Pendahuluan
Diskursus gerakan politik Islam telah lama menjadi perdebatan oleh sejumlah
cendekiawan. Para sarjana menjabarkan isu ini dengan sangat serius dalam berbagai
bentuk kajian seperti halnya dari segi sisi historis, teologi, politik, dan kultur
(Dabashi, 1989; Fuller & Lesser, 1995; Hefner, 2005; Hodgson, 2002; Jindan, 1979;
Springer, Regens, & Edger, 2009; Springer et al., 2009; Wahid (ed), 2009). Mereka
Dinamika wacana ini berselancar di seluruh jagat. Tidak hanya berkutat di Negara-
negara Islam seperti Arab Saudi dan Negara-negara Timur Tengah lain, gagasan
politik Islam juga muncul di Negara, yang secara ideologis, tidak memancangkan
berkontribusi dalam hal ini. Menjadi populasi muslim terbesar di dunia (Woodward,
2010), kontestasi kepentingan politik juga bergemuruh di sini. Syaifudin Jurdi (2008)
cara. Untuk sekadar menyebut macam-macam pergerakan tersebut adalah, antara lain,
Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Laskar Jihad (LK), Front
Bangkitanya gairah gerakan Islam pasca orde baru tidak bisa dilepaskan dari
sejarah politik bangsa yang, menurut Syaifuddin Jurdi, telah melemahkan isu dan
Demokrasi Terpimpin (1959) yang kemudian diteruskan oleh rezim berkuasa pada
1967. Imbasnya adalah terjadi politik hegemoni negara terhadap Islam. Meskipun,
pada dekade 1970-an diskursus intelektual mengenai Islam dan negara kembali
2006).
bawah kepemimpinan Soeharto berkuasa. Pada saat itu, pemerintah menaruh curiga
terhadap organisasi Islam yang berpretensi mendirikan negara Islam. Situasi ini
berlanjut hingga tahun 1980-an. Pada saat itu, umat Islam mulai akomodatif terhadap
terhadap gagasan asas tunggal yang dijadikan haluan dalam kehidupan sosial dan
politik. Diskriminasi yang diterapkan pemerintah Orde Baru terhadap Islam membuat
polarisasi di dalam tubuh umat Islam ke dalam berbagai bentuk perjuangan. Ada yang
berjuang dalam bidang kultural yang meliputi pendidikan, dakwah, kesehatan, dan
lain sebagainya. Begitu pun tak luput juga perjuangan struktural yang
termanifestasikan dalam bentuk produk hukum dan kebijakan publik (Jurdi, 2006).
2
Sebagai akibat dari sikap represif yang ditujukan kepada umat Islam selama
beberapa dekade tersebut menimbulkan euforia pada umat Islam ketika kekuasan
Soeharto runtuh pada 1998. Runtuhnya kekuasan Soeharto pada 1998 membuka
Menurut Moch Nur Ichwan (2014: 101) tumbangnya rezim Soeharto membuka
sebagai sistem politik yang telah pernah ada sejak era kepemimpinan Nabi
Muhammad sampai pada keruntuhannya pada tahun 1924. Atas klaim sepihak ini,
penyebar ideologi dan gagasan mereka. Sebagai organisasi yang memiliki konsentrasi
dikumandangkan oleh Abu Bakar al-Baghdady tidak mendapatkan respons positif dari
kekhalifahan yang diproklamirkan oleh Abu Bakar al-Baghdady. Namun, di saat yang
penerbitannya.
3
membingkai dan merespons isu-isu kontemporer, yang mana menjadi tema dalam
rangka menyokong gagasan khilafah. Hal tersebut akan menunjukkan pada bidang
apa saja HTI memiliki konsentrasi sehingga akan menampilkan gambaran mengenai
isu kontemporer apa saja yang dijadikan sebagai propaganda untuk mendukung
Muslim World (2013: 583) menjelaskan bahwa dalam beberapa tahun terakhir media
anak muda, yang mana termasuk di dalamnya adalah di dunia Islam. Diskursus dunia
sebanyak itu menegaskan pengaruh kuat atas informasi yang terdapat di internet.
