Anda di halaman 1dari 4

1. Apa itu preemptive analgesia? Bagaimana mekanisme kerjanya?

Bagaimana cara
pemberiannya?
Preemptive analgesia merupakan suatu tindakan pemberian terapi sebelum operasi, bertujuan
untuk mencegah terjadinya sensitisasi central oleh luka insisional dan inflamatorik saat periode
operasi dan postoperative awal. Preemptive analgesia dapat mengurangi nyeri postoperative
immediate.
Stimulus nyeri pada tubuh dideteksi oleh ujung bebas dari saraf perifer (neuron aferen primer),
disebut sebagai nociceptor. Terminal perifer dari nociceptor berperan sebagai transducer, yang
mengubah energi kimiawi, mekanik atau thermal pada lokasi stimulus menjadi electrical
activity, yang kemudian dikonduksikan ke cornu dorsalis dari sistem saraf pusat.
Nociceptor dapat dibagi menjadi beberapa grup, tergantung dari lokasi di berbagai jaringan
dan respon terhadap stimulus yang berbeda. Secara umum, nociceptor bermyelin Aδ berfungsi
untuk mendeteksi injury mekanis dan thermal, serta respon nyeri yang tajam dan cepat, “first
pain”. Sedangkan nociceptor tidak bermyelin C merespon terhadap stimulus mekanis, thermis,
dan kimiawi yang kuat, dan memediasi respon nyeri delayed, disebut “second pain”. Pada
cornu dorsalis, sinyal nyeri ditransmisikan dari nociceptor ke neuron nociceptive sekunder.
Terdapat 2 kelas neuron cornu dorsal yang terlibat dalam respon sensasi nyeri, yaitu
nociceptive-specific neuron (NS neuron) dan wide-dynamic-range neuron (WDR neuron). NS
neuron merespon hanya pada sinyal nyeri dari nociceptor Aδ dan C, sedangkan WDR neuron
merespon terhadap impuls non-nociceptive dari serabut Aβ, dan impuls nociceptive dari
nociceptor Aδ dan C.
Pada stimulus yang menyebabkan kerusakan jaringan, terjadi perubahan atau modulasi pada
pathway perifer dan sentral. Pada pathway perifer, kerusakan jaringan menyebabkan respon
inflamasi local dengan pelepasan substance pain-promoting (algogenic) dari ujung saraf
perifer dan sumber extraneural (substan P, prostaglandin, serotonin, bradykinin, dan
histamine). Mediator ini menimbulkan sensitisasi perifer dari nociceptor, dan menyebabkan
perubahan transduksi dan peningkatan konduksi impuls nociceptive ke CNS. Selain itu, sinyal
nyeri dari nociceptor ke neuron NS dan WDR pada cornu dorsalis menyebabkan alterasi
prolonged dari responsivitas dari neuron tersebut. Sinyal dari serabut Aδ dan C akan
diamplifikasi (hyperalgesia) dan aktivitas dari serabut Aβ akan diinterpretasikan bukan sebagai
sinyal taktil tetapi sebagai sinyal nyeri oleh neuron WDR (allodynia). Sensitisasi central dapat
terjadi lebih lama dari stimulus yang memicu perubahan dan menjadi “pain memory”.
Strategi pada preemptive analgesia melibatkan intervensi di satu atau lebih dari pain pathway,
seperti infiltrasi dengan anestesi local, nerve block, epidural block, subarachnoid block,
analgesic intravena, dan obat anti inflamasi.
NSAIDs: golongan obat dengan aksi analgesi dan antipiretik. Sebagian besar NSAIDs bekerja
sebagai inhibitor nonselektif dari enzim cyclooxygenase (COX), secara reversible
menginhibisi isoenzim COX1 dan COX2. COX mengkatalisis pembentukan prostaglandin dan
thromboxane dari asam arachidonat. NSAID intravena sering digunakan sebagai preemptive
analgesia.
Opioids: lewat interaksi dengan berbagai reseptor opioid, menghasilkan analgesia kuat.
Penelitian oleh Campiglia et al, menunjukkan bahwa premedikasi dengan morfin sulfate
sublingual memberikan control lebih pada nyeri postoperative, dibandingkan dengan
premedikasi dengan midazolam postoperative.
NMDA Receptor Antagonists: Beberapa publikasi menyebutkan bahwa efek preemptive
analgesia diragukan sebagai standalone agent. Akan tetapi, ketamine IV dosis kecil (0,1
mg/kg) sebagai bolus memiliki efek opioid-sparings. Selain itu, Nesek-Adam V et al.
menyimpulkan bahwa administrasi preemptive dari kombinasi ketamine IV dosis kecil dengan
Na Diklofenac meningkatkan analgesi postoperative, sedangkan pemberian hanya ketamine
IV pada dosis 0.15mg/kg tidak memunculkan efek preemptive analgesia.
Local Anesthetics: merupakan membrane stabilizing drugs yang bekerja dengan menginhibisi
influx sodium melalui voltage gated sodium channel, sehingga dapat menginhibisi
terbentuknya potensial aksi. Agen ini banyak digunakan pada block neuroaxial, block saraaf
perifer, dan infiltrasi luka, dan seringkali dikombinasikan dengan obat lain, terutama opioid.
Systemic Antiepileptics (GABA analogue): Nyeri perioperative melibatkan hiperalgesia
primer (sensitisasi nociceptor perifer) dan hiperalgesia sekunder (sensitisasi central).
Gabapentin dan pregabalin tidak memberi efek pada hiperalgesia primer, tetapi mengurangi
hipereksitabilitas neuron cornu dorsalis yang diinduksi oleh kerusakan jaringan, dan
menurunkan hiperalgesia sekunder. Efek analgesic dari gabapentin dan pregabalin didapatkan
melalui ikatan dengan subunit alpha-2 delta dari channel Ca.

2. Prinsip resusitasi cairan pada shock hipovolemik, shock septik, dehidrasi


Shock hipovolemik disebabkan oleh kehilangan volume akut sebesar ≥ 20-25% dari volume
darah sirkulasi. Penyebab dari syok hipovolemik termasuk perdarahan. Syok hipovolemik
dikenali dari penurunan tekanan darah, penurunan Cardiac Output (CO), penurunan tekanan
vena sentral, dan penurunan tekanan arteri pulmonal.
Shock distributive dikenali dari penurunan denyut vaskuler akikat vasodilatasi arteri, venous
pooling, dan redistribusi aliran darah. Terdapat 3 tipe, yaitu shock septik, shock anafilaktik,
dan shock neurogenic. Syok distributive dikenali dari tekanan darah yang rendah dan CO yang
tinggi.
Dehidrasi merupakan suatu kondisi keseimbangan cairan negative yang dapat disebabkan oleh
banyak penyakit. Keseimbangan cairan negative dapat diakibatkan oleh berkurangnya intake,
meningkatnya output (renal, GI, atau insensible losses), atau fluid shift (ascites, efusi, dan
kondisi kebocoran kapiler seperti pada luka bakar dan sepsis). Dehidrasi dapat dikategorikan
berdasarkan osmolaritas, dimana natrium serum merupakan marker untuk osmolaritas dengan
asumsi pasien memiliki kadar glukosa serum normal. Dehidrasi digolongkan menjadi
isonatremik (130-150 mEq/L), hiponatremik (<130 mEq/L) atau hipernatremik (>150 mEq/L).
Variasi dari kadar Na serum merefleksikan komposisi dari cairan yang hilang dan punya efek
patofisiologik yang berbeda, yaitu:
- Isonatremik (isotonic) dehydration terjadi ketika lost fluid memiliki konsentrasi Na yang
serupa dengan darah. Kehilangan Na dan cairan pada kompartemen cairan intravascular
dan ekstravaskular relative sama.
- Hyponatremik (hypotonic) dehydration terjadi ketika lost fluid mengandung lebih
banyak Na dibandingkan darah (loss of hypertonic fluid). Relatif lebih banyak Na
dibandingkan air yang hilang. Dikarenakan Na serum rendah, air intravascular shift ke
ekstravaskular space, meningkatkan deplesi volume intravascular.
- Hypernatremik (hypertonic) dehydration terjadi ketika lost fluid mengandung lebih
sedikit Na dibandingkan darah (loss of hypotonic fluid). Relatif lebih sedikit Na
dibandingkan air yang hilang. Dikarenakan Na serum tinggi, air extravascular shift ke
intravascular space, meminimalkan deplesi volume intravascular.
Prinsip resusitasi cairan pada shock hipovolemik yaitu cepat dan adekuat. Initial fluid
resuscitation dengan kristaloid isotonis (RL atau NaCl) bolus 1-2 L untuk dewasa (20cc/kgBB
dalam 30 menit).
Prinsip resusitasi cairan pada shock septik yaitu akses vena yang memadai harus dipastikan
untuk resusitasi volume. Perlu dipasang 2 IV line ukuran besar (16G) untuk memungkinkan
administrasi agresif resusitasi cairan dan antibiotik spektrum luas. Akses vena sentral berguna
saat pemberian agen vasopressor. Jika hipotensi tidak membaik dengan bolus cairan kristaloid
30 mL/kg (1-2 L) lebih 30-60 menit atau jika cairan tidak dapat diinfus cukup cepat, kateter
vena sentral harus ditempatkan di vena jugularis atau subklavia interna. Kateter ini
memungkinkan pemberian obat secara terpusat dan memberikan beberapa port untuk
administrasi cepat cairan, antibiotik, dan vasopressor jika diperlukan. Hal ini juga
memungkinkan pengukuran tekanan vena sentral (CVP).
Prinsip resusitasi cairan pada dehidrasi berat yaitu perlu evaluasi laboratorium dan rehidrasi
intravena. Penyebab yang mendasari dehidrasi harus ditentukan dan diobati dengan tepat. Terdapat
2 tahap penanganan, yaitu:

Tahap 1 berfokus pada manajemen darurat. Dehidrasi berat ditandai dengan keadaan syok
hipovolemik membutuhkan perawatan yang cepat. manajemen awal mencakup penempatan jalur
intravena atau intraosseous dan administrasi yang cepat dari 20 mL / kg dari kristaloid isotonik
(misalnya, laktat Ringer, 0,9% natrium klorida). bolus cairan tambahan mungkin diperlukan
tergantung pada tingkat keparahan dehidrasi. Harus sering dinilai ulang untuk menentukan respon
terhadap pengobatan. Seiring dengan perbaikan volume intravaskular, takikardia, waktu pengisian
kapiler, urin, dan status mental seharusnya membaik. Jika perbaikan tidak diamati setelah pemberian
cairan 60 mL/kg, etiologi lainnya syok (misalnya, jantung, anafilaksis, septic) harus dipertimbangkan.
pemantauan hemodinamik dan dukungan inotropik dapat diindikasikan.

Tahap 2 berfokus pada penggantian defisit, pemberian cairan pemeliharaan, dan penggantian
ongoing losses. Kebutuhan cairan pemeliharaan sama dengan kehilangan cairan yang terukur (urine,
feses) ditambah insensible fluid losses. Kehilangan cairan insensible yang normal adalah sekitar 400-
500 ml / m2 luas permukaan tubuh dan dapat ditingkatkan oleh faktor-faktor seperti demam dan
takipnea.

Anda mungkin juga menyukai