Anda di halaman 1dari 11

BAB I

1.1 Etiologi
Dermatitis atopik (DA) dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor endogen dan faktor eksogen
1.1.1 Faktor endogen
a. Sawar kulit
Fungsi sawar epidermis terletak pada stratum korneum mengatur permeabilitas dan
kelembaban kulit, melindungi kulit dari mikroorganisme dan radiasi ultraviolet, menghantarkan
rangsang mekanik dan sensorik. Lapisan ini terbentuk dari korneosit yang dikelilingi lipid, yang
terdiri dari ceramide, kolesterol, dan asam lemak bebas (Movita, 2014). Hilangnya ceramide dan
variasi pH kulit dianggap sebagai penyebab kelainan fungsi sawar kulit. Variasi pH kulit dapat
menyebabkan kelainan metabolisme lipid di kulit. Kelainan fungsi sawar kulit mengakibatkan
peningkatkan transepidermal water loss (TEWL) 2-5 kali normal, kulit akan makin kering dan
merupakan port d’entry untuk terjadinya penetrasi alergen, iritasi, bakteri dan virus. Bakteri pada
pasien DA mensekresi ceramidase yang menyebabkan metabolisme ceramide menjadi
sphingosine dan asam lemak sehingga mengurangi ceramide di stratum korneum dan
menyebabkan kulit makin kering (Soebaryo, 2009).
b. Genetik
Penderita DA di keluarga meningkat 50% apabila salah satu orangtuanya DA dan 75% bila
kedua orangtuanya menderita DA. Penderita DA atau keluarga sering terdapat riwayat rinitis
alergik dan alergi pada saluran napas.
c. Hipersensitivitas
Penderita DA menunjukkan peningkatan kadar IgE dalam serum dan IgE di permukaan sel
Langerhans epidermis. Pasien DA bereaksi positif terhadap berbagai alergen, misalnya terhadap
alergen makanan 40-96% (Boediardja, 2006).
d. Faktor psikis
Pada penderita DA sebesar 22-80% menyatakan lesi bertambah buruk akibat stress
(Boediardja, 2006), serta perubahan hormon yang tidak stabil (Movita, 2014)
1.1.2 Faktor eksogen
a. Iritan
Kulit penderita DA bersifat lebih rentan terhadap bahan iritan, antara lain pelarut lipid seperti
sabun dan detergen, desinfektan, bahan kimia yang terkandung pada berbagai obat gosok untuk
bayi dan anak, sinar matahari, cairan rumah tangga (getah) dan pakaian wol (Movita, 2014).
b. Alergen
Penderita DA mudah mengalami alergi terutama terhadap beberapa alergen, antara lain:
Alergen hirup, seperti debu rumah dan tungau (Boediardja, 2006), serbuk sari, jamur, alergen
makanan, dan terapi topikal (Movita, 2014)
c. Mikroba
Infeksi Staphylococcus aureus yang ditemukan pada >90% lesi DA dan hanya pada 5%
populasi normal (Watson and Kapur, 2011). Pada beberapa kasus, Pityrosporum ovale, Candida
sp. dan infeksi virus juga dapat menyebabkan terjadinya DA (Movita, 2014)
d. Lingkungan
Faktor lingkungan yang kurang bersih berpengaruh pada kekambuhan DA, misalnya suhu
yang panas, kelembaban, dan keringat yang banyak akan memicu rasa gatal dan kekambuhan DA
(Boediardja, 2006).
1.2 Patofisiologi
Sistem imun merupakan komponen utama yang bereaksi apabila terdapat DA. Pada individu
yang memiliki predisposisi alergi, paparan pertama alergen menimbulkan aktivasi sel-sel alergen
spesifik T helper 2 (TH2) dan sisntesis IgE, yang dikenal sebagai sensitisasi alergi (Jamal, 2007).
Paparan alergen selanjutnya akan menimbulkan penarikan sel-sel inflamasi dan aktivasi serta
pelepasan mediator-mediator, yang dapat menimbulkan early (acute) allergic responses (EARs)
dan late allergic responses (LARs). Pada EAR, dalam beberapa menit kontak dengan alergen,
sel mast yang tersensitisasi IgE mengalami degranulasi, melepaskan mediator pre-formed dan
mediator newly synthesized pada individu sensitif. Mediator-mediator tersebut meliputi histamin,
