Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia secara fitrah adalah makhluk yang serba terbatas (relativismus uber alles).
Keserbaterbatasan manusia ini telah cukup mengantarkan manusia pada situasi dimana ia
senantiasa membutuhkan (dan bergantung pada) Zat Yang Tak Terbatas alias Yang Maha
Mutlak (Absolutismus uber alles); Dialah Tuhan sebagai The Ultimate Reality (Realitas
Tertinggi). Secara fitrah pula, manusia dianugerahi oleh Tuhan naluri untuk beragama atau
religiositas, yang merupakan sesuatu yang sudah built-in dalam dirinya, bahkan sejak
sebelum kelahirannya ke alam dunia. Naluri ini telah cukup mendorong manusia untuk
melakukan pemujaan terhadap apa yang dianggapnya sebagai The Ultimate Reality (Realitas
Tertinggi) itu.
Sayang, dua kenyataan primordial (fitri) ini tidak serta-merta menjadikan manusia “tahu
diri”; entah karena mereka tidak berpikir rasional (tidak menggunakan akal) atau karena
mereka terlalu percaya diri akibat hegemoni hawa nafsu yang ada dalam dirinya. Pada saat
ini, ketidaktahudirian manusia itu tercermin dalam dua sikap :
1. Pengingkaran secara total (sepenuh hati) terhadap eksistensi Tuhan sang Pencipta
(ateisme). Ini tergambar pada manusia yang berpaham materialisme. Materialisme ini
kemudian menjadi dasar pijakan ideologi Sosialisme-komunis.
2. Pengingkaran secara “setengah hati” terhadap eksistensi Tuhan. Ini tergambar pada
manusia yang berpaham sekularisme, yakni yang mengakui keberadaan Tuhan, tetapi
tidak otoritas-Nya untuk mengatur manusia, karena yang dianggap punya otoritas untuk
mengatur manusia adalah manusia sendiri. Sekularisme ini kemudian menjadi landasan
ideologi Kapitalisme-sekular.
Disamping itu wacana filsafat yang menjadi topik utama pada zaman modern, khususnya
abad ke-17, yaitu persoalan epistemologi. Pertanyaan pokok dalam bidang epistemologi
adalah bagaimana manusia memperoleh pengetahuan dan apakah sarana yang paling
memadai untuk mencapai pengetahuan yang benar, serta apa yang dimaksud dengan
kebenaran itu sendiri.
Dengan tingkat pemahaman manusia yang beragam menyebabkan perbedaan pendapat
tentang kebenaran yang di anut. Dan hal ini menimbulkan berbagi aliran dalam dunia filsafat,
salah satunya adalah filsafat materialisme yang lebih menekankan pada kenyataan dan

1
empirisme. Maka dalam makalah ini akan dibahas aliran yang sarat dengan hal nyata, namun
kita harus tahu bagaimanakah filsafat, dan makalah ini akan menjawabnya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dibuat rumusan masalah, yakni:
1. Apa pengertian dari filsafat?
2. Apa pengertian dari filsafat aliran materialisme?
3. Bagaimana implikasi filsafat aliran materialisme dalam pendidikan?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari filsafat.
2. Untuk mengetahui pengertian dari filsafat aliran materialisme.
3. Untuk mengetahui Bagaimana implikasi filsafat aliran materialisme dalam pendidikan.

2
BAB II
PEMBAHASAN
Sebelum masuk ke dalam pembahasan tentang filsafat pendidikan materialisme ada
baiknya kita mengetahui arti filsafat itu sendiri. Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa
Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab yang juga diambil dari bahasa Yunani
philosophia. Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata
(philia = persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia = “kebijaksanaan”). Sehingga arti harfiahnya
adalah seorang “pencinta kebijaksanaan”. Kata filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga
dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia
seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut “filsuf”.
Adapun pengertian filsafat menurut para ahli adalah:
a. Plato
Filsafat adalah pengertian segala sesuatu yang ada da ilmu yang berminat mencapai
kebenaran asli.
b. Aristoteles
Filsafat adalah ilmu yang terkandung dalam metafisika, logika, etika, ekonomi, politik, dan
estetika.
c. Marcus Tulius Cecero
Filsafat adalah ilmu pengetahuan sesuatu Yang Maha Agung dan usaha-usaha untuk
mencapainya.
d. Al Farabi
Filsafat adalah ilmu tentang alam maujud dan hakikat yang sebenarnya.

