Anda di halaman 1dari 9

WABAH KORUPSI DAN PROBLEMATIKA

HUKUM DI INDONESIA:

Perspektif Islam dan Hukum Nasional

Oleh: M. Abdurrahman

A. Pendahuluan

Sudah merupakan suatu yang tidak aneh perkataan


“korupsi” di kalangan segala level supra dan infra level
masyarakat sering didengungkan. Media masa setiap hari, baik
elektronik maupun cetak, sudah amat penuh dengan berita-
berita korupsi. Korupsi yang terjadi atau diberitakan tersebut
menandakan bahwa korupsi di negara kita merupakan “wabah”
yang amat sulit diobati, dengan menggunakan perangkat
hukum yang ada sekarang. Mulai dari Undang-undang
Pemberantasan Korupsi sampai KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi) dan lain-lain. Indonesia mencatat rekor peringkat tiga
korupsi terbesar di dunia, bahkan Jabar dan DKI mencatat rekor
daerah terkorup.

Apapun namanya korupsi ini sudah terjadi sejak zaman


pemerintahan Kolonial Belanda di mana para penjabat waktu
itu menggunakan kekuasaannya untuk menguras kekayaan
negara dan memeras rakyat. Perpindahan kekuasaan dari
kolonial kepada Pemerintah Republik, tidak serta merta
memperbaiki citra pemerintah, malahan justru prilaku korup
penguasa berlanjut dan “lebih parah” dari zaman kolonial.
Ketika terjadi pergantian kekuasaan dari Orde Lama ke Orde
Baru yang menjadi isu korupsi saat itu di mana masyarakat
makan “robur”, ternyata korupsi makin menjadi-jadi, bahkan
Orde Reformasi yang menjadi harapan, kandas sejak awal.

Dari orde ke orde pemerintah Indonesia tidak mampu


pencerahan untuk mampu mencegah terjadinya korupsi di
Indonesia karena terbukti bahwa munculnya Orde Reformasi,
korupsi makin parah. Munculnya pengajian yang makin marak,
masjid dan musalla yang ramai dikunjungi orang, pelatihan ESQ,
dan lembaga-lembaga (majlia) dzikir belum mampu menangkal
korupsi. Di sisi lain mungkin ada kesalahan terapi atau
kesalahan dalam menerapkan hukum karena pegawai lembaga
anti korupsi pun yang seharusnya mengawasi tindak pidana
korupsi tidak berperan sebagaimana mestinya.

Para koruptor sekarang mulai ditangkap secara intensif; para


oknum polisi, hakim, jaksa, eksekutif, legslatif, bahkan sampai
tingkat oknum pengurus LSM yang berkoar melawan korupsi;
tokoh-tokoh yang bergelar Kyai, Prof. Dr, dan rakyat kecilpun
ternyata korupsi, seperti mereka yang tidak berhak mendapat
BLT malahan mendapatkannya, padahal dahulu perkataan
“korupsi” konotasinya adalah PNS dan eksekutif. Saat ini semua
orang bisa digelari koruptor jika ada indikasi pengelapan dan
pengkhianatan (ghulul-Arab) serta fasad (kerusakan), dalam
segala aspek kehidupan.

Persoalan ialah mengapa korupsi makin menjadi-jadi dan


nilainya makin besar di Indonesia? Bagimana langkah merintah
untuk memberantas korupsi saat ini dan kedepan?

B. Wabah Korupsi
“Korupsi sudah membudaya di Indonesia”kata mantan Wakil
Presiden, HM. Hatta. Budaya baru di Indonesia adalah korupsi
dan koruptor, jauh dari itu korupsi sudah menjadi wabah.
Menurut bahasa, korup sebagai, “1) buruk, rusak –fasad (Arab),
busuk, suka menerima uang sogok – risywah (Arab), dapat
disogok (memakai kekuasaan untuk kepentingan pribadi).
Mengorup 1) merusak (ifsad), 2) Jur (menyelewengkan), ghulul,
(penggelapan) barang, uang milik perusahaan (negara,
perusahaan) tempat kerjanya. Korupsi ialah penyelewengan
atau penggelapan (ghulul)uang negara atau perusaahaan dsb
untuk kepentingan pribadi atau orang lain, bahkan korupsi
waktu, yaitu menggunakan waktu pada waktu dinas bvukan
peruntukannya. (Lihat KBBI, 1989 : 462 dan kamus-maus
bahasa bahasa Arab. Kamus al-Maurid (Munir Ba’labak, 1981:
220), menerjemahkan korupsi ke dalam bahasa Arab yaitu
fasad, risywah, sebagaimana disepakati oleh Librairie du Liban
(1983: 72) bahwa terjemah ke dalam bahasa Arab fasad.
Namun, di kalangan fuqaha belum ada kesepakatan dengan
definisi tersebut. Hal ini menunjukkan konsep korupsi amat
kompleks karena akan menembus berbagai macam makna yang
intinya ada pengkhianatan, penggelapan, dan pengrusakan,
dengan implikasi hukum yang berbeda.

Menurut seorang yang dapat dipercaya dalam suatu


ceramahnya, diasumsiakana bahwa pada masa Orde Baru
korupsi sebesar “25 Triliun, maka sekarang pada Orde
Reformasi diperkirakan 175 triliun”, bahkan lebih besar dari itu.
Diharapkan asumsi ini tidak benar, tetapi faktanya sepertinya
membuktikan, mulai dari Penyelah gunaan uang pembangunan,
uang BLBI, illegal loging sampai “DAU-Depag”, E-KTP, Izin
perusahaan dll. orang yang mestinya menyelidi kaum koruptor,
malah tak sedikit penyidik yang diduga korupsi, “hakim dan
jaksa” yang harus mengadili para koruptor malah banyak yang
menjadi tersangka korupsi. Benar, kata Yosua, “Jeruk makan
jeruk”. penyidik menyidik penyidik dan jaksa menuduh jaksa,
hakim menghukum hakim. Makanya KPK berusaha menangkap,
bahkan diwacana juga yang disponsori oleh Kepolisian negara,
“Densu Anti Korupsi”

B. Hukuman menjerakan bagi Koruptor

Pelaksanaan Hukum Pidana Korupsi yang sekarang belum


mampu mengurangi korupsi dan menghilangkan korupsi, maka
para koruptor perlu diberi hukuman yang berefek menjerakan,
bukan hanya sekedar memenjarakan. Dalam hukum Islam,
bagai para pencuri harus dihukum potong tangan. Memang
banyak orang yang sangat takut dengan hukuman ini, baik dari
kalangan muslim apalagi non-Muslim. Sebutan bagi para
pendengung syariat Islam sebagai fundamentalis, ekstrimis,
bahkan mungkin disebut teroris. Di Indonesia tuduhan
terhadap partai Islam yang ingin menegakkan Syariat dinilai
partai “tiran” yang akan kembali ke zaman kuno, orang yang tak
beradab, dan sekaligus melanggar HAM Itulah sebabnya
pendekar Syariat Islam selalu dihujat, lewat media dan seminar-
seminar.

Untuk memberantas korupsi perlu langkah-langkah politis dan


hukum agar problem ini tidak berlarut dan mewariskan stigma
terhadap generasi yang akan datang. Bila mengacu pada
definisi yang terdapat alam kamus KBBI dan yang dikemukakan
penyusun kamu Inggris Arab di atas, maka korupsi bisa
dikategorikan kepada dua pendapat yaitu membuat kerusakan
(ifsad), dan penyelewengan (jur) atau penggelapan (ghulul).
Menurut Syikh Ahmad al- Duwaisy (1998, XII: 36), al-glulul huwa
akhdz al-sya’i min al-ghanimah qabl qismat al-imam,
mengambil sesuatu dari harta rampasan (ghanimah) sebelum
dibagikan oleh kepala negara). Ayat ini berkaitan dengan
pengkhiatan pada laporan harta ghanimah pada Rasul saw,
sebagai kepala negara. Namun, dalam kasus korupsi, bagi orang
yang merusak (ifsad), maka hukumannya dianalogikan kepada
perampokan (hirabah) yang disebut dalam surat al-Maidah: 33
yang hukumannya ada empat alternatif, yaitu dibunuh, disalib
atau dipotong tangannya.

Pertama, korupsi dinilai risywah dan ghulul. Dalam Alquran dan


hadis tidak dijelaskan hukuman bagi orang yang melakukan
penyuapan (risywah), pengkhianatan dengan penggelapan atau
khianat (ghulul) ini. Hanya Allah menerangkan dalam Ali Imran:
161 sebagai:

‫ت ْلوهههمم ْلل‬
‫سهبل م‬ ‫ومههاَ ْكهاَلن ْلةنلبةهيي ْألمن ْيهغههفل ْومهن ْيهغملههل ْيهأم ة‬
‫ت ْبةمِهاَ ْغلهفل ْيلهمولم ْالمةقيِاَلمهةة ْثههفم ْتههلوففىَّ ْهكهلل ْنلهمفه س‬
‫س ْلمههاَ ْلك ل‬ ‫ل لل م ل م ل‬ ‫ل‬
(161)ْ ‫يهظم لهمِولن‬
“Tidak mungkin seorang Nabi akan berkhianat (ghulul). Barang
siapa berkhianat, maka pada hari kiamat ia akan dengan
dengan hasil pengkhianatannya. Kemudian, setiap nyawa akan
menerima balasan sesuai dengan yang diperbuatnya. Tidak ada
yang diperlakukan tidak adil.”

Majlis Ulama Indonesia mengambil ayat dan hadis yang


berkaitan dengan khianat ini sebagai landasan hukum korupsi,
dan ghulul diartikan berkhianat atau korupsi. Korupsi dan
risywah (sogokan) hanya dinilai haram dan pemerintah dan
masyarakat berkewajiban memberantasnya (Fatwa MUI, 2003:
275) tanpa menyebutkan hukum pidananya. Demikian pula
hadis-hadis yang berkaitan dengan khianat atau ghulul ini
menjadi landasan Syar’i yang dikemukakan MUI, seperti hadis
yang menerangkan bahwa pegawainya yang diutus ke daerah
untuk mengambil sadaqah, lalu mereka memilah-milah mana
buat dirinya mana buat Nabi (Pemerintah). Menurut Abu
Hurairah suatu waktu Rasulullah berpidato,

“Sungguh aku akan menemukan salah seorang di antara


kalian akan datang pada hari kiamat dengan memanggul
unta di pundaknya dengan bersuara, ‘Wahai Rasulullah,
tolonglah aku ini, maka nanti aku akan menjawab, ‘Aku tidak
punya kemampuan sedikitpun dari siksa Allah, dan aku sudah
menyampaikannya dahulu…………….”. (HR. Bukhari dan
Muslim).

Rasul pada hadis ini tidak menyebutkann hukuman pidana yang


melakukan penggelapan, sogokan atau korupsi. Hanya
menceritakan hukuman di akhirat belaka. Agaknya, MUI
menyerahkan hukumannya kepada ulil amri (pemerintah), yaitu
ta’zir yang berat dan tidaknya hukuman berdasarkan ijtidhad,
yaitu peraturan perundang-undangan. Di sini memerlukan
ketetapan ijtihad para ulama yang lebih menukik pada
penegakan keadilan, yaitu kekayaan apapun milik negara yang
diperuntukkan untuk kepentingan rakyat harus dipelihara
dengan prinsip hifzh mal harus ditegakkan, maka hukuman yang
keras harus ditegakkan agar menjerakan.

Kedua, mengartikan korupsi dengan ifsad, maka hukumannya


akan dianalogikan kepada hirabah. Bila analogi atau qiyas ini
diterima, maka acuan yang dipakai landasan hukum adalah
surat al-Maidah: 33. yang berbunyi,

“Sesungguhnya balasan bagi orang-orang yang menyerang Allah


dan Rasul-Nya dan melakukan kerusakan di muka bumi, maka
hukumannya dibunuh atau disalib atau dipotong tangannya dan
kakinya dengan disilang atau dibuang dari bumi ini. Maka itulah
kehinaan di dunia dan di akhirat siksa yang amat pedih.”

Pada ayat ini ada beberapa alternatif, yaitu dibunuh, disalib,


potong tangan dan kakinya secara silang, dan dibuang. Para
fuqaha menyebut saat sekarang dibuang diartikan dengan
dipenjara. Bila melihat kepada terjemah bahasa korupsi adalah
fasad atau ifsad, maka koruptor adalah sama dengan hirabah
dan menyebarkan kerusakkan di muka bumi, yaitu merampok
kekayaan publik yang mengakibatkan rusaknya tatanan basis
ekonomi. Hukumannya adalah salah satu di antara empat
alternatif di atas, maka hukuman yang menjerakan adalah
dengan dihukum mati. Menurut fuqaha, hukuman mati jika
perampok itu membunuh saja; bila disertai perampokan harus
disalib; bila merampok tanpa pembunuhan dipotong tangannya
dan bila hanya mengganggu masyarakat, tanpa mdana bantuan
Bencana Alam. Koruptor harus dibuang ke tempat lain
(dipenjara di tempat yang jauh). Dalam UU Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi 2002, “Hukuman mati merupakan
hukum maksimal dan hukuman minimalnya adalah hukuman
penjara tiga tahun”, walaiupun masih ada catatan karena yang
dikorupnya Menurut penulis UU tersebut, sudah senafas
dengan surat al-Maidah: 33 yang bunyinya,

‫ن‬‫سوووو ن‬‫وي ن وو و وو ن‬
‫ع‬ ‫هۥ ن‬ ‫سسسول ن ه‬ ‫ونر ه‬ ‫ه ن‬ ‫ن ٱلل لسس ن‬ ‫رهبو ن‬ ‫حسسا ر‬ ‫ن يه ن‬ ‫ذي ن‬ ‫ؤا ا ٱل ل ر‬
‫جنزز ه‬‫ما ن‬
‫إ رن ل ن‬
‫قطلسس ن‬
‫ع‬ ‫وا ا أ نوو ت ه ن‬ ‫صسسل لب ه ز‬
‫ن‬
‫وا ا أوو ي ه ن‬ ‫قت لل هسس ز‬ ‫دا نأن ي ه ن‬ ‫سسسا د‬ ‫ف ن‬ ‫ض ن‬ ‫و ن‬
‫في ٱلأور ر‬ ‫ر‬
‫ك‬ ‫ض ذزنل رسس ن‬ ‫ن ٱولأ نور ض ض‬ ‫مسس ن‬ ‫ف أ نوو هين ن‬
‫فسسووا ا ر‬ ‫خل زنسس ف‬ ‫مون ر‬ ‫هم م‬ ‫جل ه ه‬‫وأور ه‬
‫أ نويديه وم ن‬
‫ر ر ن‬
‫م‬ ‫عظريسس م‬ ‫ب ن‬ ‫ذا م‬ ‫عسس ن‬ ‫ة ن‬ ‫فسسي ٱولأ ز ر‬
‫خسسنر ر‬ ‫ه وم ر‬ ‫في ٱلددوني ناا ن‬
‫ول ن ه‬ ‫خوزيي ر‬ ‫لن ه‬
‫ه وم ر‬
٣٣
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi
Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah
mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka
dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya).
Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia,
dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar”

Pada tahun 2003 koruptor satu milyar ke atas disidik oleh


KPK dan tentu dengan kewajiban mengembalikan uang yang
dikorup, mengganti kerugian negara, dan wajib membayar
denda. Seperti juga ayat di atas, mufassir mewajibkan
mengembalikan uang yang diambil karena hubungannya
dengan huhuq al-insan (hak-hak manusia).

Hukum yang keras seperti itu karena mereka sudah melakukan


kejahatan dua kali, yaitu berkhianat pada Allah dan Rasul serta
berkhianat pada umat dan masyarakat umumnya. Untuk itu,
maka persoslan di Indonesia, tampaknya bukan pada tataran
hukum, tetapi pada tataran iplementasi hukum itu sendiri,
sehingga korupsi tidak bisa dihilangkan atau minimal ditekan.
Nilai-nilai universal Alquran dan sunnah memang memberikan
perspektif preventif terhadap pelaku kejahatan yang intinya
ialah sebagai upaya memelihara agama, memelihara jiwa,
memelihara keturunan, memelihara harta, dan memelihara
akal. Islam bersifat lebih preventif alam menentukan hukuman-
hukuman bagi pelaku kejahatan. Ungkapan yang digunakan,
baik menggunakan ghulul atau fasad, pada akhirnya harus
sampai pada titik balik bahwa koruptor harus bisa dijerat
dengan hukuman yang keras.

C. Penutup
Penelitian sementara penulis tifdak ada perbedaan
menfdasar antara persfektif Syariat Islam dengan UU Tindak
Pidana Korupsi saat ini karena menurut fuqaha dan mufassirin
ketika menafsirkan surat Ali Imran:161 dan al-Maidah: 33,
sehingga kedua ayat di atas berikut hadis-hadis Nabi
memberikan ruang yang amat luas pada mujtahid.
Persoalannya bukan pada tataran normatif, tetapi pada tataran
implementatif yang lamban, tidak serius, dan menjadi ajang
korupsi kembali bagi para penegak hukum.

Perbedaan kosep korupsi yang menggunakan ghulul dan


yang lain menggunakan fasad, agar segera dituntaskan ulama,
agar memjadikan kepastian hukum yang harus diterapkan.
Penulis lebih setuju bahwa korupsi yang dimaksud pada tulisan
ini adalah dekat ke fasad daripada ke ghulul, walaupun tidak
dipungkiri antara dua konsep ini ada persamaan dalam
pengkhianatan kepada Allah dan Rasul serta kejahatan pada
negara berupa kejahatan terhadap “Basis Ekonomi”.

Merupakan kewajiban pemerintah untuk segera


menuntaskan problematika mewabahnya tindak pidana korupsi
tanpa pandang bulu di segala sektor dan level pemerintahan
dan masyarakat.

Na’udzu billahi min al-fasad wa al-ghululi.

Wallahu A’lam bi asl-shawab.

Bandung, 18 Januari 2006

Pelengkapan 28 Oktober 2017.

Anda mungkin juga menyukai