Seturut dengan itu, menurut Imamah (2014: 16) pada tahun 2008 banyak
bermunculan media Islam, termasuk media Islam militan. Disebutkan bahwa dalam
1
http://kominfo.go.id/index.php/content/detail/3980/Kemkominfo%3A+Pengguna+Internet
+di+Indonesia+Capai+82+Juta/0/berita_satker#.Vqc_0Z7GpDY diakses pada 10/11/2015
Angka tersebut seolah mengamini hipotesa Don Topscott mengenai The Net Generation,
sebuah zaman di mana orang-orang memiliki akses terhadap internet sejak dari kecil, sehingga
memiliki intimitas dan cara penggunaan yang sama sekali tidak pernah dibayangkan oleh generasi
sebelumnya. Orang-orang dengan label The Net Generation mengakses dunia internet dengan
intensitas dan produktivitas yang sama sekali berbeda. Mereka melakukan berbagai macam aktivitas
dalam satu waktu; satu hal yang mungkin tidak bisa dilakukan oleh orang-orang zaman dahulu
(Tapscott, 2009).
4
catatan Alexa Global2 terdapat sepuluh laman terpopuler dalam lingkup media Islam
Indonesia yang dihitung dalam pemeringkatan global. Mereka antara lain dakwatuna
(85.654).
tahrir.or.id menjadi urgen mengingat laman ini merupakan laman resmi dari
laman ini terkait khilafah ini menjadi sangat representatif untuk mengetahui seberapa
jauh pandangan dan pemikiran yang tercermin dari gerakan Islam transnasional
tersebut. Perhatian yang mendalam terhadap isu khilafah ini tercermin dalam rubrikasi
―Seputar Khilafah‖. Dalam rubrik ini dimuat berbagai argumen, opini, serta impian-
impian mengenai khilafah. Hal ini menjadi penguat bahwa situs terkait memang
memiliki perhatian khusus terhadap isu ini, karena memang di samping gerakan
2
Alexa merupakan laman yang mengalisis lalu-lintas dan menyediakan lalu-lintas
dan memperingkat status laman. Ditemukan oleh perusahaan independen pada 1996,
alexa.com akhirnya diakuisisi oleh Amazon pada 1999. Alexa mengalisis lalu-lintas laman
sesuai dengan kunjungan yang didapatkan dari laman tertentu. Untuk informasi lebih lanjut
bisa mengunjungi https://en.wikipedia.org/wiki/Alexa_Internet. Diakses pada 2/11/2015.
5
yang peneliti rujuk dari alexa.com. Dalam skala global, hizbut-tahrir.or.id menempati
memfokuskan diri pada wacana kontemporer yang digunakan dalam laman hizbut-
merespons isu-isu terkini. Dengan mengetahui kesinambungan isu yang diusung akan
terlihat bagaimana peta politik yang menjadi sarana HTI dalam menyokong gagasan
khilafahnya.
2. Tema apa yang digunakan dalam membangun wacana khilafah terkait wacana
3. Metode apa yang digunakan dalam membangun wacana khilafah pada hizbut-
tahrir.or.id?
juga bermaksud mengetahui argumentasi dan legetimasi serta preferensi apa yang
dibangun, utamanya jika dihubungkan dengan konteks Indonesia. Disamping itu juga
jejak ideologi yang disebarkan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), lewat medianya,
6
sehingga didapatkan gambaran mengenai preferensi politiknya. Dalam lingkup
akademik, penelitian ini akan melengkapi sejumlah literatur bacaan yang terdahulu
terkait Islam politik di Indonesia, terkhusus kaitannya dengan wacana khilafah yang
yang dilakukan. Untuk tujuan itu, peneliti akan membaginya ke dalam dua kategori.
