1. Manajer harus memiliki akses ke informasi relefan yang dibutuhkan dalam membuat keputusan
serupa.
2. Harus ada semacam cara untuk mengukur efektifitasnya suatu trade-off yang dibuat oleh manajer.
Langkah utama dalam membuat pusat laba adalah menentukkan titik terendah dalam organisasi
dimana kedua kondisi diatas terpenuhi.
Seluruh pusat tanggung jawab diibaratkan sebagai suatu kesatuan rangkaian yang mulai dari pusat
tanggung jawab yang sangat jelas. Manajemen harus memutuskan apakah keuntungan dari
delegasi tanggung jawab laba akan dapat menutupi kerugiannya, sebagaimana dibahas berikut ini.
Seperti halnya pilihan-pilihan desain system pengendaian maajemen, dalam ini tidak ada batasan-
batasan yang jelas.
Kinerja manajer pusat laba dapat dievaluasi berdasarkan lima ukuran profitabilitas sebagai berikut:
1. Margin kontribusi.
Margin kontribusi menunjukkan rentang (spread) antara pendapatan dengan beban variabel.
Alasan utama mengapa ini digunakan sebagai alat pengukur kinerja manajer pusat laba adalah
karena beban tetap berada di luar kendali manajer tersebut, sehingga para manajer harus
memusatkan perhatian untuk memaksimalkan margin kontribusi.
2. Laba langsung.
Laba langsung (direct profit) mencerminkan kontribusi pusat laba terhadap overhead umum dan
laba perusahaan. Ukuran ini menggabungkan pengeluaran seluruh pusat laba, baik yang
dikeluarkan oleh atau dapat ditelusuri langsung ke pusat laba tersebut tanpa mempedulikan apakah
pos-pos ini ada dalam kendali manajer pusat laba atau tidak. Meskipun demikian, pengeluaran
yang terjadi di kantor pusat tidak termasuk dalam penghitungan ini.
5. Laba bersih.
Di sini, perusahaan mengukur kinerja pusat laba domestik berdasarkan laba bersih (net income),
yaitu jumlah laba bersih setelah pajak.
2) Kecepatan pengambilan keputusan operasional dapat meningkat karena tidak perlu mendapat
persetujuan terlebih dahulu dari kantor pusat.
3) Manajer kantor pusat dapat lebih berkonsentrasi pada hal-hal yang lebih luas, karena manajemen
kantor pusat bebas dari pengambilan keputusan harian.
4) Manajer lebih bebas menunjukkan imajinasi dan inisiatifnya, karena hanya sedikit batasan dari
korporat.
5) Memberikan tempat pelatihan sempurna bagi kemampuan manajerial secara umum. Para manajer
mendapatkan pengalaman dalam mengelola seluruh area fungsional, dan manajemen yang lebih
tinggi mendapatkan kesempatan untuk mengevaluasi potensi pekerjaan yang tingkatnya lebih
tinggi.
6) Kesadaran terhadap laba semakin meningkat, karena para manajer yang bertnggung jawab atas
laba akan selalu mencari cara untuk meningkatkan labanya.
7) Memberikan informasi siap pakai kepada manajemen puncak tentang profitabilitas komponen-
komponen individual perusahaan.
8) Output yg siap pakai membuat pusat laba sangat responsif terhadap tekanan utk meningkatkan
kinerja kompetitif.
2) Jika manajemen kantor pusat lebih mampu dan memiliki informasi yang lebih baik daripada
manajer pusat laba pada umumnya, maka kualitas keputusan yang diambil pada tingkat unit akan
berkurang.
3) Perselisihan dapat meningkat karena adanya argumen-argumen mengenai harga transfer yang
sesuai, pengalokasian biaya umum yang tepat, dan kredit untuk pendapatan yang sebelumnya
dihasilkan secara bersama-sama oleh dua atau lebih unit bisnis.
4) Unit-unit organisasi yang pernah bekerja sama sebagai unit fungsional akan saling berkompetisi
satu sama lain. Peningkatan laba untuk satu manajer dapat berarti pengurangan laba bagi manajer
yang lain. Dalam situasi yang seperti ini, seorang manajer dapat saja gagal dalam memberikan
potensi penjualan ke unit lain yang lebih tepat untuk merealisasikannya; menimbun pegawai atau
peralatan yang akan lebih baik, dari sudut pandang seluruh perusahaan, jika digunakan ke unit lain;
atau membuat keputusan produksi yang memiliki konsekuensi biaya yang tidak diinginkan bagi
unit lain.
