Anda di halaman 1dari 6

Nama : cesa cornelio da costa

Npm : 41155030150006

DEFINISI ARSITEKTUR PRILAKU

A. Arsitektur prilaku

Arsitektur perilaku adalah Arsitektur yang dalam penerapannya selalu menyertakan pertimbangan-
pertimbangan perilaku dalam perancangan kaitan perilaku dengan desain arsitektur (sebagai
lingkungan fisik) yaitu bahwa desain arsitektur dapat menjadi fasilitator terjadinya perilaku atau
sebaliknya sebagai penghalang terjadinya perilaku.

bahwa manusia dan perilakunya adalah bagian dari system yang menempati tempat dan
lingkungan tidak dapat dipisahkan secara empiris. Karena itu perilaku manusia selalu terjadi pada
suatu tempat dan dapat dievaluasi secara keseluruhan tanpa pertimbangan factor-faktor lingkungan.

 Lingkungan yang mempengaruhi perilaku manusia.


Orang cenderung menduduki suatu tempat yang biasanya diduduki meskipun tempat tersebut bukan
tempat duduk. Misalnya: susunan anak tangga didepan rumah, bagasi mobil yang besar, pagar yang
rendah dan sebagainya.

 Perilaku manusia yang mempengaruhi lingkungan


Pada saat orang cenderung memilih jalan pintas yang dianggapnya terdekat dari pada melewati
pedestrian yang memutar. Sehinga orang tersebut tanpa sadar telah membuat jalur sendiri meski
telah disediakan pedestrian.

Arsitektur berwawasan perilaku adalah Arsitektur yang manusiawi, yang mampu memahami
dan mewadahi perilaku-perilaku manusia yang ditangkap dari berbagai macam perilaku, baik itu
perilaku pencipta, pemakai, pengamat juga perilaku alam sekitarnya. Disebutkan pila bahwa Arsitektur
adalah penciptaan suasana, perkawinan guna dan citra. Guna merujuk pada manfaat yang
ditimbulkan dari hasil rancangan. Manfaat tersebut diperoleh dari pengaturan fisik bangunan yang
sesuai dengan fungsinya. Namun begitu guna tidak hanya berarti manfaat saja, tetapi juga
mengahsilkan suatu daya yang menyebabkan kualitas hidup kita semakin meningkat. Cita merujuk
pada image yang ditampilkan oleh suatu karya Arsitektur. Citra lebih berkesan spiritual karena hanya
dapat dirasakan oleh jiwa kita. Citra adalah lambing yang membahasakan segala yang manusiawi,
indah da agung dari yang menciptakan (Mangunwijaya, 1992).

Dari pernyataan di atas dapat dikatakan baha mencapa guna dan citra yang sesuai tidak lepas
dari berbagai perilaku yang berpengaruh dalam sebuah karya, baik itu perilaku pencipta, perilaku
pemakai, perilaku pengamat juga menyangkut perilaku alam dan sekitarnya. Pembahasan perilaku
dalam buku wastu citra dilakukan satu persatu menurut beragamnya pengertian Arsitektur, sebagai
berikut :
 Perilaku manusia didasari oleh pengaruh sosial budaya yang juga mempengaruhi terjadinya proses
Arsitektur.
 Perilaku manusia yang dipengaruhi oleh kekuatan religi dari pengaruh nilai-nilai kosmologi.
 Perilaku alam dan lingkungan mendasari perilaku manusia dalam berArsitektur.
 Dalam berArsitektur terdapat keinginan untuk menciptakan perilaku yang lebih baik.

Istilah perilaku diartikan sebagai suatu fungsi dari tuntutan-tuntutan organism dalam dan
lingkungan sosio-fisik luar. Penkajian perilaku menurut Garry T. More diakitkan denga lingkungan
sekitar yang lebih dikenal sebagai pengakjian lingkungan-perilaku. Adapun pengkajian
lingkungan_perilaku seperti yang dimaksudkan oleh Garry T. More terdiri atas definisi-defenisi sebagai
berikut :

1. Meliputi penyelidikan sistematis tentang hubungan-hubungan antara lingkungan dan perilaku


manusia dan penerapannya dalam proses perancangan.
2. Pengakjian lingkungan-perilaku dalam Arsitektur mencakup lebih banyak dari pada sekedar fungsi.
3. Meliputi unsure-unsur keindahan estetika, diaman fungsi bertalian denga perilaku dan kebutuhan
oang, estetika bertalian dengan pilihan dan pengalaman. Jadi estetika formal dilengkapi dengan
estetika hasil pengalaman yang bersandar pada si pemakai.
4. Jangkauan factor perilaku lebih mendalam, pada psikologi si pemakai bangunan , kebutuhan interaksi
kemasyarakatan, perbedaan-perbedaan sub budaya dalam gaya hidup dan makna serta simbolisme
banguan.
5. Pengkajian lingkungan-lingkungan juga meluas ke teknologi, agar isyarat-isyarat Arsitektur dapat
memberikan penampilan kemantapan atau perlindungan.