leukotrien dan sitokin yang meningkatkan permeabilitas vaskuler, kontraksi otot polos dan
produksi mukus. Kemokin yang dilepas sel mast dan sel-sel lain merekrut sel-sel inflamasi yang
menyebabkan LAR, yang ditandai dengan influks eosinofil dan sel-sel TH2. Pelepasan eosinofil
menimbulkan pelepasan mediator pro-inflamasi, termasuk leukotrien-leukotrien dan protein-
protein dasar (cationic proteins, eosinophil peroxidase, major basic protein dan eosinophil-
derived neurotoxin), dan mereka merupakan sumber dari interleukin-3 (IL-3), IL-5, IL-13 dan
granulocyte/macrophage colony-stimulating factor. Neuropeptides juga berkonstribusi pada
patofisiologi simptom alergi (Endaryanto dan Harsono, 2010).
1.3 Gejala Klinis
Gejala yang paling umum adalah kulit tampak kering dan gatal. Garukan atau gosokan
sebagai reaksi terhadap rasa gatal menyebabkan iritasi pada kulit, menambah peradangan, dan
juga akan meningkatkan rasa gatal. DA dapat juga mengenai kulit sekitar mata, kelopak mata dan
alis mata (Jamal, 2007).
1.3.1 DA bayi (0-2 tahun)
Gejala DA umumnya terlihat sekitar usia 6-12 minggu. Pertama kali timbul di pipi dan dagu
sebagai bercak-bercak kemerahan, bersisik dan basah. Kelainan kulit seperti ruam umumnya
terlihat di kedua pipi. Selain itu, sisik tebal bewarna kuning (kerak) juga sering ditemui pada bayi
di kepala (cradle cap), yang dapat meluas ke daerah muka (Soebaryo, 2002). Bayi dengan
dermatitis atopik sering tampak gelisah dan rewel karena rasa gatal dan rasa tak nyaman oleh
penyakitnya. Ketika mencapai usia sekitar 18 bulan kulit bayi mulai meperlihatkan tanda-tanda
perbaikan. Walaupun demikian bayi tersebut mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk
mempunyai kulit yang kering dan dermatitis atopik di kemudian hari (Dewi, 2004; Zulkarnain,
2009).
1.3.2 DA anak (2-12 tahun)
Pada masa anak, pola distribusi lesi kulit mengalami perubahan. Lesi muncul sebelum umur
5 tahun yang merupakan kelanjutan dari fase bayi. Gejala timbul cenderung di daerah lipat lutut,
lipat siku dan sangat jarang di daerah wajah, selain itu juga dapat mengenai sisi leher (bagian
anterior dan lateral), sekitar mulut, pergelangan tangan, pergelangan kaki, dan kedua tangan
(Dharmadji, 2006; Movita, 2014).
1.3.3 DA dewasa (>12 tahun)
Pada umumnya ditemukan adanya penebalan kulit di daerah belakang lutut, siku serta
tengkuk leher. Lesi ditandai dengan adanya hiperpigmentasi, hiperkeratosis dan likenifikasi. Pada
fase remaja, area di sekitar puting susu juga dapat terkena (Zulkarnain, 2009).
1.4 Data Klinik (Clinical Presentation)
Tidak ada gambaran klinik yang spesifik untuk menegakkan diagnosis DA. Dengan
demikian anamnesis dan pemeriksaan fisik menjadi dasar penegakkan DA. Pemeriksaan IgE
spesifik yang hasilnya positif hanya menunjukkan adanya sensitisasi terhadap allergen
bersangkutan, tetapi tidak berarti secara langsung menjadi penyebab. Kriteria klinis DA dapat di
bagi menjadi 2, yaitu;
1.4.1 Kriteria Mayor
- Pruritus
- Dermatitis kronis atau kambuhan
- Lesi pada wajah dan ekstensor pada bayi dan anak
- Lesi pada flesksor dan likenifikasi pada anak yang lebih besar dan dewasa
- Riwayat pasien dan keluarga
1.4.2 Kriteria Minor
- Onset dini setelah usia 2 bulan
- Xerosis atau kekeringan kulit
- Iktiosis, hiperlinearis palmaris, keratosis pilaris
- Lipatan infraorbital Deniie Morgan
- Katarak subkapsular anterior
- Keratokonus
- Eksim putting susu
- Kepucatan atau eriterma wajah
- Dermatitis non spesifik pada tangan dan kaki
- Infeksi kulit
(Movita, 2014)
BAB II