Pertama, literatur yang membahas mengenai doktrin khilafah. Dan kedua, mengenai
mengenai doktrin khilafah. Yunasril Ali menulis Kekhalifahan dan Tanggung Jawab
Global (2008). Tulisan dalam rangka merespons atas tulisan Nurkholish Madjid
dulu makna yang terkandung dalam kata khalifah secara leksikal. Menurutnya Ali
kata khalifah merupakan derivasi dari kata dasar khalf, yang artinya di belakang. Oleh
Kontroversi Khilafah: Islam, Negara, dan Pancasila (2014). Buku yang dieditori oleh
Komaruddin Hidayat ini memuat beragam perspektif dari berbagi akademisi. Haidar
7
Bagir, misalnya, lewat tulisan berjudul Islam dan Kepemimpinan Politik Antara
Otoritas dan Demokrasi menyatakan bahwa persoalan yang tak ada habisnya adalah
persoalan hubungan Islam dan kepemimpinan politik. Sejak Nabi Muhammad hingga
wafatnya, Islam selalu bersentuhan dengan hal-ihwal politik. Menurut Bagir, politik
menjadi suatu pusat dalam rangka meraih tujuan-tujuan. Manusia, sebagai entitas
Negara, harus bekerja sama untuk mengorganisasikan diri dan mengatur dan
memecahkan persoalan bersama. Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam suatu
Sementara itu, Fuad Jabali, dosen di Fakultas Adab dan Humaniora UIN
Syarif Hidayatullah lewat tulisan Khilafah: Antara Suku dan Agama (2014) mengurai
sengkarut khilafah kaitannya dengan persoalan suku dan agama. Jabali menjelaskan
bahwa khilafah sebagai sistem politik kesukuan yang kental sempat mengendur ketika
berdirinya khilafah setelah Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali melambangkan
sukuisme yang tinggi. Sementara itu, Nadirsyah Hosen dalam tulisan berjudul
Khilafah Islam, Fiktif! (2014) dengan tegas menyebut mendirikan khilafah tidak
dengan apa yang ada di sekitar kita. Implementasi dari pemikiran ini kemudian
menyiratkan bahwa dalam suatu perkumpulan manusia mesti harus ada yang didaulat
menjadi pemimpin.
8
Beberapa literatur di atas memberikan pemahaman mengenai diskursus
khilafah dalam berbagai bentuk analisa. Sedangkan, untuk kategori kedua akan
halqa. Dijelaskan bahwa metode ini ditujukan bagi anggota baru di bawah bimbingan
dengan proses yang didapatkan di sekolah ataupun universitas. Tujuan dari halqa ini
tidak sekadar dijadikan tempat untuk mendidik anggota tersebut, melainkan lebih dari
itu yakni meningkatkan apa yang telah mereka pelajari dalam kehidupan keseharian.
(2006), Mohammad Iqbal Ahnaf menjelaskan problem yang dihadapi oleh dua
organisasi Islam; Majelis Mujahidin Indonesia dan Hisbut Tahrir Indonesia. Iqbal
keduanya dalam menilai orang yang memiliki kepercayaan yang berbeda alias non-
Muslim. (Ahnaf, 2006) . Kajian tentang HTI yang lain juga datang dari Iqbal Ahnaf
yang berjudul From Revolution to„ Refolution‟ A Study of Hizb al Tahrir, Its Changes
negara demokrasi.
9
Buku Proyek Khilafah HTI: Perspektif Kritis (2015) mempertanyakan ulang
gagasan khilafah, baik secara historis maupun kekinian. Yang membedakan buku ini
dengan buku-buku sejenis adalah bahwa buku ini ditulis oleh seseorang yang pernah
Negara Islam yang diperjuangkan HTI tidak hanya memaksakan nalar berpikir. Buku
ini mempertanyakan eksistensi HTI di Indonesia dengan titik tekan kepada konsepsi
ideologi HTI. Uraian Ainur Rofiq sangat teoritis dan secara umum memotret ideologi
HTI.
Penelitian mengenai HTI yang berbasis daerah ditulis oleh Syamsul Arifin.
Penelitian ini dilakukan di Malang. Disertasi yang kemudian dibukukan dengan judul
Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis: Pengalaman Hizbut al-
Tahrir Indonesia (Arifin, 2005) tersebut berkesimpulan Hizbut Tahrir termasuk dalam
alasan. Pertama, gerakan ini memiliki orientasi politik yang ditujukan untuk
Tahrir, Islam pernah mengalami masa kegemilangan selama 1300 tahun sebagai
Penelitian lain datang dari Paul Danier Boyer. Thesis penelitian berjudul Bad
10
menganalisis ideologi dan retorika kunci para intelektual Islam yang terdapat dalam
laman tersebut di atas. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa ideologi dan
retorika yang digunakan dalam laman tersebut berpotensi menjadi pelatuk akan
kekerasan. Penelitian ini juga menyatakan bahwa retorika dan ideologi yang
2011).
umma (2001) dan Burhanuddin Muhtadi The Quest for Hizbut Tahrir in Indonesia
dahulu, namun dalam ruang lingkup pembahasan yang sangat luas. Dalam artian tidak
gagasan khilafah tetap ada. Pada penelitian ini bagaimana isu kontemporer digunakan
11
dalam penelitian ini menitikberatkan pada konstruksi wacana khilafah yang
mengetahui beberapa kajian yang terkait dengan beberapa hal yang disebutkan di atas.
Untuk menjelaskan perbedaan penelitian dengan penelitian, buku, dan artikel jurnal
Ada dua konsep utama yang digunakan sebagai alat analisa dan sekaligus
perpektif dalam tesis ini yakni kajian mengenai reimajinasi ummah dan komunitas
terbayangkan (Imagined Community) dan Dua teori ini urgen untuk mendukung
analisis temuan atas konstruksi wacana yang dibangun terkait khilafah di laman
1.5.1 Ummah
riwayat masa lalu Islam. Menurut Ejaz Akram (2007: 383) kata ummah disebut
mengenai konsep ummah; dari yang semula dipahami sebagai kata umum kemudian
digunakan secara khusus untuk agama-agama abrahamik seperti Yahudi, Kristen, dan
12
komunitas Islam, yakni pada masa Nabi Muhammad tinggal di Madinah (Akram,
2007).
Kata ―Ummah‖ merupakan identitas sosial yang unik dalam Islam. Terma ini
dikhususkan bagi komunitas Islam yang mana beranggotakan orang-orang Islam (van
pemaknaan dan penjabaran kata ummah yang termanifestasikan dalam kerangka pikir
khilafah. Menurut Ajez Akram (2007), dalam Al-Qur‘an, kata ummah muncul
kronologisnya, kata ummah juga digunakan oleh bangsa Yahudi, Kristen, selanjutnya
untuk kaum Islam. Pada saatnya, Al-Qur‘an menggunakan kata ummah yang hanya
ditujukan bagi komunitas kecil kaum Islam. Terkhusus lagi pada periode kehidupan
eksklusif.
Menurut Elizabeth Pooley (2015: 32), konsep ummah muncul dari gagasan
bahwa muslim merupakan satu kelompok global yang terkoneksi (globally connected
group). Satu ayat Al-Qur‘an yang menjadi rujukan atas gagasan tersebut lahir dari
ayat 3: 110 yang berbunyi: ―Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh yang makruf, dan mencegah yang munkar, dan beriman kepada
Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara
merkea ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.‖
Dalam perjalanannya, terjadi evolusi makna kata ummah yang tidak hanya
tertuju pada umat Islam. Ajez Akram mencatat (2007: 386) kata ummah dalam
piagam Madinah menyertakan umat Yahudi dan yang lainnya di mana mereka hidup
13
secara harmonis bersama dengan umat Islam. Sama dengan argumentasi Ajez Akram,
Ali Bulac berargumentasi bahwa piagam madinah merupakan suatu konsensus yang
terjadi antara Nabi Muhammad, orang-orang Yahudi, dan orang-orang musyrik yang
memberikan otoritas kepada kaum muslim menguasai kota Arab, namun di saat yang
Maududi dan sejumlah ikhwan al-muslimin. Meski memiliki jejak historisitas, terma
menggunakan terma ummah untuk mendeskripsikan semua Arab atau al-ummah al-
konsep lama yang hanya secara spesifik ditujukan kepada komunitas tertentu, yang
orang yang memiliki persinggungan dengan wacana ini. Ideologi, menurut Graham C.
Kinloch dalam Ideology and the Social Science (1981), ialah basis argumentasi yang
digunakan oleh golongan tertentu yang muncul dari pandangan dunia untuk
imbas dari pemahaman atas ideologi yang dijadikan landasan berpikir. Pada titik ini,
jika paradigma sosial atau pandangan agama dijadikan sebagai ideologi, akan muncul
dua karakteristik. Pertama, akan terjadi formulasisasi ideologi yang dimaksudkan agar
mencapai suatu tujuan. Kedua, penggunaan ideologi digunakan agar dapat menggapai
14
tujuan politik. Dengan sederhana bisa dikatakan bahwa ideologi diposisikan sebagai
pendorong atau sebagai ―simbol senjata politik‖. Sebagai sistem simbol, ideologi
memerankan peran signifikan terhadap tindakan sosial tertentu. Pada taraf yang lebih
sebutan Imagined Communities tidak bisa dilepaskan dari narasi yang dibangun oleh
Benedict Anderson. Yang perlu digarisbawahi dalam penelitian ini adalah bahwa
memahami nasionalisme. Akan tetapi sebagai sebuah gambaran mengenai suatu cita-
cita yang diharapkan oleh suatu komunitas tertentu sehingga lahir apa yang sering
sini akan dibahas mengenai terma bangsa (nation) yang dipopulerkan oleh Benedict
berkesimpulan bahwa bangsa yang dijabarkan Anderson adalah satu perkara yang
15
Dalam kerangka yang sama, sebagaimana dijabarkan Anderson (1991: 6),
both inherently limited and sovereign‖. Imajinasi yang dimaksud adalah bahwa
dengan yang lain, bertemu, dan apalagi mendengar satu dengan yang lain. Imajinasi
tersebut kemudian membawa pada apa yang Ernest Gelner jelaskan: ―he assimilates
bangsa. Pertama, sebuah bangsa diimajinasikan sebagai ―yang berbatas‖ (limited). Hal
itu dikarenakan meski memiliki jutaan umat manusia, namun tetap memiliki batasan.
dikarenakan lahirnya konsep ini bersamaan dengan era Pencerahan dan Revolusi.
meskipun terdapat ketimpangan namun masih dipersatukan dengan apa yang disebut
16
Yang harus dipahami adalah bahwa terdapat perbedaan mendasar untuk
memahami pengertian nation dan state. Apa yang dijelaskan oleh Benedict Anderson
apa yang sebenarnya dimaksudkan dalam terma tersebut. Terma ―imagination‖ yang
sebagai isapan jempol atau tidak nyata. Akan tetapi, yang diharapkan oleh Anderson
Penjelasan seperti di atas diperlukan untuk memberikan batasan mengenai apa yang
merupakan satu proses politik yang mengonstruksi tentang inklusi dan eksklusi.
Terma ini menembus ruang dan waktu, oleh karenanya membutuhkan segala macam
17
pendukung untuk bisa tetap berkembang. Bangsa merupakan sejarah tentang identitas
dan memori yang harus terus dinarasikan ulang oleh satu kelompok tertentu (an
exclusive community).
ini. Menurut James Paul Gee (2006: 1), fungsi utama bahasa adalah sebagai alat
komunikasi. Setingkat level di atas itu, yakni dalam penggunaannya oleh manusia,
fungsi bahasa memerankan setidaknya dua hal: (a) untuk mendukung performa
aktivitas dan identitas sosial dan (b) untuk mendukung afiliasi manusia dengan
budaya, kelompok sosial, dan institusi. Di samping itu, bahasa selalu berpretensi
bernuansa ‗politik‘. Dalam kaitannya bahasa dan politik, James Paul Gee (2006: 2)
―Politics is part and parcel of using language. But this does not meant
that analysing language is just an infitation to pontificate about our
political view. Far from exonerating us from looking at the empirical
details of language and social action, an interest in politics demands
18
that we engage with such details. Politics, in terms of social relations
where social goods are at stake, has its lifeblood on such details. It is
there that “social goods‟ are created, sustained, distributed,
redistributed. It is there that people are harmed and helped.
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa analisis bahasa tidak hanya
memperlihatkan satu pandangan politik. Maka dari itu, diperlukan pemahaman sangat
mendetail untuk bersinggungan suatu wacana karena apa yang sering disebut sebagai
Pada titik ini akan diketahui bagaimana satu konstruksi wacana terbentuk. Pada
akhirnya, dengan memperhatikan detail bahasa yang digunakan akan memandu untuk
mengetahui ke arah mana aktivitas sosial, identitas sosial, dan arah politik yang dituju
dengan begitu—tidak terlepas dari diskursus kebenaran (truth). Hal itu dikarenakan
hubungan bahasa dan politik yang dijelaskan di atas secara langsung meliputi
aktivitas sosial, identitas sosial, dan preferensi politik yang secara implisit terkandung
dalam bahasa yang digunakan. James Paul Lee mendefinisikan truth dengan “is a
language” (Gee, 2006). Dengan demikian, sangat jelas posisi bahasa dalam
mengonstruksi suatu wacana mengingat ‗kebenaran‘ merupakan suatu hal yang sangat
negosiatif.
media untuk mentransformasikan gagasan kepada khalayak umum. Terkait dengan hal
tersebut, Aris Badara menjelaskan (2014: 5) surat kabar memiliki kekuatan signifikan
dalam mempengaruhi wacana yang dinarasikan. Surat kabar bisa menentukan sesuatu
19
menjadi seperti apa di hadapan khalayak pembaca. Terkadang, dalam penulisan
konstruksi realitas dimulai saat objektifikasi mulai dijalankan oleh sang konstruktor
atas suatu kenyataan. Dari konstruksi yang dibangun, maka akan muncul perpsepsi
vital yang dapat menentukan wacana tidak lain adalah kata-kata suatu konsep atau
bahasa. Keberadaan bahasa tidak hanya berhenti pada sebagai alat untuk
menggambarkan realitas, namun juga menentukan gambaran atas suatu wacana yang
media mempunyai banyak cara untuk membentuk bahasa dan makna. Tidak hanya
dari istilah-istilah yang ada; mengganti makna lama sebuah istilah dan makna baru;
memantapkan konvensi makna yang telah ada dalam suatu sistem bahasa”.
Dalam taraf tertentu, penyebaran wacana yang dilakukan secara masif bisa
mengonstruksi realitas, utamanya dalam hal makna dan citra atas wacana yang
dibangun. Kekuatan bahasa dapat mengonstruksi realitas. Bahkan, bahasa tidak hanya
menjadi cermin atas suatu realitas, akan juga menciptakan realitas baru (Badara,
2014: 9).
Dalam memproduksi wacana, ada tiga hal yang dilakukan oleh para pekerja
media. Menurut Panuti Sujiman dan Aart van Zoest, tiga hal tersebut antara lain,
20
pertama; pemilihan simbol. Simbol yang dipilih akan membentuk suatu makna
tertentu. Dalam teori semiotika, teks dinilai menyimpan berbagai makna mulai dari
penggunaan kata, istilah, frasa, dan foto yang digunakan dalam publikasi. Kedua,
memproduksi wacana tertentu. Dengan tempat khusus yang disediakan media yang
membahas masalah tertentu dapat tercermin intensi media tersebut terhadap suatu isu
yang dilakukan media dalam memproduksi suatu wacana, dalam hal ini wacana
khilafah dalam laman hizbut-tahrir.or.id akan dilakukan kajian satu persatu yakni
diperkenalkan oleh Teun A. van Dijk. Model analisis wacana Teun A. van Dijk adalah
―kognisi sosial‖. Teun A. van Dijk melihat struktur sosial, dominasi, dan kelompok
21
Untuk memahami suatu teks, Teun A. van Dijk memerinci struktur teks ke
dalam beberapa bagian, yang meliputi tematik, skematik, semantik, sintaksis, stilistik,
dan retoris. Adapun bagan model analisis van Dijk (Eriyanto, 2012: 228) adalah
sebagai berikut:
menggunakan sejumlah kriteria, utamanya jika dikaitkan dengan tema yang diangkat
mempertimbangan berbagai hal berikut ini. Pertama, media ini merupakan media
yang memiliki perhatian khusus terhadap isu khilafah. Sebagai media yang digunakan
22
oleh Hizbut Tahrir Indonesia, suara mengenai khilafah sangat terdengar nyaring dari
satu elemen penting dalam mempertimbangkan kajian ini. Dengan kontinuitas yang
khilafah sangat terlihat bagaimana mereka sangat berhasrat dan terlihat jelas
menampilkan rubrikasi dalam laman tersebut. Dalam tampilan laman antara lain
rubrik ―Kantor Jubir‖, ―Berita‖ yang memiliki turunan rubrik menjadi dua,yakni
―dalam negeri‖ dan ―luar negeri‖, ―Media‖ yang memuat tiga turunan ―Al-Waie‖,
―Al-Islam‖, dan ―HTI Channel‖. Di samping itu terdapat juga rubrik ―Muslimah‖,
―Seputar Syariah‖, dan ―Seputar Khilafah‖. Satu rubrik lain yaitu ―Tentang Hizbut
Tahrir‖.
bawah ini:
23
Figure 1 tampilan laman hizbut-tahrir.or.id
data, penelitian ini menitikberatkan pada kajian khilafah yang terdapat dalam rubrik
―Seputar Khilafah‖ sehingga akan mendapatkan fokus kajian yang spesifik sehingga
tidak melebar ke isu-isu lain. Penelitian ini tidak akan mengalisis konten yang
terdapat di sana selain teks. Video dan gambar tidak akan menjadi bahan kajian
karena hanya akan memperlebar objek kajian. Sementara itu, objek kajian yang
Sistematika penulisan dalam penelitian ini dibagi menjadi lima bagian. Bab
pertama berisi tentang latar belakang, pertanyaan penelitian, kajian pustaka: diskursus
24
khilafah, hizbut tahrir indonesia, kerangka teori, metodologi penelitian, dan cara
imajinasi ummah atau khilafah dan diskursus pemikiran politik Islam di Indonesia.
Penjelasan mengenai ini urgen untuk mengetahui genealogi pemikiran yang berjalan
Bab ketiga merupakan bagian penting dari penelitian ini yang akan
Bab keempat merupakan bab yang akan mengalisis konstruksi wacana yang
ada di bab sebelumnya untuk kemudian mengkritisi wacana khilafah dalam konteks
relevansi wacana khilafah di tengah masyarakat yang pluras, apa saja rintangannya,
dan apakah wacana terkait masih tepat untuk dipropagandakan di tengah percaturan
wacana yang ada. Bab kelima berisi kesimpulan dari hasil penelitian dan sedikit
25