B. CONTOH PERANCANGAN PRILAKU

Jika kita mengikuti hierarki kebutuhan dasar manusia, lihatlah di mana estetika menempati
urutannya, apakah di tempat teratas? Kebanyakan perancang menempatkan estetia pada urutan
pertama dalam pertimbangan desainnya. Padahal, apabila ditelaah lebih jauh bagi si pengguna, belum
tentu estetika menjadi urutan pertama kebutuhan yang harus dipenuhinya.

Karena itu, tidaklah mengherankan apabila suatu karya arsitektur digunakan tidak sesuai dengan
imajinasi arsitek. Misalnya, di daerah hunian yang terkenal rawan kriminalitas. Orang akan
memangkas tanaman agar mempunyai pandangan yang bebas ke berbagai arah demi keamanan
daripada memikirkan tanaman serta tatanan pepohonan untuk membentuk komposisi tertentu
dengan aneka warna bunga, ataupun untuk membentuk ruang dengan suasana romantis. Seorang
pemilik bengkel motor akan lebih mengutamakan bengkelnya terlihat oleh calon pelanggannya
dengan jelas dari pada sekadar mempertahankan kerapian visualnya.
Yang harus diperhatikan dalam desain adalah tidak memaksakan pemuasan estetika sebagai
kebutuhan dasar, tetapi lebih mempertimbangkan keindahan sebagai suatu persyaratan desain yang
baik. Kira-kira seperti ini contohnya, daerah hunian bisa dirancang dengan indah tanpa harus
mengorbankan keamanan. Bengkel motor dapat didesain dengan bentuk visual yang baik dan tetap
terilaht sebagai bengkel motor.

Untuk memusatkan perhatian mengenai hierarki kebutuhan manusia, dalam perancangan, arsitek
harus berpikir akan kebutuhan pengguna dan bukan kebutuhan manusia secara umum. Arsitek dapat
mencatat apa yang sesungguhnya menjadi preferensi dari pengguna. Karena beragamnya preferensi
dan tingkat kebutuhan seseorang maka akan sangat bermanfaat jika dilakukan penelitian kebutuhan
pengguna secara kasus demi kasus, dari pada sekadar memakai data yang sangat umum.

Cara orang memenuhi kebutuhan yang sama sekali pun, misalnya dalam mengekspresikan status,
bisa berbeda satu sama lain. Ada yang dengan cara memamerkan mobilnya atau ternaknya. Ada yang
dengan cara memakai pakaian merek terkenal, atau dengan cara menjabat posisi tertentu, atau
melalui beraneka keanggotaan pada klub tertentu.

Dalam salah satu artikelnya mengenai tendensi rekreasi pada tingkat lingkungan perumahan,
Seymour Gold mengkaji mengapa banyak taman bermain dalam kompleks perumahan tidak terpakai.
Biasanya perancang memakai standar atau peraturan tata kota yang dalam menentukan jumlah dan
lokasi tempat bermain. Misalnya, untuk sebuah kawasan permukiman dengan luas 7-20 ha,
diperlukan sebuah taman bermain anak-anak. Kemudian, ditempatkan sebuah taman bermain di
tengah kawasan yang dianggap terpusat dan dapat dijangkau dari jarak yang kurang lebih sama
jauhnya. Mengapa tidak dibuat tersebar? Mengapa harus disentralisasikan?
Mengatakan, arsitektur hendaknya mempunyai tujuan yang humanis. Bagi Norberg Schulz (1986),
tugas para perancang adalah menyediakan suatu pegangan eksistensial bagi pemakainya agar dapat
mewujudkan cita-cita dan mimpinya. Sementara itu, Charles Jencks (1971) menambahkan bahwa
dalam masyarakat pluralis, arsitek dituntut untuk mengenali berbagai konflik dan mampu
mengartikulasikan bidang sosial setiap manusia pada setiap situasi tertentu. Atau dengan perkataan
lain, membuat desain yang tanggap sosial.

Dari contoh-contoh tersebut terlihat jika dalam proses perancangan arsitek hanya
memperhitungkan ketentuan maupun standar secara fisik, akan memungkinkan terjadinya banyak
kegagalan dalam desain. Saya kemudian membuat sketsa seperti tampak pada gambar di bawah ini.
Apakah ruang tengah di antara dua ruang studi mahasiswa, yang dirancang sebagai ruang sosialisasi
antara mahasiswa dan dosen dapat berhasil? Mengapa? Apa yang menjadi dasar desain dalam contoh
ini?
Belakangan ini ada cukup banyak perhatian dan minat untuk mempelajari lingkungan yang
humanis, mempelajari interaksi manusia dengan lingkungannya dalam arti luas sebagai suatu ekologi
total, yang mencakup lingkungan alami ataupun buatan. Penelitian pun banyak dilakukan oleh para
ahli ilmu perilaku atau pun para perancang lingkungan dan arsitek yang mempelajari interaksi antara
manusia dan ligkungannya.

