PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
c. Membuat amnesia
D. Anastesi Spinal
Pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang subarakhnoid. Anestesia
spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik lokal ke dalam ruang
subarakhnoid di region antara lumbal 2 dan 3, lumbal 3 dan 4, lumbal 4 dan 5
dengan tujuan untuk mendapatkan blokade sensorik, relaksasi otot rangka dan
blokade saraf simpatis10. Beberapa nama lain dari anestesia spinal diantaranya
adalah analgesia spinal, analgesia subarakhnoid, blok spinal, blok arakhnoid,
anestesi subarakhnoid dan anestesi lumbal11. Teknik ini sederhana, cukup efektif
dan mudah dikerjakan4.
Anestesi spinal mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan
anestesia umum, khususnya untuk tindakan operasi abdomen bagian bawah,
perineum dan ekstremitas bawah. Anestesia spinal dapat menumpulkan respons
stress terhadap pembedahan, menurunkan perdarahan intraoperatif, menurunkan
kejadian tromboemboli postoperasi, dan menurunkan morbiditas dan mortalitas
pasien bedah dengan risiko tinggi
Mekanisme obat anestetik spinal
Mekanisme aksi obat anestesi lokal adalah mencegah transmisi impuls
saraf atau blokade konduksi dengan menghambat pengiriman ion natrium
melalui gerbang ion natrium selektif pada membran saraf 2. Obat bekerja
pada reseptor spesifik pada saluran natrium, mencegah peningkatan
permeabilitas sel saraf terhadap ion natrium dan kalium, sehingga hasilnya
tak terjadi konduksi saraf4. Obat anestesi lokal setelah masuk cairan
serebrospinal, berdifusi menyebrang selubung saraf dan membran, tetapi
hanya yang dalam bentuk basa yang bisa menembus membran lipid ini.
Ketika mencapai akson terjadi ionisasi dan dalam bentuk kation yang
bermuatan bisa mencapai reseptor pada saluran natrium. Akibatnya terjadi
blokade saluran natrium, hambatan konduksi natrium, penurunan kecepatan
dan derajat fase depolarisasi aksi potensial, dan terjadi blokade saraf12.
Obat anestesi lokal juga memblok kanal kalsium dan potasium dan
reseptor N-methyl-D-aspartat (NMDA) dengan derajat berbeda-beda. Tidak
semua serabut saraf dipengaruhi sama oleh obat anestesi lokal. Sensitivitas
terhadap blokade ditentukan dari diameter aksonal dan derajat mielinisasi
serta berbagai faktor anatomi dan fisiologi lain 2. Pada umumnya, serabut
saraf kecil dan bermielin lebih mudah diblok dibandingkan serabut saraf
besar tak bermielin14. Anestetik lokal lebih mudah menyekat serabut yang
berukuran kecil karena jarak propragasi pasif suatu impuls listrik melalui
serabut tadi lebih pendek. Semakin besar dan tebal suatu serabut saraf
(misalnya, neuron motorik), nodusnya makin terpisah jauh satu sama lain
sehingga sulit diblokade16. Diameter yang kecil dan sedikit atau tidak
memiliki mielin meningkatkan sensitivitas terhadap anestesi lokal dan akan
lebih mudah untuk diblok2,16. Sedangkan diameter yang besar dan mielin
yang tebal seperti pada saraf motorik akan lebih sulit untuk diblok. Saraf
simpatis dan sensoris mempunyai lebih sedikit mielin dibandingkan saraf
motorik16. Dengan demikian, sensitivitas saraf spinalis terhadap anestesi
lokal mulai dari autonom, sensorik, dan motorik2.
