Anda di halaman 1dari 44

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesi adalah pemberian obat untuk menghilangkan kesadaran secara


sementara dan biasanya ada kaitannya dengan pembedahan. Secara garis besar
anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesi umum dan anestesi regional. 1
Anestesi umum adalah tindakan anestesi yang dilakukan dengan cara
menghilangkan nyeri secara sentral, disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih
kembali atau reversibel. Pada anestesi umum harus memenuhi beberapa hal ini yaitu
hipnotik, analgesi, relaksasi otot diperlukan untuk mengurangi tegangnya tonus otot
sehingga akan mempermudah tindakan pembedahan, stabilisasi otonom. 1
Intubasi trakea ialah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea
melalui rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea
antara pita suara dan bifurkasio trakea. Indikasi sangat bervariasi. 3
Anestesi regional memiliki berbagai macam teknik penggunaan salah satu
teknik yang dapat diandalkan adalah melalui tulang belakang atau anestesi spinal 1,3.
Anestesi spinal adalah pemberian obat antestetik lokal ke dalam ruang subarakhnoid 4.
Anestesi spinal diindikasikan terutama untuk bedah ekstremitas inferior, bedah
panggul, tindakan sekitar rektum dan perineum, bedah obstetri dan ginekologi, bedah
urologi, bedah abdomen bawah dan operasi ortopedi ekstremitas inferior1.
Pemilihan teknik anastesi pada anastesi umum didasarkan pada jenis operasi
yangakan dilakukan, usia, jenis kelamin, status fisik pasien, keterampilan
pelaksanaananastesi, ketersediaan alat, serta permintaan pasien.4
Peritonitis adalah radang peritoneum dengan eksudasi serum, fibrin, sel-sel,
dan pus; biasanya disertai dengan gejala nyeri abdomen dan nyeri tekan pada
abdomen, konstipasi, muntah, dan demam peradangan yang biasanya disebabkanoleh infeksi
pada peritoneum.5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Penilaian dan persiapan pra anestesia


Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor terjadinya
kecelakaan dalam anestesia. Sebelum pasien dibedah sebaiknya dilakukan
kunjungan pasien terlebih dahulu sehingga pada waktu pasien dibedah pasien
dalam keadaan bugar. Tujuan dari kunjungan tersebut adalah untuk mengurangi
angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas
pelayanan kesehatan.
B. Penilaian pra bedah
Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia sebelumnya
sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat
perhatian khusus,misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau
sesak nafas pasca bedah, sehingga dapat dirancang anestesia berikutnya
dengan lebih baik. Beberapa penelitit menganjurkan obat yang kiranya
menimbulkan masalah dimasa lampau sebaiknya jangan digunakan ulang,
misalnya halotan jangan digunakan ulang dalam waktu tiga bulan,
suksinilkolin yang menimbulkan apnoe berkepanjangan juga jangan diulang.
Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar sangat
penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi
intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi.
Pemeriksaan rutin secara sistemik tentang keadaan umum tentu tidak
boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua
system organ tubuh pasien.
Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan
dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi
pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa pembekuan)
dan urinalisis. Pada usia pasien diatas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG
dan foto thoraks.

Kebugaran untuk anestesia


Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk
menyiapkan agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi sito
penundaan yang tidak perlu harus dihindari.
Klasifikasi status fisik
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik
seseorang adalah yang berasal dari The American Society of
Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat prakiraan resiko
anestesia, karena dampaksamping anestesia tidak dapat dipisahkan dari
dampak samping pembedahan.
Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas
rutin terbatas.
Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan
aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman
kehidupannya setiap saat.
Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa
pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama
pada pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk meminimalkan risiko
tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan
anestesia harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selamaperiode
tertentu sebelum induksi anestesia.
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan
pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam
sebeluminduksi anestesia. Minuman bening, air putih teh manis sampai 3 jam
dan untuk keperluan minumobat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam
sebelum induksi anestesia.
C. Premedikasi

Sebelum pasien diberi obat anestesia, langkah selanjutnya adalah dilakukan


premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi anestesia diberi dengan tujuan
untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi diantaranya:
1. Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien

a. Menghilangkan rasa khawatir


b. Memberikan ketenangan (sedative)

c. Membuat amnesia

d. Mengurangi rasa sakit (analgesic non/narkotik)

e. Mencegah mual dan muntah

2. Memudahkan atau memperlancar induksi

a. Pemberian hipnotik sedative atau narkotik

3. Mengurangi jumlah obat-obat anestesi

a. Pemberian hipnotik sedative atau narkotik

4. Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan (muntah/liur)

5. Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan lambung

a. Pemberian antikolinergik atropine, primperan, rantin, H2 antagonis

6. Mengurangi rasa sakit

D. Anastesi Spinal
Pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang subarakhnoid. Anestesia
spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik lokal ke dalam ruang
subarakhnoid di region antara lumbal 2 dan 3, lumbal 3 dan 4, lumbal 4 dan 5
dengan tujuan untuk mendapatkan blokade sensorik, relaksasi otot rangka dan
blokade saraf simpatis10. Beberapa nama lain dari anestesia spinal diantaranya
adalah analgesia spinal, analgesia subarakhnoid, blok spinal, blok arakhnoid,
anestesi subarakhnoid dan anestesi lumbal11. Teknik ini sederhana, cukup efektif
dan mudah dikerjakan4.
Anestesi spinal mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan
anestesia umum, khususnya untuk tindakan operasi abdomen bagian bawah,
perineum dan ekstremitas bawah. Anestesia spinal dapat menumpulkan respons
stress terhadap pembedahan, menurunkan perdarahan intraoperatif, menurunkan
kejadian tromboemboli postoperasi, dan menurunkan morbiditas dan mortalitas
pasien bedah dengan risiko tinggi
 Mekanisme obat anestetik spinal
Mekanisme aksi obat anestesi lokal adalah mencegah transmisi impuls
saraf atau blokade konduksi dengan menghambat pengiriman ion natrium
melalui gerbang ion natrium selektif pada membran saraf 2. Obat bekerja
pada reseptor spesifik pada saluran natrium, mencegah peningkatan
permeabilitas sel saraf terhadap ion natrium dan kalium, sehingga hasilnya
tak terjadi konduksi saraf4. Obat anestesi lokal setelah masuk cairan
serebrospinal, berdifusi menyebrang selubung saraf dan membran, tetapi
hanya yang dalam bentuk basa yang bisa menembus membran lipid ini.
Ketika mencapai akson terjadi ionisasi dan dalam bentuk kation yang
bermuatan bisa mencapai reseptor pada saluran natrium. Akibatnya terjadi
blokade saluran natrium, hambatan konduksi natrium, penurunan kecepatan
dan derajat fase depolarisasi aksi potensial, dan terjadi blokade saraf12.
Obat anestesi lokal juga memblok kanal kalsium dan potasium dan
reseptor N-methyl-D-aspartat (NMDA) dengan derajat berbeda-beda. Tidak
semua serabut saraf dipengaruhi sama oleh obat anestesi lokal. Sensitivitas
terhadap blokade ditentukan dari diameter aksonal dan derajat mielinisasi
serta berbagai faktor anatomi dan fisiologi lain 2. Pada umumnya, serabut
saraf kecil dan bermielin lebih mudah diblok dibandingkan serabut saraf
besar tak bermielin14. Anestetik lokal lebih mudah menyekat serabut yang
berukuran kecil karena jarak propragasi pasif suatu impuls listrik melalui
serabut tadi lebih pendek. Semakin besar dan tebal suatu serabut saraf
(misalnya, neuron motorik), nodusnya makin terpisah jauh satu sama lain
sehingga sulit diblokade16. Diameter yang kecil dan sedikit atau tidak
memiliki mielin meningkatkan sensitivitas terhadap anestesi lokal dan akan
lebih mudah untuk diblok2,16. Sedangkan diameter yang besar dan mielin
yang tebal seperti pada saraf motorik akan lebih sulit untuk diblok. Saraf
simpatis dan sensoris mempunyai lebih sedikit mielin dibandingkan saraf
motorik16. Dengan demikian, sensitivitas saraf spinalis terhadap anestesi
lokal mulai dari autonom, sensorik, dan motorik2.
Secara umum tingginya blokade simpatis kira-kira 2-3 segmen lebih
tinggi daripada tingginya blokade sensorik dan tingginya blokade sensorik 2-
3 segmen lebih tinggi daripada blokade motorik. Hal ini dimungkinkan
karena konsentrasi obat anestesi lokal di dalam cairan serebrospinal
semakin kearah cephalad menjauh tempat injeksi akan berkurang, disamping
serabut saraf bermielin memerlukan paling tidak tiga nodus ranvier yang
berurutan harus diblok secara komplit untuk menghambat konduksi12. Maka
dari itu, urutan hilangnya fungsi sel saraf pada anestesi lokal sebagai berikut:
(1) simpatis (vasomotor) berupa dilatasi pembuluh darah arteri dan vena, (2)
sensoris suhu dan nyeri, (3) sensoris raba dan tekanan, (4) proprioseptif
berupa kesadaran akan posisi tubuh, (5) fungsi motorik14. Bila anestetik lokal
ini telah habis bekerja, maka fungsi-fungsi ini akan kembali dalam urutan
terbalik yakni fungsi motorik akan kembali dulu, kemudian sensasi raba dan
nyeri, serta terakhir respon simpatis akan normal kembali seperti tekanan
darah16.
Untuk kepentingan klinis, anestesi lokal dibedakan berdasarkan potensi
dan lama kerja menjadi 3 grup. Grup I meliputi prokain, kloroprokain yang
memiliki potensi dan lama kerja yang singkat. Grup II meliputi lidokain,
mepivakain dan prilokain yang memiliki potensi dan lama kerja sedang.
Grup III meliputi tetrakain, bupivakain, etidokain yang memiliki potensi
kuat dan lama kerja yang panjang. Anestesi lokal juga dibedakan
berdasarkan pada mula atau awal kerjanya seperti kloroprokain, lidokain,
mepivakain, prilokain, etidokain memiliki mula kerja yang relatif cepat,
bupivakain memiliki mula kerja sedang, sedangkan prokain dan tetrakain
bermula kerja lambat2.
Potensi dipengaruhi oleh kelarutan dalam lemak, makin larut makin
poten, karena itu merupakan kemampuan anestesi lokal untuk menembus
membran yang hidrofobik2,4. Secara umum, potensi dan kelarutan lemak
meningkat dengan meningkatnya jumlah total atom karbon pada molekul2.
 Mula Kerja
Mula kerja obat anestetik lokal dipengaruhi juga oleh (1) kelarutan
dalam lemak, dimana obat dengan kelarutan lemak yang lebih rendah
biasanya memiliki onset yang lebih cepat2,11. (2) Konsentrasi relatif bentuk
larut lemak tidak terionisasi dan bentuk larut air terionisasi, yang
ditunjukkan oleh konstanta disosiasi (pKa) menentukan awal kerja.
Pengukurannya adalah pH dimana jumlah obat bentuk yang terionisasi dan
yang tidak terionisasi sama2,4. Obat anestetik lokal degan pKa mendekati pH
fisiologis akan mempunyai konsentrasi bentuk tak terionisasi lebih tinggi
sehingga dapat melewati membran saraf dan mengakibatkan mula kerja yang
lebih cepat11. (3) Alkalinisasi obat anestetik lokal mempercepat mula kerja,
meningkatkan kualitas blok dan memperpanjang lama blok dengan
meningkatkan jumlah basa bebas yang tersedia4,11.
 Lama Kerja
Lama kerja obat anestetik lokal dipengaruhi oleh (1) kelarutan dalam
lemak, obat dengan kelarutan dalam lemak yang tinggi akan memiliki kerja
lebih panjang sebab lebih lambat dikeluarkan dari sirkulasi darah 2,4,11. (2)
Ikatan dengan protein (protein binding) mempengaruhi lama kerja, obat
dengan kelarutan lemak yang tinggi juga mempunyai ikatan protein plasma
yang tinggi terutama terhadap alfa-1 asam glikoprotein dan sedikit terhadap
albumin, sebagai konsekuensinya eliminasi memanjang2,4,11. (3) Potensi dan
lama kerja anestesi spinal berhubungan dengan sifat individual obat anestesi
dan ditentukan oleh kecepatan absorpsi sistemik, sehingga semakin tinggi
tingkat daya ikat protein pada reseptor, semakin panjang lama kerja anestesi
spinal tersebut. Potensi dan lama kerja dapat ditingkatkan dengan
meningkatkan konsentrasi dan dosis. Potensi yang kuat berhubungan dengan
tingginya kelarutan dalam lemak, karena hal ini akan memungkinkan
kelarutan dan memudahkan obat anestesi regional1. Pemilihan obat lokal
anestesi yang akan digunakan pada umumnya berdasar pada perkiraan durasi
dari pembedahan yang akan dilakukan dan kebutuhan pasien untuk segera
pulih dan mobilisasi10.
 Patofisiologi
Pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang subarakhnoid di regio
vertebra. Lapisan yang harus ditembus untuk mencapai ruang subarakhnoid
dari luar yaitu kulit, subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum
interspinosum, ligamentum flavum, durameter, dan arakhnoid. Ruang
subarakhnoid berada diantara arakhnoid dan piameter, sedangakan ruang
antara ligamentum flavum dan durameter merupakan ruang epidural11,13.
Lokal anestetik yang dimasukkan ke dalam ruang subarakhnoid akan
memblok impuls sensorik, autonom dan motorik pada serabut saraf anterior
dan posterior yang melewati cairan serebrospinal. Serabut akar saraf
merupakan tempat aksi kerja utama pada anestesi spinal dan epidural, selain
itu bisa bekerja pada serabut akar saraf spinal dan akar ganglion dorsal.
Dalam anestesi spinal konsentrasi obat lokal anestetik di cairan serebrospinal
memiliki efek yang minimal pada medula spinalis13, 14.
Ada empat faktor yang mempengaruhi absorbsi anestetik lokal pada
ruang subarakhnoid, yaitu (1) konsentrasi anestetik lokal, konsentrasi
terbesar ada pada daerah penyuntikkan. Akar saraf spinal sedikit
mengandung epineurium dan impulsnya mudah dihambat, (2) daerah
permukaan saraf yang terpajan akan memudahkan absorpsi dari anestetik
lokal. Oleh karena itu semakin jauh penyebaran anestetik lokal dari tempat
penyuntikkan, maka akan semakin menurun konsentrasi anestetik lokal dan
absorpsi ke sel saraf juga menurun, (3) lapisan lipid pada serabut saraf, (4)
aliran darah ke sel saraf14. Absorbsi dan distribusi anestetik lokal setelah
penyuntikkan spinal ditentukan oleh banyak faktor antara lain dosis, volume
dan barisitas dari anestetik lokal serta posisi pasien14. Selanjutnya obat
memiliki akses bebas ke jaringan medula spinalis dan bekerja langsung pada
target lokal di membran sel saraf serta sebagian kecil dosis dapat
memberikan efek yang cepat. Anestetik lokal di cairan serebrospinal ini tidak
berikatan dengan protein terlebih dahulu13.
Daerah utama dari aksi blokade neuraksial adalah akar saraf. Anestesi
lokal disuntikkan ke CSF (anestesi spinal) atau ruang epidural (anestesi
epidural dan kaudal) dan menggenangi akar saraf dalam ruang subarachnoid
atau ruang epidural. Injeksi langsung anestesi lokal ke CSF untuk anestesi
spinal memungkinkan dosis yang relatif kecil dan volume anestesi lokal
untuk mencapai blokade sensorik dan motorik. Sebaliknya, anestesi lokal
pada epidural anestesi pada akar saraf memerlukan volume dan dosis yang
jauh lebih tinggi. Selain itu, tempat suntikan untuk anestesi epidural harus
dekat dengan akar saraf yang harus diblok. Blokade transmisi saraf
(konduksi) dalam pada serabut saraf posterior akan menghambat somatik
dan viseral, sedangkan blokade serabut akar saraf anterior mencegah eferen
motorik dan outflow otonom6.
 Blokade somatik
Dengan mengganggu transmisi rangsangan nyeri dan menghilangkan
tonus otot rangka, blok neuraksial dapat memberikan kondisi operasi yang
sangat baik. Blok sensori menghambat stimulus nyeri baik pada somatik dan
viseral, sedangkan blokade motorik menghasilkan relaksasi otot rangka.
Pengaruh anestesi lokal pada serabut saraf bervariasi sesuai dengan ukuran
serabut saraf, apakah itu bermielin, konsentrasi yang dicapai dan lama
kontak. Akar saraf tulang belakang terdiri dari berbagai tipe serat saraf. Serat
lebih kecil dan bermielin umumnya lebih mudah diblokir daripada yang
lebih besar dan tidak bermielin. Fakta bahwa konsentrasi anestesi lokal
menurun dengan meningkatnya jarak dari level injeksi, menjelaskan
fenomena blokade diferensial. Diferensial blokade biasanya menghasilkan
blokade simpatik (dinilai oleh sensitivitas suhu) yang mungkin dua segmen
lebih tinggi dari blok sensorik (nyeri, sentuhan ringan), dan dua segmen
lebih tinggi dari blokade motorik6.
 Blokade otonom
Interupsi dari transmisi eferen pada nervus spinal dan menyebabkan
blokade dari simpatik dan parasimpatik. Simpatik outflow spinal cord bisa
dideskripsikan sebagai torakolumbal dan parasimpatis disebut kraniosakral.
Serabut saraf praganglion simpatis (kecil, serabut termielinisasi tipe B)
keluar dari spinal cord dari T1 sampai L2 dan bisa menyebabkan rantai
simpatis ke atas maupun ke bawah sebelum bersinap dengan posganglion sel
pada ganglia simpatik. Anestesi neuroaksial tidak memblok nervus vagus.
Respon fisiologi dari anestesi ini adalah menurunkan kerja simpatis6.
Blok neuroaksial tipikal menyebabkan penurunan tekanan darah yang
disertai dengan penurunan detak jantung dan kontraktilitas jantung. Tonus
vasomotor secara primer ditentukan oleh serabut simpatik yang muncul dari
T5 dan L1, yang menginervasi otot polos arteri dan vena. Blokade dari
nervus ini menyebabkan vasodilatasi dari pembuluh vena, penurunan
pengisian darah dan menurunkan venous return ke jantung. Untuk beberapa
kasus vasodilatasi ateria dapat menyebabkan penurunan resistensi sistemik
pembuluh darah. Efek dari vasodilatasi atrial dapat diminimalisir dengan
cara mengkompensasi vasokonstriksi diatas blok. Blok simpatis yang tinggi
tidak hanya mengkompensasi vasokonstriksi tapi juga memblok serabut
akselarator jantung yang berasal dari T1-T4. Hipotensi bisa disebabkan oleh
bradikardi dan penurunan kontraktili jantung. Hal ini dapat diperbaiki
dengan cara meningkatkan venous return dengan meninggikan kepala6.
Efek kardiovaskular harus diantisipasi untuk meminimalkan hipotensi.
Hal ini diantisipasi dengan cara pemberian cairan intravena 10-20 mL/Kg
pada pasien sehat akan secara parsial berkompensasi untuk pengisian vena.
Walaupun dengan usaha ini hipotensi masih tetap terjadi dan harus ditangani
dengan tepat. Penanganan cairan dapat ditingkatkan dan autotransfusi dapat
dilakukan dengan cara menurunkan kepala pasien. Bradikardi berlebih dan
simptomatik harus ditangani dengan pemberian atropin dan hipotensi
diterapi menggunakan vasopresor. Direct α-adrenergic agonis (seperti
fenilefrin) meningkatkan tonus vena dan menyebabkan konstriksi arteriolar,
yang menyebabkan peningkatan aliran balik vena dan resistensi sistemik
vaskular. Efek langsung penggunaan efedrin adalah meningkatkan denyut
jantung dan kontraktilitas, sedangkan efek tidak langsung menghasilkan
beberapa vasokonstriksi. Jika hipotensi dan atau bradikardia bertahan
meskipun intervensi ini, epinefrin (5-10 g intravena) harus diberikan segera6.
Perubahan klinis yang signifikan dari fisiologi paru biasanya minimal
dengan blok neuraksial karena diafragma dipersarafi oleh saraf frenikus yang
berasal dari C3-C5. Bahkan dengan segmen thorakal tinggi, volume tidal
tidak berubah, hanya ada sedikit penurunan kapasitas vital, yang disebabkan
oleh hilangnya kontribusi otot perut 'untuk ekspirasi paksa6.
Pada prosedur pembedahan yang menyebabkan trauma menyebabkan
neuroendokrin trauma melalui respon inflamasi lokal dan aktivasi serat saraf
aferen somatik dan viceral. Respon ini termasuk peningkatan hormon
adrenokortikotropik, kortisol, epinefrin, norepinefrin, dan level vasopresin
melalui sistem aktivasi renin-angiotensin-aldosteron. Neuroaksial blokade
dapat menurunkan sebagian atau secara total respon stres ini6.
Eliminasi anestetik lokal terjadi melalui penyerapan oleh pembuluh
darah dalam ruang subarakhnoid dan epidural. Penyerapan ini terjadi pada
pembuluh darah di piameter dan medulla spinalis. Laju penyerapan
berhubungan dengan luas permukaan pembuluh darah yang kontak dengan
anestetik lokal. Anestetik lokal yang mempunyai kelarutan lemak yang
tinggi akan meningkatkan absorpsi kedalam jaringan, sehingga mengurangi
konsentrasi. Anestetik lokal juga berdifusi ke dalam ruang epidural dan
setelah di ruang epidural akan berdifusi ke dalam pembuluh darah epidural10.
 Komplikasi
Komplikasi dapat dibagi menjadi beberapa kategori sebagai berikut:
ketinggian blokade saraf, lokasi jarum penyuntikkan dan toksisitas obat15.
a. Ketinggian blokade saraf bisa menimbulkan hipotensi sampai cardiac
arrest dan retensi urin. Ketinggian blokade saraf bisa terjadi akibat dosis
lebih dari anestetik lokal, kegagalan untuk mengurangi dosis pada pasien-
pasien yang rentan terhadap penyebaran berlebih anestetik lokal (usia tua,
hamil, obesitas dan pendek), peningkatan sensitifitas, penyebaran obat
yang berlebih. Gejala awal yang muncul berupa dispnea, rasa kebal atau
kelemahan pada lengan, mual bisa dikarenakan hipoperfusi otak, dan
hipotensi ringan sampai sedang9. Jika penyebaran anestetik lokal sampai
pada cervical maka akan muncul gejala hipotensi berat, bradikardia, gagal
nafas. Bila timbul gangguan kesadaran dan apnea, maka penanganan
airway dan breathing berupa pemberian oksigen, intubasi dan ventilasi
mekanik diperlukan. Selanjutnya penangan sirkulasi berupa pemberian
cairan intravena, posisi trendelenburg dan vasopresor15.
b. Lokasi penyuntikkan
1. Nyeri punggung15
Saat penyuntikkan dengan jarum pada bagian punggung akan memicu
repon peradangan yang akan menghasilkan kekakuan sementara.
Gejala dapat berlanjut lebih dari seminggu. Nyeri punggung ini bisa
merupakan tanda awal dari komplikasi hematoma spinal dan abses.
2. Postdural puncture headache15
Nyeri kepala terjadi akibat kebocoran cairan serebrospinal melewati
lubang pada durameter. Adanya penurunan tekanan intrakaranial akibat
kebocoran cairan serebrospinal. Ketika pasien dalam posisi tegak akan
ada traksi pada dura, tentorium dan pembuluh darah yang
menimbulkan nyeri. Gejala berupa nyeri kepala pada posisi duduk atau
berdiri dan berkurang bila berbaring, nyeri kepala bilateral, frontal,
retro orbita, oksipital dan menjalar ke leher. Onset nyeri ini 12-72 jam
setelah prosedur
3. Hematoma spinal15
Insidensi hematoma spinal pada anestesi spinal 1:220.000. adapun
faktor yang meningkatkan risiko hematoma spinal antara lain
pemakaian antikoagulan atau penyakit yang berhubungan dengan
koagulasi darah, penyuntikkan anestesi spinal berulang kali.
Perdarahan pada ruang subarachnoid akan mengompresi saraf dan
menimbulkan iskemia dan kerusakan sel saraf. Onset gejala berjalan
cepat berupa nyeri punggung dan tungkai bawah, hilang rasa dan
kelemahan progresif, disfungsi sfingter.
E. Anestesi Umum
Anestesi umum adalah tindakan untuk menghilangkan nyeri secara sentral
disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversible.
Anestesi memungkinkan pasien untuk mentoleransi prosedur bedah yang akan
menimbulkan sakit yang tak tertahankan, mempotensiasi eksaserbasi fisiologis
yang ekstrim, dan menghasilkan kenangan yang tidak menyenangkan.
Anestesi memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut:
1. Hipnotik/sedasi: hilangnya kesadaran

2. Analgesia: hilangnya respon terhadap nyeri

3. Muscle relaxant: relaksasi otot rangka

 Induksi Anestesi

Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak


sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Induksi
dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi, intramuscular atau rectal. Setelah
pasien tidur akibat induksi anestesia langsung dilanjutkan dengan
pemeliharaan anestesia sampai tindakan pembedahan selesai.
Untuk persiapan induksi anestesi diperlukan ‘STATICS’:
S : Scope  Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
Laringo-Scope, pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai
dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.
T : Tube  Pipa trakea.pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon
(cuffed) dan > 5 tahun dengan balon (cuffed).
A : Airway  Pipa mulut faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa
hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan
lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga supaya lidah tidak
menyumbat jalan napas.
T : Tape  Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau
tercabut.
I : Introducer  Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel)
yang mudah dibengkokan untuk pemandu supaya pipa
trakea mudah dimasukkan.
C : Connector  Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia
S : Suction  penyedot lender, ludah danlain-lainnya.
 Induksi intravena

o Paling banyak dikerjakan dan digemari. Indksi intravena


dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut dan terkendali.
Obat induksi bolus disuntikan dalam kecepatan antara 30-60 detik.
Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi dan tekanan
darah harsu diawasi dan selalu diberikan oksigen. Dikerjakan pada
pasien yang kooperatif.

