Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Polycystic Ovary Syndrome


Polycystic ovary syndrome (PCOS) atau Sindroma Ovarium Polikistik (SOPK) adalah
kelainan endokrin yang sangat umum terjadi pada wanita dalam masa reproduksi. Walaupun
begitu, sindrom ini paling banyak diperdebatkan dan menimbulkan pendapat-pendapat yang
kontroversial dalam bidang Ginekologi Endokrinologi dan Reproduksi. Belum ada definisi
PCOS yang dapat diterima secara internasional, dan kriteria untuk mendiagnosanya harus
dibakukan terlebih dahulu. Kesulitan ini menggambarkan adanya karakteristik interna
tertentu pada sindrom ini. Dalam kenyataan, gejala-gejala sindrom ini juga beragam dan
sangat bervariasi. Lagi pula, penemuan laboratorium dan radiologi sering dijumpai dalam
batas normal sehingga menimbulkan kesulitan dalam menentukan suatu batasan yang dapat
diterima secara umum untuk pemakaian dalam praktek klinik.3 Dalam bentuk klasiknya,
PCOS digambarkan dengan adanya anovulasi kronik (80%), menses yang irregular (80%)
dan hiperandrogen yang dapat disertai dengan hirsutism (60%), acne (30%), seborrhea dan
obesiti (40%).

Gambaran klinik dan patologi dari ovarium polikistik atau mikropolikistik pertama kali di
deskripsikan oleh Antonio Vallisneri pada tahun 1721. Tetapi sindrom ini sendiri di
perkenalkan jauh setelah itu oleh Stein dan Leventhal pada tahun 1935 berdasarkan observasi
mereka terhadap gejala-gejala yang terdiri dari amenorrhea, hirsutism dan obesiti pada wanita
yang ovarium nya membesar dengan kista folikel yang banyak dan penebalan fibrotik dari
tunica albuginea dan cortical stroma. Dalam kenyataan bahwa gambaran ovarium polikistik
juga banyak terdapat pada wanita yang sama sekali normal dan tidak ada kelainan fenotipe
ovarium dan/atau endokrin.8 Singkatnya, sangatlah mudah dilihat mengapa jarang adanya
konsensus tentang kriteria yang dapat digunakan untuk mendiagnosa PCOS.

2.1.1 Definisi
Definisi yang paling dapat diterima secara internasional pada saat ini seperti yang diadopsi
pada tahun 2003 oleh European Society for Human Reproduction dan Embryology and the
American Society for Reproductive Medicine, yang dikenal dengan ESHRE/ASRM
Rotterdam consensus.2 Dalam konsensus ini diperlukan adanya dua dari tiga kriteria diagnosa
yaitu :
5
Universitas Sumatera Utara
a) Oligo/anovulation
b) Gejala hiperandrogen baik secara klinik maupun biokimia
c) Adanya gambaran morfologi ovarium yang polikistik dengan USG (12 atau lebih
folikel-folikel dengan ukuran diameter antara 2-9 mm dan/atau peningkatan volume
ovarium (>10 ml).
Selain kriteria di atas, etiologi lain seperti Cushing Syndrome, androgen producing tumours
dan Congenital adrenal hyperplasia harus di singkirkan.

- Oligo/anovulation : ovulasi yang terjadi kurang dari satu kali dalam 35 hari.
- Hiperandrogenism : tanda-tanda klinik yang meliputi hirsutism, acne, alopecia (male-
pattern balding) dan virilisasi yang nyata. Indikator biokimia meliputi meningkatnya
konsentrasi total testosterone dan androstendione dan meningkatnya free androgen
index yang diukur dengan membandingkan total testosterone dan sex hormone
binding globulin (SHBG). Akan tetapi, pengukuran petanda biokimia untuk
hiperandrogenism sering memberikan hasil yang tidak konsisten, hal ini disebabkan
oleh pemakaian berbagai metode yang berbeda.
- Ovarium polikistik : adanya 12 atau lebih folikel dalam salah satu ovarium dengan
ukuran diameter 2-9 mm dan/atau meningkatnya volume ovarium (>10 ml).
Menurut kriteria Rotterdam diagnostic ini, kebanyakan wanita dengan PCOS dapat
didiagnosa tanpa memerlukan pemeriksaan laboratorium.

Gambar 1. Pengukuran diameter tiga dimensi dari ovarium untuk menghitung volume
(Dikutip dari Speca S)

6
Universitas Sumatera Utara
2.1.2 Prevalensi
PCOS adalah kelainan endokrin wanita yang paling sering dijumpai, yang melibatkan 5-10%
dari wanita dalam masa reproduksi. Walaupun ovarium polikistik dapat ditemukan dalam
20% populasi wanita, hal ini tidak harus menimbulkan gejala klinik seperti PCOS, akan tetapi
dalam perjalanannya akan menimbulkan gejala klinik bila diprovokasi oleh kenaikan berat
badan atau resisten terhadap insulin. PCOS berkaitan dengan 75% dari seluruh kelainan
anovulasi yang menyebabkan infertility, 90% dari wanita dengan oligomenorrhoea, lebih dari
90% dengan hirsutism dan lebih dari 80% dengan acne yang persisten.8,9