Secara umum tingginya blokade simpatis kira-kira 2-3 segmen lebih
tinggi daripada tingginya blokade sensorik dan tingginya blokade sensorik 2-
3 segmen lebih tinggi daripada blokade motorik. Hal ini dimungkinkan
karena konsentrasi obat anestesi lokal di dalam cairan serebrospinal
semakin kearah cephalad menjauh tempat injeksi akan berkurang, disamping
serabut saraf bermielin memerlukan paling tidak tiga nodus ranvier yang
berurutan harus diblok secara komplit untuk menghambat konduksi12. Maka
dari itu, urutan hilangnya fungsi sel saraf pada anestesi lokal sebagai berikut:
(1) simpatis (vasomotor) berupa dilatasi pembuluh darah arteri dan vena, (2)
sensoris suhu dan nyeri, (3) sensoris raba dan tekanan, (4) proprioseptif
berupa kesadaran akan posisi tubuh, (5) fungsi motorik14. Bila anestetik lokal
ini telah habis bekerja, maka fungsi-fungsi ini akan kembali dalam urutan
terbalik yakni fungsi motorik akan kembali dulu, kemudian sensasi raba dan
nyeri, serta terakhir respon simpatis akan normal kembali seperti tekanan
darah16.
Untuk kepentingan klinis, anestesi lokal dibedakan berdasarkan potensi
dan lama kerja menjadi 3 grup. Grup I meliputi prokain, kloroprokain yang
memiliki potensi dan lama kerja yang singkat. Grup II meliputi lidokain,
mepivakain dan prilokain yang memiliki potensi dan lama kerja sedang.
Grup III meliputi tetrakain, bupivakain, etidokain yang memiliki potensi
kuat dan lama kerja yang panjang. Anestesi lokal juga dibedakan
berdasarkan pada mula atau awal kerjanya seperti kloroprokain, lidokain,
mepivakain, prilokain, etidokain memiliki mula kerja yang relatif cepat,
bupivakain memiliki mula kerja sedang, sedangkan prokain dan tetrakain
bermula kerja lambat2.
Potensi dipengaruhi oleh kelarutan dalam lemak, makin larut makin
poten, karena itu merupakan kemampuan anestesi lokal untuk menembus
membran yang hidrofobik2,4. Secara umum, potensi dan kelarutan lemak
meningkat dengan meningkatnya jumlah total atom karbon pada molekul2.
Mula Kerja
Mula kerja obat anestetik lokal dipengaruhi juga oleh (1) kelarutan
dalam lemak, dimana obat dengan kelarutan lemak yang lebih rendah
biasanya memiliki onset yang lebih cepat2,11. (2) Konsentrasi relatif bentuk
larut lemak tidak terionisasi dan bentuk larut air terionisasi, yang
ditunjukkan oleh konstanta disosiasi (pKa) menentukan awal kerja.
Pengukurannya adalah pH dimana jumlah obat bentuk yang terionisasi dan
yang tidak terionisasi sama2,4. Obat anestetik lokal degan pKa mendekati pH
fisiologis akan mempunyai konsentrasi bentuk tak terionisasi lebih tinggi
sehingga dapat melewati membran saraf dan mengakibatkan mula kerja yang
lebih cepat11. (3) Alkalinisasi obat anestetik lokal mempercepat mula kerja,
meningkatkan kualitas blok dan memperpanjang lama blok dengan
meningkatkan jumlah basa bebas yang tersedia4,11.
Lama Kerja
Lama kerja obat anestetik lokal dipengaruhi oleh (1) kelarutan dalam
lemak, obat dengan kelarutan dalam lemak yang tinggi akan memiliki kerja
lebih panjang sebab lebih lambat dikeluarkan dari sirkulasi darah 2,4,11. (2)
Ikatan dengan protein (protein binding) mempengaruhi lama kerja, obat
dengan kelarutan lemak yang tinggi juga mempunyai ikatan protein plasma
yang tinggi terutama terhadap alfa-1 asam glikoprotein dan sedikit terhadap
albumin, sebagai konsekuensinya eliminasi memanjang2,4,11. (3) Potensi dan
lama kerja anestesi spinal berhubungan dengan sifat individual obat anestesi
dan ditentukan oleh kecepatan absorpsi sistemik, sehingga semakin tinggi
tingkat daya ikat protein pada reseptor, semakin panjang lama kerja anestesi
spinal tersebut. Potensi dan lama kerja dapat ditingkatkan dengan
meningkatkan konsentrasi dan dosis. Potensi yang kuat berhubungan dengan
tingginya kelarutan dalam lemak, karena hal ini akan memungkinkan
kelarutan dan memudahkan obat anestesi regional1. Pemilihan obat lokal
anestesi yang akan digunakan pada umumnya berdasar pada perkiraan durasi
dari pembedahan yang akan dilakukan dan kebutuhan pasien untuk segera
pulih dan mobilisasi10.
Patofisiologi
Pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang subarakhnoid di regio
vertebra. Lapisan yang harus ditembus untuk mencapai ruang subarakhnoid
dari luar yaitu kulit, subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum
interspinosum, ligamentum flavum, durameter, dan arakhnoid. Ruang
subarakhnoid berada diantara arakhnoid dan piameter, sedangakan ruang
antara ligamentum flavum dan durameter merupakan ruang epidural11,13.
Lokal anestetik yang dimasukkan ke dalam ruang subarakhnoid akan
memblok impuls sensorik, autonom dan motorik pada serabut saraf anterior
dan posterior yang melewati cairan serebrospinal. Serabut akar saraf
merupakan tempat aksi kerja utama pada anestesi spinal dan epidural, selain
itu bisa bekerja pada serabut akar saraf spinal dan akar ganglion dorsal.
Dalam anestesi spinal konsentrasi obat lokal anestetik di cairan serebrospinal
memiliki efek yang minimal pada medula spinalis13, 14.
Ada empat faktor yang mempengaruhi absorbsi anestetik lokal pada
ruang subarakhnoid, yaitu (1) konsentrasi anestetik lokal, konsentrasi
terbesar ada pada daerah penyuntikkan. Akar saraf spinal sedikit
mengandung epineurium dan impulsnya mudah dihambat, (2) daerah
permukaan saraf yang terpajan akan memudahkan absorpsi dari anestetik
lokal. Oleh karena itu semakin jauh penyebaran anestetik lokal dari tempat
penyuntikkan, maka akan semakin menurun konsentrasi anestetik lokal dan
absorpsi ke sel saraf juga menurun, (3) lapisan lipid pada serabut saraf, (4)
aliran darah ke sel saraf14. Absorbsi dan distribusi anestetik lokal setelah
penyuntikkan spinal ditentukan oleh banyak faktor antara lain dosis, volume
dan barisitas dari anestetik lokal serta posisi pasien14. Selanjutnya obat
memiliki akses bebas ke jaringan medula spinalis dan bekerja langsung pada
target lokal di membran sel saraf serta sebagian kecil dosis dapat
memberikan efek yang cepat. Anestetik lokal di cairan serebrospinal ini tidak
berikatan dengan protein terlebih dahulu13.
Daerah utama dari aksi blokade neuraksial adalah akar saraf. Anestesi
lokal disuntikkan ke CSF (anestesi spinal) atau ruang epidural (anestesi
epidural dan kaudal) dan menggenangi akar saraf dalam ruang subarachnoid
atau ruang epidural. Injeksi langsung anestesi lokal ke CSF untuk anestesi
spinal memungkinkan dosis yang relatif kecil dan volume anestesi lokal
untuk mencapai blokade sensorik dan motorik. Sebaliknya, anestesi lokal
pada epidural anestesi pada akar saraf memerlukan volume dan dosis yang
jauh lebih tinggi. Selain itu, tempat suntikan untuk anestesi epidural harus
dekat dengan akar saraf yang harus diblok. Blokade transmisi saraf
(konduksi) dalam pada serabut saraf posterior akan menghambat somatik
dan viseral, sedangkan blokade serabut akar saraf anterior mencegah eferen
motorik dan outflow otonom6.
Blokade somatik
Dengan mengganggu transmisi rangsangan nyeri dan menghilangkan
tonus otot rangka, blok neuraksial dapat memberikan kondisi operasi yang
sangat baik. Blok sensori menghambat stimulus nyeri baik pada somatik dan
viseral, sedangkan blokade motorik menghasilkan relaksasi otot rangka.
Pengaruh anestesi lokal pada serabut saraf bervariasi sesuai dengan ukuran
serabut saraf, apakah itu bermielin, konsentrasi yang dicapai dan lama
kontak. Akar saraf tulang belakang terdiri dari berbagai tipe serat saraf. Serat
lebih kecil dan bermielin umumnya lebih mudah diblokir daripada yang
lebih besar dan tidak bermielin. Fakta bahwa konsentrasi anestesi lokal
menurun dengan meningkatnya jarak dari level injeksi, menjelaskan
fenomena blokade diferensial. Diferensial blokade biasanya menghasilkan
blokade simpatik (dinilai oleh sensitivitas suhu) yang mungkin dua segmen
lebih tinggi dari blok sensorik (nyeri, sentuhan ringan), dan dua segmen
lebih tinggi dari blokade motorik6.
Blokade otonom
Interupsi dari transmisi eferen pada nervus spinal dan menyebabkan
blokade dari simpatik dan parasimpatik. Simpatik outflow spinal cord bisa
dideskripsikan sebagai torakolumbal dan parasimpatis disebut kraniosakral.
Serabut saraf praganglion simpatis (kecil, serabut termielinisasi tipe B)
keluar dari spinal cord dari T1 sampai L2 dan bisa menyebabkan rantai
simpatis ke atas maupun ke bawah sebelum bersinap dengan posganglion sel
pada ganglia simpatik. Anestesi neuroaksial tidak memblok nervus vagus.
Respon fisiologi dari anestesi ini adalah menurunkan kerja simpatis6.
Blok neuroaksial tipikal menyebabkan penurunan tekanan darah yang
disertai dengan penurunan detak jantung dan kontraktilitas jantung. Tonus
vasomotor secara primer ditentukan oleh serabut simpatik yang muncul dari
T5 dan L1, yang menginervasi otot polos arteri dan vena. Blokade dari
nervus ini menyebabkan vasodilatasi dari pembuluh vena, penurunan
pengisian darah dan menurunkan venous return ke jantung. Untuk beberapa
kasus vasodilatasi ateria dapat menyebabkan penurunan resistensi sistemik
pembuluh darah. Efek dari vasodilatasi atrial dapat diminimalisir dengan
cara mengkompensasi vasokonstriksi diatas blok. Blok simpatis yang tinggi
tidak hanya mengkompensasi vasokonstriksi tapi juga memblok serabut
akselarator jantung yang berasal dari T1-T4. Hipotensi bisa disebabkan oleh
bradikardi dan penurunan kontraktili jantung. Hal ini dapat diperbaiki
dengan cara meningkatkan venous return dengan meninggikan kepala6.
Efek kardiovaskular harus diantisipasi untuk meminimalkan hipotensi.
Hal ini diantisipasi dengan cara pemberian cairan intravena 10-20 mL/Kg
pada pasien sehat akan secara parsial berkompensasi untuk pengisian vena.
Walaupun dengan usaha ini hipotensi masih tetap terjadi dan harus ditangani
dengan tepat. Penanganan cairan dapat ditingkatkan dan autotransfusi dapat
dilakukan dengan cara menurunkan kepala pasien. Bradikardi berlebih dan
simptomatik harus ditangani dengan pemberian atropin dan hipotensi
diterapi menggunakan vasopresor. Direct α-adrenergic agonis (seperti
fenilefrin) meningkatkan tonus vena dan menyebabkan konstriksi arteriolar,
yang menyebabkan peningkatan aliran balik vena dan resistensi sistemik
vaskular. Efek langsung penggunaan efedrin adalah meningkatkan denyut
jantung dan kontraktilitas, sedangkan efek tidak langsung menghasilkan
beberapa vasokonstriksi. Jika hipotensi dan atau bradikardia bertahan
meskipun intervensi ini, epinefrin (5-10 g intravena) harus diberikan segera6.
Perubahan klinis yang signifikan dari fisiologi paru biasanya minimal
dengan blok neuraksial karena diafragma dipersarafi oleh saraf frenikus yang
berasal dari C3-C5. Bahkan dengan segmen thorakal tinggi, volume tidal
tidak berubah, hanya ada sedikit penurunan kapasitas vital, yang disebabkan
oleh hilangnya kontribusi otot perut 'untuk ekspirasi paksa6.
Pada prosedur pembedahan yang menyebabkan trauma menyebabkan
neuroendokrin trauma melalui respon inflamasi lokal dan aktivasi serat saraf
aferen somatik dan viceral. Respon ini termasuk peningkatan hormon
adrenokortikotropik, kortisol, epinefrin, norepinefrin, dan level vasopresin
melalui sistem aktivasi renin-angiotensin-aldosteron. Neuroaksial blokade
dapat menurunkan sebagian atau secara total respon stres ini6.
Eliminasi anestetik lokal terjadi melalui penyerapan oleh pembuluh
darah dalam ruang subarakhnoid dan epidural. Penyerapan ini terjadi pada
pembuluh darah di piameter dan medulla spinalis. Laju penyerapan
berhubungan dengan luas permukaan pembuluh darah yang kontak dengan
anestetik lokal. Anestetik lokal yang mempunyai kelarutan lemak yang
tinggi akan meningkatkan absorpsi kedalam jaringan, sehingga mengurangi
konsentrasi. Anestetik lokal juga berdifusi ke dalam ruang epidural dan
setelah di ruang epidural akan berdifusi ke dalam pembuluh darah epidural10.
Komplikasi
Komplikasi dapat dibagi menjadi beberapa kategori sebagai berikut:
ketinggian blokade saraf, lokasi jarum penyuntikkan dan toksisitas obat15.
a. Ketinggian blokade saraf bisa menimbulkan hipotensi sampai cardiac
arrest dan retensi urin. Ketinggian blokade saraf bisa terjadi akibat dosis
lebih dari anestetik lokal, kegagalan untuk mengurangi dosis pada pasien-
pasien yang rentan terhadap penyebaran berlebih anestetik lokal (usia tua,
hamil, obesitas dan pendek), peningkatan sensitifitas, penyebaran obat
yang berlebih. Gejala awal yang muncul berupa dispnea, rasa kebal atau
kelemahan pada lengan, mual bisa dikarenakan hipoperfusi otak, dan
hipotensi ringan sampai sedang9. Jika penyebaran anestetik lokal sampai
pada cervical maka akan muncul gejala hipotensi berat, bradikardia, gagal
nafas. Bila timbul gangguan kesadaran dan apnea, maka penanganan
airway dan breathing berupa pemberian oksigen, intubasi dan ventilasi
mekanik diperlukan. Selanjutnya penangan sirkulasi berupa pemberian
cairan intravena, posisi trendelenburg dan vasopresor15.
b. Lokasi penyuntikkan
1. Nyeri punggung15
Saat penyuntikkan dengan jarum pada bagian punggung akan memicu
repon peradangan yang akan menghasilkan kekakuan sementara.
Gejala dapat berlanjut lebih dari seminggu. Nyeri punggung ini bisa
merupakan tanda awal dari komplikasi hematoma spinal dan abses.
2. Postdural puncture headache15
Nyeri kepala terjadi akibat kebocoran cairan serebrospinal melewati
lubang pada durameter. Adanya penurunan tekanan intrakaranial akibat
kebocoran cairan serebrospinal. Ketika pasien dalam posisi tegak akan
ada traksi pada dura, tentorium dan pembuluh darah yang
menimbulkan nyeri. Gejala berupa nyeri kepala pada posisi duduk atau
berdiri dan berkurang bila berbaring, nyeri kepala bilateral, frontal,
retro orbita, oksipital dan menjalar ke leher. Onset nyeri ini 12-72 jam
setelah prosedur
3. Hematoma spinal15
Insidensi hematoma spinal pada anestesi spinal 1:220.000. adapun
faktor yang meningkatkan risiko hematoma spinal antara lain
pemakaian antikoagulan atau penyakit yang berhubungan dengan
koagulasi darah, penyuntikkan anestesi spinal berulang kali.
Perdarahan pada ruang subarachnoid akan mengompresi saraf dan
menimbulkan iskemia dan kerusakan sel saraf. Onset gejala berjalan
cepat berupa nyeri punggung dan tungkai bawah, hilang rasa dan
kelemahan progresif, disfungsi sfingter.
E. Anestesi Umum
Anestesi umum adalah tindakan untuk menghilangkan nyeri secara sentral
disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversible.
Anestesi memungkinkan pasien untuk mentoleransi prosedur bedah yang akan
menimbulkan sakit yang tak tertahankan, mempotensiasi eksaserbasi fisiologis
yang ekstrim, dan menghasilkan kenangan yang tidak menyenangkan.
Anestesi memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut:
1. Hipnotik/sedasi: hilangnya kesadaran
Induksi Anestesi
Halotan (fluotan)
Cegukan (hiccup)
Kesulitan intubasi
1. Leher pendek berotot
2. Mandibula menonjol
d. Intubasi bronkus
e. Intubasi esophagus
f. Aspirasi
g. Spasme bronkus
2. Setelah ekstubasi
a. Spasme laring
b. Aspirasi
c. Gangguan fonasi
d. Edema glottis-subglotis
Ekstubasi
1. Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika:
3. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut laring faring dari sekret dan
cairan lainnya.
G. Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum yang merupakan
pembungkus viscera dalam rongga perut. Peritonitis dapat terjadi akibat suatu
respon inflamasi atau supuratif dari peritoneum yang disebebakn oleh iritasi
kimiawi atau invasi bakteri.
1. Anatomi
a. Intraperitoneum :
b. Retroperitoneum :
2. Etiologi
Peritonitis spontan (pada pasien dengan penyakit hati kronik, dimana 10-
30% pasien dengan sirosis hepatis yang mengalami sirosis hepatis
yang mengalami asites akan menderita peritonitis bacterial spontan
b. Penyebab sekunder :
- Perforasi apendiks
c. Penyebab tersier :
Infeksi rekuren atau persisten sesudah terapi awal yang adekuat, timbul
pada pasien dengan kondisikomorbid sebelumnya, dan pada pasien
imunokompromais. (riwayat sirosis hepatis dan Tb).
c. Peritonitis sekunder
3. Patofisiologi
4. Gejala klinik
5. Diagnose
6. Pemeriksaan penunjang
7. Terapi
BAB III
LAPORAN KASUS
A. Identitas pasien
B. Anamnesis
• Nadi : 78 x/menit
• Pernapasan : 24 x/mnit
• Suhu : 37, 3 ºC
I : Tampak cembung
A: Peristaltik (+) kesan menurun
P : timpani
P : Nyeri tekan (+) regio umbilical- region inguinal dextra
4) Ekstremitas atas – bawah
D. Pemeriksaan penunjang
App perforasi
E. Diagnosis
Susp. Peritonitis e.c Appendisitis perforasi
Kesimpulan : berdasarkan pemeriksaan fisik temasuk kategori PS ASA I.E
F. Penatalaksanaan
• Pasang NGT
• Pasang kateter
• Pro. Laparotomi
Pemberian cairan :
Pasien digolongkan mengalami dehidrasi sedang, karena:
Turgor kulit jelek, mukosa bibir kering, mata cekung disertai tanda-tanda
intravaskuler minimal deficit 8%
1) Anamnesis (autoanamnesis)
Akral hangat, bunyi jantung S1 dan SII murni regular. Masalah pada
kardiavaskular (-)
o B3 (Brain)
BAK (+) via kateter volume ±800 cc/24 jam berwarna kecoklatan
o B5 (bowel)
3) Persiapan pre-operatif
a. Di ruangan
b. Di kamar operasi
o Nadi : 88x/menit
o Respirasi : 23x/menit
o Suhu : 37 ºC
Table
S Scope Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan
jantung.
Laringo-Scope: pilih bilah atau daun (blade) yang
sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup
terang.
H. Planning
Obat premedikasi :-
Obat induksi : Inj. Bupivacaine HCl 0,5% 15 mg, sevofluran 4 vol %
o Maintenance anestesi : inh. O2 2-3 lpm
- Midazolam 5 mg
- Petidin 50 mg
- Tracrium 30 mg
- Ranitidine 50 mg
- Ondancentron 4 mg
- Asam tranexamat 25 mg
- Efedrin 10 mg
- Ketorolac 30 mg
Pemberian cairan
a. Cairan masuk
A. Perhitungan cairan
o GCS : E3V3M4
o Nadi : 100
o Respirasi : 22x/menit
o Temperature : 36,6 ºC
Laporan Anestesi
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
' ' ' 0 ' ' ' ' ' 0 ' ' ' ' ' 0 ' ' ' ' '
30 40 50 4,0 10 20 30 40 50 5,0 10 20 30 40 50 6,0 10 20 30 40 50
1 1 1
Pasien Tn. M.R umur 42 tahun dengan diagnosis “peritonitis e.c Appendicitis
perforasi”, dilakukan tindakan laparotomy pada tanggal 30 desember 2017 pukul
15.30 WITA. Diagnosis pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Pasien sebelumnya masuk rumah sakit pada tanggal
29 desember 2017 pada jam 15.00 WITA.
Sebelum dilakukan anestesi sebaiknya dilakukan pemberian cairan secara
cepat. Tujuan dilakukannya pemberian cairan ini adalah untuk meminimalisir efek
samping dari anestesi spinal berupa hipotensi akibat blokade simpatis dengan cara
menambah volume intravaskuler. Pemberian cairan dapat diberikan baik
menggunakan kristaloid ataupun koloid yang memiliki masa intravaskuler lebih lama
dengan berat molekul yang lebih tinggi. Selain itu pasien juga mengalami dehidrasi
sedang.
Adapun penatalaksaan atau terapi cairan yang diperoleh dari pasien ini saat berada di
ruang perawatan adalah sebagai berikut :
- Pasien digolongkan mengalami dehidrasi sedang, karena:turgor kulit jelek,
mukosa bibir kering, mata cekung disertai tanda-tanda intravaskuler minimal
deficit 8%
Sehingga
Jumlah defisit saat ini = 5200 – 1780 = 3420 ml
maintenance
- 16 jam (kedua) : 2600 ml = 163 cc/jam = 2,7 ml/mnt = 54 Tpm
Pada tanggal 30 desember 2017 pasien direncanakan untuk dilakukan operasi CITO.
Adapun tahapan persiapannya dilakukan informed consent terkait tindakan yang akan
diberikan beserta konsenkuensinya. Selain itu dilakukan anamnesis dan pemeriksaan
fisik sebelum dilakukannya tindakan anestesi.Penentuan kesehatan pasien
berdasarkan American Society of Anesthesiologist. Adapun pembagian kategori ASA
adalah sebagai berikut :4
PS 1 : pasien tidak memiliki kelainan organic maupun sistemik selain
penyakit yang akan dioperasi
Pilihan anestesi yang dilakukan pada pasien ini adalah jenis anestesi
kombinasi antara regional (Subarachnoid Block (SAB) dan anestesi umum (Intubasi
endotrakheal). Pada awalnya jenis anestesi yang diberikan adalah regional, namun
dikarenakan waktu perlangsungan operasi yang memanjang, maka anestesi umum di
tambahkan. Alasan pemilihan teknik anestesi regional adalah sesuai dengan indikasi
anestesi spinal, yaitu :bedah abdomen bagian atas, bedah abdomen bawah, tindakan
pembedahan pada rectum-perineum dan pada ekstremitas bawah. Untuk operasi yang
besar hampir selalu membutuhkan teknik anestesi umum dengan intubasi trachea dan
napas terkendali dengan bantuan obat pelumpuh otot. Cara ini menghindari
pemakaian obat anestesi yang banyak dan memastikan oksigenasi baik.
Sebelum dilakukannya anestesi pasien diberikan cairan pre-operatif berupa
cairan kristaloid RL dengan jumlah 500 cc yang diberikan saat di ruang tunggu
operasi.
Adapun output cairan selama operatif sebanyak 2050ml yang terdiri dari
kebutuhan cairan intra-operatif (stress operasi/pengganti cairan third space) selama
operasi adalah 520 ml/jam. Adapun perlangsungan operasi yang dilakukan pada
pasien adalah selama 2,5 jam, sehingga cairan intra-operatif (stress operasi/pengganti
cairan third space) selama operasi adalah 1300 ml. Selain itu cairan yang keluar
selama operasi berupa urin 150 ml, perdarahan ± 200 ml,dan cairan lambung via NGT
400 ml, sehingga jumlah kebutuhan cairan salam operasi adalah 2050 ml. Pasien
sebelumnya masih memiliki difisit cairan sebelum operasi sebanyak 3420 ml.
Adapun cairan yang didapatkan pasien selama operasi terdiri dari cairan
kristaloid RL sebanyak 1200 ml ditambahkan cairan koloid sebanyak 500 ml,
sehingga total input cairan selama operasi pada pasien ini adalah 1700 ml.
Berdasarkan input dan output cairan yang didapatkan pada pasien sebelum
hingga selama operasi masih memiliki deficit.Adapun deficit cairan yang dialami
pada pasien ini adalah 3670 ml.
Perhitungan cairan
- Kebutuhan cairan pre-operasi (defisi cairan)
Cairan deficit pengganti puasa (PP) / saat pasien mengalami dehidrasi= Jumlah
deficit sebelumnya = 5200 – 1780 = 3420 ml
Adapun MABL (Maximum Allowed Blood loss) pada pasien ini adalah
sebagai berikut. EBV (Estimate Blood Volume) pada pasien :
EBV = volume berat badan x BBkg
= 75 ml/kg x 65 kg
= 4875 ml
Jumlah perdarahan pada pasien ini :± 200 ml
% perdarahan : 200/4875 x 100% = 4,1 %
MABL :
( Ht pasien−Ht konstanta )
MABL=EBV x
Ht pasien+ Ht konstanta
2
( 39,6−25 )
MABL=4875 x
39,6+ 25
2
MABL = 2203 ml
Adapun jumlah perdarahan yang dialami pada pasien ini adalah sebanyak ±
200 ml, sedangkan jumlah kehilangan total darah maksimal pada pasien ini adalah
2203 ml, sehingga pada pasien ini tidak perlu untuk dilakukan transfuse darah.
Penatalaksanaan dehidrasi ditujukan untuk mengatasi deficit cairan dan
elektrolit. Adapun kebutuhan elektrolit yang dibutuhkan pada pasien ini adalah :
Jumlah kebutuhan Natrium 2-3 mEq/kg bb/24 jam
Jumlah Kalium 1-2 mEq/kg bb/24 jam
Sehingga pada pasien dapat ditetapkan kebutuhan elektrolit :
Kadar natrium : 65 kg x 2-3 mEq = 130 – 195 mEq
Kadar kalium : 65 kg x 1-2 mEq = 65 – 130 mEq
Pada pasien ini pemeriksaan elektrolit belum dilakukan. Sehingga jumlah
elektrolit dalam tubuh pasien belum bisa diketahui.
Pada akhir proses pembedahan pasien dipindahkan ke ruang pemulihan dan
melanjutkan oksigenasi 3 lpm dengan kanul oksigen, diawasi tanda vital.
Skor pemulihan pasca anestesi, berdasarkan aldrette skor didapatkan 7, yang terdiri
atas :
- Sirkulasi : TD +/- 20 mmHg dari normal (2)
Jika jumlah skor Aldrette >8 penderita dapat di pindahkan ke ruangan. Namun
pada pasien ini dikarenakan skor Aldrette yang didapatkan 7 dan pasien
membutuhkan pemantauan canggi di ICU sebab sangat berisiko jika tidak mendapat
terapi intensif segera. Maka pasien di pindahkan ke ruang ICU untuk mendapatkan
perawatan yang lebih intensif.
BAB V
KESIMPULAN
3. Usaha pemulihan kembali volume serta komposisi cairan dan elektrolit tubuh
dalam kondisi yang normal disebut resusitasi cairan dan elektrolit.
4. Dehidrasi terjadi karena pengeluaran air lebih banyak daripada jumlah yang
masuk, dan kehilangan cairan ini juga disertai dengan hilangnya elektrolit.
DAFTAR PUSTAKA
2. Leksana, E. 2015. Strategig Terapi cairan pada Dehidrasi. SMF Anestesi dan
terapi intensif RSUP dr.Kariadi/ Fakultas kedokteran Universitas Diponegoro.
Semarang.
5. Mangku, Gde dan Tjokorda Gde Agung S. 2010. Buku Ajar Ilmu Anastesi
danReanimasi. Indeks : Jakarta.