A. Sejarah Lahirnya Aliran Filsafat Materialisme


Demokritos (460-360 SM), merupakan pelopor pandangan materialisme klasik, yang
disebut juga “atomisme”. Demokritos besrta para pengikutnya beranggapan bahwa segala
sesuatu terdiri dari bagian-bagian kecil yang tidak dapat dibagi-bagi lagi (yang disebut atom).
Atom-atom merupakan bagian dari yang begitu kecil sehingga mata kita tidak dapat
melihatnya. Atom-atom itu bergerak, sehingga dengan demikian membentuk realitas pada
pancaindera kita.
Ludwig Feuerbach (1804-1872) mencanangkan suatu meta-fisika materialistis, suatu
etika yang humanistis, dan suatu epistemology yang menjunjung tinggi pengenalan inderawi.
Oleh karena itu, ia ingin mengganti idealisme Hegel (guru Feuerbach) dengan materialisme.
3
Jadi, menurut Feuerbach, yang ada hanyalah materi, tidak mengenal alam spiritual.
Kepercayaan terhadap Tuhan hanyalah merupakan suatu proyeksi dari kegagalan atau
ketidakpuasan manusia mencapai cita-cita kebahagiaan dalam hidupnya. Dengan kegagalan
tersebut manusia memikirkan suatu wujud di luar yang dikhayalkan memiliki kesempurnaan,
yang merupakan sumber kebahagiaan manusia, suatu wujud yang bahagia secara absolute.
Oleh karena itu, Tuhan hanyalah merupakan hasil khayalan manusia. Tuhan diciptakan oleh
manusia itu sendiri, secara maya, padahal wujudnya tidak ada.
Tokoh-tokoh filsafat materialisme adalah:
1. Thales (625-545 SM) berpendapat bahwa unsur asal adalah air.
2. Anaximandros (610-545 SM) berpendapat bahwa unsur asal adalah apeiron, yaitu unsur
yang tak terbatas.
3. Anaximenes (585-528 SM) berpendapat bahwa unsur asal adalah udara.
4. Heraklitos (540-475 SM) berpendapat bahwa unsur asal adalah api.
5. Demokritus (460-360 SM) berpendapat bahwa hakikat alam adalah atom-atom yang amat
banyak dan halus. Atom-atom itulah yang menjadi asal kejadian alam semesta.
B. Konsep Dasar Filsafat Materialisme
Materialisme berpandangan bahwa hakikat realisme adalah materi, bukan rohani, bukan
spiritual, atau supranatural.
Filsafat materialisme memandang bahwa materi lebih dahulu ada sedangkan ide atau
pikiran timbul setelah melihat materi. Dengan kata lain materialisme mengakui bahwa materi
menentukan ide, bukan ide menentukan materi. Contoh: karena meja atau kursi secara
objektif ada, maka orang berpikir tentang meja dan kursi. Bisakah seseorang memikirkan
meja atau kursi sebelum benda yang berbentuk meja dan kursi belum atau tidak ada.
1. Ciri-ciri filsafat materialisme
a. Segala yang ada (wujud) berasal dari satu sumber yaitu materi
b. Tidak meyakini adanya alam ghaib
c. Menjadikan panca-indera sebagai satu-satunya alat mencapai ilmu
d. Memposisikan ilmu sebagai pengganti agama dalam peletakkan hukum
e. Menjadikan kecondongan dan tabiat manusia sebagai akhlaq
2. Variasi aliran filsafat materialisme
Aliran materialisme memiliki dua variasi yaitu materialisme dialektik dan materialisme
metafisik.

4
a. Filsafat Materialisme Dialektika
Materialisme dialektika adalah materialisme yang memandang segala sesuatu selalu
berkembang sesuai dengan hukum-hukum dialektika: hukum saling hubungan dan
perkembangan gejala-gejala yang berlaku secara objektif di dalam dunia semesta.
Pikiran-pikiran materialisme dialektika inipun dapat kita jumpai dalam kehidupan
misalnya, “bumi berputar terus, ada siang ada malam”, “habis gelap timbullah
terang”, “patah tumbuh hilang berganti” dsb. Semua pikiran ini menunjukkan bahwa
dunia dan kehidupan kita senantiasa berkembang.
b. Filsafat Materialisme Metafisik
Materialisme metafisik, yang memandang dunia secara sepotong-sepotong atau
dikotak-kotak, tidak menyeluruh dan statis. Pikiran-pikiran materialisme metafisik ini
misalnya: “sekali maling tetap maling”, memandang orang sudah ditakdirkan, tidak
bisa berubah.

Cabang materialisme yang banyak diperhatikan orang dewasa ini, dijadikan sebagai
landasan berpikir adalah “Positivisme”. Menurut positivisme, kalau sesuatu itu memang ada,
maka adanya itu adalah jumlahnya. Aguste Comte (Runes, 1963:234) sebagai pelopor
positivisme membatasi pengetahuan pada bidang gejala-gejala (fenomena). Menurut Comte,
terdapat tiga perkembangan berpikir yang dialami manusia, yaitu:
1. Tingkatkan teologis (pola berpikir manusia dikuasai oleh tahayul dan prasangka)
2. Tingkatkan metafisik (pola berpikir abstrak)
3. Tingkatkan positif (pola berpikir yang mendasarkan pada sains)
Zaman positif (Harun Hadiwijono, 1980) adalah zaman dimana orang tahu, bahwa tiada
gunanya untuk berusaha mencapai pengetahuan yang mutlak, baik pengenalan teologi
maupun metafisik. Ia tidak lagi melacak awal dan tujuan akhir dari seluruh alam semesta tapi
berusaha menemukan hukum-hukum kesamaan dan aturan yang terdapat pada fakta-fakta
yang telah dikenal atau disajikan kepadanya.
Jadi, dikatakan positivisme, Karena mereka beranggapan bahwa yang dapat kita pelajari
hanyalah berdasarkan fakta-fakta, berdasarkan data-data yang nyata, yaitu yang mereka
namakan positif.
Thomas Hobbes sebagai pengikut empirisme materialistis berpendapat bahwa
pengalaman merupakan awal dari segala pengetahuan, juga awal pengetahuan tentang asas-
asas yang diperoleh dan dikukuhkan oleh pengalaman. Hanya pengalamanlah yang memberi

5
kepastian. Pengetahuan melalui akal hanya memiliki fungsi mekanis semata, sebab
pengenalan dengan akal mewujudkan suatu proses penjumlahan dan pengurangan (Harun
Hadiwijono, 1980).
C. Filsafat Pendidikan Materialisme
Materialisme maupun positivisme pada dasarnya tidak menyusun konsep pendidikan
secara eksplisit. Bahkan menurut Henderson (1959), materialism belum pernah menjadi
penting dalam menentukan sumber teori pendidikan.
Menurut Waini Rasyidin (1992), filsafat positivisme sebagai cabang dari materialisme
lebih cenderung menganalisis hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi upaya dan hasil
pendidikan secara faktual. Memilih aliran positivisme berarti menolak filsafat pendidikan
dan mengutamakan sains pendidikan.
Menurut Behaviorisme, apa yang disebut dengan kegiatan mental kenyataannya
tergantung pada kegiatan fisik, yang merupakan berbagai kombinasi dan materi dalam gerak.
Gerakan fisik yang terjadi dalam otak, kita sebut berpikir, dihasilkan oleh peristiwa lain
dalam dunia materi, baik materi yang berada dalam tubuh manusia maupun materi yang
berada di luar tubuh manusia. Behaviorisme yang berakar pada positivisme dan materialisme
telah populer dalam menyusun teori pendidikan, terutama dalam teori belajar, yaitu apa yang
disebut dengan “conditioning theory”, yang dikembangkan oleh E.L.Thomdike dan
B.F.Skinmer.
Menurut behavorisme, perilaku manusia adalah hasil pembentukan melalui kondisi
lingkungan (seperti contoh anak dan kucing diatas). Yang dimaksud dengan perilaku adalah
hal-hal yang berubah dapat diamati, dan dapat diukur (materialisme dan positivisme).

D. Implikasi Aliran Filsafat Materialisme untuk Pendidikan


Menurut Power (1982), implikasi aliran filsafat pendidikan materialisme, sebagai berikut:
1. Temanya yaitu manusia yang baik dan efisien dihasilkan dengan proses pendidikan
terkontrol secara ilmiah dan seksama.
2. Tujuan pendidikan merupakan perubahan perilaku, mempersiapkan manusia sesuai
dengan kapasitasnya, untuk tanggung jawab hidup sosial dan pribadi yang kompleks.
3. Isi kurikulum pendidikan yang mencakup pengetahuan yang dapat dipercaya (handal),
dan diorganisasi, selalu berhubungan dengan sasaran perilaku.
4. Metode, semua pelajaran dihasilkan dengan kondisionisasi (SR conditioning), operant
condisioning, reinforcement, pelajaran berprogram dan kompetisi.

6
5. Kedudukan siswa tidak ada kebebasan, perilaku ditentukan oleh kekuatan dari luar,
pelajaran sudah dirancang, siswa dipersiapkan untuk hidup, mereka dituntut untuk
belajar.
6. Guru memiliki kekuasaan untuk merancang dan mengontrol proses pendidikan, guru
dapat mengukur kualitas dan karakter hasil belajar siswa.

7
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Materialisme adalah salah satu paham filsafat yang banyak dianut oleh para filosof,
seperti Demokritus, Thales, Anaximanoros dan Horaklitos. Paham ini menganggap bahwa
materi berada di atas segala-galanya. Ketika paham ini pertama muncul, paham tersebut tidak
mendapat banyak perhatian karena banyak ahli filsafat yang menganggap bahwa paham ini
aneh dan mustahil. Namun pada sekitar abad 19 paham materialisme ini tumbuh subur di
Barat karena sudah banyak para filosof yang menganut paham tersebut.
Sedangkan materialisme dialektika secara singkat dapat diterangkan sebagai paham
yang berkeyakinan bahwa segala perubahan yang terjadi di alam semesta adalah akibat dari
konflik persaingan dan kepentingan pribadi antar kekuatan yang saling bertentangan. Ahli-
ahli pikir yang meletakkan dasar bagi sistem ini adalah Karl Marx (1818-1883) dan
Friederich Engels (1820-1895). Marx dan Engels menggunakan dialektika untuk
menjelaskan keseluruhan sejarah dunia. Marx menyatakan bahwa sejarah kemanusiaan
senantiasa didasarkan pada konflik, yang terutama antara kaum buruh (proletar) dan
masyarakat kelas atas (borjuis). Ia meramalkan bahwa kaum buruh pada akhirnya akan
menyadari bahwa harapan satu-satunya untuk mereka adalah bersatu dan melakukan
revolusi. Di negara-negara komunis, materialisme dialektika merupakan filsafat resmi
negara.

B. Saran
1. Masih perlu kajian yang mendalam tentang pandangan filsafat materialisme, sikap kritis
dalam berpikir perlu dikembangkan dan perlu kajian pembanding terhadap pendapat-
pendapat yang bertentangan dengan teori filsafat materialisme.
2. Filsafat sebaiknya diiringi oleh agama, yang merupakan kebenaran tertinggi.
3. Melalui makalah ini penulis menghimbau kepada para teman-teman agar menggali
berbagai ilmu pengetahuan yang dapat meningkatkan iman dan taqwa kepada Tuhan
YME sesuai tujuan pendidikan nasional.
4. Dalam menyusun makalah ini mungkin terdapat kesalahan atau kekurangan. Untuk itu
penulis sangat mengharapkan kritik maupun saran-saran dari pembaca khususnya.

8
DAFTAR PUSTAKA
Imam Bernadib. 2002. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta : Adicita Karya Nusa
http://iirmakalahtarbiyah.blogspot.com
http://noexs.blogspot.com
http://mamendo.blogspot.com/2013/01/ideologi-materialisme-sekulerisme-dan.html
http://tugaskulyah-ku.blogspot.com/2011/04/tugas-kelompok-3-filsafat-pendidikan.html
http://anjarthebigreds.blogspot.com/2011/12/filsafat-pendidikan-materialisme.html

Anda mungkin juga menyukai