Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Trauma pada THT (Telinga, Hidung dan Tenggorokan) biasanya
berhubungan dengan trauma kepala dan leher. Oleh karena lokasinya tersebut,
trauma THT dapat menyebabkan kondisi gawat darurat. Penyebab trauma
THT yang lazim adalah kecelakaan lalu lintas dan kecelakaan di rumah.
Tingginya tingkat kecelakaan lalu lintas dan rendahnya perhatian orang
tua terhadap kondisi anak sehingga menyebabkan munculnya kegawat
daruratan pada pendengaran seperti trauma tumpul dan trauma tajam yang
menyebabkan kehilangan pendengaran bahkan keseimbangan. Keadaan gawat
darurat ini dapat terjadi pada system penciuman/penghidu karena bagian
tubuh kita ini terletak menonjol paling depan, maka bagian ini yang akan
terbentur lebih dahulu. Juga karena adanya lubang pernapasan, maka bila
tersumbat atau terganggu akan menyebabkan gawat darurat pernapasan.
Disfungsi penciuman dapat timbul dari berbagai penyebab dan sangat
dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien. Sekitar 2 juta orang di Amerika
mengalami beberapa jenis disfungsi penciuman. Penelitian telah
menunjukkan bahwa disfungsi penciuman mempengaruhi setidaknya 1%
penduduk di bawah usia 65 tahun, dan lebih dari 50% dari populasi lebih dari
65 tahun. Indera penciuman menentukan rasa makanan dan minuman dan
juga berfungsi sebagai sistem peringatan dini untuk mendeteksi bahaya
lingkungan, seperti makanan basi, buruk dapat mempengaruhi preferensi
makanan, asupan makanan dan nafsu makan. Salah satunya trauma hidung,
meskipun fraktur hidung adalah patah tulang wajah yang paling umum,
mereka sering tidak diketahui oleh dokter dan pasien. Pasien dengan patah
tulang hidung biasanya hadir dengan beberapa kombinasi deformitas, nyeri,
perdarahan, edema, ecchymosis, ketidakstabilan, dan kertak, namun, fitur
tersebut tidak mungkin ada atau mungkin sementara.

1
Dari uraian diatas kelompok tertarik untuk menyusun makalah yang
berjudul konsep manajemen kegawatdaruratan pasien dengan trauma tumpul
dan trauma tajam pada kegawatdaruratan THT.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana konsep manajemen kegawatdaruratan pasien dengan
trauma tumpul dan tajam pada kegawatdaruratan THT ?

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum
Mahasiswa/ (i) dapat menerapkan dan mengembangkan pola pikir
secara ilmiah dalam melaksanakan praktik manajemen kegawatdaruratan
pasien dengan trauma tumpul dan tajam pada kegawatdaruratan THT
serta mendapatkan pengalaman dalam memecahkan masalah.
2. Tujuan khusus
Agar mahasiswa/ (i) mampu mengetahui dan memahami tentang:
a. Pengertian Trauma liang telinga, fraktur hidung, trauma leher.
b. Etiologi
c. Manifestasi Klinis
d. Pathofisiologi
e. WOC (Web Of Caution)
f. Pemeriksaan fisik (fokus pada penyakit)
g. Pemeriksaan penunjang
h. Komplikasi
i. Asuhan Keperawatan
j. Algoritma penanganan kasus (mandiri dan kolaborasi)
k. SOP penanganan

2
D. Manfaat Penulisan
1. Bagi Penulis
Diharapkan agar penulis mempunyai tambahan wawasan dan
pengetahuan dalam asuhan keperawatan kegawatdaruratan pasien dengan
trauma tumpul dan tajam pada kegawatdaruratan THT.
2. Bagi Institusi Pelayanan
Menjadi acuan dalam memberikan asuhan keperawatan kegawat-
daruratan pasien dengan trauma tumpul dan tajam pada kegawatdaruratan
THT.
3. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai sumber bacaan atau referensi untuk meningkatkan kualitas
pendidikan keperawatan dan sebagai masukan dalam peningkatan asuhan
keperawatan kegawatdaruratan pasien dengan trauma tumpul dan tajam
pada kegawatdaruratan THT.

E. Sistematika Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini dibagi dalam beberapa bab, yaitu:
Bab I : Berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang,
rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan
dan sistematika penulisan.
Bab II : Berisi tinjauan pustaka yang terdiri dari konsep dasar
dasar penyakit dan asuhan keperawatan kegawat-
daruratan pasien dengan trauma tumpul dan tajam pada
kegawatdaruratan THT.
Bab III : Berisi tinjauan kasus yang terdiri dari bentuk asuhan
keperawatan kegawatdaruratan pasien dengan tumpul dan
tajam pada kegawatdaruratan THT.
Bab IV : Berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian
Trauma adalah luka/syok/kekagetan yang disebabkan oleh peristiwa
yang terjadi secara tiba, di luar kendali, menekan, sangat menyakitkan,
membahayakan kehidupan, mengancam jiwa (Yayasan Pulih, 2011).
Trauma telinga biasanya berupa laserasi yang disebabkan oleh tusukan.
Kejadian paling banyak terjadi sewaktu usaha membersihkan telinga.
Fraktur hidung adalah terhalangnya jalan pernafasan dan deformitas
pada tulang, jenis dan kerusakan yang timbul tergantung kekuatan arah
mekanismenya (Robinstein, 2000).
Trauma leher adalah suatu benturan yang mengenai bagian leher
(tenggorokan) sebagai akibat terkena benda tumpul ataupun benda tajam.

Gambar 2.1
Fraktur Hidung, Trauma Telinga, dan Trauma Leher

B. Etiologi
`1. Trauma tumpul : perkelahian, sering mengorek telinga dengan
cottonbud, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan akibat
olahraga.
2. Trauma tajam : Luka tembak, luka tusuk, kecelakaan lalu lintas, luka
tembus.

4
C. Manifestasi Klinis
1. Trauma telinga
a. Edema
b. Laserasi
c. Luka robek
d. Hilangnya sebagian/seluruh daun telinga
e. Perdarahan
f. Hematom
g. Nyeri kepala
h. Nyeri tekan pada kulit kepala
i. Fraktur tulang temporal
j. Sekret berdarah dari telinga
k. Gangguan pendengaran
l. Gangguan kesadaran
m. Hematoma subdural/epidural/kontusi
2. Trauma hidung
a. Bentuk hidung berubah
b. Epiktasis/keluar darah dari hidung
c. Krepitasi yaitu teraba tulang yang pecah
d. Deformitas
e. Hidung serta daerah sekitarnya bengkak
f. Nyeri
3. Trauma leher
a. Nyeri
b. Obstruksi jalan napas berupa dispnea
c. Retraksi epigastrium
d. Pucat
e. Syok
f. Nadi teraba lemah
g. Hipotensi
h. Sesak napas dan sulit bicara

5
D. Pathofisiologi
1. Fraktur Hidung
Cedera yang disebabkan oleh benturan atau pukulan ke hidung
bervariasi sesuai dengan faktor: 1) usia, berhubungan dengan
fleksibilitas jaringan, 2) jumlah kekuatan yang diterapkan, 3) arah
gaya, dan 4) sifat dari objek yang mencolok.
Pola fraktur hidung bervariasi sesuai dengan arah trauma.
Beban 25-75 pon per inci persegi diperlukan untuk menghasilkan
fraktur hidung, trauma dari arah lateral 16-66 kilopascal (kPa) dan
lebih besar dari arah depan 114-312 kPa.
Fraktur tulang hidung berhubungan dengan tulang rawan
septum. Fraktur hidung tanpa disertai fraktur septum nasi terjadi pada
cedera dengan benturan kekuatan lemah. Kekuatan yang besar dari
berbagai arah akan menyebabkan fraktur kominutif tulang hidung
yang berhubungan dengan deformitas bentuk “C” pada septum nasi.
Deformitas ini biasanya dimulai di bagian bawah dorsum nasi dan
meluas ke posterior dan inferior sekitar lamina perpendikularis os
etmoid dan berakhir di lengkung anterior pada kartilago septum kira-
kira 1 cm di atas krista Maksilaris.
Sebagian besar klasifikasi klinis didasarkan pada tingkat dan
arah trauma, dikarakteristikkan sebagai cedera dari arah depan dan
lateral berbagai tingkatan. Fraktur hidung dari arah lateral paling
sering dijumpai, jenis fraktur ini dapat menyebabkan fraktur depresi
tulang hidung ipsilateral yang melibatkan setengah bagian bawah
hidung, prosesus nasomaksilaris dan bagian tepi os piriformis.
Fraktur hidung dari arah depan oleh Stranc dan Robertson dibagi
menjadi tiga bidang yang berbeda ditentukan oleh kedalaman cedera
dari bagian bawah hidung. Fraktur dari arah lateral dapat terjadi
ringan hingga berat dengan prognosis lebih baik dari arah depan.
Murray dan Maran membuat klasifikasi jenis fraktur
hidung yang berdasarkan deviasi piramid hidung dari septum nasi

6
sebagai pedoman penatalaksanaan. Fraktur piramid tulang dapat
digambarkan sebagai unilateral, bilateral, open book (splaying),
kominutif, impaksi posterior-inferior (fragmen telescoping), dan
avulsi ligamentum kantus medial.

Gambar 2.2
Fraktur piramid tulang hidung bagian medial, fraktur
dari arah depan dan dari arah lateral.

Klasifikasi fraktur tulang hidung: tipe I. Lurus sederhana


unilateral atau bilateral tanpa deviasi septum, tipe II. Deviasi
sederhana unilateral atau bilateral dengan deviasi septum, tipe III.
Kominutif tulang hidung, tipe IV. Berat, terjadi deviasi hidung dan
patah tulang septum, tipe V.Kompleks dengan fraktur tulang hidung

7
dan fraktur septum Luka berat termasuk laserasi dan trauma
jaringan lunak, saddle nose akut, cedera terbuka dan avulsi jaringan.
Trauma yang sering dihubungkan dengan fraktur hidung
melibatkan sebagian wajah adalah 1) fraktur dinding orbita 2) fraktur
lamina kribriformis, 3) fraktur sinus frontalis dan 4) fraktur maksila
Le Fort I, II dan III.
2. Trauma Leher
Trauma leher sebagai akibat trauma tumpul terjadi bila dampak
kecelakaan lalu lintas melemparkan penumpang kedepan, dengan kepala
ekstensi sehingga visera servikalis kehilangan proteksi dagu serta mobilitas
sisi kasisinya yang alamiah, leher menghantam dasbor atau pada kasus
pengendara motor atau traktor salju akan menghantam stam, kadang-
kadang trauma olahraga seperti hantaman tongkat hoki pada leher dapat
mentranmatisasi leher dan obstruksi saluran pernafasan secara akut. Dan
pasien akan menahan kepalanya dalam posisi ekstensi untuk
mempertahankan lumen trakea sehingga perlukaan seperti ini juga
mentranmatisasi satu atau kedua nervus laringeus rekuren, bila kedua saraf
cedera maka timbul paralysis pita suara bilateral dan pita suara diduga
mengambil posisi paramedian, dan obstruksi terjadi sebagai akibat
penyempitan sela glotis secara akut. Dan sebagai kelanjutannya timbul
obstruksi pernafasan progresif perlahan–lahan akibat pembengkakan
jaringan lunak bersama perdarahan dan edema traumatic.
Pada kondisi klien terlempar kedepan yang menghantam suatu objek
seperti dasbor akan menimbulkan fraktur laring. Pada trauma tajam leher
sering disebabkan karena adanya tusukan pisau pada penganiayaan atau
usaha bunuh diri, kadang-kadang akibat pecahan kaca pada kasus
kecelakaan. Jika trauma tajam menembus sampai mukosa laring dari luka
keluar darah yang berbuih karena adanya udara nafas dalam darah tersebut
sehingga penderita terancam aspirasi kedalam paru-paru.
3. Trauma Telinga
Tuli yang disertai gambaran otoskopik dapat disebabkan oleh
berbagai jenis trauma, meliputi kompresi mendadak udara di meatus
akustikus eksternus, masuknya benda asing ke dalam telinga serta

8
trauma kapitis yang menyebabkan fraktura os temporale. Penyebab
yang pertama, kompresi mendadak udara di liang telinga. Suatu
kejadian yang tampaknya ringan, seperti tamparan pada telinga
mungkin cukup menyebabkan ruptura membran timpani. Pasien akan
mengalami nyeri telinga yang hebat dan terdapat perdarahan yang
bervariasi pada tepi perforasi. Dapat timbul tuli konduktif dengan
derajat yang tergantung atas ukuran dan lokasi perforasi.
Penyebab yang kedua yaitu masuknya benda-benda asing,
seperti kapas lidai atau ranting-ranting pohon, bila masuk ke dalam
meatus akustikus eksternus dapat menimbulkan cidera yang terasa
nyeri, bervariasi dari laserasi kulit liang telinga sampai destruksi total
teinga dalam. Pada trauma hebat, dapat terjadi perforasi membran
timpani disertai perdarahan dan disrupsi tulang-tulang pendengaran,
serta pasien akan mengalami episode vertigo hebat berlarut-larut
disertai gejala penyertanya, yang menunjukkan terkenanya telinga
dalam. Trauma yang kurang berat yang menyebabkan tuli konduktif
berupa perforasi membran timpani dengan atau tanpa dislokasi
tulang-tulang pendengaran. (Cody, Kern, Pearson, 1991: 90).

9
E. WOC (Web Of Caution)

10
F. Pemeriksaan penunjang

1. Trauma telinga
a. Rontgenogram Tengkorak Rutin: Mungkin memperlihatkan
fraktura os temporale, tetapi sering tidak ditemukan
b. Rontgenogram Stereo Atas Basis Tengkorak dan Tomogram
Diperlukan untuk mengidentifikasi fraktura.
c. Tes Audiometri
d. Dapat menunjukkan tuli sensorineural lengkap di telinga yang
terkena. Tes audiometri harus dilakukan untuk mengetahui jumlah
sisa pendengaran di telinga yang terkena jika terdeteksi.
e. Tes Kalori, akan menunjukkan hilangnya fungsi vestibular. Tetapi
tes kalori tidak boleh dilakukan bila terdapat atorea.
2. Fraktur hidung
a. Rotgen nasal AP dan lateral : Menentukan luas atau lokasi minimal
2 kali proyeksi.
b. CT scan tulang dan fomogram MRI : Untuk melihat dengan jelas
daerah yang mengalami kerusakan.
c. Arteriogram (bila terjadi kerusakan vaskuler).
3. Trauma leher
a. Laringoskopi fleksibel : Menilai adanya paralisis pita suara serta
adanya darah atau edema pada jalan nafas atas.
b. Eshopaguscopy dan eshopagusgrafi
c. Rogten servikal antrior posterior dan lateral : Mengetahui adanya
fraktur servikal atau tidak.
d. Pemeriksaan laboratorium

F. Komplikasi
1. Trauma telinga
a. Tuli Konduktif
Terjadi karena adanya perforasi membran timpani dengan atau
tanpa dislokasi tulang-tulang pendengaran.

11
b. Paralisis Wajah Unilateral
Terjadi karena trauma yang mengenai nervus fasialis di sepanjang
perjalanannya melalui os temporale sehingga dapat menyebabkan
paralisis wajah unilateral.
c. Vertigo Hebat
Disebabkan oleh berbagai jenis trauma yang dapat menyebabkan
depresi mendadak pada fungsi vestibular, sehingga terjadilah
vertigo yang mendadak, hebat dan berlarut-larut.
d. Kehilangan Kesadaran
Terjadi karena kehilangan fungsi vestibular unilateral mendadak
dan biasanya cideranya cukup hebat sehingga pasien akan
mengalami periode kehilangan kesadaran.
e. Nistagmus
Nistagmus merupakan sesuatu yang khas bagi kehilangan fungsi
vestibular unilateral mendadak.
2. Fraktur hidung
a. Deviasi hidung
Deviasi dapat terjadi pada septum nasal, tulang nasal atau
keduanya.
b. Bleeding
c. Saddling
d. kebocoran cairan serebrospinal
e. komplikasi orbital
3. Fraktur leher
a. Ruptur tenggorokan
b. Fraktur laring
c. Stenosis laring akibat penyembuhan yang membentuk jaringan parut
d. Granuloma intubasi dapat terjadi sebagai komplikasi pemasangan pipa
endotrakeal yang lama.

12
G. Algoritme

13
H. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Primary Survey
1) Airway + Control Servikal
a) Lakukan pembukaan jalan nafas (Chin lift dan jaw thrust)
b) Intubasi
c) Cricothyroidotomy
d) Tracheostomy/laryngotomy
e) Pasang neckcollar jika memungkinkan, jika tidak lakukan
fiksasi manual.
f) Lakukan suction jika tidak tanda-tanda fraktur basis crani’i.
g) Lakukan log roll jika terdapat tanda-tanda fraktur basis
crani’i.
2) Breathing + control oksigen
Inspeksi apakah klien sesak napas, penggunaan otot bantu
napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan disertai adanya
gangguan pada sistem pernapasan. Auskultasi adanya bunyi
napas tambahan.
3) Circulation + Control Perdarahan
a) Pasang IVFD : un
4) Disability
Menilai kesadaran dengan cepat, apakah sadar, hanya
respon terhadap nyeri atau atau sama sekali tidak sadar.
5) Eksposure
Lepaskan baju dan penutup tubuh pasien agar dapat dicari
semua cidera yang mungkin ada, jika ada kecurigan tulang
belakang, maka imobilisasi in line harus dikerjakan (Muttaqin,
2008).
6) Folley Chateter
7) Heart Monitor

14
b. Secondary survey
1) Keluhan Utama
Keluhan yang sering ditemukan pada pasien dengan
trauma THT adalah akibat kecelakaan lalu lintas dengan
adanya luka (sayat, tembak, tusuk, dan pukul), perdarahan,
sesak napas.
2) Pemeriksaan Fisik
B1-B6 Keadaan umum : (Arif muttaqin 2008) Pada
keadaan trauma leher umumnya mengalami penurunan
kesadaran. Adanya perubahan pada tanda-tanda vital, meliputi
bradikardi dan hipotensi.
a) Breathing (B1)
Perubahan pada sistem pernapasan bergantung pada
gradasi blok saraf parasimpatis klien mengalami
kelumpuhan otot otot pernapasan dan perubahan karena
adanya kerusakan jalur simpatetik desending akibat
trauma pada leher , pemeriksaan fisik dari sistem ini akan
didapatkan hasil sebagai berikut inspeksi umum
didapatkan klien batuk peningkatan produksi sputum,
sesak napas.
b) Blood (B2)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan
rejatan syok hipovolemik yang sering terjadi pada klien
trauma leher. Dari hasil pemeriksaan didapatkan tekanan
darah menurun nadi bradikardi dan jantung berdebar-debar
di karenakan di daerah leher terdapat pembuluh darah
besar salah satunya vena jugularis.
c) Brain (B3)
Pengkajian ini meliputi tingkat kesadaran,
pengkajian fungsi serebral dan pengkajian saraf kranial.
Pengkajian tingkat kesadaran : tingkat keterjagaan klien

15
dan respon terhadap lingkungan adalah indikator paling
sensitif untuk disfungsi sistem persyarafan. Pengkajian
fungsi serebral : status mental observasi penampilan,
tingkah laku nilai gaya bicara dan aktivitas motorik klien.
d) Bladder (B4)
Kaji keadaan urine meliputi warna ,jumlah,dan
karakteristik urine, termasuk berat jenis urine.
e) Bowel (B5)
Pada keadaan syok spinal, neuropraksia sering
didapatkan adanya ileus paralitik, dimana klinis
didapatkan hilangnya bising usus, kembung,dan defekasi,
tidak ada. Hal ini merupakan gejala awal dari tahap syok
spinal yang akan berlangsung beberapa hari sampai
beberapa minggu.
f) Bone (B6)
Paralisis motorik dan paralisis organ internal
bergantung pada ketinggian lesi saraf yang terkena trauma.
Gejala gangguan motorik sesuai dengan distribusi
segmental dari saraf yang terkena.disfungsi motorik paling
umum adalah kelemahan dan kelumpuhan.pada saluran
ekstermitas bawah. Kaji warna kulit, suhu, kelembapan,
dan turgor kulit.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
b. Ketidakefektifan pola nafas
c. Nyeri akut
d. Gangguan persepsi sensori
e. Risiko syok
f. Risiko infeksi

16
3. Intervensi Keperawatan
a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas
1) Pastikan kebutuhan oral / tracheal suctioning.
2) Berikan O2 sesuai kebutuhan
3) Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas dalam
4) Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
5) Lakukan fisioterapi dada jika perlu
6) Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
7) Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
8) Berikan bronkodilator
9) Monitor status hemodinamik
10) Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab
11) Berikan antibiotik
12) Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
13) Monitor respirasi dan status O2
14) Pertahankan hidrasi yang adekuat untuk mengencerkan sekret
15) Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang penggunaan
peralatan : O2, Suction, Inhalasi

b. Ketidakefektifan pola nafas


Intervensi keperawatan :
1) Posisikan pasien semi fowler
2) Auskultasi suara nafas, catat hasil penurunan daerah ventilasi
atau tidak adanya suara adventif
3) Monitor pernapasan dan status oksigen yang sesuai
4) Mempertahankan jalan napas paten
5) Kolaborasi dalam pemberian oksigen terapi
6) Monitor aliran oksigen
7) Monitor kecepatan, ritme, kedalaman dan usaha pasien saat
Bernafas

17
8) Catat pergerakan dada, simetris atau tidak, menggunakan otot
bantu pernafasan
9) Monitor suara nafas seperti snoring
10) Monitor pola nafas: bradypnea, tachypnea, hiperventilasi,
respirasi kussmaul, respirasi cheyne-stokes dll

c. Nyeri akut
Intervensi keperawatan :
1) Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk
lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor
presipitasi
2) Observasi reaksi non-verbal dari ketidaknyamanan
3) Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui
pengalaman nyeri pasien
4) Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti
suhu ruangan, pencahayaan, dan kebisingan
5) Ajarkan teknik non-farmakologi untuk mengatasi nyeri
6) Kolaborasi pemberian analgetik.

d. Gangguan persepsi sensori


Intervensi keperawatan :
1)
e. Resiko syok
Intervensi keperawatan :
1) Monitor status sirkulasi blood pressure, warna kulit, suhu
kulit, denyut nadi, HR, dan ritme, nadi perifer dan kapiler
refill
2) Monitor tanda inadekuat oksigenasi jaringan
3) Monitor suhu dan pernafasan
4) Monitor output dan input
5) Pantau nilai laboratorium : HB, HT, AGD dan elektrolit

18
6) Monitor hemodinamik invasi yang sesuai
7) Monitor tanda dan gejala asites
8) Monitor tanda awal syok
9) Tempatkan pasien pada posisi supine, kaki elevasi untuk
peningkatan preload dengan tepat
10) Lihat dan pelihara kepatenan jalan nafas berikan cairan IV
atau oral yang tepat
11) Berikan Vasodilator yang tepat

e. Resiko Infeksi
Intervensi keperawatan :
1)

19

Anda mungkin juga menyukai