6) Para manajer yang kompeten mungkin saja tidak ada dalam organisasi fungsional karena tidak
adanya kesempatan yang cukup untuk mengembangkan kompetensi manajemen umum.
7) Mungkin ada telalu banyak tekanan atas profitabilitas jangka pendek dengan mengorbankan
profitabilitas jangka panjang.
8) Tidak adanya sistem yang memuaskan untuk memastikan bahwa optimalisasi laba dari masing-
masing pusat laba akan mengoptimalkan laba perusahaan secara keseluruhan.
2. Pemasaran.
Pemasaran dapat dijadikan sebagai pusat laba dengan membebankan biaya dari produk yang
terjual. Harga transfer ini memberikan informasi yang relevan bagi manajer pemasaran dalam
membuat trade-off pendapatan/pengeluaran yang optimal, dan praktik standar untuk mengukur
manajer pusat laba berdasarkan probabilitasnya akan memberikan evaluasi terhadap trade-off yang
dibuat.
3. Manufaktur.
Aktivitas manufaktur biasanya merupakan pusat beban, di mana manajemen dinilai berdasarkan
kinerja versus biaya standar dan anggaran overhead. Tetapi, ukuran ini dapat menimbulkan
masalah karena ukuran tersebut tidak mengindikasikan sejauh mana kinerja manajemen atas
seluruh aspek pekerjaannya. Oleh karena itu, di mana kinerja proses manufaktur diukur terhadap
biaya standar, dianjurkan untuk membuat evaluasi yang terpisah atas aktivitas-aktivitas seperti
pengendalian mutu, penjadwalan produk, dan keputusan buat atau beli. Salah satu cara untuk
mengukur aktivitas organisasi manufaktur secara keseluruhan adalah dengan menjadikannya pusat
laba dan memberikan nilai berdasarkankan untuk harga jual produk dikurangi dengan estimasi
biaya pemasaran.
5. Organisasi lainnya.
Suatu perusahaan dengan operasi cabang yang bertanggung jawab atas pemasaran produk
perusahaan di wilayah geografis tertentu sering kali menjadi pusat laba secara alamiah. Meskipun
para manajer cabang tidak memiliki tanggung jawab manufaktur atau pembelian, profitabilitasnya
kadangkala merupakan satu ukuran unit kinerja yang paling baik. Lebih lanjut lagi, pengukuran
laba merupakan satu alat motivasi yang sempurna.
E. CONTOH KASUS
Toyota Motor Corporation (TMC) (dalam bahasa Jepang: トヨタ自動車株式会社), adalah sebuah
perusahaan mobil di Jepang, yang berpusat di Toyota, Aichi, memberikan pelayanan finansial, dan
juga berpartisipasi dalam bidang bisnis lainnya. Toyota Motor Corporation didirikan pada
September 1933 sebagai divisi mobil Pabrik Tenun Otomatis Toyota. Divisi mobil perusahaan
tersebut kemudian dipisahkan pada 27 Agustus 1937 untuk menciptakan Toyota Motor
Corporation seperti saat ini. TMC merupakan anggota dari Grup Toyota dan memproduksi mobil
dengan merek Toyota Lexus dan Scion.
Lexus (bahasa Jepang:レクサス) adalah sebuah merek yang digunakan oleh Toyota Motor
Corporation di Amerika Utara, Timur Tengah, Eropa, Australia, Asia (dipasarkan di Jepang pada
2005) dan Selandia Baru untuk divisi mobil mewahnya. Lexus pertama kali diperkenalkan pada
1989 di Amerika Serikat. Pada tahun 2006, Lexus dijual di 68 negara di seluruh dunia. Kantor
Pusat Lexus berada di Aichi, Jepang.
Project Lexus dimulai pada tahun 1983, sebuah tim besar terdiri dari engineer terbaik dari Toyota
Motor Corporation, berusaha untuk membuat sedan yang bisa mengalahkan sedan terbaik dunia.