Manusia dalam ekosistem relative mempunyai peran yang sangat kecil karena banyak sekali
perubahan yang terjadi di dalam ekosistem tersebut justru berada di luar campur tangan manusia.
Akan tetapi, manusia dapat menjadi sumber masalah karena manusia selalu menginginkan yang
terbaik bagi dirinya sendiri (sikap antroposentris) dan dalam jangka panjang dapat merugikan sesame
manusia dan atau lingkungan fisiknya.

Dalam desain arsitektur, teori arsitektur yang melandasinya dipengaruhi oleh gerakan modern,
yang kurang menaruh perhatian pada dimensi manusia. Perhatian lebih terfokus pada hubungan
antara arsitek dan artefak hasil rancangannya. Berbagai factor, seperti factor geometric, formal
abstrak, teknologi ataupun simbolisasi sangat diperhatikan. Tetapi, factor manusia atau kepuasaan
pengguna khususnya belum mendapat teori positif bagi desain arsitektur, yakni dengan menekankan
perlunya memperhatikan kepuasan pengguna daripada hanya mempertimbangkan factor kepuasan si
perancang saja.
PENUTUP
Pendekatan perilaku pada perancangan arsitektur pada masa yang akan datang merupakan hal
yang utama.Hal ini disebabkan masyarakat,manusia dengan lingkungan fisik buatan (built enviroment)
merupakan aspek-aspek yang tidak bisa dipisahkan. Arsitektur sebagai lingkungan buatan merupakan
wadah fisik bagi aktifitas manusia dan masyarakatnya, baik skala bangunan, kota ataupun wilayah.
Masyarakat memilki fenomena sosial, dengan demikian keberhasilan karya arsitektur berkaitan erat
dengan sejauh mana karya arsitektur tersebut memenuhi tuntutan-tuntutan manusia/masyarakat.
Tuntutan-tuntutan tersebut berkait erat dengan sistem nilai dan pola perilaku masyarakatnya.
Sedangkan masyarakat merupakan obyek studi sosiologi, yang menyangkut hubungan antar manusia
dan proses sebab-akibat yang timbul dari hubungan antar manusia tersebut.

Dengan dengan demikian pendekatan perilaku diperlukan dalam perancangan arsitektur.


Pendekatan perilaku/sosiologi mencakup aspek-aspek yang berkaitan dengan paradigma fakta sosial
yaitu norma-norma, nilai-nilai atau prinsip-prinsip yang bersifat makro maupun universal, struktur
sosial yang terdapat dalam masyarakat, paradigma definisi sosial yaitu pemahaman makna atau
symbol, paradigma perilaku sosial yaitu perilaku indidvidu/masyarakat yang berulang, serta paradigma
terpadu yaitu pendekatan secara terpadu tiga pendekatan tersebut. Paradigma-paradigma tersebut
menunjukkan bahwa pendekatan sosiologi dapat memadu para arsitek untuk menciptakan lingkungan
buatan yang memenuhi tuntutan dan kebutuhan sosial masyarakat. Pada prinsipnya pemahaman
tentang masyarakat sebagai suatu sistem yang terangkum dalam empat pendekatan sosiologi,
diharapkan dapat membantu para arsitek untuk mmeperoleh hasil karyanya (baik bangunan,
lingkungan buatan, kota maupun wilayah) sebagai perwujudan pemecahan masalah sosial {problem
solver) masyarakatnya, bukan semata-mata kreasi-eksperimen bentuk-imajinasi para arsiteknya,
dengan demikian karya arsitektur mampu mencerminkan sistem sosial masyarakatnya, bukan sesuatu
yang terpisah dari masyarakatnya.

Pendekatan perilaku/sosiologi dalam perancangan arsitektur diharapkan memandu para arsitek


agar tidak semata-mata berfungsi sebagai Builder (pembangun,) yang sehingga memberikan nilai
tambah pada penataan lingkungan fisik buatan, tetapi juga lebih dari itu,yaitu berfungsi sebagai
Social-developer yaitu membangun sistem sosial masyarakat melalui pendekatan tata-ruang (spatial
order) baik bangunan, tapak, kota, kawasan maupun wilayah. Dengan demikian para arsitek dapat
memberi konstribusi sebagai (agen perubahan) yang positif dalam pembangunan sosial masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai