Apakah kalian pernah mendengar lahan gambut? Saya rasa kalian sudah pernah
mendengar tentang lahan gambut, terlebih lagi kebakaran lahan gambut yang terjadi akhir-
akhir ini menjadi berita hangat. Sebelum ke akar permasalahan, sebaiknya kita mengenal
terlebih dahulu apa itu lahan gambut. Indonesia memiliki lahan gambut terluas di Asia
Tenggara, yaitu sekitar 21 juta hectare, yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan, dan
Papua dengan ketebalan mencapai 1 sampai 12 meter. Dalam keadaan hutan alami, lahan
gambut berfungsi sebagai penambat karbon sehingga berkontribusi dalam mengurangi gas
rumah kaca. Gambut juga mempunyai daya menahan air yang tinggi sehingga berfungsi
sebagai penyangga hidrologi areal sekelilingnya. Sebagian besar lahan gambut masih berupa
hutan yang menjadi habitat tumbuhan dan satwa langka.
Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organic dengan
ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organic penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa
tanaman yang belum melapuk sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin
hara. Lahan gambut memiliki ciri-ciri antara lain banyak terbentuk pada wilayah rawa,
kurang subur, basah, lembek atau lunak, berwarna gelap, dan bersifat asam. Proses
dekomposisi di tanah gambut terhambat karena kondisi anaerob yang menyebabkan
sedikitnya jumlah organisme pengurai. Lapisan-lapisan tanah gambut terbentuk dalam jangka
waktu yang panjang yaitu sekitar 5.000-10.000 tahun yang lalu. Hutan gambut di Indonesia
diduga terbentuk sejak 4.200-6.800 tahun yang lalu. Semakin dalam tanah gambut semakin
tua umurnya.
Jadi apa yang menjadi penyebab kebakaran lahan gambut? Pada kondisi alami, lahan
gambut tidak mudah terbakar karena sifatnya yang menyerupai spons, yakni menyerap dan
menahan air secara maksimal sehingga pada musim hujan dan musim kemarau tidak ada
perbedaan kondisi yang ekstrim. Namun, apabila kondisi lahan gambut tersebut sudah mulai
terganggu akibatnya adanya konversi lahan atau pembuatan kanal, maka keseimbangan
ekologisnya akan terganggu. Perusakan lahan gambut diawali dengan penebangan semua
pohon yang tumbuh di lahan tersebut. Selanjutnya tanah gambut/lahan tersebut akan
dikeringkan dengan cara membuat saluran supaya air mengalir keluar. Proses pengeringan
lahan gambut ini berdampak pada permukaan tanah gambut yang turun. Dampak dari
turunnya permukaan tanah di lahan gambut adalah akar pohon yang tertarik keluar atau
tercabut dengan sendirinya dan pohon pun banyak yang tumbang/roboh dan bisa juga
menyebabkan erosi tanah . Lahan gambut yang telah kering tidak dapat dikembalikan
kondisinya seperti semula. Dengan kata lain, keringnya lahan bersifat permanen. Pada musim
kemarau, lahan gambut akan sangat kering sampai kedalaman tertentu dan mudah terbakar.
Gambut mengandung bahan bakar (sisa tumbuhan) sampai di bawah permukaan, sehingga api
di lahan gambut menjalar di bawah permukaan tanah secara lambat dan dan sulit dideteksi,
dan menimbulkan asap tebal. Api di lahan gambut sulit dipadamkan sehingga bisa
berlangsung lama (berbulan-bulan). Dan, baru bisa mati total setelah adanya hujan yang
intensif. Kebakaran lahan gambut sebagian besar disebabkan karena ulah manusia sendiri.
Sebagai contoh adalah lahan gambut yang beralih fungsi menjadi lahan perkebunan atau
pertanian.
Lebih dari 2,6 juta hektar hutan, lahan gambut dan lahan lainnya terbakar pada tahun
2015 – 4,5 kali lebih luas dari Pulau Bali. Dampak pada wilayah yang terbakar
termasuk hilangnya kayu atau produk non-kayu, serta sebagai habitat satwa. Dampak
jangka panjang terhadap kehidupan alam bebas dan biodiversitas belum sepenuhnya
dikaji. Ribuan hektar habitat orangutan dan hewan yang hampir punah lainnya pun
ikut hancur.
Penyelesaian masalah butuh pendekatan baru untuk mengelola hutan dan lahan
gambut di Indonesia, dan pengelolaan kebakaran yang lebih berfokus pada pencegahan. Hal
ini membutuhkan upaya besar untuk menjawab lemahnya pengawasan penggunaan lahan,
memperkuat tata kelola pemerintahan dan akuntabilitas – terutama terkait kebijakan, regulasi
dan sistem akses lahan. Indonesia bisa belajar dari pengalaman internasional yang berhasil
memulihkan lahan yang rusak, seperti rehabilitasi Loess Plateau di Tiongkok, rehabilitasi
Great Rift Valley di Ethiopia, atau contoh Silvopastoral di Kolombia. Indonesia juga bisa
mempelajari dari Thailand dan Afrika Selatan pengalaman mereka mengatasi kebakaran.
Pemerintah Indonesia telah mengumumkan berbagai langkah tegas menuju solusi jangka
panjang, melalui:
Jadi, lahan gambut dapat menjadi pedang bermata dua dilihat dari cara kita
memperlakukannya. Jika, kita mampu memperlakukannya dengan baik maka kita akan
mendapatkan manfaat yang luar biasa dari lahan gambut apalagi di jaga dalam bentuk hutan
alami dapat menjadi rumah untuk tumbuhan dan satwa langka, dapat menghambat emisi gas
rumah kaca, dan penyangga hidrologi areal sekelilingnya dan jika diperlakukan secara tidak
baik, maka dampaknya juga sangat merugikan bagi kita. Oleh karena itu, marilah kita jaga
hutan kita, baik itu hutan gambut maupun hutan konservatif agar hidup kita dapat harmonis
dengan lingkungan hidup kita. Sekian pidato dari saya, semoga dapat memberikan wawasan
baru bagi Anda. Terima Kasih