Hasilnya adalah Lexus LS 400 yang diperkenalkan pada North America International Motorshow
1989.
Merek ini terutama bersaing dengan merek mewah tradisional Jerman seperti Audi, BMW, Jaguar,
dan Mercedes-Benz. Lexus sudah balik ke Jepang pada tahun 2005. Lalu menyusul secara global
pada tahun tahun berikutnya, termasuk Indonesia pada tahun 2007.
Lexus terinspirasi dari suksesnya Toyota Supra dan Toyota Cressida. Keduanya merupakan mobil
berpenggerak roda belakang dengan mesin M berperforma tinggi.
Sedangkan Scion adalah merk yang diproduksi oleh Toyota Motor Corporation untuk pasar
Amerika Utara. Berdiri mulai Maret 2002, tujuan dari berdirinya Scion adalah untuk menarik
perhatian konsumen golongan Y (Millenial Generation). Model pertama Scion adalah Scion xA
hatchback dan Scion xB wagon, diperkenalkan di California tahun 2003. Kemudian diluncurkan
juga Scion tC, sebuah mobil sport-coupe tahun 2004 di AS.
Dari sejarah diatas kita dapat menyimpulkan bahwa Toyota membagi basis unit produksinya dari
kelas biasa sampai kelas mobil mewah yang dimana system manajemennya dibagi per unit bisnis
sehingga bisa disebut pusat laba karena para manager unit bisnis bertanggung jawab terhadap unit
bisnisnya pada regional masing-masing dimana kita dapat keuntungan seperti murah dalam hal
produksi, murah dalam mencari bahan baku produksi dan mempermudah dalam hal pemasaran.
Akan tetapi dibalik semua keuntungan itu masih ada kekurangannya yaitu tidak semua perangkat
mobil diproduksi di setiap unit produksi sehingga masih harus mendatangkan dari Negara lain
seperti halnya perusahaan Toyota yang berbasis di Indonesia dimana masih belum bisa membuat
mesin Toyota di Negara Indonesia sehingga masih harus import dari jepang atau Thailand.
BAB III
KESIMPULAN
Pusat laba adalah pusat pertanggungjawaban yang prestasi manajernya diukur berdasarkan laba
(selisih antara pendapatan dan beban) yang diperoleh. Pusat laba dapat dibentuk dengan struktur
divisionalisasi, yang memungkinkan unit utama bertanggungjawab terhadap produksi dan
pemasaran sekaligus. Pusat laba dibentuk dengan keputusan expense and revenue trade-off.
Keputusan ini ditentukan dengan 2 kondisi, yaitu Manajer memiliki akses ke informasi yang
relevan dalam membuat keputusan dan terdapat ukuran efektivitas atas trade-off yang dibuat
manajer.
Seluruh pusat tanggung jawab diibaratkan sebagai suatu kesatuan rangkaian yang mulai dari pusat
tanggung jawab yang sangat jelas. Manajemen harus memutuskan apakah keuntungan dari
delegasi tanggung jawab laba akan dapat menutupi kerugiannya, sebagaimana dibahas berikut ini.
Seperti halnya pilihan-pilihan desain system pengendaian maajemen, dalam ini tidak ada batasan-
batasan yang jelas.
Perusahaan multibisnis biasanya terbagi ke dalam unit-unit bisnis dimana setiap unit diperlakukan
sebagai unit penghasil laba yang independen. Tetapi subunit yang ada dalam unit bisnis tersebut
dapat saja terorganisisr secara fungsional missal aktivitas operasi pemasaran, manufaktur, dan jasa
yang dijadikan sebagai pusat laba.
DAFTAR PUSTAKA
1. http://s2.wahyudiharto.com/2009/04/penggunaan-informasi-akuntansi-penuh.html
2. Kaplan, Robert, dan David Norton. Balanced Scorecard. Boston: Harvard Business School Press,
1996.
3. Robert N.Anthony Vijay Govindarajan.•Management Control System, penerbit Salemba
Empat,2005.•
4. Viyanti & Setin. 2010. Akutansi Pertanggungjawaban Sebagai Alat Pengendalian Manajemen
Terhadap Penilaian Prestasi Kerja. Bandung Maranatha