2.1 Terapi Non Farmakologi


A. Diet eliminasi
Pemberian makanan padat pada bayi sebaiknya ditunda (sampai 6 bulan) dan diberikan ASI
secara eksklusif. Diet eliminasi makanan harus tetap memperhatikan kebutuhan nutrisi anak yang
sedang tumbuh yaitu mengganti dengan makanan lain yang mempunyai nilai gizi setara. Diet
eliminasi biasanya dilakukan selama 3-6 minggu (Munasir, 2002).
B. Menghindari paparan bahan iritan
Sabun yang digunakan harus mempunyai pH netral dan sebaiknya menggunakan pembersih
kulit yang tidak menggunakan bahan sabun. Setiap mencuci pakaian harus dibilas sampai bersih
karena sisa deterjen pada pakaian dapat menimbulkan iritasi. Aktivitas fisik harus dikurangi
untuk mencegah pengeluaran keringat yang berlebihan. Suhu dan kelembaban lingkungan harus
optimal (Munasir, 2002). Pakaian yang digunakan sebaiknya tidak terlalu ketat, bahan pakaian
harus disesuaikan dengan keadaan kulit, misalnya jangan menggunakan bahan wol bagi yang
sensitif terhadap wol. Kuku sebaiknya selalu dipotong pendek untuk mengurangi kerusakan kulit
akibat garukan (Dipiro et al., 2005). Hindari pajanan sinar matahari berlebihan, memakai baju
berlapis-lapis dan pengunaan handuk panas. Untuk mengeringkan kulit disarankan menggunakan
handuk lembut dengan menekan lembut dan tidak menggosok kulit (Movita, 2014).
C. Mencegah kekeringan kulit
Untuk mengatasi kekeringan kulit dilakukan dengan membasahi kulit dengan air dan dibalut
dengan pembalut hidrofobik agar tidak menyerap air tersebut. Tindakan ini dapat dilakukan
dengan berendam atau mandi selama 15-20 menit dengan air hangat. Kulit harus segera dibalut
dalam 3-5 menit. Pembalutan juga lebih mudah dilakukan saat tidur. Cara ini sebaiknya
dilakukan tidak lebih dari 2-3 minggu (Dipiro et al., 2005). Emolien melembutkan kulit dan
mengurangi gatal, menciptakan lapisan minyak di atas kulit yang dapat memerangkap air di
bawahnya. Emolien dapat berupa losion, krim, dan salep. Salep paling efektif sebagai emolien
(Movita, 2014). Pelembab ini dapat digunakan 3-4 kali sehari (Munasir, 2002).
D. Menjaga kebersihan lingkungan
Membersihkan tungau dan rambut binatang dari lingkungan pasien dapat memperbaiki gejala
klinis (Munasir, 2002). Diusahakan menghindari penggunaan karpet terutama di area tempat tidur
atau tempat bermain anak dan tidak memelihara binatang atau boneka berbulu, terutama pada
anak-anak dermatitia atopik yang juga memiliki riwayat asma dan/atau rinitis (Movita, 2014).
2.2 Terapi Farmakologi
Berikut adalah algoritma terapi pada dermatitis atopik:

Algoritma Terapi Dermatitis Atopik


Penilaian awal pada sejarah penyakit, luas daerah pada kulit yang terkena dan tingkat
keparahan: termasuk penilaian terhadap adanya stress fisiologik, adanya pengaruh keluarga
(faktor genetik/keturunan)

Emolien dan pemberian edukasi

Penanganan akut pada gejala Terapi Adjuvan


Remisi gatal-gatal dan inflamasi - Hindari faktor pemicu
penyakit - Kortikosteroid topikal - Infeksi bakteri: Antibiotik oral
(Tidak muncul - Inhibitor kalsineurin topikal: dan/atau topikal
gejala) Pimekrolimus bid - Infeksi virus: Terapi antivirus
Takrolimus bid - Intervensi fisiologik
*Selalu perhatikan label - Antihistamin

Terapi Pemeliharaan: untuk penyakit persisten dan/atau kekambuhan berulang


- Pada tahap gejala awal kekambuhan lokal digunakan inhibitor kalsineurin
topikal untuk mencegah penyakit bertambah parah.
- Pimekrolimus untuk mengurangi terjadinya inflamasi.
- Pemeliharaan jangka panjang menggunakan inhibitor kalsineurin topikal
- Penggunaan kortikosteroid topikal secara intermitten

Penyakit parah yang susah disembuhkan


- Fototerapi
- Steroid topikal poten
- Siklosporin
- Metotreksat
- Steroid Oral
- Azatriopin
- Psikoteraupetik

Gambar 2.1 Algoritma Terapi Dermatitis Atopik (Dipiro et al., 2005).


Keterangan :
1. Data keamanan dan efikasi dari pimekrolimus didasarkan penelitian pada pasien DA ringan
sampai sedang. Data takrolimus didasarkan dari pasien DA sedang sampai berat.
2. Pimekrolimus telah diuji klinis pada bayi berusia 3 bulan sedangkan penggunaan takrolimus
diuji pada usia 2 tahun.
3. Data uji klinis menunjukan bahwa pimekrolimus mengurangi kemerahan sedangkan untuk
takrolimus belum diketahui.
Berikut adalah golongan obat yang umumnya digunakan dalam terapi dermatitis atopik,
antara lain:
2.2.1 Kortikosteroid
Kortikosteroid digunakan sebagai standar terapi untuk mengatasi inflamasi dan pruritus yang
muncul pada pasien dewasa dan anak-anak. Kortikosteroid bekerja dengan beragam cara pada
sistem imun, termasuk limfosit T, monosit, makrofag dan sel dendrit, mengganggu proses antigen
dan menekan pelepasan sitokin proinflamasi (Eichenfield et al., 2014).
I. Kortikosteroid topikal
Kortikosteroid topikal harus diberikan bersamaan dengan emolien dan umumnya digunakan
pada pengobatan jangka pendek. Kortikosteroid digolongkan berdasarkan potensinya sebagai
vasokonstriktor. Kortikosteroid dengan potensi paling tinggi digunakan sebagai pemakaian
jangka pendek (umumnya kurang dari 3 minggu) untuk inflamasi akut atau penebalan luka pada
dermatitis atopik. Steroid dengan potensi sedang hingga kuat digunakan pada dermatitis atopik
kronis, terutama pada badan atau tangan dan kaki. Kortikosteroid dengan potensi rendah
umumnya digunakan pada anak-anak (Dipiro et al., 2005).
Tabel 2.1 Potensi Kortikosteroid Topikal (Eichenfield et al., 2014).
Kelas Obat Bentuk Sediaan Kekuatan (%)
Potensi sangat tinggi Augmented betamethasone dipropionate Salep 0,05
Clobetasol propionate Krim, foam, salep 0,05
Diflorasone diacetate Salep 0,05
Halobetasol propionate Krim, salep 0,05
Potensi tinggi Amcinonide Krim, losio, salep 0,1
Augmented betamethasone dipropionate Krim 0,05
Betametahosone dipropionate Krim, foam, salep, larutan 0,05
Desoximetasone Krim, salep 0,25
Desoximetasone Gel 0,05
Diflorasone diacetate Krim 0,05
Fluocinonide Krim, gel, salep, larutan 0,05
Halcinonide Krim, salep 0,1
Mometasone furoate Salep 0,1
Triamnicolone acetonide Krim, salep 0,5
Potensi sedang Betametahosone valerate Krim, foam, losio, salep 0,1
Clocortolone pivalate Krim 0,1
Desoximetasone Krim 0,05
Fluocinolone acetonide Krim, salep 0,025
Flurandrenolide Krim, salep 0,05
Fluticasone propionate Krim 0,05
Fluticasone propionate Salep 0,005
Mometasone furoate Krim 0,1
Triamcinolone acetonide Krim, salep 0,1
Potensi rendah- Hydrocortisone butyrate Krim, salep, larutan 0,1
sedang Hydrocortisone probutate Krim 0,1
Hydrocortisone valerate Krim, salep 0,2
Prednicarbate Krim 0,1
Potensi rendah Alclometasone dipropionate Krim, salep 0.05
Desonide Cream Krim, gel, foam, salep 0.05
Fluocinolone acetonide Krim, larutan 0,01
Potensi paling rendah Dexamethasone Krim 0,1
Hydrocortisone Krim, losio, salep, larutan 0,25; 0,5; 1
Hydrocortisone acetate krim, salep 0,5-1

Penggunaan bahan pembawa pada steroid juga perlu diperhatikan. Sebagai pelembut, sediaan
salep jauh lebih baik dalam melapisi/menutup daerah epidermis kulit sehingga meningkatkan
absorpsi kortikosteroid secara perkutan dibandingkan dengan krim yang memiliki potensi yang
sama. Salep merupakan salah satu pilihan terbaik untuk digunakan pada luka yang menebal,
selain itu dengan adanya peningkatan oklusi dapat memicu absorpsi yang lebih baik. Bahan
pembawa yang digunakan didasarkan pada area tubuh yang akan diaplikasikan obat. Contohnya,
apabila obat akan digunakan pada area yang berambut seperti kepala dan kumis, jenis yang cocok
adalah larutan atau gel (Dipiro et al., 2005).
Efek samping potensial dari penggunaan steroid topikal mengakibatkan penggunaannya
terbatas pada daerah anatomi tertentu dan terbatas pada anak-anak. Banyak faktor yang dapat
mempengaruhi munculnya efek samping pada penggunaan kortikosteroid topikal yaitu,
konsentrasi obat yang diaplikasikan, jumlah yang diaplikasikan, frekuensi pengaplikasiannya dan
durasi pengaplikasiannya. Penggunaan kortikosteroid dalam jangka panjang dapat menyebabkan
terjadinya abnormalitas pada lapisan kutan seperti atropi kulit, hipopigmentasi dan jerawat. Efek
sistemik yang dapat muncul yaitu gangguan pertumbuhan dan abnormalitas ginjal sehingga
penggunaan steroid topikal pada anak-anak dibatasi (Dipiro et al., 2005).
II. Kortikosteroid sistemik
Kortikosteroid sistemik digunakan pada pasien dermatitis atopik berat atau refrakter.
Kortikosteroid sistemik hanya diberikan untuk penanganan akut dermatitis atopik yang berat.
Penggunaan steroid sistemik jangka panjang tidak disarankan karena potensi efek samping yang
besar (Movita, 2014).
2.2.2 Inhibitor kalsineurin topikal
Inhibitor kalsineurin topikal, seperti takrolimus dan pimekrolimus, dapat digunakan dalam
jangka panjang dan dapat digunakan di seluruh tubuh untuk waktu yang lama. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa dapat digunakan dalam jangka panjang tanpa waspada akan munculnya
atropi pada kulit. Takrolimus dan pimekrolimus bekerja dengan membentuk kompleks untuk
menginhibisi kalsineurin, yang umumnya menginisiasi aktivasi sel T sehingga mencegah
pelepasan komponen inflamasi. Meskipun struktur keduanya mirip, namun pimekrolimus topikal
bersifat lebih lipofilik dibandingkan takrolimus topikal sehingga penetrasi kutan lebih rendah
(Dipiro et al., 2005). Takrolimus topikal tersedia dalam bentuk salep 0,03% dan 0,1%; dan
pimekrolimus topikal tersedia dalam bentuk krim 1%. Keduanya diindikasikan untuk terapi
jangka pendek dan terapi jangka panjang intermitten untuk dermatitis atopik ringan hingga
sedang (Eichenfield et al., 2014). Takrolimus dan pimekrolimus dapat dioleskan dua kali sehari
selama satu hingga tiga minggu. Bila lesi membaik, frekuensi pemakaian dapat dikurangi
menjadi sekali sehari sampai lesi bersih. Daerah yang dioles harus menghindari pajanan matahari
atau sumber UV lain untuk menghindari risiko kanker kulit (Movita, 2014).
2.2.3 Antimikroba dan Antivirus
Penyebab infeksi tersering adalah Staphylococcus aureus yang sering kali telah resisten
terhadap penisilin. Untuk itu perlu dilakukan biakan dan uji resistensi untuk menentukan
antibiotik yang sesuai. Pilihan pertama adalah sefaleksin dan eritromisin. Pilihan lain adalah
klindamisin dan dikloksasilin atau kombinasi dikloksasilin dan rifampisin. Pengobatan sebaiknya
diteruskan 2 sampai 3 minggu (Movita, 2014; Munasir, 2002).
2.2.4 Antihistamin
Antihistamin digunakan untuk mengurangi rasa gatal-gatal yang mengakibatkan terjadinya
pruritus (Dipiro et al., 2005). Antihistamin sedatif misalnya hydroxyzine, diphenhydramine,
chlorpheniramine, lebih disarankan dibandingkan anti histamin non-sedatif karena efek
sedatifnya lebih bermanfaat dibandingkan efek antipruritiknya. Pasien sering menggaruk di saat
tidur sehingga dengan efek sedasi antihistamin pasien terhindar dari lesi kulit akibat garukan
yang justru akan memperberat kondisi DAnya. Efek sedasi ini akan memperbaiki kualitas tidur
tetapi dapat menghambat kemampuan konsentrasi pasien (Movita, 2014).
2.2.5 Siklosporin
Siklosporin merupakan agen makrolid dengan aktivitas imunosupresif. Siklosporin dapat
digunakan untuk menekan produksi sitokin. Penggunaanya sebagai terapi pada DA pada dewasa
telah direkomendasikan oleh FDA, namun pada anak belum direkomendasikan oleh FDA Dosis
dimulai pada 2,5 mg/Kg berat badan, dinaikkan 1 mg/Kg berat badan setiap 2 minggu hingga
maksimal 5 mg/Kg berat badan per hari dan diberikan selama 10 hari.Oleh karena adanya efek
hepatotoksik dan imunosupresif, pengobatan ini tidak disukai kecuali pada dermatitis atopik yang
refrakter terhadap pengobatan (Munasir, 2002; Natalia et al., 2011).
2.2.6 Metrotreksat
Digunakan untuk dermatitis atopik rekalsitran. Dosisnya adalah 2,5 mg per hari dan
diberikan 4 kali dalam seminggu. Terdapat laporan tentang penekanan sumsum tulang yang
berhubungan dengan dosis dan penggunaanya belum direkomendasikan FDA (Natalia et al.,
2011).
2.2.7 Azatriopin
Azatioprin efektif sebagai anti-inflamasi pada dermatitis atopik, baik sebagai obat tunggal
maupun untuk mengurangi dosis kortikosteroid. Obat ini dapat dipertimbangkan untuk digunakan
pada dermatitis atopik berat dan refrakter. Azatioprin merupakan obat kategori D dan
kontraindikasi pada kehamilan. Efek samping berupa supresi sumsum tulang dan hepatotoksik.
Obat ini belum direkomendasikan oleh FDA oleh karena sulitnya menentukan dosis, durasi
terapi, maupun efektivitasnya secara objektif (Natalia et al., 2011).
2.2.8 Lainnya (contoh: sediaan tar, inhibitor fosfodiesterase)
Sediaan tar dapat digunakan sebagai antipruritik dan antiinflamasi pada kulit. Sediaan tar
digunakan secara kombinasi dengan kortikosteroid untuk membantu dalam menurunkan kekuatan
dari kortikosteroid dan kombinasi untuk terapi sinar UV (Dipiro et al., 2005). Inhibitor
fosfodiesterase topikal merupakan kelas baru dalam antiinflamasi namun masih dalam uji klinis
(Eichenfield et al., 2014).
BAB III

3.1. Kasus
3.2. Bayi AD dibawa ibunya ke dokter anak dengan keluhan kulit pipi kemerahan, bundar,
bersisik di bagian tengah dan berair di bagian luar. Selain di pipi, kemerahan juga terjadi di
lipatan siku dan lutut. Bayi AD memiliki riwayat intoleransi laktosa sejak lahir. Bayi AD sering
menangis pada waktu malam hari, sering menggaruk bagian pipi sehingga menimbulkan
luka garuk yang berair.
3.3. Pemeriksaan fisik :
3.4. Tampak lesi kemerahan,bersisik, mengkilat dan berair terutama di bagian pipi, lipatan siku
dan lutut. Luka garuk pada bagian pipi, mengeluarkan darah dan sedikit pus. Kulit kering dan
tebal pada siku dan lutut.
3.5. Diagnosis : Atopic dermatitis
3.6. Terapi :
3.7. Apolar-N 1 tube, oles tipis setiap habis mandi, lapisi dengan krim bayi pada pipi, lipatan siku
dan lutut
3.8. Diprosalic 1 tube, campur dengan krim bayi, oleskan pada kulit kepala pada pagi dan sore
hari
3.9. Tiriz drop s.s.d.d.0,3 ml

3.10. Analisa Kasus

Anda mungkin juga menyukai