o Obat-obat induksi intravena:

 Tiopental (pentotal, tiopenton) amp 500 mg atau 1000


mg

sebelum digunakan dilarutkan dalam akuades steril


sampai kepekatan 2,5% ( 1ml = 25mg). hanya boleh digunakan
untuk intravena dengan dosis 3-7 mg/kg disuntikan perlahan-
lahan dihabiskan dalam 30-60 detik.
Bergantung dosis dan kecepatan suntikan tiopental akan
menyebabkan pasien berada dalam keadaan sedasi, hypnosis,
anestesia atau depresi napas. Tiopental menurunkan aliran
darah otak, tekanan likuor, tekanan intracranial dan diguda
dapat melindungi otak akibat kekurangan O 2 . Dosis rendah
bersifat anti-analgesi.
 Propofol (diprivan, recofol)

Dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih


susu bersifat isotonic dengan kepekatan 1% (1ml = 1o mg).
suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga
beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg
intravena.
Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk
anestesia intravena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi
untuk perawatan intensif 0.2 mg/kg. pengenceran hanya boleh
dengan dekstrosa 5%. Tidak dianjurkan untuk anak < 3 tahun
dan pada wanita hamil.
 Ketamin (ketalar)

Kurang digemari karena sering menimbulkan


takikardia, hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca
anestesia dapat menimbulkan mual-muntah, pandangan kabur
dan mimpi buruk. Sebelum pemberian sebaiknya diberikan
sedasi midazolam (dormikum) atau diazepam (valium) dengan
dosis0,1 mg/kg intravena dan untuk mengurangi salvias
diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kg.
Dosis bolus 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10 mg. ketamin
dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1ml = 10mg), 5%
(1 ml = 50 mg), 10% ( 1ml = 100 mg).
 Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil)

Diberikan dosis tinggi. Tidak menggaggu


kardiovaskular, sehingga banyak digunakan untuk induksi
pasien dengan kelianan jantung. Untuk anestesia opioid
digunakan fentanil dosis 20-50 mg/kg dilanjutkan dosis
rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.
 Induksi intramuscular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat
diberikan secara intramuskulardengan dosis 5-7 mg/kgBB dan
setelah 3-5 menit pasien tidur.
 Induksi inhalasi

N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen


monoksida) berbentuk gas, tak berwarna, bau manis, tak iritasi,
tak terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian harus
disertai O2 minimal 25%. Bersifat anastetik lemah, analgesinya
kuat, sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri
menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang digunakan
sendirian, tapi dikombinasi dengan salah satu cairan anastetik lain
seperti halotan.

Halotan (fluotan)

Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan


anestesinya cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan
analgesi semprot lidokain 4% atau 10% sekitar faring laring.
Enfluran (etran, aliran)

Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan enfluran


lebih iritatif disbanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi lebih
kuat dibanding halotan, tetapi lebih jarang menimbulkan aritmia.
Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik disbanding halota
Isofluran (foran, aeran)

Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intracranial.


Peninggian aliran darah otak dan tekanan intracranial dapat
dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi, sehingga isofluran
banyak digunakan untuk bedah otak.
Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal,
sehingga digemari untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak
digunakan pada pasien dengan gangguan koroner.
Desfluran (suprane)
Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%),
bersifat simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi.
Efek depresi napasnya seperti isofluran dan etran. Merangsang
jalan napas atas sehingga tidak digunakan untuk induksi anestesi.
Sevofluran (ultane)
Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan
isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan
napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi
disamping halotan.

 Pelumpuh otot nondepolarisasi  Tracrium 20 mg (Antracrium)

o Berikatan dengan reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tidak


menyebabkna depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin
menempatinya, sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja.

o Dosis awal 0,5-0,6 mg/kgBB, dosis rumatan 0,1 mg/kgBB, durasi


selama 20-45 menit, kecepatan efek kerjanya -2 menit.

o Tanda-tanda kekurangan pelumpuh otot:

 Cegukan (hiccup)

 Dinding perut kaku

 Ada tahanan pada inflasi paru

 Rumatan Anestesi (Maintenance)

Dapat dikerjakan secara intravena (anestesi intravena total) atau dengan


inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi.
Rumatan anestesi mengacu pada trias anestesi yaitu tidur rinan
(hypnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien
selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup.
Rumatan intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil
10-50 µg/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan
analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot.
Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien
ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan
anestesi total intravena, pelumpuh otot dan ventilator. Untuk mengembangkan
paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O + O2.
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2
dengan perbandingan 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4%
atau isofluran 2-4 vol% atau sevofluran 2-4% bergantung apakah pasien
bernapas spontan, dibantu atau dikendalikan.
 Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan
anestesiyang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu
ruangan untukobservasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar
merupakan batu loncatansebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih
memerlukan perawatan intensif diICU. Dengan demikian pasien pasca operasi
atau anestesi dapat terhindar darikomplikasi yang disebabkan karena operasi
atau pengaruh anestesinya.Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar
ke ruang perawatan perludilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah
anestesi dan pembedahan. Caraskoring yang biasa dipakai untuk anestesi
umum yaitu cara Aldrete.
F. Intubasi Trakea
Intubasi trakea ialah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea
melalui rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan
trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea. Indikasi sangat bervariasi dan
umumnya digolongkan sebagai berikut:
1. Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun.

Kelainan anatomi, bedah kasus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret


jalan napas, dan lain-lainnya.
2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi

Misalnya saat resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien,


ventilasi jangka panjang.
3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi

Kesulitan intubasi
1. Leher pendek berotot

2. Mandibula menonjol

3. Maksila/gigi depan menonjol

4. Uvula tak terlihat

5. Gerak sendi temporo-mandibular terbatas

6. Gerak vertebra servikal terbatas


Komplikasi intubasi
1. Selama intubasi

a. Trauma gigi geligi

b. Laserasi bibir, gusi, laring

c. Merangsang saraf simpatis

d. Intubasi bronkus

e. Intubasi esophagus

f. Aspirasi

g. Spasme bronkus

2. Setelah ekstubasi

a. Spasme laring

b. Aspirasi

c. Gangguan fonasi

d. Edema glottis-subglotis

e. Infeksi laring, faring, trakea

Ekstubasi
1. Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika:

a. Intubasi kembali akan menimbulkan kesulitan

b. Pasca ekstubasi ada risiko aspirasi

2. Ekstubasi dikerjakan pada umumnya pada anestesi sudah ringan dengan


catatan tak akan terjadi spasme laring.

3. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut laring faring dari sekret dan
cairan lainnya.

G. Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum yang merupakan
pembungkus viscera dalam rongga perut. Peritonitis dapat terjadi akibat suatu
respon inflamasi atau supuratif dari peritoneum yang disebebakn oleh iritasi
kimiawi atau invasi bakteri.

1. Anatomi

Peritoneum adalah mesoderm lamina lateralis yang tetap bersifat


epithelial. Pada permulaan, mesoderm merupakan dinding dari sepasang
rongga yaitu coelom. Diantara kedua rongga terdapat entoderm yang
merupakan dinding enteron. Enteron didaerah abdomen menjadi usus,
sedangkan kedua rongga mesoderm, bagian dorsal dan ventral usus saling
mendekat, sehingga mesoderm tersebut kemudian menjadi peritoneum.

Lapisan peritoneum di bagi menjadi 3, yaitu :

a. Lembaran yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis


(tunika serosa)

b. Lembaran yang melapisis dalam abdomen disebut lamina parietalis

c. Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina


parietalis.

Organ-organ yang terdapat di cavum peritoneum, yaitu :

a. Intraperitoneum :

Gaster, hepar, vesica felea, lien, ileum, jejenum, kolon transversum,


kolon sigmoid, sekum, dan appendix.

b. Retroperitoneum :

Pancreas, duodenum, kolon ascenden & descenden, ginjal dan ureter.

2. Etiologi

Secara umum, infeksi pada abdomen dikelompokkan menjadi peritonitis


infektif (umum) dan abses abdomen (local). Bila ditinjau dari
penyebabnya, infeksi peritonitis terbagi atas :
a. Penyebab primer :

Peritonitis spontan (pada pasien dengan penyakit hati kronik, dimana 10-
30% pasien dengan sirosis hepatis yang mengalami sirosis hepatis
yang mengalami asites akan menderita peritonitis bacterial spontan

b. Penyebab sekunder :

Berkaitan dengan proses patologis dari organ viscera berupa inflamasi,


nekrosis dan penyulitnya, misalnya :

- Perforasi apendiks

- Perforasi ulkus peptikum atau duodenum

- Perforasi tifus abdominalis

- Perforasi kolon akibat diverticulitis,

- Kanker, stranglasi kolon ascenden

c. Penyebab tersier :

Infeksi rekuren atau persisten sesudah terapi awal yang adekuat, timbul
pada pasien dengan kondisikomorbid sebelumnya, dan pada pasien
imunokompromais. (riwayat sirosis hepatis dan Tb).

Menurut agennya, peritonitis dapat dibedakan menjadi dua kelompok :

a. Peritonitis steril atau kimiawi :

Disebabkan karena iritasi bahan-bahan kimia, misalnya getah


lambung, pancreas, empedu, darah, urin, atau substansi kimia
lainnya.

b. Peritonitis bacterial spontan :


Paling sering disebabkan oleh bakteri gram negative, yakni 40%
Escheria coli, 7% Klebsiella-pneumoniae, spesies Pseudomonas,
proteus dan lain-lain.

c. Peritonitis sekunder

Lebih banyak disebabkan bakteri gram positif yang berasal dari


saluran cerna bagian atas, dapat pula bakteri gram negative, atau
polimikroba, dimana mengandung gabungan bakteri aerob dan
anaerob yang didominasi bekteri gram negative.

3. Patofisiologi

Peritonitis merupakan komplikasi akibat penyebaran infeksi dari organ-


organ abdomen, rupture saluran cerna, atau luka tembus abdomen. Reaksi
awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa, kantong-kantong nanah (abses) terbentuk diantara perlekatan
fibrinosa yang membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila
infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sehingga menimbulkan obstruksi
usus. Peritonitis dapat terjadi secara lokalisasi, difus, atau generalisata.
Pada peritonitis local dapat terjadi karena adanya daya tahan tubuh yang
kuat serta mekanisme pertahanan tubuh dengan melokalisir sumber
peritonitis dengan omentum dan usus. Pada peritonitis yang tidak
terloklisir dapat terjadi peritonitis difus, kemudian menjadi peritonitis
generalisata dan terjadi perlengketan organ-organ intraabdomen dan
lapiran peritoneum visceral dan parietal. Timbulnya perlengketan ini
menyebabkan aktivitas peristaltic berkurang sampai timbul ileus paralitik.
Cairan dan elektrolit hilang ke dalam usus mengakibatkan dehidrasi, syok,
gangguan sirkulasi, dan oligouria. Pada keadaan yang lebih lanjut dapat
terjadi sepsis, akibta bakteri masuk ke dalam pembuluh darah.

4. Gejala klinik

Gejala klinik peritonitis yang terutama adalah nyeri abdomen. Nyeri


dapat dirasakan terus menerus selama beberapa jam, dapat hanya di satu
tempat ataupun tersebar diseluruh andomen. Dan makin hebat nyeri yang
dirasakan saat penderita bergerak.

Gejala lainnya meliputi :


- Demam

Temperature lebih dari 36 C, pada kondisi sepsis berat dapat terjadi


hipotermia

- Mual dan muntah

Tumbul akibat adanya kelainan patologis organ viscera atau akibat


iritasi peritoneum

- Adanya cairan dalam abdomen, yang mendorong diafragma


sehingga mengakibatkan kesulitan bernapas.

- Distensi abdomen dengan penurunan bising usus samapi tidak


terdengar

- Rigiditas abdomen atau sering disebut “perut papan”, terjadi akibat


kontraksi otot dinding abdomen secara volunter sebagai
respon/antisipasi terhadap penekanan pada dinding abdomen
ataupun involunter sebagai respon terhadap iritasi peritoneum

- Nyeri tekan dan nyeri lepas (+)

- Takikardi, akibat pelepasan mediator inflamasi

- Tidak dapat BAB/buang angin.

5. Diagnose

Anamneis yang jelas, evaluasi cairan peritoneal, dan tes diagnostic


tambahan sangat diperlukan untuk membuat suatu diagnosis yang tepat
sehingga pasien dapat diterapi dengan benar.

6. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium didapat :


a. Leukositosis (lebih dari 11.000 sel/uL) dengan pergeseran ke kiri pada
hitung jenis. Pada pasien dengan sepsis berat, pasien
imunokompormise dapat terjadi leukopenia.

b. Asidosis metabolic dengan alkalosis respiratorik.

Pada foto polos abdomen didapatkan :

a. Bayangan peritoneal fat kabur karena infiltrasi sel radang

b. Pada pemeriksaan rontgen tampak udara usus merata, dengan


gambaran ileus obstruktif

c. Penebalan dinding usus akibat edema

d. Tampak gambaran udara bebas

e. Adanya cairan eksudasi ke rongga peritoneum, sehingga pasien perlu


dikoreksi cairan, elektrolit dan asam-basa nya agar tidak terjadi syok
hipovolemik.

7. Terapi

Peritonitis adalah suatu kondisi yang mengancam jiwa, yang memerlukan


pengobatan medis segera mungkin. Prinsip utama terapi pada ineksi
intraabdomen adalah :

a. Mengontrol sumber infeksi

b. Mengeliminasi bakteri dan toksin

c. Mempertahankan fungsi system organ

d. Mengontrol proses inflamasi

Terapi terbagi mejadi :

a. Terapi medis : termasuk di dalamnya anitibiotik sistemik untuk


mengontrol infeksi, perawatan intensif mempertahankan hemodinamik
tubuh misalnya pemberian cairan intravena untuk mencegah dehidrasi,
pengawasan nutrisi dan metabolik.

b. Intervensi non-operatif : termasuk didalamnya drainase abses


percutaneous

Terapi operatif : pembedahan sering diperlukan untuk mengatasi sumber


infeksi, misalnya appendicitis, rupture organ intra-abdomen

BAB III
LAPORAN KASUS
A. Identitas pasien

Nama : Tn. M.R


Jenis kelamin : laki-laki
Usia : 42 tahun
Agama : islam
Alamat : Jl. Manonda, Ds. Boya, Banawa
Berat badan : 65 kg
Tanggal rawat inap : 29 desember 2017
Tempat : rumah sakit umum Anutapura

B. Anamnesis

Keluhan utama : nyeri perut


Riwayat penyakit sekarang :
Pasien masuk dengan keluhan nyeri perut dialami 4 hari sebelum masuk
rumah sakit (R.S). Nyeri dirasakan memberat sehari sebelum masuk R.S.
Pasien juga mengalami muntah dengan frekuensi 3 kali (di IGD). Buang air
besar belum dialami sejak 3 hari, sedangkan buang angin (+). Pasien
menderita demam yang dialami sejak 1 minggu sebelum masuk R.S. Buang
Air kecil lancar berwarna kuning-kecoklatan. Pasien juga merasa sesak.
Riwayat penyakit sebelumnya :
• Pasien belum pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya

• Hipertensi : tidak ada

• Diabetes mellitus : tidak ada

Riwayat penyakit keluarga :


• Tidak terdapat anggota keluarga yang menderita hal serupa pasien
• Hipertensi (-)
• Diabetes mellitus : (-)
C. Pemeriksaan fisik
Tanda – tanda vital
• Tekanan darah : 140/90 mmHg

• Nadi : 78 x/menit

• Pernapasan : 24 x/mnit

• Suhu : 37, 3 ºC

• Skala nyeri (VAS) : 8


• GCS : 15 (E4V5M6)
• BB : 65 kg
• TB : 165 cm
Pemeriksaan fisik umum
1) Kepala – leher :
Konjuctiva : anemis (-/-)
Sclera : ikterik (-/-)
Edema palpebral : (-/-)
Pembesaran KGB : (-/-)
Pembesaran kel. Tiroid : (-/-)
2) Thoraks

I : Pergerakan thoraks simetris, sikatrik (-)


P : Nyeri tekan (-), massa tumor (-)
P : Sonor pada kedua lapang paru, pekak pada area jantung, batas paru-
hepar SIC VII, batas jantung DBN
A : Bunyi pernapasan vesikular +/+, rhonki -/-, wheezing -/-. Bunyi
jantung I/II murni, regular.
3) Abdomen

I : Tampak cembung
A: Peristaltik (+) kesan menurun
P : timpani
P : Nyeri tekan (+) regio umbilical- region inguinal dextra
4) Ekstremitas atas – bawah

Edema (-/-), akral hangat (+/+)

D. Pemeriksaan penunjang

1) Pemeriksaan darah rutin

Wbc : 9,9 x 10^3/uL


Rbc : 4,8 x 10^6/uL
Hgb : 14,4 g/dL
Hct : 39,6 %
Plt : 361 10^3/uL
CT : 7 menit
BT : 3 menit
GDS : 167
HbsAg : (-)
Anti HCV : (-)
2) USG abdomen :

App perforasi

E. Diagnosis
Susp. Peritonitis e.c Appendisitis perforasi
Kesimpulan : berdasarkan pemeriksaan fisik temasuk kategori PS ASA I.E

F. Penatalaksanaan

• Resusitasi cairan (guyur 2 kolf)

• Pemberian oksigen 3-4 Lpm

• Pasang NGT

• Pasang kateter

• Inf. Metronidazol 500mg/12 jam/i.v

• Inj. Ceftriaxon 1 gr/12 jam/ i.v

• Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam/ i.v

• Inj. Ketorolac 30 mg/ 8 jam/ i.v

• Pro. Laparotomi

Pemberian cairan :
Pasien digolongkan mengalami dehidrasi sedang, karena:
Turgor kulit jelek, mukosa bibir kering, mata cekung disertai tanda-tanda
intravaskuler minimal  deficit 8%

Sehingga jumlah perkiraan deficit :


65kg x 8% = 5,2 L = 5200 ml

Resusitasi cepat 2 kolf = 1000 ml = 16cc/kgBB selama 1 jam pertama


Diberikan cairan 20 tetes/menit selama 13 jam
(13 jam = 780menit) = 20 tpm / menit
Jumlah cairan yang didapatkan selama 13 jam = 780 cc
Jadi jumlah cairan yang di dapatkan di ruang perawatan = 1780 ml

Berdasarkan jumlah deficit cairan = 5200 ml


Jumlah defisit saat ini = 5200 – 1780 = 3420 ml
Jumlah cairan yang seharusnya didapatkan pasien adalah sebagai berikut:
- 8 jam (pertama) : 2600 ml

Resusitasi cepat 2 kolf = 1000 ml = 16 cc/kgBB


maintenance
Tersisa 1600 ml / 7 = 229 cc/ jam
- 16 jam (kedua) : 2600 ml = 163 cc/jam

Maintenance : 2 x 65 kg = 130 ml/jam

G. Evaluasi pra-anestesi (30-12-2017)

1) Anamnesis (autoanamnesis)

• Alergi : pasien tidak memiliki riwayat alergi makanan dan obat-


obatan

• Medication : pasien tidak memiliki riwayat konsumsi obat-obatan

• Past medical history : tidak ada riwayat anestesi sebelumnya.

2) Pemeriksaan fisik ( 30-12-2017)

o Tanda – tanda vital :

Tekanan darah : 130/90 mmHg


Nadi : 78x/menit
Respirasi : 28 x/menit
Suhu : 37,2 ºC
o B1 (Breath) dan evaluasi jalan napas

Airway: clear, gurgling/snoring/crowing:-/-/-, potrusi mandibular (-), buka


mulut 4 cm, jarak mentohyoid 7 cm, jarak hyothyoid 6,5 cm, leher pendek
(-), gerak leher bebas, malampathy: 2, massa (-), gigi geligi tidak lengkap
(tidak ada gigi palsu), sulit ventilasi (-). Suara pernapasan: Vesikuler +/+,
suara tambahan (-). Riwayat asma (-), alergi (-), batuk (-), sesak (-),
masalah lain pada sistem pernapasan (-).
o B2 (Blood)

Akral hangat, bunyi jantung S1 dan SII murni regular. Masalah pada
kardiavaskular (-)
o B3 (Brain)

Kesadaran composmentis GCS 15 (E4V5M6), pupil : isokor Ø 3 mm/3mm,


RC +/+, RCL +/+. Defisit neurologis (-). Masalah pada sistem
neuro/muskuloskeletal (-)
o B4 ( Bladder)

BAK (+) via kateter volume ±800 cc/24 jam berwarna kecoklatan
o B5 (bowel)

Tampak cembung, peristaltic (+) kesan menurun, perkusi : timpani,


palpasi : nyeri tekan region umbilical-regio inguinal dextra
o B6 (back & bone

Oedema pretibial (-)

3) Persiapan pre-operatif

a. Di ruangan

- KIE (+), surat persetujuan operasi (+), surat persetujuan tindakan


anestesi (+)

- IVFD RL 500 cc selama 1 jam sebelum operasi

b. Di kamar operasi

- Meja operasi dengan assesoris yang diperlukan


- Mesin anestesi dengan system aliran gasnya

- Alat-alat resusitasi (STATICS)

- Obat-obat anesthesia yang diperlukan

- Obat-obat resusitasi, misalnya adrenalin, atropine, aminofilin,


natrium bikarbonat dan lain-lainnya.

- Menyiapkan pasien di meja operasi, memasang alat pantau tanda


vital, tiang infus, puls oxymetri

- Evaluasi ulang status present pasien :

o Tekanan darah : 130/70 mmHG

o Nadi : 88x/menit

o Respirasi : 23x/menit

o Suhu : 37 ºC
Table
S Scope Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan
jantung.
Laringo-Scope: pilih bilah atau daun (blade) yang
sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup
terang.

T Tubes Pipa trakea, pilih sesuai ukuran pasien.


A Airways Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau
pipa hidung-faring (nasi-tracheal airway). Pipa ini
menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk
mengelakkan sumbatan jalan napas.

T Tapes Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong


atau tercabut.

I Introducer Mandarin atau stilet dari kawat dibungkus plastic


(kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu
supaya pipa trakea mudah dimasukkan.

C Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia.


S Suction Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.
komponen STATICS

H. Planning

Laporan anestesi durante operatif


o Jenis anestesi : combinasi {regional anestesi (SAB L3-L4, LCS (+) -
general anestesi (intubasi)}

o Obat : Bupivacain HCl 0,5% 15 mg

o Lama anestesi : 13.30 – 16.50 ( 3 jam 20 menit)

o Lama operasi : 14.00 – 16.50 ( 2 jam 50 menit)

o Anestesiologi : dr. Ajutor Donny T. Sp.An


o Ahli bedah : dr. Arief Husain, Sp.B

o Posisi anestesi : LLD dan Supine

o Infus : 2 line di tangan kiri dan kanan

o Obat –obatan yang diberikan :

Obat premedikasi :-
Obat induksi : Inj. Bupivacaine HCl 0,5% 15 mg, sevofluran 4 vol %
o Maintenance anestesi : inh. O2 2-3 lpm

o Obat durante operatif :

- Midazolam 5 mg

- Petidin 50 mg

- Tracrium 30 mg

- Ranitidine 50 mg

- Ondancentron 4 mg

- Asam tranexamat 25 mg

- Efedrin 10 mg

- Ketorolac 30 mg

Pemberian cairan
a. Cairan masuk

- Pre operatif : kristaloid RL 500 ml (ruang tunggu operasi)

- Durante operatif : kristaloid RL 1200 ml + gelofusin 500 ml

- Total input cairan : 2200 ml


b. Cairan keluar

Durante operatif : urin 150 ml; perdarahan ±200 ml ; 400 ml cairan


lambung via NGT

A. Perhitungan cairan

i. Kebutuhan cairan pre-operasi (defisit cairan)

Cairan deficit pengganti puasa (PP) / saat pasien mengalami dehidrasi=


Jumlah deficit sebelumnya = 5200 – 1780 = 3420 ml
ii. Kebutuhan cairan intra-operatif

a. Stress operasi (SO) /pengganti cairan third space (selama operasi)

Operasi besar : 8 x BB Kg = 8 x 65 = 520 ml/jam


Perlangsungan operasi selama 2 jam 50 menit. Jadi stress operasi pada
pasien ini :520 x 2,5 = 1300 ml
b. Cairan yang keluar intra operatif :

Urin 150 ml ; perdarahan perdarahan ± 200 ml ; 400 ml cairan lambung via


NGT.

iii. Total cairan yang masuk :

a. Pre-operatif (di ruang tunggu ) : 500 ml (kristaloid RL)

b. Cairan peri-operatif : kristaloid RL 1200 ml+ gelofusin 500 ml

Sehingga total inpun cairan total input cairan : 2200 ml


Sehingga jumlah kebutuhan cairan pada pasien adalah :
Jumlah deficit sebelumnya + kebutuhan cairan intra-operatif – jumlah
cairan yang masuk =
3420 + 1300 + 150 + 200 + 400 = 5470
5470 – 2200 = 3270 ml
Jadi deficit cairan pada pasien ini sebanyak 3270 ml. Deficit cairan tersebut
selanjutnya akan di lanjutkan pemberiannya diruang perawatan intensive
care unit (ICU).
B. Post operatif

o GCS : E3V3M4

o Tekanan darah : 110/80

o Nadi : 100

o Respirasi : 22x/menit

o Temperature : 36,6 ºC

o Skor nyeri (VAS) : 6

o Skor pemulihan pasca anestesi

Nilai 15” post OP


Sirkulasi TD +/- 20 mmHg dari normal 2 2
TD +/- 20-50 mmHg dari normal 1
TD +/- >50 mmHg dari normal 0

Kesadaran Sadar penuh 2 0


Respon terhadap panggilan 1
Tidak ada respon 0
Oksigenasi SpO2 >92% (dengan udara bebas) 2 2
Spo2 >90% (dengan suplemen 02) 1
SpO2 < 90% (dengan suplemen O2) 0
Pernapasan Bisa menarik nafas dalam dan batuk 2 2
bebas
Dispneu atau limitasi bernafas 1
Apnea/tidak bernapas 0
Aktivitas Menggerakkan 4 ekstremitas 2 1
Menggerakkan 2 ekstremitas 1
Tidak mampu menggerakkan ekstremitas 0
Total alderet score : 7

Laporan Anestesi
180

160

140

120

100

80

60

40

20

0
' ' ' 0 ' ' ' ' ' 0 ' ' ' ' ' 0 ' ' ' ' '
30 40 50 4,0 10 20 30 40 50 5,0 10 20 30 40 50 6,0 10 20 30 40 50
1 1 1

s i stol di astol nadi SpO2


BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien Tn. M.R umur 42 tahun dengan diagnosis “peritonitis e.c Appendicitis
perforasi”, dilakukan tindakan laparotomy pada tanggal 30 desember 2017 pukul
15.30 WITA. Diagnosis pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Pasien sebelumnya masuk rumah sakit pada tanggal
29 desember 2017 pada jam 15.00 WITA.
Sebelum dilakukan anestesi sebaiknya dilakukan pemberian cairan secara
cepat. Tujuan dilakukannya pemberian cairan ini adalah untuk meminimalisir efek
samping dari anestesi spinal berupa hipotensi akibat blokade simpatis dengan cara
menambah volume intravaskuler. Pemberian cairan dapat diberikan baik
menggunakan kristaloid ataupun koloid yang memiliki masa intravaskuler lebih lama
dengan berat molekul yang lebih tinggi. Selain itu pasien juga mengalami dehidrasi
sedang.
Adapun penatalaksaan atau terapi cairan yang diperoleh dari pasien ini saat berada di
ruang perawatan adalah sebagai berikut :
- Pasien digolongkan mengalami dehidrasi sedang, karena:turgor kulit jelek,
mukosa bibir kering, mata cekung disertai tanda-tanda intravaskuler minimal 
deficit 8%

- Sehingga jumlah perkiraan defisit :


65kg x 8% = 5,2 L = 5200 ml
Pada pasien ini dilakukan pemberian cairan. Adapun terapi cairan yang diberikan
pada pasien ini yakni cairan kristaloid RL sebanyak 2 kolf di habiskan dalam 1 jam
pertama. Kemudian dilakukan maintenance cairan yakni 20 tetes/menit selama 13 jam
selama di ruang perawatan, sehingga jumlah cairan yang masuk sebanyak 780 ml.
Jadi total cairan yang didapatkan pasien sebelum operasi selama di ruang perawatan
adalah 1780 ml. Jika total cairan yang didapatkan dikurangi degan jumlah deficit
cairan pada pasien, maka sisa jumlah defisit cairan adalah 3420 ml.

Resusitasi cepat 2 kolf = 1000 ml = 16cc/kgBB selama 1 jam pertama

Diberikan cairan 20 tetes/menit selama 13 jam


(13 jam = 780 menit)= 20 tpm / menit
Jumlah cairan yang didapatkan selama 13 jam = 780 cc
Jadi jumlah cairan yang di dapatkan sebelum operasi (diruang perawatan)= 1780 ml

Sehingga
Jumlah defisit saat ini = 5200 – 1780 = 3420 ml

Berdasarkan rumus perhitungan cairan, adapun pemberian cairan yang sebaiknya


didapatkan oleh pada pasien ini adalah :
- 8 jam (pertama) : 2600 ml = 325 ml/jam = 5 ml/menit = 100 Tpm

maintenance
- 16 jam (kedua) : 2600 ml = 163 cc/jam = 2,7 ml/mnt = 54 Tpm

Pada tanggal 30 desember 2017 pasien direncanakan untuk dilakukan operasi CITO.
Adapun tahapan persiapannya dilakukan informed consent terkait tindakan yang akan
diberikan beserta konsenkuensinya. Selain itu dilakukan anamnesis dan pemeriksaan
fisik sebelum dilakukannya tindakan anestesi.Penentuan kesehatan pasien
berdasarkan American Society of Anesthesiologist. Adapun pembagian kategori ASA
adalah sebagai berikut :4
 PS 1 : pasien tidak memiliki kelainan organic maupun sistemik selain
penyakit yang akan dioperasi

 PS 2 : pasien yang memiliki kelainan sistemik ringan sampai dengan sedang


selain penyakit yang akan dioperasi. Misalnya diabetes mellitus yang terkontrol
atau hipertensi ringan.

 PS 3 : pasien memiliki kelainan sistemik berat selain penyakit yang akan


dioperasi, tetapi belum mengancam jiwa. Misalnya diabetes mellitus yang tidak
terkontrol, hipertensi yang tidak terkontrol.

 PS 4 : pasien memiliki kelainan sistematik berat yang mengancam jiwa


selain penyakit yang akan dioperasi. Misalnya asma bronchial yang berat, gagal
jantung kongestif

 PS 5 : pasien dalam kondisi sangat jelek dimana tindakan anestesi


mungkinsaja dapat menyelamatkan tetapi risiko kematian tetap jauh lebih besar.
Misalnya operasi pada pasien koma berat.

Pada pasien ini dikategorikan PS ASA 1.E.

Pilihan anestesi yang dilakukan pada pasien ini adalah jenis anestesi
kombinasi antara regional (Subarachnoid Block (SAB) dan anestesi umum (Intubasi
endotrakheal). Pada awalnya jenis anestesi yang diberikan adalah regional, namun
dikarenakan waktu perlangsungan operasi yang memanjang, maka anestesi umum di
tambahkan. Alasan pemilihan teknik anestesi regional adalah sesuai dengan indikasi
anestesi spinal, yaitu :bedah abdomen bagian atas, bedah abdomen bawah, tindakan
pembedahan pada rectum-perineum dan pada ekstremitas bawah. Untuk operasi yang
besar hampir selalu membutuhkan teknik anestesi umum dengan intubasi trachea dan
napas terkendali dengan bantuan obat pelumpuh otot. Cara ini menghindari
pemakaian obat anestesi yang banyak dan memastikan oksigenasi baik.
Sebelum dilakukannya anestesi pasien diberikan cairan pre-operatif berupa
cairan kristaloid RL dengan jumlah 500 cc yang diberikan saat di ruang tunggu
operasi.
Adapun output cairan selama operatif sebanyak 2050ml yang terdiri dari
kebutuhan cairan intra-operatif (stress operasi/pengganti cairan third space) selama
operasi adalah 520 ml/jam. Adapun perlangsungan operasi yang dilakukan pada
pasien adalah selama 2,5 jam, sehingga cairan intra-operatif (stress operasi/pengganti
cairan third space) selama operasi adalah 1300 ml. Selain itu cairan yang keluar
selama operasi berupa urin 150 ml, perdarahan ± 200 ml,dan cairan lambung via NGT
400 ml, sehingga jumlah kebutuhan cairan salam operasi adalah 2050 ml. Pasien
sebelumnya masih memiliki difisit cairan sebelum operasi sebanyak 3420 ml.
Adapun cairan yang didapatkan pasien selama operasi terdiri dari cairan
kristaloid RL sebanyak 1200 ml ditambahkan cairan koloid sebanyak 500 ml,
sehingga total input cairan selama operasi pada pasien ini adalah 1700 ml.
Berdasarkan input dan output cairan yang didapatkan pada pasien sebelum
hingga selama operasi masih memiliki deficit.Adapun deficit cairan yang dialami
pada pasien ini adalah 3670 ml.
Perhitungan cairan
- Kebutuhan cairan pre-operasi (defisi cairan)

Cairan deficit pengganti puasa (PP) / saat pasien mengalami dehidrasi= Jumlah
deficit sebelumnya = 5200 – 1780 = 3420 ml

- Kebutuhan cairan intra-operatif

Stress operasi (SO) /pengganti cairan third space (selama operasi)


Operasi besar : 8 x BB Kg = 8 x 65 = 520 ml/jam
Perlangsungan operasi selama 2 jam 50 menit. Jadi stress operasi pada pasien ini :
520 x 2,5 = 1300 ml
- Cairan yang keluar intra operatif :

Urin 150 ml ; perdarahan ± 200 ml ; 400 ml cairan lambung via NGT.


- Total cairan yang masuk :

Pre-operatif (di ruang tunggu ) : 500 ml (kristaloid RL)


Cairan peri-operatif : kristaloid RL 1200 ml+ gelofusin 500 ml
Sehingga total inpun cairan total input cairan : 2200 ml
Sehingga jumlah kebutuhan cairan pada pasien adalah :
Jumlah deficit sebelumnya + kebutuhan cairan intra-operatif =
3420 + 1300 + 150 + 600 + 400 = 5870
5870 – 2200 = 3670 ml
Jadi deficit cairan pada pasien ini sebanya 3670 ml. Berdasarkan perhitungan
cairan yang didapatkan maupun yang dikeluarkan dari pasien baik sebelum operasi
maupun selama operasi masih belum cukup, yakni pasien masih membutuhkan
cairan sebanyak 3670 ml. Deficit cairan tersebut selanjutnya akan di lanjutkan
pemberiannya diruang perawatan intensive care unit (ICU) dan tetap memantau
input dan output cairannya.

Adapun MABL (Maximum Allowed Blood loss) pada pasien ini adalah
sebagai berikut. EBV (Estimate Blood Volume) pada pasien :
EBV = volume berat badan x BBkg
= 75 ml/kg x 65 kg
= 4875 ml
Jumlah perdarahan pada pasien ini :± 200 ml
% perdarahan : 200/4875 x 100% = 4,1 %
MABL :
( Ht pasien−Ht konstanta )
MABL=EBV x
Ht pasien+ Ht konstanta
2

( 39,6−25 )
MABL=4875 x
39,6+ 25
2
MABL = 2203 ml

Adapun jumlah perdarahan yang dialami pada pasien ini adalah sebanyak ±
200 ml, sedangkan jumlah kehilangan total darah maksimal pada pasien ini adalah
2203 ml, sehingga pada pasien ini tidak perlu untuk dilakukan transfuse darah.
Penatalaksanaan dehidrasi ditujukan untuk mengatasi deficit cairan dan
elektrolit. Adapun kebutuhan elektrolit yang dibutuhkan pada pasien ini adalah :
Jumlah kebutuhan Natrium 2-3 mEq/kg bb/24 jam
Jumlah Kalium 1-2 mEq/kg bb/24 jam
Sehingga pada pasien dapat ditetapkan kebutuhan elektrolit :
Kadar natrium : 65 kg x 2-3 mEq = 130 – 195 mEq
Kadar kalium : 65 kg x 1-2 mEq = 65 – 130 mEq
Pada pasien ini pemeriksaan elektrolit belum dilakukan. Sehingga jumlah
elektrolit dalam tubuh pasien belum bisa diketahui.
Pada akhir proses pembedahan pasien dipindahkan ke ruang pemulihan dan
melanjutkan oksigenasi 3 lpm dengan kanul oksigen, diawasi tanda vital.
Skor pemulihan pasca anestesi, berdasarkan aldrette skor didapatkan 7, yang terdiri
atas :
- Sirkulasi : TD +/- 20 mmHg dari normal (2)

- Kesadaran : respon terhadap panggilan (1)


- Oksigenasi : SpO2 >92% (dengan udara bebas) (1)

- Pernapasan : Bisa menarik nafas dalam dan batuk bebas (2)

- Aktivitas : Menggerakkan 2 ekstremitas (1)

Jika jumlah skor Aldrette >8 penderita dapat di pindahkan ke ruangan. Namun
pada pasien ini dikarenakan skor Aldrette yang didapatkan 7 dan pasien
membutuhkan pemantauan canggi di ICU sebab sangat berisiko jika tidak mendapat
terapi intensif segera. Maka pasien di pindahkan ke ruang ICU untuk mendapatkan
perawatan yang lebih intensif.
BAB V
KESIMPULAN

1. Anestesi umum adalah tindakan untuk menghilangkan nyeri secara sentral


disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau
reversible.

2. Anestesi spinal mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan


anestesia umum, khususnya untuk tindakan operasi abdomen bagian bawah,
perineum dan ekstremitas bawah

3. Usaha pemulihan kembali volume serta komposisi cairan dan elektrolit tubuh
dalam kondisi yang normal disebut resusitasi cairan dan elektrolit.

4. Dehidrasi terjadi karena pengeluaran air lebih banyak daripada jumlah yang
masuk, dan kehilangan cairan ini juga disertai dengan hilangnya elektrolit.

5. Salah satu penyebab terjadinya gangguan cairan dan elektrolit adalah


peritonitis. Peritonitis merupakan peradangan pada peritoneum yang
merupakan pembungkus viscera dalam rongga abdomen.

6. Tujuan dilakukannya pemberian cairan ini adalah untuk meminimalisir efek


samping dari anestesi spinal berupa hipotensi akibat blokade simpatis dengan
cara menambah volume intravaskuler.
7. Manifestasi klinik dehidrasi erat kaitannya dengan deplesi volume cairan
intravascular. Proses dehidrasi yang berkelanjutan dapat menimbulkan syok
hypovolemia yang akan menyebabkan gagal organ dan kematian.

DAFTAR PUSTAKA

1. Bagian Anestesiologi RS. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Catatan Anestesi.


Makassar: Bursa Buku Kedokteran Aesculapius;-.

2. Leksana, E. 2015. Strategig Terapi cairan pada Dehidrasi. SMF Anestesi dan
terapi intensif RSUP dr.Kariadi/ Fakultas kedokteran Universitas Diponegoro.
Semarang.

3. Soenarjo, Jatmiko, D. 2010. Anestesiologi. Bagian anestesiologi dan terapi cairan


intensif fakultas kedokteran UNDIP/RSUP kariadi. Semarang.

4. Pentunjuk teknis penyelenggaraan intensive care unit di rumah sakit,


kementerian kesehatan RI, 1996.

5. Mangku, Gde dan Tjokorda Gde Agung S. 2010. Buku Ajar Ilmu Anastesi
danReanimasi. Indeks : Jakarta.

6. Ganiswara, Silistia G. Farmakologi dan Terapi (Basic Therapy Pharmacology).


AlihBahasa: Bagian Farmakologi FKUI. Jakarta, 1995

7. Wrobel M, Werth M.2009. Pokok-pokok Anestesi. Edisi pertama. Jakarta.


PenerbitBuku Kedokteran EGC.
8. Omoigui S. 2012.Obat-obatan Anestesia. Edisi kedua. Jakarta. Penerbit
BukuKedokteran EGC.

9. Syarif,Amir,et al. 2009.Farmakologi dan Terapi Edisi Kelima. Departemen


Farmakologi dan Terapeutik FKUI: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai