Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Konstipasi adalah terhambatnya defekasi (buang air besar)
dari kebiasaan normal. Dapat diartikan sebagai defekasi yang jarang,
jumlah feses kurang,ataufesesnya keras dan kering. Konstipasi merupakan
keluhan saluran cerna terbanyak pada usia lanjut; terjadi peningkatan
dengan bertambahnya usia dan 30 – 40 % orang di atas usia 65 tahun
mengeluh konstipasi. Di Inggris ditemukan 30% penduduk diatas usia 60
tahun merupakan konsumen yang teratur menggunakan obat pencahar. Di
Australia sekitar 20% populasi di atas 65 tahun mengeluh menderita
konstipasi dan lebih banyak pada wanita dibanding pria.
Menurut National Health Interview Survey pada tahun 1991,
sekitar4, 5 juta penduduk Amerika mengeluh menderita konstipasi
terutama anak-anak, wanita dan orang usia 65 tahun ke atas. Beberapa
faktor yang mempermudah terjadinya konstipasi pada lansia seperti
kurangnya gerakan fisik, makanan yang kurang sekali mengandung
serat,kurang minum,akibat pemberian obat-obat tertentu dan lain-lain.
Akibatnya, pengosongan isi usus menjadi sulit terjadi atau isi usus menjadi
tertahan. Pada konstipasi, kotoran di dalam usus menjadi keras dan kering,
dan pada keadaan yang berat dapat terjadi akibat yang lebih berat berupa
penyumbatan pada usus disertai rasa sakit pada daerah perut. Anamnesis
merupakan hal yang terpenting untuk mengungkapkan etiologi dan factor-
faktor risiko penyebab konstipasi, sedangkan pemeriksaan fisik pada
umumnya tidak mendapatkan kelainan yang jelas. Pemeriksaan colok
dubur dapat memberikan banyak informasi yang berguna. Pemeriksaan-
pemeriksaan lain yang intensif dikerjakan secara selektif setelah 3 sampai
61 bulan pengobatan konstipasi kurang berhasil dan dilakukan hanya pada
pusat-pusat pengelolaan konstipasi tertentu.

1
Inkontinensia adalah ketidakmampuan mengontrol pengeluaran
urine atau inkontinensia jarangdikeluhkan oleh pasien atau keluarga
karena dianggap sesuatu yang biasa, malu atau tabu untuk diceritakan
pada orang lain maupun pada dokter, dianggap sesuatu yangwajar
tidak perlu diobati. Inkontinensia urine bukan penyakit, tetapi
merupakan gejala yang menimbulkan gangguan kesehatan, sosial,
psikologi serta dapat menurunkankualitas hidup (Rochani, 2002).
Inkontinensia urine yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan
dampak yangmerugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan
karena pakaian basah terus,risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah
yang tertekan), dan dapat menimbulkan rasarendah diri pada pasien.
Inkontinensia urin yang tidak segera ditangani juga
akanmempersulit rehabilitasi pengontrolan keluarnya urine (Hariyati,
2000).

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Konstipasi dan Inkontinensia Urine?
2. Bagaimana etiologi dari Konstipasi dan Inkontinensia Urine?
3. Bagaimanakah patofisiologi dari Konstipasi dan Inkontinensia Urine ?
4. Apa saja tanda dan gejalanya dari Konstipasi dan Inkontinensia
Urine?
5. Bagaimana pathway dari Konstipasi dan Inkontinensia Urine ?
6. Bagaimana penatalaksanaan dari Konstipasi dan Inkontinensia Urine ?
7. Bagaimana pemeriksaan penunjang dari Konstipasi dan Inkontinensia
Urine ?
8. Bagaimana klasifikasi Inkontinensia urine?
9. Bagaimana asuhan keperawatan teori dari Konstipasi dan
Inkontinensia Urine ?

2
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami pengertian Konstipasi dan
Inkontinensia Urine.
2. Untuk mengetahui dan memahami pembagian konstipasi Konstipasi
dan Inkontinensia Urine.
3. Untuk mengetahui dan memahami etiologi konstipasi Konstipasi dan
Inkontinensia Urine.
4. Untuk mengetahui dan memahami patofisiologi konstipasi Konstipasi
dan Inkontinensia Urine.
5. Untuk mengetahui dan memahami tanda dan gejala Konstipasi dan
Inkontinensia Urine.
6. Untuk mengetahui data penunjang dari Konstipasi dan Inkontinensia
Urine.
7. Untuk mengetahui klasifikasi inkontinensia urine.
8. Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan Konstipasi dan Inkontinensia
Urine.

3
BAB II
KONSTIPASI DAN INKONTINENSIA URINE
A. KONSTIPASI
1. Pengertian Konstipasi
Konstipasi adalah kesulitan buang air besar dengan konsistensi
feses yang padat dengan frekuensi buang air besar lebih atau sama
dengan 3 hari sekali. Konstipasi memiliki persepsi gejala yang
berbeda-beda pada setiap anak tergantung pada konsistensi tinja,
frekuensi buang air besar dan kesulitan keluarnya tinja. Pada anak
normal yang hanya buang air besar setiap 2-3 hari dengan tinja yang
lunak tanpa kesulitan bukan disebut konstipasi. Namun, buang air
besar setiap 3 hari dengan tinja yang keras dan sulit keluar, sebaiknya
dianggap konstipasi. Menurut World Gastroenterology Organization
(WGO) konstipasi adalah defekasi keras (52%), tinja seperti pil/ butir
obat (44%), ketidakmampuan defekasi saat diinginkan (34%), atau
defekasi yang jarang (33%) (Devanarayana dkk., 2010).
Konstipasi adalah kesulitan atau lamanya defekasi, timbul selama
2 minggu atau lebih, dan menyebabkan ketidaknyamanan pada pasien
(Van den Berg dkk., 2007).
Konstipasi sebagai defekasi yang terganggu selama 8 minggu
dengan mengikuti minimal 2 gejala sebagai berikut: defekasi kurang
dari 3 kali per minggu, inkontinensia frekuensi tinja lebih besar dari
satu kali per minggu, masa tinja yang keras, masa tinja teraba di
abdomen, perilaku menahan defekasi, nyeri saat defekasi (Drossman
dan Dumitrascu, 2006; Voskuijl dkk., 2004).

2. Etiologi
Penyebab tersering konstipasi pada anak yaitu fungsional, fisura
ani, infeksi virus dengan ileus, diet dan obat. Konstipasi pada anak
95% akibat konstipasi fungsional. Konstipasi fungsional pada
umumnya terkait dengan perubahan kebiasan diet, kurangnya makanan
mengandung serat, kurangnyaasupan cairan, psikologis, takut atau

4
malu ke toilet (Van Dijk dkk., 2010; Uguralp dkk., 2003; Ritterband
dkk).

3. Patofisiologi
Patofisiologi Frekuensi defekasi pada anak-anak bervariasi
menurut umur. Pada anak umur 0-3 bulan dengan mengkonsumsi ASI
frekuensi defekasi 3 kali/hari, anak umur 0-3 bulan dengan
mengkonsumsi susu formula frekuensi defekasi 2 kali/hari, dan anak
umur ≥ 1 tahun frekuensi normal defekasi yaitu 1 kali/hari. (Iacono
dkk., 2005). Proses defekasi normal memerlukan keadaan anatomi dan
inervasi normal ari rektum, otot puborektal dan sfingter ani. Rektum
adalah organ sensitif yang mengawali proses defekasi. Tekanan pada
dinding rektum akan merangsang sistam saraf intrinsik rektum dan
menyebabkan relaksasi sfingter ani interna, yang dirasakan sebagai
keinginan untuk defekasi. Sfingter anal eksterna kemudian menjadi
relaksasi dan feses dikeluarkan mengikuti peristaltik kolon melalui
anus. Relaksasi sfingter tidak cukup kuat, maka sfingter ani eksterna
dibantu otot puborektal akan berkontraksi secara refleks dan refleks
sfingter interna akan menghilang, sehingga keinginan defekasi juga
menghilang (Van Der Plas dkk., 2000; Degen dkk., 2005; Bu LN
dkk., 2007).
Proses defekasi yang tidak lancar akan menyebabkan feses
menumpuk hingga menjadi lebih banyak dari biasanya dan dapat
menyebabkan feses mengeras yang kemudian dapat berakibat pada
spasme sfingter ani. Feses yang terkumpul di rektum dalam waktu
lebih dari satu bulan menyebabkan dilatasi rektum yang
mengakibatkan kurangnya aktivitas peristaltik yang mendorong feses
keluar sehingga menyebabkan retensi feses yang semakin banyak.
Peningkatan volume feses pada rektum menyebabkan kemampuan
sensorik rektum berkurang sehingga retensi feses makin mudah terjadi
(Van Der Plas dkk., 2000).

5
4. Tanda Dan Gejala Konstipasi
Gejala klinis konstipasi adalah frekuensi defekasi kurang dari tiga
kali perminggu, nyeri saat defekasi, tinja keras, sering mengejan pada
saat defekasi, perasaan kurang puas setelah defekasi. (Uguralp dkk.,
2003; Rajindrajith dkk., 2010). Keluhan lain yang biasa timbul adalah
nyeri perut, kembung, perdarahan rektum (tinja yang keluar keras dan
kehitaman). Keluhan tersebut makin bertambah berat, bahkan sampai
timbulnya gejala obstruksi intestinal (Vander Plas dkk.,2010).
Gejala dan tanda klinis konstipasi pada anak dimulai dari rasa nyeri
saat defekasi, anak akan mulai menahan tinja agar tidak dikeluarkan
untuk menghindari rasa tidak nyaman yang berasal dari defekasi dan
terus menahan defekasi maka keinginan defekasi akan berangsur
hilang oleh karena kerusakan sensorik di kolon dan rektum sehingga
akan terjadi penumpukn tinja (Degen dkk., 2005).
Berikut beberapa gejala dan tanda yang timbul pada anak dengan
konstipasi yaitu berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik (Tabel
2.1).
Tabel 2.1 Gejala dan Tanda Klinis Konstipasi

No Gejala dan tanda Klinis Presentase (%)

1. Anamnesis

Defekasi jarang 80-100

Feses keras 58-100

Nyeri saat defekasi 50-90

Feses lembek 35-96

Inkontinensia fekalis 45-75

Masalah psikologi 20-65

Nyeri perut anoreksia / nafsu makan


10-64
kurang

6
Riwayat keluarga konstipasi 10-47

Kelainan traktus urinarius 5-43

Distensi abdomen 0-61

Muntah 8-10

2. Pemeriksaan fisik

Masa di rektum 28-100

Masa di abdomen 30-71

Firasura dan pendarahan rektum 5-55

Prolaps rektum 0-3

5. Penatalaksanaan
Banyak macam-macam obat yang dipasarkan untuk mengatasi
konstipasi, merangsang upaya untuk memberikan pengobatan secara
simptomatik. Sedangkan bila pengobatan harus ditujukan pada
penyebab dari konstipasi. Penggunaan obat pencahar jangka panjang
terutama yang bersifat merangsang peristaltik usus, harus dibatasi.
Strategi pengobatan dibagi menjadi:
1. Pengobatan non-farmakologis
a. Latihan usus besar:
Melatih usus besar adalah suatu bentuk latihan perilaku
yang disarankan pada penderita konstipasi yang tidak jelas
penyebabnya. Penderita dianjurkan mengadakan waktu
secara teratur setiap hari untuk memanfaatkan gerakan usus
besarnya. dianjurkan waktu ini adalah 5-10 menit setelah
makan, sehingga dapat memanfaatkan reflex gastro-kolon
untuk BAB. Diharapkan kebiasaan ini dapat menyebabkan
penderita tanggap terhadap tanda-tanda dan rangsang untuk

7
BAB, dan tidak menahan atau menunda dorongan untuk
BAB ini.
b. Diet:
Peran diet penting untuk mengatasi konstipasi terutama
pada golongan usia lanjut. Data epidemiologis
menunjukkan bahwa diet yang mengandung banyak serat
mengurangi angka kejadian konstipasi dan macam-macam
penyakit gastrointestinal lainnya, misalnya divertikel dan
kanker kolorektal. Serat meningkatkan massa dan berat
feses serta mempersingkat waktu transit di usus. untuk
mendukung manfaa serat ini, diharpkan cukup asupan
cairan sekitar 6-8 gelas sehari, bila tidak ada kontraindikasi
untuk asupan cairan.
c. Olahraga:
Cukup aktivitas atau mobilitas dan olahraga membantu
mengatasi konstipasi jalan kaki atau lari-lari kecil yang
dilakukan sesuai dengan umur dan kemampuan pasien, akan
menggiatkan sirkulasi dan perut untuk memeperkuat otot-
otot dinding perut, terutama pada penderita dengan atoni
pada otot perut.

2. Pengobatan farmakologis
Jika modifikasi perilaku ini kurang berhasil, ditambahkan
terapi farmakologis, dan biasnya dipakai obat-obatan golongan
pencahar. Ada 4 tipe golongan obat pencahar :
a. Memperbesar dan melunakkan massa feses, antara lain
: Cereal, Methyl selulose, Psilium.
b. Melunakkan dan melicinkan feses, obat ini bekerja dengan
menurunkan tegangan permukaan feses, sehingga
mempermudah penyerapan air. Contohnya : minyak
kastor, golongan dochusate.

8
c. Golongan osmotik yang tidak diserap, sehingga cukup
aman untuk digunakan, misalnya pada penderita gagal
ginjal, antara lain : sorbitol, laktulose, gliserin
d. Merangsang peristaltik, sehingga meningkatkan motilitas
usus besar. Golongan ini yang banyak dipakai. Perlu
diperhatikan bahwa pencahar golongan ini bisa dipakai
untuk jangka panjang, dapat merusak pleksusmesenterikus
dan berakibat dismotilitas kolon. Contohnya : Bisakodil,
Fenolptalein.
Bila terjadi konstipasi kronis yang berat dan tidak dapat
diatasi dengan cara-cara tersebut di atas, mungkin dibutuhkan
tindakan pembedahan. Misalnya kolektomi sub total dengan
anastomosis ileorektal. Prosedur ini dikerjakan pada konstipasi
berat dengan masa transit yang lambat dan tidak diketahui
penyebabnya serta tidak ada respons dengan pengobatan yang
diberikan. Pasa umumnya, bila tidak dijumpai sumbatan
karena massa atau adanya volvulus, tidak dilakukan
tindakan pembedahan.

6. Pemeriksaan Penunjang
1. Bila dibutuhkan untuk melihat adanya penyakit penyebab
konstipasi dokter bisa membutuhkan pemeriksaan darah, dan
pemeriksaan fungsi thyroid.
2. Foto Rontgen perut juga bisa diperlukan untuk melihat adanya
udara terperangkap dalam usus atau tidak sebagai tanda terjadi
obstruksi/sumbatan di usus. Atau foto Rontgen dengan kontras
(barium enema) untuk melihat penyakit-penyakit di usus besar.
3. Pemeriksaan dengan kamera (sigmoidoscopy dan colonoscopy) bisa
juga dipakai untuk melihat kelainan yang mungkin ada usus besar.

9
10
4. Klasifikasi konstipasi
Berdasarkan lamanya keluhan yang dirasakan, konstipasi dibedakan
menjadi 2 yaitu:
1. Konstipasi akut yaitu apabila keluhan yang dirasakan kurang dari 4
minggu. Penyebabnya dari konstipasi ini adalah infeksi virus,
obtruksi mekanis, dehidrahsi, dan bostulism infantil.
2. Konstipasi kronis keluhan yang dirasakan berlangsung lebih dari 4
mingu. Penyebabnya dari konstipasi ini adalah penyakit
hirschsprung (suatu bentuk penyumbatan pada usus besar yang
terjadi akibat lemahnya pergerakan usus karena sebagian usus
besar tidak memiliki saraf yang mengendalikan kontraksi ototnya.

Penyebab dari Konstipasi antara lain :

1. Kurangnya kandungan serat dalam makanan yang di konsumsi


sehari – hari dan pemenuhan gizi berkurang.
2. Penyakit Hirschprung : satu penyakit yang di tandai oleh
disfungsi plekus mienterikus di usus besar. Biasanya penyakit ini
tampak mulai lahir.
3. Dehidrasi : ini disebabkan karena tubuh kekuragan air sehingga
akan terjadi penyerapan air secara berlebihan di kolon, yang
mengakibatkan feses menjadi padat dan sulit dikeluarkan.
4. Penyakit Divertikulum, ditandai oleh satu atau lebih herniasi
lapisan mukosa kolon menembus lapisan otot terjaki karena
individu sering membuat tekanan tinggi di dalam lumen kolon
sewaktu mengejan untuk mengeluarkan tinja rendah serat.
5. Kangker kolorektum, sebagian besar kangker kolorektum adalah
karsinoma dan biasanya berasal dari kelenjar sekretorik lapisan
mukosa penyebabnya adalah menahan tinjayang berakibat
terdorongnya toksin – toksin yang terdapat di dalam tinja untuk
mencetuskan kangker.
6. Dampak anastesi setelah post ops ini dikarenakan adanya
gangguan pada gerakan peristaltik usus yang menurun.

11
7. Kebiasaan buang air besar yang di lakukan oleh individu yaitu
menahan buang air besar disebabkan rasa takut akan nyeri serta
rangsangan simpatik atas saluran gastro intestinal dan
menurunkan motilitas dan dapat memperlambat kelambatan
defekasi.

12
Pathwey

13
9. ASUHAN KEPERAWATAN GANGGUAN PENCERNAAN
KONSTIPASI
A. Pengkajian
1. Biodata Pasien (meliputi identitas pasien seperti : Nama, Jenis
Kelamin, Pekerjaan, Agama)
2. Keluhan Utama
3. Riwayat Kesehatan
Riwayat kesehatan dibuat untuk mendapatkan informasi
tentang awitan dan durasi konstipasi, pola eliminasi saat ini dan
masa lalu, serta harapan pasien tentang elininasi defekasi.
Informasi gaya hidup harus dikaji, termasuk latihan dan tingkat
aktifitas, pekerjaan, asupan nutrisi dan cairan, serta stress. Riwayat
medis dan bedah masa lalu, terapi obat-obatan saat ini, dan
penggunaan laksatif serta enema adalah penting.Pasien harus
ditanya tentang adanya tekanan rektal atau rasa penuh, nyeri
abdomen, mengejan berlebihan saat defekasi, flatulens, atau diare
encer.
4. Riwayat / Keadaan Psikososial
5. Pemeriksaan Fisik
6. Pola Kebiasaan Sehari-hari
7. Analisa Data
Pengkajian objektif mencakup inspeksi feses terhadap
warna, bau, konsistensi, ukuran, bentuk, dan komponen.Abdomen
diauskultasi terhadap adanya bising usus dan karakternya. Distensi
abdomen diperhatikan.Area peritonial diinspeksi terhadap adanya
hemoroid, fisura, dan iritasi kulit.

14
Analisa Data:
No Data Etiologi Masalah
1. Data subjektif : Konstipasi
Seminggu tidak BAB,
kebiasaan BAB tiga kali
sehari Pola BAB tidak teratur
Data objektif :
Inspeksi : pembesaran Eliminasi feses tidak
abdomen. lancar
Palpasi : perut terasa
keras, ada impaksi feses. Konstipasi
Perkusi : redup.
Auskultasi : bising usus
tidak terdengar
2. Data subjektif: Sulit BAB Nutrisi kurang
Klien tidak nafsu makan dari kebutuhan
Perut terasa begah
Data objektif:
Bising usus tidak Nafsumakan menurun
terdengar
Nutrisi kurang dari
kebutuhan
3. Data subjektif: konsistensi tinja yang Nyeri Akut
Keluhan nyeri dari keras
pasien
sulit keluar
Data objektif:
Perubahan nafsu makan Akumulasi di kolon

Nyeri abdomen

15
B. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul
a. Konstipasi berhubungan dengan pola defekasi tidak teratur.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
hilangnya nafsu makan.
c. Nyeri akut berhubungan dengan akumulasi feses keras pada abdomen.

C. Intervensi dan Rasional


1. Diagnosa : Konstipasi berhubungan dengan pola defekasi
tidak teratur
Tujuan : pasien dapat defekasi dengan teratur (setiap hari)
Kriteria hasil :
1) Defekasi dapat dilakukan satu kali sehari.
2) Konsistensi feses lembut
3) Eliminasi feses tanpa perlu mengejan berlebihan
Intervensi Rasional
1. Mandiri:
1. Tentukan pola defekasi bagi 1. Untuk mengembalikan
klien dan latih klien untuk keteraturan pola defekasi
menjalankannya klien
2. Atur waktu yang tepat untuk 2. Untuk memfasilitasi refleks
defekasi klien seperti defekasi
sesudah makan
3. Berikan cakupan nutrisi 3. Nutrisi serat tinggi untuk
berserat sesuai dengan melancarkan eliminasi fekal
indikasi
4. Berikan cairan jika tidak 4. Untuk melunakkan eliminasi
kontraindikasi 2-3 liter per feses
hari

16
2. Diagnosa : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan
berhubungan dengan hilangnya nafsu makan
Tujuan : menunjukkan status gizi baik
Kriteria Hasil :
1) Toleransi terhadap diet yang dibutuhkan
2) Mempertahankan massa tubuh dan berat badan dalam batas
normal
3) Nilai laboratorium dalam batas normal
4) Melaporkan keadekuatan tingkat energi
Intervensi Rasional
1. Mandiri:
1. Buat perencanaan makan 1. Menjaga pola makan pasien
dengan pasien untuk sehingga pasien makan secara
dimasukkan ke dalam jadwal teratur
makan.
2. Dukung anggota keluarga 2. Pasien merasa nyaman dengan
untuk membawa makanan makanan yang dibawa dari rumah
kesukaan pasien dari rumah. dan dapat meningkatkan nafsu
makan pasien.
3. Pastikan diet memenuhi 3. Tinggi karbohidrat, protein, dan
kebutuhan tubuh sesuai kalori diperlukan atau dibutuhkan
indikasi. selama perawatan.

4. Pastikan pola diet yang pasien 4. Untuk mendukung peningkatan


yang disukai atau tidak nafsu makan pasien
disukai.
5. Pantau masukan dan 5. Mengetahui keseimbangan intake
pengeluaran dan berat badan dan pengeluaran asuapan
secara periodik makanan.
6. Kaji turgor kulit pasien 6. Sebagai data penunjang adanya
perubahan nutrisi yang kurang
dari kebutuhan

17
3. Diagnosa : Nyeri akut berhubungan dengan akumulasi feses
keras pada abdomen
Tujuan : menunjukkan nyeri telah berkurang
Kriteria Hasil :
1) Menunjukkan teknik relaksasi secara individual yang efektif untuk
mencapai kenyamanan
2) Mempertahankan tingkat nyeri pada skala kecil
3) Melaporkan kesehatan fisik dan psikologisi
4) Mengenali faktor penyebab dan menggunakan tindakan untuk
mencegah nyeri
5) Menggunakan tindakan mengurangi nyeri dengan analgesik dan
non-analgesik secara tepat
Intervensi Rasional
1. Mandiri:
1. Bantu pasien untuk lebih 1. Klien dapat mengalihkan
berfokus pada aktivitas dari perhatian dari nyeri
nyeri dengan melakukan
penggalihan melalui televisi
atau radio.
2. Perhatikan bahwa lansia 2. Hati-hati dalam pemberian
mengalami peningkatan anlgesik opiate
sensitifitas terhadap efek
analgesik opiat
3. Perhatikan kemungkinan 3. Hati-hati dalam pemberian
interaksi obat – obat dan obat-obatan pada lansia
obat penyakit pada lansia

D. Evaluasi
1. Menyatakan proses defekasi secara teratur yaitu secara 1x sehari.
2. Menyatakan pemahaman tentang kebutuhan nutrisi.
3. Mempertahankan intensitas nyeri pada skala kecil.

18
B. INKONTINENSIA URINE
1. Pengertian Inkontinensia Urine
Inkontinensia urine merupakan kehilangan kontrol berkemih yang
bersifat sementara atau menetap.Klien tidak dapat mengontrol sfingter
uretra eksterna.Merembesnya urine dapat berlangsung terus menerus
atau sedikit sedikit (Potter dan Perry, 2005).
Inkontinensia urine merupakan ketidakmampuan otot sfingter
eksternal sementara atau menetap untuk mengontrol ekskresi urin.
Secara umum penyebab inkontinensia dapat berupa proses penuaan,
pembesaran kelenjar prostat, penurunan kesadaran, dan penggunaan
obat narkotik atau sedatif ( Hidayat 2006).
Inkontinensia urine yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan
dampak yang merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan
karena pakaian basah terus, risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah
yang tertekan), dan dapat menimbulkan rasa rendah diri pada pasien.
Inkontinensia urine yang tidak segera ditangani juga akan mempersulit
rehabilitasi pengontrolan keluarnya urine (Hariyati, 2000).

2. Etiologi Inkontinensia Urine


Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada
anatomi danfungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot
dasar panggul akibat kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejan
yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak
dapat menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan)
abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga walaupun kandung
kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih.
Penyebab Inkontinensia Urine (IU)antara lain terkait dengan
gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan,produksi
urin meningkat atau adanya gangguan kemampuan/keinginan ke toilet.
Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika
terjadi infeksisaluran kemih, maka tatalaksananya adalah terapi
antibiotika. Apabila vaginitis atauuretritis atrofi penyebabnya, maka

19
dilakukan terapi estrogen topical. Terapi perilakuharus dilakukan
jika pasien baru menjalani prostatektomi. Dan, bila terjadi
impaksifeses, maka harus dihilangkan misalnya dengan makanan
kaya serat, mobilitas,asupan cairan yang adekuat, atau jika perlu
penggunaan laksatif. Inkontinensia Urinejuga bisa terjadi karena
produksi urine berlebih karena berbagai sebab, misalnyagangguan
metabolik, seperti diabetes melitus, yang harus terus dipantau. Sebab
lainadalah asupan cairan yang berlebihan yang bisa diatasi
dengan mengurangi asupancairan yang bersifat diuretika seperti
kafein.
Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab
produksi urine meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang
sesuai. Gangguan kemampuan ketoilet bisa disebabkan oleh penyakit
kronik, trauma, atau gangguan mobilitas. Untukmengatasinya
penderita harus diupayakan ke toilet secara teratur atau
menggunakansubstitusi toilet. Apabila penyebabnya adalah masalah
psikologis, maka hal itu harusdisingkirkan dengan terapi non
farmakologik atau farmakologik yang tepat.
Golongan obat yang berkontribusi pada IU, yaitu diuretika,
antikolinergik, analgesik, narkotik, antagonis adrenergic alfa, agonic
adrenergic alfa, ACE inhibitor, dankalsium antagonik.
Golongan psikotropika seperti antidepresi, antipsikotik, dan
sedatif hipnotik jugamemiliki andil dalam IU. Kafein dan alcohol
juga berperan dalam terjadinya mengompol. Selain hal-hal yang
disebutkan diatas inkontinensia urine juga terjadiakibat kelemahan
otot dasar panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan,kegemukan
(obesitas), menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi
vagina.
Dengan menurunnya kadar hormone estrogen pada wanita di usia
menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot
vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan
terjadinya inkontinensia urine. Faktor risikoyang lain adalah

20
obesitas atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan
lainnyajuga berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua
seseorang semakin besarkemungkinan mengalami inkontinensia
urine, karena terjadi perubahan strukturkandung kemih dan otot
dasar panggul (Darmojo, 2009).

3. Patofisiologi
Inkontinensia urine berkaitan erat dengan anatomi danfisiologis
juga dipengaruhi oleh faktor fungsional, psikologis dan
lingkungan. Padatingkat yang paling dasar, proses berkemih diatur
oleh reflek yang berpusat di pusatberkemih disacrum.Jalur afferen
membawa informasi mengenai volume kandungkemih di medulla
spinalis (Darmojo, 2000).
Pengisian kandung kemih dilakukandengan cara relaksasi
kandung kemih melalui penghambatan kerja syaraf parasimpatisdan
kontraksi leher kandung kemih yang dipersarafi oleh saraf
simpatis serta sarafsomatic yang mempersyarafi otot dasar panggul
(Guyton, 1995).
Pengosongan kandung kemih melalui persarafan kolinergik
parasimpatis yangmenyebabkan kontraksi kandung kemih
sedangkan efek simpatis kandung kemih berkurang.
Jika kortek serebri menekan pusat penghambatan, akan
merangsang timbulnya berkemih. Hilangnya penghambatan pusat
kortikal ini dapat disebabkan karena usiasehingga lansia sering
mengalami inkontinensia urine. Karena dengan kerusakan
dapatmengganggu kondisi antara kontraksi kandung kemih dan
relaksasi uretra yang managangguan kontraksi kandung kemih akan
menimbulkan inkontinensia (Setiati, 2001).

21
4. Tanda dan Gejala Inkontinensia Urine
Tanda dan gejala yag ditemukan pada pasien dengan retensi urin
menurut Uliyah (2008) yaitu:
a. Ketidaknyamanan daerah pubis.
b. Distensi vesika urinaria.
c. Ketidak sanggupan untuk berkemih.
d. Sering berkemih, saat vesika urinaria berisi sedikit urine ( 25-50
ml).
5. Penatalaksanaan
Penanganan inkontinensia urine bergantung pada faktor
penyebab yangmendasarinya, sebelum terapi yang tepat dapat
dimulai, munculnya masalah ini harusdiidentifikasi dahulu dan
kemungkinan keberhasilan terapi diakui. Jika perawat danpetugas
kesehatan lainnya menerima inkontinensia sebagai bagian yang
tidakterelakan dari proses penuaan dan perjalanan penyakitnya
atau menganggapinkontinensia tidak dapat dipulihkan dan tidak
dapat diterapi pada usia berapapun,maka keadaan tersebut tidak
akan dapat diterapi dengan hasil yang baik. Upaya yangbersifat
interdisipliner dan kolaboratif sering sangat penting dalam
mengkaji dan mengatasi inkontinensia urin secara efektif.
Penatalaksanaan yang berhasil bergantung pada tipe
inkontinensia urine danfaktor penyebabnya. Inkontinensia
urindapat bersifat sepintas atau reversible, setelah penyebab yang
mendasari berhasildiatasi, pola urinasi pasien akan kembali normal.

22
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Urinalisis
Digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah dan glukosa
dalam urine.
b. Uroflowmeter
Digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan menunjukkan
obstruksi pintu bawah kandung kemih dengan mengukur laju
aliran ketika pasien berkemih.
c. Cysometry
Digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuskular kandung
kemih dengan mengukur efisiensi refleks otot destrusor,
tekanan dan kapasitas intravesikal, dan reaksi kandung kemih
terhadap rangsangan panas.
d. Urografi ekskretori bawah kandung kemih dengan mengukur
laju aliran ketika pasien berkemih.
e. Urografi ekskretori
Disebut juga pielografi intravena, digunakan untuk
mengevaluasi struktur dan fungsi ginjal, ureter dan kandung
kemih.
f. Kateterisasi residu pascakemih
Digunakan untuk menentukan luasnya pengosongan
kandung kemih dan jumlah urine yang tersisa dalam kandung
kemih setelah pasien berkemih.
Adapun penatalaksanaan medis inkontinensia urine
menurut Muller adalah mengurangifaktor resiko,
mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urine,
modifikasi lingkungan,medikasi, latihan otot pelvis dan
pembedahan. Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat dilakukan
sebagai berikut :
1. Pemanfaatan kartu catatan berkemih
Yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu
berkemih dan jumlah urine yang keluar,baik yang

23
keluar secara normal, maupun yang keluar karena tak
tertahan, selain itudicatat pula waktu, jumlah dan jenis
minuman yang diminum.
2. Terapi non farmakologi
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang
mendasari timbulnya inkontinensia urine,seperti
hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula
darah tinggi, dan lain-lain.Adapun terapi yang dapat
dilakukan adalah :
a. Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang
interval waktu berkemih) dengan teknik relaksasi
dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7
x/hari.
b. Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang
telah ditentukan sesuai dengan kebiasaan.
c. Promted voiding dilakukan dengan cara mengenal
kondisi berkemih mereka serta dapat
memberitahukan petugas bila ingin berkemih.
3. Terapi farmakologi
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urine
adalah:
a. Antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine,
Dicylomine
b. Pada inkontinensia stress diberikan
alfaadrenergicagonis, yaitu pseudoephedrine untuk
meningkatkan retensi urethra.
c. Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis
seperti Bethanechol ataualfa kolinergik antagonis
seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi,
danterapi diberikan secara singkat.

24
4. Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada
inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila terapi non
farmakologis dan farmakologis tidak berhasil.
Inkontinensia tipe overflow umumnya memerlukan
tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin.
Terapi ini dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum,
hiperplasia prostat, danprolaps pelvic(pada wanita).
5. Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah
medic yang menyebabkan inkontinensia urine,dapat pula
digunakan beberapa alat bantu bagi lansia yang mengalami
inkontinensia urine,diantaranya adalah pampers, kateter,
dan alat bantu toilet sepertiurinal, komod dan bedpan.

7. Klasifikasi Inkontinensia Urine


a. Inkontinensia akibat stres
Merupakan eliminasi urine diluar keinginan melalui
uretra sebagai akibat dari peningkatan mendadak pada tekanan
intra-abdomen.Tipe inkontinensia ini paling sering ditemukan
pada wanita dan dapat disebabkan olehcedera obstetrik, lesi
kolum vesika urinaria, kelainan ekstrinsik pelvis,
fistula,disfungsi detrusor dan sejumlah keadaan lainnya.
Disamping itu, gangguan ini dapat terjadi akibat kelainan
kongenital (ekstrofi vesika urinaria, ureter ektopik).
b. Urge incontinence
Terjadi bila pasien merasakan dorongan atau keinginan
untuk urinasi tetapi tidakmampu menahannya cukup lama
sebelum mencapai toilet. Pada banyak kasus,kontraksi
kandung kemih yang tidak dihambat merupakan faktor yang
menyertaikeadaan ini dapat terjadi pada pasien disfungsi
neurologi yang mengganggu penghambatan kontraksi kandung

25
kemih atau pada pasien dengan gejala lokal iritasiakibat infeksi
saluran kemih atau tumor kandung kemih.
c. Overflow incontinence
Ditandai oleh eliminasi urine yang sering dan kadang-
kadang terjadi hampir terusmenerus dari kandung kemih.
Kandung kemih tidak dapat mengosongkan isinyasecara
normal dan mengalami distensi yang berlebihan. Meskipun
eliminasi urinterjadi dengan sering, kandung kemih tidak
pernah kosong. Overflow incontinence dapat disebabkan oleh
kelainan neurologi (yaitu, penggunaan obat-obatan,
tumor,striktur dan hiperplasia prostat). Kandung kemih
neurogenik dibahas secara terpisahdalam bagian berikutnya.
d. Inkontinensia fungsional
Merupakan inkontinensia dengan fungsi saluran kemih
bagian bawah yang utuh tetap pada faktor lain, seperti
gangguan kognitif berat yang membuat pasien sulit
untukmengidentifikasi perlunya urinasi (misalnya, demensia
Alzheimer) atau gangguanfisik yang menyebabkan pasien
sulit atau tidak mungkin menjangkau toilet untukmelakukan
urinasi.
e. Bentuk-Bentuk Inkontinensia Urine Campuran
Yang mencakup ciri-ciriinkontinensia seperti yang baru
disebutkan, dapat pula terjadi.Selain itu inkontinensia urine dapat
terjadi akibat interaksi banyak faktor.
Dengan pengenalan permasalahan yang tepat,
pemeriksaan dan perujukanuntuk evaluasi diagnostik secara
terapi, maka prognosis inkontinensia dapatditentukan. Semua
pasien inkontinensia harus diperhatikan untuk
mendapatkanpemeriksaan evaluasi dan terapi.

26
8. Pathway

27
ASUHAN KEPERAWATAN GANGGUAN PENCERNAAN

INKONTINENSIA URINE

A. Pengkajian
1. Identitas klien
Inkontinensia pada umumnya biasanya sering atau cenderung
terjadi pada lansia(usia ke atas 65 tahun), dengan jenis kelamin
perempuan, tetapi tidak menutup kemungkinan lansia laki-laki juga
beresiko mengalaminya.
2. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang.
Meliputi gangguan yang berhubungan dengan gangguan yang
dirasakan saatini. Berapakah frekuensi inkontinensianya, apakah
ada sesuatu yang mendahului inkontinensia (stres, ketakutan,
tertawa, gerakan), masukan cairan,usia/kondisi fisik,kekuatan
dorongan/aliran jumlah cairan berkenaan denganwaktu miksi.
Apakah ada penggunaan diuretik, terasa ingin berkemih sebelum
terjadi inkontinensia, apakah terjadi ketidak mampuan.
b. Riwayat kesehatan masa lalu.
Tanyakan pada klien apakah klien pernah mengalami
penyakit serupa sebelumnya, riwayat urinasi dan catatan eliminasi
klien, apakah pernah terjadi trauma/cedera genitourinarius,
pembedahan ginjal, infeksi saluran kemih dan apakah dirawat
dirumah sakit.
c. Riwayat kesehatan keluarga.
Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang
menderita penyakit serupa dengan klien dan apakah ada riwayat
penyakit bawaan atau keturunan, penyakit ginjal bawaan/bukan
bawaan.

28
3. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum.
Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan
karena respon dari terjadinya inkontinensia.
b. Abdomen
Pembesaran, pelebaran pembuluh darah vena, distensi kandung
kemih, pembesaran ginjal, nyeri tekan, tendernes, bising usus.
c. Genetalia wanita
Inflamasi, nodul, lesi adanya sekret dari meatus, dan keadaan atropi
jaringan vagina.
d. Genetelia laki – laki
Kebersihan, adanya lesi, tenderness, dan adanya pembesaran
skrotum.
4. Data penunjang
a. Urinalisis
b. Hematuria.
c. Poliuria
d. Bakteriuria.

5. Pemeriksaan Radiografi
a. IVP (intravenous pyelographi), memprediksi lokasi ginjal dan ureter.
b. VCUG (Voiding Cystoufetherogram), mengkaji ukuran, bentuk,
dan fungsi VU, melihat adanya obstruksi (terutama obstruksi
prostat), mengkaji PVR(Post Voiding Residual).
6. Kultur Urine
a. Steril.
b. Pertumbuhan tak bermakna ( 100.000 koloni / ml).
c. Organisme.

29
B. Diagnosa
1. Inkontinensia stress berhubungan dengan kelemahan otot pelvis dan
strukturdasar penyokongnya, perubahan degenaratif pada otot-otot pelvis,
defisiensisfingter uretra intrinsik.
2. Resiko Kerusakan Integitas kulit berhubungan dengan irigasi konstan
olehurine.
3. Resiko Isolasi Sosial berhubungan dengan keadaan yang memalukan
akibat mengompol di depan orang lain atau takut bau urine.

C. Intervensi
1. Inkontinensia stress berhubungan dengan kelemahan otot pelvis dan
struktur dasar penyokongnya, perubahan degenaratif pada otot-otot
pelvis, defisiensi sfingter ureter intrinsik
Tujuan : Klien akan melaporkan suatu pengurangan / penghilangan
inkontinensia, klien dapat menjelaskan penyebab

Intervensi Rasional

1. Kaji kebiasaan pola berkemih dan 1. Mengetahui perubahan pola


dan gunakan catatan berkemih berkemih.
sehari.
2. Pertahankan catatan harian 2. Mengetahui efektifitas program
untuk mengkaji efektifitas yang direncanakan untuk
program yang direncanakan. merubah pola berkemih.
3. Observasi meatus perkemihan 3. Mengetahui adakah obstruksi
untuk memeriksa kebocoran saat atau kerusakan pada organ kemih.
kandung kemih.
4. Intruksikan klien batuk dalam 4. Mengetahui bagian mana yang
posisi litotomi, jika tidak ada mengalami kebocoran pada organ
kebocoran, ulangi dengan posisi perkemihan.
klien membentuk sudut 45,
lanjutkan dengan klien berdiri
jika tidak ada kebocoran yang

30
lebih dulu.
5. Pantau masukan dan
pengeluaran, pastikan klien 5. Mengobservasi input dan output
mendapat masukan cairan 2000 urine pasien, dan memaksimalkan
ml, kecuali harus dibatasi. input yang harus diberikan/sesuai
6. Ajarkan klien untuk kebutuhan.
mengidentifikasi otot dinding 6. Untuk mengidentifikasi kekuatan
pelvis dan kekuatannya dengan otot panggul pasien dan
latihan meminimalisir terjadinya
7. Kolaborasi dengan dokter dalam penurunan kekuatan otot.
mengkaji efek medikasi dan 7. Untuk menentukan pengobatan
tentukan kemungkinan perubahan yang tepat diberikan pada pasien
obat, dosis/jadwal pemberian obat
untuk menurunkan frekuensi
inkontinensia

2. Resiko Kerusakan Integitas kulit berhubungan dengan irigasi konstan


oleh urine
Tujuan : Jumlah bakteri < 100.000/ml, Kulit periostomal tetap utuh,
Suhu 37° C, Urine jernih dengan sedimen minimal.

Intervensi Rasional

1. Pantau penampilan kulit 1. Peningkatan berat urine dapat


periostomal setiap 8jam. merusak segel periostomal.
2. Ganti wafer stomehesif setiap 2. Yakinkan kulit bersih dan kering
minggu atau bila bocor terdeteksi. Sebelum memasang wafer yang
Untuk mengidentifikasi kemajuan baru. Potong lubang wafer kira-
atau penyimpangan dari hasil yang kira setengah inci lebih besar dari
diharapkan. diameter stoma untuk menjamin
ketepatan ukuran kantung yang

31
benar-benar menutupi kulit
periostomal. Kosongkan kantung
urostomi bila telah seperempat
sampai setengah penuh.
kebocoran urine. Pemajanan
menetap pada kulit periostomal
terhadap asam urine dapat
menyebabkan kerusakan kulit dan
peningkatan resiko infeksi.

3. Resiko Isolasi Sosial berhubungan dengan keadaan yang memalukan


akibat mengompol di depan orang lain atau takut bau urine.

Intervensi Rasional

1. Yakinkan apakah konseling 1. Memberikan informasi tentang tingkat


dilakukan dan atau perlu diversi pengetahuan pasien / orang terdekat
urinaria, diskusikan pada saat tentang situasi individu dan pasien
pertama. menerimanya (contoh; inkontinensia tak
sembuh, infeksi).
2. Dorong pasien / orang terdekat 2. Memberikan kesempatan menerima
untuk mengatakan perasaan. Akui isu/salah konsep. Membantu pasien/
kenormalan perasaan marah, depresi, orang terdekat menyadari bahwa
dan kedudukan karena kehilangan. perasaan yang dialami tidak biasa dan
Diskusikan “peningkatan dan bahwa perasaan bersalah pada mereka
penurunan” tiap hari yang dapat tidak perlu /membantu. Pasien perlu
terjadi setelah pulang. mengenali perasaan sebelum mereka
dapat menerimanya secara efektif.
3. Perhatikan perilaku menarik diri, 3. Dugaan masalah pada penyesuaian
peningkatan ketergantungan, yang memerlukan evaluasi lanjut
manipulasi atau tidak terlibat pada dan terapi lebih efektif. Dapat
asuhan. menunjukkan respon kedukaan.

32
4. Berikan kesempatan untuk pasien / 4. Meskipun integrasi stoma ke dalam
orang terdekat untuk memandang citra tubuh memerlukan waktu
dan menyentuh stoma, gunakan berbulan-bulan / tahunan, melihat
kesempatan untuk memberikan stoma dan mendengar komentar
tanda positif penyembuhan, (dibuat dengan cara normal, nyata)
penampilan, normal, dsb. dapat membantu pasien dalam
penerimaan ini. Menyentuh stoma
meyakinkan klien/orang terdekat
bahwa stoma tidak rapuh dan sedikit
gerakan stoma secara nyata
menunjukkan peristaltic normal.
5. Berikan kesempatan pada klien 5. Kemandirian dalam perawatan
untuk menerima keadaannya memperbaiki harga diri.
melalui partisipasi dalam perawatan
diri.
6. Pertahankan pendekatan positif, 6. Membantu pasien/ orang terdekat
selama aktivitas perawatan, menerima perubahan tubuh dan
menghindari ekspresi menghina menerima akan diri sendiri. Marah
atau reaksi mendadak. Jangan paling sering ditunjukkan pada
menerima ekspresi kemarahan situasi dan kurang kontrol terhadap
pasien secara pribadi terhadap apa yang terjadi (tidak
kehilangan bagian /fungsi tubuh terduga),bukan pada pemberi asuhan.
dan kawatir terhadap penerimaan
orang lain, juga rasa takut akan
ketidakmampuan yang akan datang/
kehilangan selanjutnya pada hidup
karena kanker.
7. Rencanakan/jadwalkan aktivitas 7. Meningkatkan rasa kontrol dan
asuhan dengan orang lain. memberikan pesan bahwa pasien
dapat mengatasinya, meningkatkan
harga diri.
8. Diskusikan fungsi seksual dan 8. Pasien mengalami ansietas

33
implan penis, bila ada dan diantisipasi, takut gagal dalam
alternatif cara pemuasan seksual. hubungan seksual setelah
pembedahan, biasanya karena
pengabaian, kurang pengetahuan.
Pembedahan yang mengangkat
kandung kemih dan prostat (diangkat
dengan kandung kemih) dapat
mengganggu syaraf parasimpatis
yang mengontrol ereksi pria,
meskipun teknik terbaru ada yang
digunakan pada kasus individu untuk
mempertahankan syaraf ini.

D. Evaluasi
1. Menyatakan pemahaman faktor urine mengurangi inkontinensia urine
2. Tidak terdapat tanda – tanda dini kerusakan integritas kulit
3. Mendemontrasikan perubahan perilaku dengan respon adaptif konsep diri

34
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Konstipasi merupakan keluhan saluran cerna terbanyak pada usia
lanjut; terjadi peningkatan dengan bertambahnya usia dan 30 – 40 % orang
di atas usia 65 tahun mengeluh konstipasi. Di Inggris ditemukan 30%
penduduk diatas usia 60 tahun merupakan konsumen yang teratur
menggunakan obat pencahar.
Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung
kemih yang tidak terkendali atau terjadi diluar keinginan. Jika inkontinensia
urine terjadi akibat kelainaninflamasi (sistitis), mungkin sifatnya hanya
sementara. Namun, jika kejadian initimbul karena kelainan neurologi
yang serius (paraplegia), kemungkinan besarsifatnya akan permanen.

B. Saran
Dengan dibuatnya makalah ini, diharapkan nantinya akan
memberikan manfaat bagi para pembaca terutama pemahaman yang
berhubungan dengan bagaimana memberikan asuhan keperawatan pada klien
dengan gangguan pencernaan Konstipasi dan Inkontinensia urine. Namun
penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna,oleh
karena itu saran maupun kritik yang bersifat membangun sangat kami
harapkan demi kesempurnaan penulisan makalah ini, dengan demikian
penulisan makalah ini bisa bermanfaat bagi penulis atau pihak lain yang
membutuhkannya.

35
DAFTAR PUSTAKA

Alimul, Aziz. 2006. Pengantar Kebutuhan DasarManusia. Jakarta


:Salemba Medika

Potter, Perry. 2006. Fundamental Keperawatan. Jakarta : EGC

36

Anda mungkin juga menyukai