2.1.3 Etiologi
Etiologi PCOS sampai saat ini masih belum diketahui. Akan tetapi adanya peningkatan fakta
yang melibatkan faktor genetik. Sindroma ini di kelompokan dalam keluarga, dan rerata
prevalensi nya dalam first-degree relative adalah 5 sampai 6 kali lebih tinggi dari pada
populasi secara umum.10 Walaupun kebanyakan kasus ditransmisikan secara genetik, akan
tetapi faktor lingkungan juga dapat terlibat karena PCOS juga dapat didapatkan dengan
adanya eksposur terhadap androgen yang berlebihan pada saat tertentu dalam masa fertil.
Pada masa ini terdapat peningkatan penemuan tentang hipotesa etiologi yaitu adanya
eksposur terhadap androgen yang berlebihan pada fetus wanita didalam kandungan dapat
menyebabkan PCOS.11 Walaupun sumber dari kelebihan androgen in utero tidak diketahui,
percobaan pada hewan percobaan menunjukan bahwa eksposur pada fetus terhadap kelebihan
androgen menunjukan manifestasi PCOS pada fetus betina.11

Yen dkk mengajukan hipotesa klasik yang di dasarkan atas dua konsep besar yaitu
hiperandrogenism dan resistensi terhadap insulin. Hormon androgen ini mengalami
aromatisasi di jaringan perifer menjadi estrogen, menyebabkan ketidakseimbangan sekresi
luteinizing hormone (LH) dan follicle stimulating hormone (FSH) pada tingkat pituitary yang
menyebabkan hipersekresi endogenous LH. LH ini sangat kuat menstimulasi produksi
androgen didalam ovarium. Insulin seperti juga LH menstimulasi langsung biosintesis
hormon steroid di ovarium, terutama androgen ovarium. Lebih lanjut, insulin menyebabkan
menurunnya produksi sex hormone binding globulin (SHBG) di dalam hati, yang
menyebabkan meningkatnya kadar androgen bebas. Dengan demikian kedua jalur diatas akan
menstimulasi theca sel dari ovarium sehingga terjadi peningkatan produksi androgen dari

7
Universitas Sumatera Utara
ovarium yang menyebabkan terganggunya folliculogenesis, kelainan siklus haid dan
oligo/anovulation kronik.8

2.1.4 Gambaran Klinik


PCOS adalah sindroma yang sangat beragam dalam hal gejala klinik maupun manifestasi
laboratorium. Sementara dasar dari kelainan ini terletak pada ovarium, ekspresi klinik dan
beratnya gejala tergantung pada faktor diluar ovarium seperti obesitas, resisten terhadap
insulin dan konsentrasi luteinizing hormone (LH). Kombinasi dari berbagai gejala dapat
dijumpai, dari hirsutism yang ringan dengan ovulasi yang regular dan ovarium polikistik
sampai dengan gejala yang lengkap dari sindroma Stein-Leventhal yaitu amenorrhoea,
hirsutism, acne, infertility dan obesitas. Demikian juga dengan terjadi pada hasil laboratorium
biokimia. Hampir 50% dari kasus akan didapatkan peningkatan konsentrasi LH (terutama
pada yang berat badan normal), dan hanya lebih kurang 30% yang didapatkan peningkatan
total testosterone pada pemeriksaan sesaat.12

2.1.5 Patofisiologi
Terdapat 4 kelainan utama yang terlibat dalam patofisiologi dari PCOS,9 yaitu :
1. Morfologi ovarium yang abnormal
Lebih kurang enam sampai delapan kali lebih banyak folikel pre-antral dan small
antral pada ovarium polikistik dibandingkan dengan ovarium normal.12 Folikel ini
tertahan pertumbuhannya pada ukuran 2-9 mm, mempunyai rerata atresia yang lambat
dan sensitive terhadap FSH eksogen. Hampir selalu terdapat pembesaran volume
stroma yang menyebabkan volume total dari ovarium > 10 cc. Penyebab kelainan dari
morfologi ini diduga disebabkan oleh adanya androgen yang berlebihan. Androgen
merangsang pertumbuhan folikel primer sampai dengan stadium folikel pre-antral dan
small antral, dan proses ini dipercepat dengan adanya androgen yang berlebihan
dibandingkan dengan ovarium yang normal. Faktor lain yang ditemukan pada PCOS
yang ikut berpengaruh pada morfologi ovarium adalah kelebihan beberapa faktor
yang menghambat kerja dari FSH endogen (seperti follistatin, epidermal growth
factor dll), kelebihan factor anti-apoptotic (BCL-2) yang dapat memperlambat
turnover dari folikel yang terhambat ini. Kombinasi dari faktor-faktor tersebut yang
menyebabkan morfologi ovarium yang karakteristik pada ovarium polikistik.

8
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2. Kunci utama dari produksi androgen yang berlebihan pada polycystic ovary
(Dikutip dari Homburg R)

2. Produksi androgen ovarium yang berlebihan


Produksi androgen ovarium yang berlebihan adalah penyebab utama dari PCOS.
Hampir semua mekanisme enzymatic pada PCOS yang merangsang produksi
androgen meningkat. Peningkatan insulin dan LH, baik secara sendirian ataupun
kombinasi akan meningkatkan produksi androgen. Adanya single gene dengan kode
cytochrome P450c17a, enzym ini memediasi aktifitas 17a-hydroxylase dan 17-20-
desmolase pada tingkat ovarium.

Gambar 3. Mekanisme dari produksi androgen yang berlebihan pada polycystic ovary
(Dikutip dari Homburg R)

9
Universitas Sumatera Utara
3. Hiperinsulinemia
Hiperinsulinemia yang disebabkan oleh resistensi insulin terjadi pada lebih kurang
80% wanita dengan PCOS dan obesitas sentral, dan juga pada lebih kurang 30-40%
wanita dengan PCOS yang berbadan kurus.13 Hal ini disebabkan oleh kelainan pada
post-receptor yang berefek pada transport glukosa, dan ini adalah kelainan yang unik
pada wanita dengan PCOS.13 Resistensi insulin secara bermakna di eksaserbasi oleh
obesitas, dan merupakan faktor utama dalam patogenesa anovulasi dan
hyperandrogenism. Kelainan fungsi dari sel beta pancreas juga ditemukan pada
PCOS.

Gambar 4. Peranan hperinsulinemia dalam patogenesa anovulasi dan hperandrogenisme


(Dikutip dari Homburg R)

4. Kadar serum LH yang berlebihan


Kadar serum LH yang berlebihan dapat diditeksi pada sample darah pada satu kali
pemeriksaan dalam lebih kurang 40-50% wanita dengan PCOS. Tingginya kadar LH
lebih banyak terdapat pada wanita dengan berat badan yang kurus dibandingkan
dengan yang obesitas. Walaupun kadar serum FSH dalam batas normal, tetapi
didapatkan penghambatan intrinsic pada kerja FSH. Kadar prolactin pun mungkin
sedikit meningkat.

10
Universitas Sumatera Utara
2.2 Resistensi Insulin
Pada tahun 1921, Achard dan Thiers pertama kali melaporkan suatu hubungan patofisiologi
antara hyperandrogenism dan metabolisme insulin dalam deskripsi mereka pada ”diabetes des
femmes ả barbe” (diabetes pada wanita yang berjanggut). Selanjutnya pada tahun 1976, Kahn
dkk mendeskripsikan virilisasi yang signifikan pada gadis-gadis muda dengan resistensi
insulin berat, hal ini mengarahkan pada suatu eksplorasi lebih lanjut tentang sekresi insulin
pada wanita dengan hiperandrogen.14

Resistensi insulin didefinisikan sebagai penurunan kemampuan insulin untuk menstimulasi


pemasukan glukosa kedalam jaringan target, atau berkurangnya respon glukosa pada
pemberian sejumlah insulin sebagai respon kompensasi terhadap resistensi jaringan target
maka terjadilah hiperinsulinemia. Beberapa mekanisme telah di usulkan untuk menjelaskan
resistensi insulin, termasuk resistensi jaringan perifer target, penurunan pembersihan di
hepar, atau peningkatan sensitivitas pankreas. Penelitian dengan menggunakan teknik
euglycemic clamp mengindikasikan bahwa wanita hyperandrogenic dengan hiperinsuliemia
mempunyai resistensi insulin perifer dan penurunan rerata pembersihan insulin yang
disebabkan oleh penurunan ekstraksi insulin di hepar.15

Resistensi insulin perifer pada PCOS adalah bersifat unik disebabkan kelainan diluar aktifasi
dari receptor kinase, yang disebut sebagai penurunan tyrosine autophosphorylation dari
reseptor insulin.16 Serine residue phosphorylation yang berlebihan pada reseptor insulin
menurunkan transmisi signal, dan hal ini telah diusulkan untuk menjelaskan juga
hyperandrogenism oleh serine phosphorylation pada saat yang bersamaan dari enzyme
P450c17 pada kelenjar adrenal dan ovarium, yang mana dapat meningkatkan aktifitas 17,20-
lyse dan produksi androgen. Resistensi insulin mungkin dapat dihubung-sebabkan pada
aktifitas yang lebih dari cytochrome P450c17, yang merupakan enzyme kunci utama pada
biosintesa androgen di ovarium dan kelenjar adrenal.17 Insulin sendiri, bekerja melalui
reseptornya, memperlihatkan suatu rangsangan biosintesa androgen pada ovariun dan
kelenjar adrenal, meningkatkan produksi luteinizing hormone (LH)-induced androgen oleh
sel theca sehingga menyebabkan hiperandrogenemia.18 Perbaikan hiperinsuliemia secara
dramatik akan menurunkan sirkulasi androgen pada kadar yang normal. Hiperinsulinemia
mungkin juga meningkatkan regulasi reseptor insulin-like growth factor-I (IGF-I), yang
merupakan suatu stimulator yang kuat dari sintesa LH-induced androgen, dan meningkatkan
bioavailability dari IGF-I yang disebabkan oleh supresi pada produksi IGF-binding protein I
11
Universitas Sumatera Utara
oleh hati. Sebagai tambahan, insulin mungkin meningkatkan potensi respon dari
steroidogenesis kelenjar adrenal pada adrenocorticotropic hormone (ACTH), dan
meningkatkan ekspresi dari hyperandrogenism oleh efek inhibisinya pada produksi sex
hormone binding globulin (SHBG) hepar, sehingga meningkatkan bioavailbility dari
androgen.18

Gambar 5. Potensial mekanisme dari resistensi insulin pada polycystic ovary syndrome
(Dikutip dari Ben-Haroush A)

Walaupun banyak penelitian mengindikasikan bahwa androgen dapat menginduksi


hiperinsuliemia, tetapi banyak kenyataan yang mendukung bahwa hiperinsulimemia adalah
faktor primer yang menyebabkan hyperandrogenism. Keduanya wanita yang kurus ataupun
obesitas dengan PCOS mungkin mempunyai resistensi insulin.18 Wanita PCOS yang kurus
mempunyai bentuk resistensi insulin intrinsic yang masih sulit untuk dimengerti, dan wanita
yang obesitas mungkin mempunyai bentuk ini sebagai tambahan pada resistensi insulin yang
disebabkan oleh kelebihan berat badan. Penemuan klinik yang menunjukan adanya resistensi
insulin dan hiperinsulinemia termasuk body mass index (BMI) > 27 kg/m2, waist to hip ration
> 0.85, waist > 100 cm, acanthosis nigricans, dan beberapa achrochordons (skin tags)19. Akan
tetapi, menurut American Diabetes Association Consensus Conference,20 belum ada metode

12
Universitas Sumatera Utara
yang sesuai untuk menentukan resistensi insulin dalam praktek klinikal. Tidak ada satu pun
pemeriksaan, seperti fasting insulin, glucose, atau glucose-to-insulin ratio, yang menunjukan
kegunaannya dalam memprediksi respon ovulasi pada obat-obat insulin-sensitizing.
Walaupun fasting glucose-to-insulin ratio (<4,5) berkorelasi dengan sensitivitas insulin
seperti yang ditentukan oleh insulin-glucose clamp, hal ini tidak pernah di uji cobakan
sebagai prediktor dari respon pada pengobatan dengan insulin-sensitizing.21

2.2.1 Mekanisme Resistensi Insulin pada PCOS


Insulin terikat pada transmembrane reseptor insulin, mengaktivasi beberapa kegiatan
termasuk tyrosine autophosphorylation dari reseptor insulin, yang mengaktivasi reseptor dan
selanjutnya phosphorylation dari intermediary proteins (seperti insulin receptor substrate 1),22
hal ini sebaliknya akan mengaktivasi mobilisasi dari glucose transporter proteins dan
pengambilan glukosa ke dalam sel.23 Penelitian pada wanita dengan PCOS memperlihatkan
bahwa reseptor insulin nya normal dan tidak ditemukan mutasi genetic. Dalam respon
terhadap stimulasi insulin, adipocytes dari wanita dengan PCOS juga mempunyai insulin
binding yang normal. Akan tetapi kegiatan seperti aktivasi glucose transporter proteins dan
pengambilan glukosa ke dalam sel ditemukan menurun, dan hal ini menunjukan adanya
kelainan pada tingkat postreceptor. Dunaif23 dan Dunaif dkk24 menemukan bahwa lebih
kurang separuh dari wanita PCOS dengan obesitas mempunyai kelainan pada
autophosphorylation dari reseptor insulin. Pada wanita ini reseptor insulin yang belum
terstimulasi sudah mempunyai phosphorylation yang signifikan, sehingga tidak terjadi
phosphorylation ketika insulin terikat pada reseptornya. Terdapat kemungkinan bahwa dasar
phosphorylation yang tidak terstimulasi ini terjadi pada serine residues dan terjadi penurunan
tyrosine phosphorylation yang normal.

2.2.2 Hiperinsulinemik Resistensi Insulin dan PCOS


Perjalanan pengobatan PCOS berawal dari observasi bahwa hampir semua wanita dengan
PCOS menderita resistensi insulin dan dengan kompensasi hiperinsuliemia (hyperinsulinemic
insulin resistance), dan dari bukti nyata menyimpulkan bahwa peningkatan kadar insulin
dalam sirkulasi menghambat terjadinya ovulasi. Beberapa penelitian telah menyimpulkan
patogenesa dari peranan hiperinsulinemia terhadap penghambatan ovulasi pada PCOS. Pada
wanita PCOS dengan obesitas telah dibuktikan bahwa beratnya obesitas (begitu juga
hiperinsulinemia) berkorelsi langsung dengan kegagalan ovulasi dalam respon terhadap
clomiphene, atau memerlukan beberapa kali dan peningkatan dosis clomiphene yang
13
Universitas Sumatera Utara
progresif.25 Dengan demikian pada wanita PCOS dengan obesitas, usaha untuk menurunkan
berat badan dengan diet dan olah raga dapat memperbaiki ovulasi.26 Hal ini dengan sangat
yakin di dokumentasikan dalam penelitian oleh Norman dkk, yang menyatakan bahwa
modifikasi gaya hidup yang dapat meningkatkan sensitivitas insulin juga memberikan hasil
dalam perbaikan ovulasi dan infertility pada wanita PCOS yang obesitas.26 Yang perlu
dicatat, walaupun peningkatan sensitivitas insulin tidak disertai oleh penurunan berat badan,
tetapi terdapat perbaikan ovulasi, hal ini yang membuktikan bahwa kunci utama pada PCOS
adalah pada resistensi insulin dari pada berat badan absolute. Sangatlah masuk akal untuk
merekomendasikan modifikasi gaya hidup, termasuk diet dan olah raga untuk penurunan
berat badan sebagai pengobatan lini pertama untuk semua wanita obesitas dengan PCOS.
Akan tetapi, sangat disayangkan bahwa dalam kenyataannya banyak wanita obesitas dengan
PCOS di Amerika Serikat tidak menurunkan berat badannya, dan bila terdapat masalah
fertilitas, mereka mengharapkan untuk tidak menunda konsepsi walaupun untuk waktu yang
singkat untuk modifikasi gaya hidup. Lebih lagi, antara 10-30% dari wanita PCOS adalah
berbadan kurus, dan penurunan berat badan bukanlah opsi yang baik untuk wanita ini. Untuk
alasan ini, beberapa peneliti mengeksplorasi pemakaian obat insulin sensitizing untuk
memperbaiki sensitivitas insulin perifer dan menurunkan kadar insulin plasma pada PCOS.
Dalam penelitian ini ditemukan bahwa obat ini efektif dalam memperbaiki siklus menstruasi,
ovulasi dan infertility pada wanita dengan PCOS

2.2.3 Hiperinsulinemia dan Induksi Ovulasi


Fulghesu dkk27 mengevaluasi pengaruh kadar insulin terhadap respons ovarium pada induksi
ovulasi dengan follicle-stimulating hormone (FSH) pada 34 wanita dengan PCOS. Mereka
menyimpulkan bahwa pasien dengan hyperinsulinemic mempunyai resiko lebih tinggi untuk
terjadi ovarian hyperstimulation syndrome (OHSS) dibandingkan dengan pasien yang
normoinsulinemic. Dale dkk mengevalusi korelasi antara metabolisme insulin dan luaran dari
stimulasi gonadotropin pada 42 pasien PCOS yang infertil yang resisten terhadap clomiphene
citrate (CC). Mereka menemukan 17 pasien dengan resistensi insulin memerlukan
penggunaan dosis gonadotropins yang lebih tinggi dan lebih lama untuk mencapai
pematangan folikel. Pada kelompok ini, 35% dari siklusnya dibatalkan disebabkan oleh
respons multifollikel dibandingkan dengan hanya 2.5% pada kelompok yang tidak ada
resistensi insulin. Lebih lagi, walaupun rerata ovulasi pada siklus yang komplit adalah sama
pada kedua kelompok, rerata konsepsi secara signifikan lebih tinggi pada wanita yang tidak
ada resistensi insulin. Hiperinsulinemia dan obesitas berhubungan secara langsung dengan
14
Universitas Sumatera Utara
kegagalan induksi ovulasi dengan CC, atau memerlukan dosis CC yang lebih tinggi dan
berulang. Sehingga, wanita dengan PCOS dan resistensi insulin yang berat lebih cenderung
untuk gagal dalam respons terhadap CC.28 BMI (Body Mass Index) adalah faktor penentu
mayor pada resistensi insulin dan hiperinsulinemia. Resistensi insulin jarang terjadi pada
wanita dengan BMI < 22 kg/m2, sering pada wanita dengan BMI > 27 kg/m2 dan hampir
selalu terjadi pada wanita dengan BMI > 30 kg/m.26,29 Pada wanita yang obesitas, penurunan
berat badan dapat menurunkan androgen, LH dan kadar insulin dalam sirkulasi, sehingga
dapat menginduksi ovulasi dan juga memperbaiki rerata kehamilan.29 Kesulitan wanita yang
obesitas untuk menurunkan berat badan, ditambah dengan kenyataan bahwa 10-30% wanita
dengan PCOS adalah kurus, hal ini yang mendorong pemakaian obat insulin-sensitizing
untuk memperbaiki sensitivitas insulin perifer dan menurunkan kadar plasma insulin.29

2.3 Metformin
Metformin (1,1-dimethylbiguanide hydrochloride) adalah obat golongan biguanide yang
dipergunakan sebagai anti hiperglikemik oral pada penderita diabetes mellitus tipe 2. Kerja
utamanya adalah menghambat produksi glukosa dari hepar, selain itu metformin juga
menghambatan pengambilan glukosa dari saluran pencernaan dan meningkatkan sensitifitas
insulin di jaringan perifer. Metformin juga menpunyai efek anti lipolitik, menurunkan
konsentrasi asam lemak bebas dalam sirkulasi darah sehingga menyebabkan menurunnya
gluconeogenesis.30 Metformin mengaktifkan adenosine monophosphate (AMP)-activated
protein kinase pathway (AMPK) baik secara in vitro maupun in vivo3 sehingga menyebabkan
penurunan produksi glukosa dan meningkatkan oksidasi asam lemak di dalam sel-sel hepar
(hepatocytes), otot-otot dan di dalam jaringan ovarium31

Metformin direkomendasikan didalam International Guidelines sebagai terapi utama untuk


diabetes mellitus tipe 2 karena mempunyai profil yang baik dalam pengontrolan metabolisme
glukosa. Akan tetapi sampai saat ini belum ditemukan regimen dosis yang tetap sehingga
dianjurkan untuk disesuaikan secara individu dengan dasar efektifitas dan toleransi dan tidak
melebihi dosis maksimal yang direkomendasikan yaitu 2250 mg untuk dewasa dan 2000 mg
untuk anak-anak dalam sehari. Untuk menghindari efek samping dan meningkatkan toleransi,
pemberian metformin dianjurkan dimulai dari dosis yang kecil kemudian ditingkatkan secara
bertahap sampai mencapai dosis yang sesuai.

15
Universitas Sumatera Utara
2.3.1 Metformin dan PCOS
Velazquez dkk32 pertama kali melaporkan penggunaan metformin sebagai obat untuk PCOS,
dan hasilnya membuktikan bahwa metformin memperbaiki sensitivitas insulin, menurunkan
kadar serum LH, total dan free testosterone dan menyebabkan peningkatan kadar serum FSH
dan SHBG pada wanita obesitas dengan PCOS. Genazzani dkk33 memperlihatkan adanya
modifikasi yang signifikan pada sekresi spontan LH dan perbaikan fungsi reproductive axis
setelah pemakaian metformin pada wanita PCOS yang tidak obesitas.

Kolodziejczyk dkk34 mengobati 39 wanita dengan PCOS dan hiperinsulinemia puasa dengan
metformin, menemukan penurunan yang signifikan pada insulin puasa dan total testosterone
dan juga meningkatkan SHBG sehingga menurunkan free testosterone index. Sebagai
tambahan, juga ditemukan penurunan yang signifikan pada mean BMI, waist-to-hip ratio,
hirsutism, acne dan juga memperbaiki siklus menstruasi. Tetapi tidak terdapat perubahan
pada kadar LH atau LH-to-FSH ratio. Penurunan testosterone dan free index nya yang paling
tinggi terjadi pada pasien dengan hiperandrogenemia yang berat.

Peranan metformin dalam memperbaiki induksi ovulasi pada wanita penderita PCOS melalui
beberapa cara meliputi menurunkan kadar insulin, merubah efek insulin pada ovarium dalam
pembentukan androgen, proliferasi sel-sel theca dan pertumbuhan endometrium. Dan juga
melalui efek langsung pada penghambatan gluconeogenesis di ovarium sehingga menurunkan
produksi androgen di ovarium.35 Attia dkk membuktikan adanya penghambatan pada
produksi androgen pada sel theca manusia. Yang juga penting, kerja metformin tidak
menyebabkan peningkatan sekresi insulin, sehingga tidak terjadi hipoglikemia. Dalam
beberapa penelitian juga dijumpai kemungkinan penurunan berat badan dengan pemakaian
metformin jangka panjang dan hal ini merupakan suatu keuntungan bagi PCOS.36,37

2.3.2 Ovulasi Spontan setelah Pengobatan dengan Metformin


Vrbikova dkk38 dalam suatu penelitian pada 24 pasien PCOS dengan menggunakan
metformin selama 6 bulan memperlihatkan perbaikan yang signifikan pada siklus menstruasi
pada 58% pasien. Baysal dkk39 melakukan penelitian pada 50 wanita PCOS dengan
pemberian metformin selama 12 bulan menemukan penurunan mean BMI secara signifikan
dan perbaikan siklus menstruasi pada 60% kasus. Fleming dkk40 melakukan suatu penelitian
double blind placebo-controlled dengan penilaian secara seksama pada aktivitas ovarium
untuk mengevaluasi efek metformin pada pasien PCOS, ternyata pada kelompok yang
16
Universitas Sumatera Utara
diberikan metformin mempunyai rerata siklus ovulasi yang lebih tinggi dibandingkan
kelompok placebo, dan secara signifikan lebih pendek waktu yang diperlukan untuk
mendapat ovulasi yang pertama, begitu juga terdapat penurunan berat badan yang signifikan.
Glueck dkk41 dalam penelitian terhadap 43 wanita amenorrheic dengan PCOS melaporkan
bahwa pemberian metformin dapat mengembalikan siklus menses yang normal pada 91%
kasus. Penelitian pada remaja belasan tahun, Glueck dkk42 mendeskripsikan pengalaman
pemberian kombinasi metformin dengan diet tinggi protein rendah karbohidrat, setelah 6
bulan semua pasien dalam kelompok ini mempunyai kadar gula darah puasa dan
glycohemoglobin yang normal, 91% mempunyai siklus menses yang normal.

2.3.3 Metformin dan Induksi Ovulasi dengan Clomiphene Citrate (CC)


Walaupun CC merupakan obat utama untuk induksi ovulasi pada PCOS, wanita obesitas
dengan PCOS sering kurang respons terhadap CC. Hal ini mungkin disebabkan oleh
resistensi insulin dan bersamaan dengan hiperinsulinemia. Wanita obesitas dengan PCOS
sering memerlukan peningkatan dosis yang progresif dan juga pemberian yang berulang dari
CC untuk mencapai keberhasilan induksi ovulasi, dan juga dosis CC berkorelasi secara
langsung dengan derajat obesitasnya. Metformin telah diuji pada wanita yang kurang respons
terhadap CC. Pada suatu Cochrane review43 yang menganalisa beberapa penelitian terhadap
kombinasi antara metformin dan CC pada PCOS menyimpulkan secara keseluruhan terjadi
ovulasi pada 76% wanita yang menggunakan metformin dan CC dibandingkan dengan 42%
yang hanya menggunakan CC. Dan yang penting adalah terdapat peningkatan rerata
kehamilan secara signifikan yaitu 4.4-fold pada kelompok metformin dan CC dibandingkan
dengan CC saja.

Dalam suatu penelitian prospektif pada wanita obesitas dengan PCOS, Nestler dkk
membandingkan metformin dan placebo selama pemberian dalam 35 hari. Bila tidak terjadi
ovulasi, diberikan lagi CC bersamaan dengan metformin atau placebo. Ternyata dalam
penelitian tersebut, terdapat perbaikan OGTT pada 19 dari 21 wanita (90%) di kelompok
metformin dan hanya 2 dari 25 wanita (8%) di kelompok placebo. Secara keseluruhan,
ovulasi spontan ataupun yang respons terhadap CC terjadi pada 31 dari 35 wanita (89%) yang
diberikan pengobatan dengan metformin dibandingkan dengan hanya 3 dari 26 wanita (12%)
yang diberikan placebo.

17
Universitas Sumatera Utara
Dalam suatu meta-analysis, kombinasi antara metformin dan CC secara signifikan
memperbaiki rerata ovulasi dan kehamilan (OR 4.39 dan 2.67) apabila dibandingkan dengan
pemakaian CC saja. Hasil ini menyimpulkan bahwa pemberian kombinasi (metformin dan
CC) adalah pengobatan yang menjadi pilihan pada wanita PCOS dengan resistensi CC.
Dengan kata lain, wanita yang gagal untuk ovulasi dengan CC mungkin akan mendapat
manfaat bila ditambahkan dengan metformin.

Walaupun penyebab resistensi ovulasi terhadap CC belum jelas diketahui, dapat di


hipotesakan bahwa pemberian metformin dapat memperbaiki induksi ovulasi pada wanita
yang resisten terhadap CC dikarenakan oleh perbaikan pada androgens, gonadotropins dan
insulin, melalui mekanisme yang tidak didapatkan dengan pemberian CC saja. Sangatlah
masuk akal diduga bahwa wanita dengan CC resistance yang mendapat metformin
menunjukan peningkatan respons terhadap CC disebabkan oleh suatu pengaruh di dalam
microenvironment dari folikel yang disebabkan oleh pengaruh metformin terhadap insulin
dan insulin growth factor (IGF)-I didalam sel granulosa. Tosca dkk melaporkan bahwa
didalam sel granulosa sapi, metformin menurunkan steroidogenesis dan mitogen-activated
protein kinase (MAPK)3/MAPK1 phosphorylation melalui aktifasi AMPK. Pada suatu
penelitian yang dilakukan oleh Vandermolen dkk, terdapat perbaikan yang signifikan pada
rerata ovulasi dan kehamilan pada wanita PCOS dengan CC resistance yang diberi
pengobatan dengan metformin saja. Peneliti lain juga memperlihatkan perbaikan rerata
ovulasi dan kehamilan pada CC resistance yang diberi pengobatan dengan kombinasi
metformin dan CC dibandingkan dengan placebo dan CC. Kemampuan metformin untuk
mengembalikan respons terhadap CC pada wanita obesitas dengan PCOS, dan juga
rendahnya rerata terjadinya multiple pregnancy dan ovarian hyperstimulation syndrome
(OHSS) adalah merupakan keuntungan tambahan dari pengobatan dengan metformin pada
pasien dengan CC resistance.

2.4 Dosis dan Jangka Waktu Pemberian Metformin pada PCOS


Dosis dan jangka waktu yang optimal untuk pemberian metformin pada penderita PCOS
dengan insulin resisten sampai sekarang belum ditemukan suatu konsensus. Beberapa peneliti
memberi pengobatan 4 sampai 8 minggu dengan dosis 500 mg tiga kali sehari sebagai
pengobatan awal sebelum diberikan CC32,36, tetapi banyak pasien yang merasa tidak nyaman
dan sering menemukan efek samping dengan pemberian 4 sampai 8 minggu tersebut,
sehingga banyak yang tidak melanjutkan pengobatan. Untuk mempersingkat waktu dan
18
Universitas Sumatera Utara
meningkatkan kepatuhan dalam pengobatan, banyak peneliti mencoba pemberian metformin
yang lebih singkat. Hwu dkk36 memberikan metformin dengan dosis 500 mg tiga kali sehari
untuk 12 hari sebelum dimulai pengobatan dengan CC. Pada penelitian tersebut ovulasi
ditemukan pada 42.5% dibandingkan hanya 12.5% pada kelompok kontrol. Khorram dkk44
memberikan metformin 500 mg tiga kali sehari dimulai dari hari pertama withdrawal
bleeding (setelah pemberian medroxy-progesterone acetate 10 mg perhari selama 10 hari) dan
pemberian CC pada hari ke lima sampai hari ke sembilan. Pada penelitian tersebut ditemukan
44% dan 31% dibandingkan hanya 6.7% dan 0% pada kelompok kontrol yang ovulasi dan
keberhasilan untuk hamil.

2.5 Efek Samping Metformin


Metformin standar yang digunakan adalah metformin IR yang mana mempunyai kekurangan
dalam hal harus diberikan dalam dua atau tiga kali sehari dan mempunyai resiko untuk
merangsang terjadinya efek samping terutama pada saluran pencernaan sehingga
menimbulkan masalah dalam pencapaian dosis yang optimal dan mengurangi kepatuhan
penderita terhadap pengobatan.45

Banyak cara yang digunakan untuk mengatasi efek samping ini seperti dimulai dari dosis
yang kecil dan kemudian menaikan dosis obat secara bertahap, mengurangkan frekuensi
pemberian dengan pemakaian dosis yang lebih tinggi.

American Diabetes Association (ADA) dan European Society for the study of Diabetes
(EASD) dalam suatu konsensus bersama juga menyatakan adanya kesulitan dalam pemberian
metformin IR yang disebabkan oleh pemberian yang memerlukan beberapa kali dan efek
samping yang ditimbulkan sehingga dapat mengurangi kepatuhan pasien terhadap
pengobatan. Selain menganjurkan pemberian dengan cara tersebut diatas, dalam konsensus
itu juga dianjurkan untuk pemakaian metformin XR yang dapat diberikan satu kali sehari
dengan efek samping yang lebih minimal sehingga dapat meningkatkan kepatuhan pasien
terhadap pengobatan.45

2.6 Metformin XR (Extended Released)


Metformin yang biasa digunakan adalah metformin bentuk konvensional yaitu Immediate-
release (IR) metformin dengan pemberian oral 2 sampai 3 kali sehari. Selain pemberian yang
19
Universitas Sumatera Utara
harus beberapa kali, metformin IR juga menimbulkan efek samping yang dapat menyebabkan
diberhentikannya pengobatan dengan metformin.

Untuk mengantisipasi hal tersebut, Peter Timmins dkk7 pada tahun 2002 memperkenalkan
suatu bentuk controlled-release delivery system (GelShield Diffusion System) yang dipakai
pada formula XR dari metformin. Sistem ini menggunakan pendekatan dua fase yang
heterogen yang terdiri dari suatu inner solid particulate phase dan outer solid continuous
phase. Inner solid particulate phase berisi granula tersendiri dari metformin-associated XR
polymer, sedangkan outer solid continuous phase terdiri dari XR polymer yang berbeda yang
tidak mengandung metformin, dimana granula atau partikel dari inner phase tersebar
didalamnya.

Setelah pemberian metformin XR, polymer dari outer solid phase akan mengalami hidrasi
dan menyebabkan perubahan tablet menjadi suatu gel-like mass. Perubahan bentuk ini dapat
membantu secara sementara untuk mencegah transit dari tablet melalui pylorus (bila
diberikan bersama makanan), sehingga secara efektif memperpanjang masa penempatan
didalam lambung.

Gambar 6. Metformin Extended Release


(Dikutip dari Timmins P)

Setelah pelepasan dari inner solid particulate phase, metformin tersebar melalui outer phase
dan siap untuk diserap. Rerata pelepasan dari metformin XR secara signifikan lebih lambat

20
Universitas Sumatera Utara
dibandingkan dengan metformin IR, hal ini dibuktikan secara in vitro dimana metformin IR
melepaskan 90 % kandungan obatnya dalam waktu 30 menit sedangkan metformin XR
melepaskannya dalam waktu lebih dari 10 jam. Karakter ini mengindikasikan suatu kontrol
yang baik dari pelepasan obat metformin XR sehingga merendahkan potensial dari
penumpukan obat. Bila diberikan bersamaan dengan makan malam, GelShield Diffusion
System dari metformin XR berkerja seirama dengan fisiologi yang normal dari pengosongan
saluran pencernaan yang lambat pada malam hari yang menghasilkan suatu perpanjangan
masa penyerapan dari metformin sehingga dapat diberikan dengan dosis satu kali sehari.

Penyerapan metformin IR didalam saluran pencernaan dibatasi oleh permeabilitasnya


sehingga secara eksklusif penyerapan hanya terjadi didalam saluran pencernaan bagian atas.
Sehingga diperlukan pemberian beberapa kali sehari untuk mencapai dosis yang efektif.

Setelah pemberian metformin IR, kadar puncak dalam plasma (cmax) akan dicapai dalam 2
sampai 3 jam (tmax) sedangkan pada metformin XR kadar puncak tersebut dicapai dalam 7
jam. Akan tetapi hal ini tidak mengurangi penyerapan metformin XR seperti yang ditunjukan
dalam AUC yang sebanding dengan metformin IR.

Gambar 7. Rerata kadar plasma berbanding waktu pada pemberian metformin IR dan metformin XR
(Dikutip dari Timmins P)

21
Universitas Sumatera Utara
Davidson J dkk46 dalam suatu penelitian membandingkan toleransi saluran pencernaan
terhadap metformin XR dan metformin IR, ternyata dalam penelitian tersebut metformin XR
menimbulkan efek samping terhadap saluran pencernaan lebih sedikit dibandingkan dengan
metformin IR. Hal ini mendukung penggunaan metformin XR sebagai pengganti metformin
IR. Dalam suatu review, Jabbour S dkk47 menemukan pemakaian metformin XR memberikan
pengontrolan glikemik sama atau lebih baik dibandingkan dengan metformin IR dengan efek
samping yang lebih kecil. Walaupun dengan dosis kecil 500 mg sehari, metformin XR masih
efektif dalam memperbaiki resistensi insulin dan hiperinsulinemia.

22
Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai