Anda di halaman 1dari 2

KECELAKAAN DI SUMUR MIGAS JAWA TIMUR

Oleh : Dr.-Ing. Ir. Rudi Rubiandini R.S. adalah Dosen ITB dan Ketua Majelis
Ahli IATMI (Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia)

Kejadian blowout di sumur Sukowati-5 dan Banjarpanji-1 Jawa Timur telah mencuat
menjadi berita yang sangat mengagetkan masyarakat, dan juga mencemari
lingkungan walaupun pelan tetapi pasti.
Selama ini kejadian blowout hanya tercatat pada industri migas, dan jarang sekali
mengakibatkan efek langsung kepada masyarakat. Justru keselamatan pekerja yang
memang dekat dengan sumber bencana sangat dikhawatirkan sehingga peraturan
keselamatan kerja bidang migas sangat ketat. Kita lihat pada kasus Sukowati
maupaun Sidoardjo tidak ada pekerja yang cedera, begitu pula dalam sejarah
blowout Indonesia maupun dunia. Hanya sedikit mencederai pekerja maupun
manusia pada umumnya.
Di Indonesia menurut catatan penulis dari tahun 1970 hingga 2006 setidaknya telah
terjadi blowout sebanyak 17 kali, sehingga hampir setiap 2-3 tahun terjadi
kecelakaan blowout pada saat pemboran sumur migas. Bila kegiatan pemboran 300-
350 sumur setiap tahun, maka berarti setiap 1000 sumur terjadi 1 kali kecelakaan
blowout atau setara dengan sepermil (1:1000). Dan sejarah menunjukan bahwa
seluruh kecelakaan blowout selalu dapat ditanggulangi. Cepat atau perlu waktu yang
lama, tergantung masalah yang dihadapi.
Faktor alamiah dalam kecelakaan

Blowout adalah proses saat fluida formasi (bawah tanah) keluar ke permukaan tidak
terkontrol. Biasanya dimulai dengan masuknya fluida (air, minyak, atau gas) ke
dalam lubang sumur yang sedang dibor, yang dikenal dengan istilah kic. Kemudian,
kick yang tidak bisa dikontrol akan mengakibatkan fluida mengalir sampai ke
permukaan yang dikenal sebagai blowout.
Sebenarnya pada saat kick terdeteksi, setiap ahli pemboran sudah dibekali dengan
keterampilan untuk menghentikannya yaitu dengan menggunakan metoda Pressure
Control. Namun kick seringkali datang dalam waktu yang sangat cepat dan kadang-
kadang tanda-tandanya sangat sulit untuk terdeteksi secara dini.
Faktor alamiah saat pemboran dilakukan justru sangat dominan dalam kasus kick ini,
karena pada saat akan mulai pemboran para pekerja hanya dibekali dengan prediksi
yang dibuat ahli geologi dan geofisika tentang lapisan batuan yang akan ditembus,
baik kualitas maupun perkiraan tekanannya. Karena itu kecelakaan kick dan blowout
tetap saja terjadi dan mungkin tetap akan terjadi pada pemboran-pemboran sumur
migas berikutnya.

Kasus Sukowati dan Sidoardjo


Blowout yang dikenal ada dua jenis, yaitu surface blowout (SBO) dan underground
blowout (UGBO), dimana SBO bila fluida keluar melalui lubang pemboran, sedangkan
UGBO bila keluar bukan dari lubang pemboran. Penanggulangan SBO jauh lebih
mudah dan cepat, tidak jarang dapat dilakukan hanya dalam beberapa jam, namun
UGBO memerlukan waktu yang cukup lama, umumnya antara 1 hingga 3 bulan.
Kasus di Sumur Sukowati-5 adalah masih dalam tahap kick, karena memang gas
yang terdeteksi segera ditangani dan dikeluarkan, kemudian dialirkan injeksi lumpur
berat yang sesuai dan pemboran dapat diteruskan sesuai rencana semula. Namun
bila kick ini tidak ditangani dengan tuntas, tidak dikeluarkan, bisa saja beberapa
waktu ke depan terjadi SBO ataupun UGBO. Gas yang keluar sangat berbahaya bila
dibiarkan lepas ke udara sehingga harus dibakar agar tidak membahayakan
penduduk
Kasus di Sumur Banjarpanji-1 (BJP-1)Sidoardjo diperkirakan sudah melewati masa
kick. Namun karena diikuti dengan UGBO (walaupun kepastiannya baru dapat
dibuktikan bila sumur lama sudah dapat ditembus). Akibatnya penanggulangannya
memakan waktu, ditambah lagi terdapatnya fish (peralatan pemboran yang
tertinggal di dalam lubang), sehingga sangat menyulitkan penanggulangannya.
Kekhasan sumur BJP-1 adalah, bukan gas atau minyak yang keluar, akan tetapi air-
asin-panas yang kemudian di perjalanan ke permukaan, menggerus tanah liat
(shale) sehingga muncul di permukaan menjadi lumpur-panas.
Penanggulangan di sumur BJP-1 bila fish jatuh maka dapat dilakukan dengan
Skenario-1 yaitu dengan membor semen penyekat di dalam casing, kemudian
langsung memasukan pipa sedalam mungkin, dan memompakan lumpur berat,
yang akhirnya melakukan penyemenan. Namun ternyata fish masih ada di tempat
semula, sehingga harus dilaksanaka Skenario-2 dengan melakukan sidetracking
yaitu membuat lubang berbelok dari sumur yang lama, kemudian kembali ke sumur
lama, dan langkah selanjutnya sama dengan Skenario-1. Pada saat yang bersamaan
juga dilakukan Skenario-3 yaitu melakukan relief well dari sumur baru pada posisi
yang cukup aman, kemudian berusaha mendekati sumur lama, dan langkah
selanjutnya sama dengan Skenario-1
Mengapa perlu Pemboran
Ketika bangsa ini mulai tumbuh melalui Repelita di awal tahun 70-an, devisa dari
minyak dan gas merupakan motor penggeraknya. Begitu pula ketika hutang harus
dibayar dan krisis moneter menerpa, maka migas salah satu tulang punggung
andalannya.
Untuk dapat memproduksi migas, satu-satunya cara adalah membuat lubang dari
permukaan sampai sumber migas tersebut. Kemudian cadangan migas bisa dimiliki
dan pada akhirnya menjadi devisa. Sebagai gambaran, bila tahun ini sumur dibor
300-350 buah, mungkin hanya 50-100 buah saja yang berpotensi dan itupun baru
bisa diproduksikan 5-10 tahun kemudian setelah secara ekonomis bisa diproses dan
dijual. Sehingga bukan tidak mungkin, walaupun sudah dilakukan pemboran, maka
sumur tersebut ditutup karena tidak ada isinya, atau tidak ekonomis untuk
diproduksi. Bisnis migas adalah bisnis yang beresiko finansial tinggi. Jadi pekerjaan
pemboran hari ini, akan menjadi jaminan 10-20 tahun ke depan untuk mendapatkan
devisa dari migas.
Penutup
Pemboran tidak harus dilarang di tempat sulit sekali pun, seperti di tempat yang
penuh penduduk, namun pemboran di tempat sulit harus dilakukan dengan standar
keselamatan dan keamanan yang tinggi, sehingga selain meningkatkan keselamatan
bagi para pekerja juga bagi lingkungan sekitar, termasuk penduduk.
Namun tentunya perbaikan harus terus diusahakan, mulai dari peralatan yang baik,
sampai pekerja yang memiliki keterampilan dan bersertifikat. Sehingga selama para
pekerja melakukannya sesuai kaidah keteknikan yang benar, walaupun terjadi
kecelakaan tetap mereka tidak pantas untuk menanggung akibatnya secara pribadi,
karena faktor alam yang penuh dengan resiko sudah merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dalam pemboran migas.
Begitu pula sebaliknya, disengaja atau kecelakaan, apabila mengakibatkan pihak lain
terugikan, maka tentunya harus bertanggung-jawab secara penuh, baik yang
bersifat finansial langsung maupun kerusakan lingkungan. Hukum lindung
lingkungan harus ditegakkan, agar masyarakat terlindungi, namun pekerja sebagai
pahlawan tanpa tanda jasa pun harus dilindungi dari profesinya.

Anda mungkin juga menyukai