan dilakukan oleh ayah

ataupun saudara laki-lakinya, dapat dilakukan analisis DNA untuk menentukan

pelakunya. Pemeriksaan ini membutuhkan sampel DNA korban, ibu, ayah dan

saudara laki-lakinya. 25
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

1. Kekerasan seksual pada anak adalah keterlibatan seorang anak dalam segala

bentuk aktivitas seksual yang terjadi sebelum anak mencapai batasan umur

tertentu yang ditetapkan oleh hukum negara yang bersangkutan, dimana orang

dewasa atau anak lain yang usianya lebih tua atau orang yang dianggap

memiliki pengetahuan lebih dari anak memanfaatkannya untuk kesenangan

seksual atau aktivitas seksual.

2. Kekerasan seksual pada anak merupakan masalah kesehatan paling umum yang

dihadapi anak-anak dengan konsekuensi yang paling serius baik pada fisik

maupun mental. Sekitar 1 dari 10 anak akan mengalami kekerasan seksual

sebelum berusia 18 tahun yang mencakup pemerkosaan, pencabulan, sodomi,

dan pedofilia.

3. Peraturan perundangan-undangan dalam kekerasan seksual oleh anggota

keluarga, terutama pada anak diatur dalam KUHP pasal 287, KUHP pasal 288,

KUHP pasal 289, KUHP pasal 290, KUHP pasal 291, KUHP pasal 294 dan UU

No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

4. Pemeriksaan medis terhadap korban kekerasan seksual oleh anggota keluarga

dapat berupa anamnesis umum tentang identitas dan riwayat pasien, anamnesis

khusus tentang rincian kejadian, pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan fisik

khusus tentang temuan atau deskripsi luka pada bagian genital, anal dan oral,

serta pemeriksaan penunjang dari temuan seperti di pakaian; rambut pubis;


kerokan kuku; swab vulva; vestibulum; vagina; forniks posterior; kulit bekas

gigitan atau ciuman; rongga mulut; atau lipatan anus, serta pemeriksaan darah

dan urin.

5. Pemeriksaan medis terhadap pelaku kekerasan seksual oleh anggota keluarga

dapat berupa pemeriksaan terhadap pakaian baik berupa bercak semen; darah;

atau sebagainya, pemeriksaan sel epitel vagina pada glans penis, serta analisis

DNA.

3.2 Saran

Dengan membaca makalah ini penulis berharap dapat memberikan


informasi yang bermanfaat bagi pembaca untuk meningkatkan pengetahuan tentang
pelecehan seksual oleh anggota keluarga khususnya terhadap anak. Informasi
tersebut mencakup tanda-tanda kekerasan seksual pada anak, tanda-tanda
psikologisnya, dampak buruk yang ditimbulkan terhadap anak-anak korban
kekerasan seksual sehingga perlu perhatian khusus terhadap anak-anak. Pada anak-
anak perlu diberikan pendidikan seksual atau pendidikan kesehatan reproduksi
sedini mungkin oleh orang tua dan pihak sekolah.

Tentunya, makalah ini jauh dari kesempurnaan karena akan ditemukan


banyak kelemahan atau bahkan kekeliruan, baik dalam kepenulisan ataupun
penyajian. Oleh karena itu, penulis berharap adanya masukan dari para pembaca
sehingga kedepan mampu lebih baik dalam penyelesaiannya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mira, Doni. Kekerasan Seksual Pada Anak. Newsletter PULIH – Volume 15
p1-8.2010.
2. Kristiani R, Doni, Nurcahyo M, Budi W. 2015. Kekerasan Seksual Pada Anak.
(diakses tanggal 21 Oktober 2017 dari
http://www.pulih.or.id/res/publikasi/news_letter%2015.pdf ).
3. Centers for Disease Control and Prevention, Child Maltreatment Surveillance:
Uniform Definitions for Public Health and Recommended Data Elements di
akses tanggal 21 Oktober 2017 dari
http://www.cdc.gov/violenceprevention/pdf/CM_Surveillance-a.pdf.2010
4. Behrman, Kliegman & Arvin, Nelson. 2012. Ilmu Kesehatan Anak. EGC:
Jakarta
5. Departemen Kesehatan. Melindungi Kesehatan Anak Korban Kekerasan.
(diakses tanggal 21 Oktober 2017 dari http://www.smallcrab.com/anak-
anak/1050-melindungi-kesehatan-anak-korban-kekerasan).2010
6. Sutrisno, ED KPAI Banyak Temukan Kekerasan Seksual Pada Anak di Tahun
2010 (diakses tanggal 21 Oktober 2017 dari
http://news.detik.com/read/2010/12/22/191329/1531095/10/kpai-banyak-
temukan-kekerasan-seksual-pada-anak-di-tahun-2010?nd992203605).
7. Komisi Perlindungan Anak Indonesia. 2016. Kasus pengaduan anak
berdasarkan klaster perlindungan anak. Diakses tanggal 21 Oktober 2017 dari
http://www. ucarecdn.com/2998b407-20a9-4949-ad65-7e6647bee610/
8. Oxford Concise Dictionary of Etymology, T. F. Hoad (ed.) (1996), p. 232.
9. L Conyers, James, Black Cultures and Race Relations. Rowman & Littlefield,
(Chicago: Burham Inc., Publisher, 2002), p. 115. ISBN 9780830415748.
10. Kamus Besar Bahasa Indonesia, http://kbbi.web.id/inses, diakses 29 Oktober
2017
11. Swarianata V, Sugiri B, Aprilianda N, Kriminalisasi Inses (Hubungan Seksual
Sedarah) Dalam Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana. Jurnal Hukum
Universitas Brawijaya,
http://hukum.studentjournal.ub.ac.id/index.php/hukum/article/view/2010
diakses tanggal 29 Oktober 2017
12. Noviana I. 2015. Kekerasan seksual terhadap anak: dampak dan penanganannya
(Child Sexual Abuse: Impact and hendling). Sosio Informa Vol. 01:1
13. Townsend, C., & Rheingold, A.A., (2013). Estimating a child sexual abuse
prevalence rate for practitioners: studies. Charleston, S.C., Darkness to Light.
Retrieved from www.D2L.org.
14. Finkelhor, D. (2012). Characteristics of crimes against juveniles. Durham, NH:
Crimes against Children Research Center.
15. Whealin, J. (2007-05-22). “Child Sexual Abuse”. National Center for Post
Traumatic Stress Disorder, US Department of Veterans Affairs.
16. Snyder, H. N. (2000). Sexual assault of young children as reported to law
enforcement: Victim, incident, and offender characteristics. Washington, DC:
U.S. Department of Justice, Office of Justice Programs, Bureau of Justice
Statistics. Retrieved January 12, 2009 from
http://www.ojp.usdoj.gov/bjs/pub/pdf/saycrle.pdf
17. Sedlak, A.J., Mettenburg, J., Basena, M., Petta, I., McPherson, K., Greene, A.,
and Li, S. (2010). Fourth National Incidence Study of Child Abuse and Neglect
(NIS–4): Report to Congress, Executive Summary. Washington, DC: U.S.
Department of Health and Human Services, Administration for Children and
Families.
18. Putnam, F. (2003). Ten-year research update review: Child sexual abuse.
Journal of the American Academy of Child and Adolescent Psychiatry, 42 ,
269-278.
19. Finkelhor, D., Ormrod, R.K. & Turner, H.A. (2010). Poly-victimization in a
national sample of children & youth. American Journal of Preventive Medicine.
20. UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
21. KUHP Pasal 288
22. Meilia P.D.I. 2012. Prinsip Pemeriksaan dan Penatalaksanaan Korban (P3K)
Kekerasan Seksual. Cermin Dunia Kedokteran 39(8): 579-583
23. Haute Autorite de Sante (HAS). 2011. Medical Identification and Reporting of
Incest: Recognising Intrafamilial Child Sexual Abuse. Summary of Good
Practice Guidelines. Perancis.
24. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Winardi T, Abdul Mun'im, Sidhi, dkk.
Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 1997
25. Cerri N, Presciuttini S, Verzeletti A, Notarangelo LD, De FerrariF. 2006. Incest
by father or by brother? A case report. Elsevier International Congress Series
1288; 453-5.

Anda mungkin juga menyukai