Anda di halaman 1dari 11

A.

Patofisiologi

Pembentukan plak aterosklerotik


a. Inisiasi proses aterosklerosis: peran endotel
Aterosklerosis merupakan proses pembentukan plak di tunika intima arteri besar
dan arteri sedang. Proses ini berlangsung terus selama hidup sampai akhirnya
bermanifestasi sebagai SKA. Proses aterosklerosis ini terjadi melalui 4 tahap, yaitu
kerusakan endotel, migrasi kolesterol LDL low-density lipoprotein) ke dalam
tunika intima, respons inflamatorik, dan pembentukan kapsul fibrosis. Beberapa
faktor risiko koroner turut berperan dalam proses aterosklerosis, antara lain
hipertensi, hiperkolesterolemia, diabetes, dan merokok. Faktor risiko ini dapat
menyebabkan kerusakan endotel dan selanjutnya menyebabkan disfungsi endotel.
Disfungsi endotel memegang peranan penting dalam terjadinya proses
aterosklerosis. Jejas endotel mengaktifkan proses inflamasi, migrasi dan proliferasi
sel, kerusakan jaringan lalu terjadi perbaikan, dan akhirnyamenyebabkan
pertumbuhan plak.

b. Perkembangan proses aterosklerosis: peran proses inflamasi


Jika endotel rusak, sel-sel inflamatorik, terutama monosit, bermigrasi menuju ke
lapisan subendotel dengan cara berikatan dengan molekul adhesif endotel. Jika
sudah berada pada lapisan subendotel, sel-sel ini mengalami differensiasi menjadi
makrofag.

Makrofag akan mencerna LDL teroksidasi dan juga berpenetrasi ke dinding arteri,
berubah menjadi sel foam dan selanjutnya membentuk fatty streaks. Makrofag
yang teraktivasi ini melepaskan zat-zat kemoatraktan dan sitokin (misalnya
monocyte chemoattractant protein -1, tumor necrosis factor α, IL-1, IL-6, CD40,
dan c-reactive protein) yang makin mengaktifkan proses ini dengan merekrut lebih
banyak makrofag, sel T, dan sel otot polos pembuluh darah (yang mensintesis
komponen matriks ekstraseluler) pada tempat terjadinya plak.

c. Disrupsi plak, trombosis, dan SKA


Beberapa penelitian menunjukkan bahwa inti lipid yang besar, kapsul fibrosa yang
tipis, dan infl amasi dalam plak merupakan predisposisi untuk terjadinya ruptur.
Setelah terjadi ruptur plak maupun erosi endotel, matriks subendotelial akan
terpapar darah yang ada di sirkulasi. Hal ini menyebabkan adhesi trombosit yang
diikuti aktivasi dan agregasi trombosit, selanjutnya terbentuk trombus (Myratha, R.
2012)

B. Penatalaksanaan Terapi Acute Coronary Syndrome


Menurut American Heart Association (AHA) tahun 2014, sasaran terapi dari Acute
Coronary Syndrome adalah :
1). Mengurangi nekrosis miokard yang terjadi pada pasien dengan acute miokard
infraction (AMI) sehingga dapat menjaga fungsi ventrikel kiri, mencegah kegagalan
jantung dan membatasi komplikasi kardiovaskular lainnya.
2). Mencegah Major Adverse Cardiac Events (MACE) : kematian, non fatal MI dan
kebutuhan revaskularisasi yang mendesak.
Perlakuan pada kondisi akut meliputi perlakuan yang mengancam jiwa pada ACS
seperti fibrilasi ventrikel (FV), takikardi dari nadi ventrikel, takikardi yang tidak
stabil dan menunjukkan gejala bradikardi, edema pulmonal, shock kardiogenik, serta
komplikasi mekanik pada AMI. Setelah pelaksanaan medis segera, pemeriksaan
penunjang dan terapi selanjutnya ditentukan oleh apakah pasien memiliki risiko tinggi
untuk terjadinya gangguan jantung lebih lanjut. Faktor-faktor yang berkaitan dengan
risiko tinggi diantaranya : 1) depresi segmen ST pada EKG saat datang dan /atau
kenaikan kadar troponin (10 kali atau lebih dari batas yang terdeteksi). 2) episode
nyeri dada rekuren. 3) diabetes, AMI sebelumnya, gangguan fungsi ventrikel kiri,
gagal jantung. 4) pasien tanpa faktor – faktor ini, dengan gejala nyeri dada
menghilang, dapat dipindahkan ke ruang perawatan biasa. Jika tetap timbul nyeri,
harus dilakukan EKG saat latihan. Terjadi iskemia yang diinduksi (depresi segmen ST
> 2 mm atau angina) pada beban kerja yang rendah, termasuk ke dalam pasien
berisiko tinggi (Davey, 2006).

Standar Terapi dalam Penanganan Acute Coronary Syndrome


Menurut American Heart Association (AHA) 2014 Guidline for the Management of
Patients With NSTEMI dan American Heart Association (AHA) 2013 Guidline for the
Management of Patients With STEMI :
Terapi standar untuk pasien yang menunjukan ACS, termasuk gejala kambuhan,
perubahan ECG, atau troponin yang positif, adalah termasuk dalam manajemen terapi rawat
inap. Tujuan dari terapi adalah menghilangkan iskemia dan mencegah Myocard Infark (MI)
dan kematian. Pasien direkomendasikan diobati dengan antiiskemik, antiplatelet dan
antikoagulan.
1. Rekomendasi terapi analgesik
Morfin sulfat (2-4 mg intravena dan dapat diulang dengan kenaikan dosis 2-8
mg IV dengan interval waktu 5 sampai 15 menit) merupakan pilihan utama untuk
manajemen nyeri yang disebabkan STEMI maupun UA/NSTEMI. Morfin dapat
menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan bradikardia atau blok jantung
derajat tinggi, terutama pasien dengan infark posterior. Efek samping ini biasanya
dapat diatasi dengan pemberian atropine 0,5 mg (O’Gara et al., 2013).
2. Rekomendasi terapi oksigen kelas I (manfaat jauh melebihi risiko)
Suplementasi oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen
arteri <90%, gangguan pernafasan atau faktor risiko lain dari hipoksemia. Pada
pasien UA/NSTEMI dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama setelah
diketahui bahwa pemberiaannya aman dan dapat mengurai hipoksemia (Amsterdam
et al., 2014). Begitu pula pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat
diberikan oksigen selama 6 jam pertama (O’Gara et al., 2013).
3. Rekomendasi terapi antiiskemik kelas I (manfaat jauh melebihi risiko)
a) Nitrat
Pasien dengan nyeri iskemik yang berlanjut sebaiknya mendapat
nitrogliserin (NTG) sublingual 0,3 mg – 0,4 mg tiap 5 menit dengan total tiga
dosis, kemudian penilaian sebaiknya dilakukan terhadap perlunya NTG
intravena jika tidak kontraindikasi. NTG intravena diindikasikan terhadap
pasien UA/NSTEMI maupun STEMI untuk pengobatan iskemia persisten, gagal
jantung atau hipertensi (Amsterdam et al., 2014).

b) Beta-Adrenergik Blocker
Terapi beta-blocker oral sebaiknya diinisiasi dalam 24 jam pertama untuk
pasien yang tidak memiliki beberapa kondisi berikut: 1) tanda – tanda gagal
jantung, 2) bukti terdapat kondisi output jantung rendah, 3) peningkatan risiko
syok kardiogenik, atau 4) kontraindikasi terhadap beta blocker (interval PR >0,24
detik, blok jantung derajat 2 atau 3, asma aktif, atau penyakit saluran nafas
reaktif) (Amsterdam et al., 2014). Regimen yang biasa digunakan adalah
metoprolol 5 mg setiap 2-5 menit sampai total tiga dosis. Lima belas menit
setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg
tiap 6 jam selama 48 jam dan dilanjutkan 100 mg tiap 12 jam (O’Gara et al.,
2013).
c) Calcium-Channel Blocker (CCB)
CCB nondihidropiridin (verapamil atau diltiazem) sebaiknya diberikan
sebagai terapi awal jika pasien UA/NSTEMI yang kontraindikasi terhadap beta
blocker, tidak ada disfungsi ventrikel kiri yang signifikan secara klinik atau
kontraindikasi lain pada pasien dengan iskemia berulang atau berlanjut
(Amsterdam et al., 2014).
d) Renin-Angiotensin-Aldosteron Inhibitor
Angiotensin-converting enzym inhibitor (ACEI) sebaiknya diberikan kepada
pasien dengan kongesti paru atau fraksi ejeksi ventrikel kiri <0,04 dengan tidak
adanya hipotensi (<100 mmHg/ <30 mmHg) atau kontraindikasi yang diketahui
terhadap kelas obat tersebut (Amsterdam et al., 2014). ACEI dapat diberikan pada
24 jam pertama (O’Gara et al., 2013). Angiotensin receptor blocker (ARB)
sebaiknya diberikan pada pasien yang intoleran terhadap ACEI dan memiliki
tanda – tanda gagal jantung baik secara klinik atau radiologik atau fraksi ejeksi
ventrikel kiri <0,04 (Amsterdam et al., 2014).
4. Rekomendasi terapi antiiskemik kelas IIa (manfaat melebihi risiko)
1) Beta-Adrenergik Blocker
Terapi beta blocker dapat dilanjutkan pada pasien yang memiliki fungsi LV
yang normal pada UA/NSTEMI (Amsterdam et al., 2014). Pemberian beta
blocker secara intravena (i.v.) dapat digunakan pada pasien STEMI yang tidak
ada kontraindikasi (O’Gara et al., 2013).
2) Renin-Angiotensin-Aldosteron Inhibitor
ARB dapat digunakan pada pasien dengan penyakit kardiovaskular yang
intoleran terhadap pemberian ACEI (Amsterdam et al., 2014).
5. Rekomendasi terapi antiiskemik kelas IIb (manfaat sedikit melebihi risiko)
a) Nitrat
Nitrat sebaiknya tidak diberikan pada pasien yang telah mendapat
fosfodiesterase inhibitor dalam 24 jam penggunaan sildenafil atau 48 jam
penggunaan tadalafil (Amsterdam et al., 2014).
b) Renin-Angiotensin-Aldosteron Inhibitor
Angiotensin-converting enzym inhibitor (ACEI) dapat digunakan pada pasien
dengan penyakit kardiovaskular (Amsterdam et al., 2014).
6. Rekomendasi terapi antiiskemik kelas III (tidak bermanfaat atau berbahaya)
a) Beta-Adrenergik Blocker
Pemberian beta blocker secara intravena potensial menimbulkan bahaya pada
pasien UA/NSTEMI yang punya faktor risiko syok (Amsterdam et al., 2014).
b) Calcium-Channel Blocker (CCB)
Pemberian nifedipin (immediate-relase) sebaiknya tidak diberikan pada pasien
UA/NSTEMI yang tidak diberikan beta blocker (Amsterdam et al., 2014).
Sedangkan pemberian nifedipin adalah kontraindikasi untuk pasien STEMI
karena efek hipotensi dan aktivasi refleks simpatis dengan takikardi (O’Gara et
al., 2013).
7. Rekomendasi terapi antiplatelet kelas I (manfaat jauh melebihi risiko)
Aspirin chewable (162 mg – 325 mg) sebaiknya diberikan seawal mungkin
ada pasien UA/NSTEMI yang tidak kontraindikasi setelah masuk rumah sakit dan
diteruskan dengan dosis terapi (81 mg/hari – 325 mg/hari) (Baigent et al., 2009).
Pada pasien yang tidak dapat menerima aspirin karena hipersensitivitas atau
intoleransi saluran GI mayor, diberikan klopidogrel dengan dosis muatan yang
diikuti dengan dosis maintenance (Gollapudi et al., 2004 ). Klopidogrel atau
tikagrelor (P2Y12 Receptor Inhibitor) sebaiknya ditambahkan pada aspirin dan
terapi antikoagulan seawal mungkin setelah masuk rumah sakit dan diberikan
sampai 12 bulan pada pasien yang akan menjalani strategi awal konservatif
(noninvasif) (James et al.,2011). Pilihan regimen dosisnya : i) Klopidogrel 300 mg
– 600 mg sebagai dosis muatan dan diikuti dosis maintenance 75 mg per hari
(Yusuf et al.,2001), ii) Tikagrelor 180 mg sebagai dosis muatan dan diikuti dosis
maintenance 90 mg dua kali sehari (Wallentin et al., 2009). Dosis muatan P2Y12
Receptor Inhibitor sebaiknya diberikan untuk pasien STEMI segera mungkin.
Pilihan regimen dosisnya: i) Klopidogrel 600 mg, ii) Prasugrel 60 mg, iii)
Tikagrelor 180 mg (O’Gara et al., 2013).
8. Rekomendasi terapi antiplatelet kelas IIb (manfaat sedikit melebihi risiko)
Klopidogrel dapat digunakan dengan dosis muatan 600 mg dan diikuti dosis
maintenance yang lebih tinggi yaitu 150 mg per hari selama 6 hari kemudian 75 mg
per hari pada pasien yang tidak ada risiko tinggi perdarahan pada pasien yang
menjalani PCI sebagai bagian dari strategi awal invasif (Mehta et al., 2010).
9. Rekomendasi terapi antikoagulan kelas I (manfaat jauh melebihi risiko)
Terapi antikoagulan sebaiknya ditambahkan pada terapi antiplatelet pada
pasien UA/NSTEMI se awal mungkin setelah masuk rumah sakit. Rejimen
menggunakan enoksaparin, atau unfractioned heparin (UFH), atau fondaparinuks
memiliki efikasi yang telah terbukti pada pasien yang akan menjalani strategi
konservatif. Fondaparinuks lebih disarankan pada pasien yang akan menjalani
strategi konservatif yang memiliki risiko perdarahan yang meningkat (Amsterdam
et al., 2014). Untuk pasien STEMI rejimen yang direkomendasikan bisa dengan
unfractioned heparin (UFH) atau bivalirudin. UFH diperlukan untuk
mempertahankan terapi aktivasi level waktu pembekuan darah. Bivalirudin
digunakan dengan atau tidak terapi utama (UFH) (O’Gara et al., 2013).

10. Rekomendasi terapi antikoagulan kelas IIa (manfaat melebihi risiko)


Pemberian enoksaparin atau fondaparinuks lebih disarankan daripada UFH
sebagai terapi antikoagulan kecuali coronary artery bypass grafting (CABG)
direncanakan dalam 24 jam pada pasien yang akan menjalani strategi awal
konservatif (Amsterdam et al., 2014). Pada pasien STEMI yang memiliki risiko
tinggi perdarahan, perlu digunakan bivalirudin (monoterapi) atau direferensikan
kombinasi dengan UFH (O’Gara et al., 2013).
11. Rekomendasi terapi antikoagulan kelas III (tidak bermanfaat atau berbahaya)
Pemberian Fondaparinuks tidak dianjurkan sebagai antikoagulan untuk
mendukung PCI karena risiko pembekuan darah pada kateter (O’Gara et al., 2013).
12. Rekomendasi Manajemen Lipid kelas I (manfaat jauh melebihi risiko)
Terapi menggunakan golongan statin perlu diinisiasi atau diteruskan untuk
pasien UA/NSTEMI maupun STEMI yang tidak kontraindikasi (Amsterdam et al.,
2014).
13. Rekomendasi Manajemen Lipid kelas IIa (manfaat melebihi risiko)
Perlu untuk didapatkan kadar lipid puasa pada pasien UA/NSTEMI maupun
STEMI, sebaiknya dalam waktu 24 jam setelah muncul gejala (Amsterdam et al.,
2014).

Monitoring Efek Samping Obat (ESO) Terapi ACS


Efek samping obat dan parameter yang harus dipantau dan diwaspadai selama
pemberian obat – obat untuk penanganan UA/NSTEMI maupun STEMI antara lain:
1. Nitrat (nitrogliserinm, ISDN) : hipotensi, takikardi
2. Morfin : hipotensi, bradipnea, penurunan kesadaran
3. Beta-blocker (atenolol, bisoprolol) : aritmia, bradikardia, hipotensi
4. Calcium-channelnblocker (CCB) dihidropiridin (amlodipin, nifedipin, nikardipin) :
takikardi, hipotensi, edema perifer
5. Calcium-channelnblocker (CCB) nondihidropiridin (verapamil, diltiazem) : hipotensi,
bradikardia, aritmia
6. Aspirin : perdarahan, nyeri lambung
7. Klopidogrel : perdarahan
8. Heparin : anemia, penurun hematokrit, perdarahan, trombositopenia
9. Enoksaparin : trombositopenia, perdarahan
10. Fondaparinuks : trombositopenia, peningkatan kreatinin, perdarahan
11. Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor (kaptopril, lisinopril, ramipril) : batuk,
peningkatan BUN, hiperkalemia, peningkatan kreatinin, hipotensi. (Corbett et al., 2014)

PHARMACEUTICAL CARE
Pharmaceutical care atau pelayanan kefarmasian merupakan suatu praktik di mana
farmasis bertanggungjawab terhadap kebutuhan obat (drug related needs) pasien. Pelayanan
kefarmasian ini dilakukan untuk mencapai hasil terapi yang positif untuk pasien. Praktik
profesi pelayanan kesehatan dibentuk untuk menemukan kebutuhan obat pasien dengan cara
mengidentifikasi, menyelesaikan dan mencegah drug related problems. Pelayanan
kefarmasian ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan dalam sistem perawatan kesehatan
yang timbul karena beberapa resep pada tiap individu pasien, ledakan produksi serta promosi
obat di pasaran, peningkatan kompleksitas terapi obat dan masih tingginya biaya yang
dikeluarkan pasien karena kesalahan obat (Cipolle et al., 2004). Dalam pharmaceutical care
yang dilakukan apoteker dengan melibatkan pasien dan tenaga profesional kesehatan lainnya
dalam merancang, melaksanakan dan memantau hasil terapi dari pasien. Hal ini melibatkan
tiga fungsi utama yaitu :
1). mengidentifikasi drug related problems yang potensial dan aktual,
2). menyelesaikan drug related problems yang aktual, dan 3). mencegah drug related
problems yang potensial ( Hepler et al., 1990).
Pharmaceutical care adalah elemen penting dari pelayanan kesehatan dan harus
berintegrasi dengan elemen kesehatan lainnya. Pharmaceutical care bagaimanpun disediakan
untuk dapat memberikan manfaat langsung kepada pasien dan farmasis bertanggungjawab
langsung kepada pasien mengenai kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan. Farmasis
memiliki kesempatan yang besar dalam pelayanan kesehatan yang tujuan utamanya adalah
memberikan pelayanan terapi obat yang aman dan efektif ( Hepler et al., 1990).

3. DRUG RELATED PROBLEMS (DRPS)


Tabel II. Jenis – jenis DRPs dan penyebab yang mungkin terjadi (Cipolle et al.,2004)
Drug Related Problems (DRPs) Kemungkinan kasus pada DRPs
Terapi obat yang tidak perlu a. Terapi tidak sesuai dengan kondisi saat ini
(unnecessary drug therapy) b. Menggunakan multiple drugs therapy untuk kondisi
yang seharusnya cukup dengan single drug therapy
c. Kondisi pengobatan yang lebih baik diobati tanpa
terapi obat (nondrug therapy)
d. Pasien dengan terapi obat tertentu untuk mencegah
efek samping obat lain
Memerlukan terapi tambahan a. Pasien dengan kondisi membutuhkan terapi obat
(need for additional drug b. Membutuhkan terapi untuk mencegah risiko
therapy) munculnya kondisi medis baru
c. Kondisi kesehatan yang membutuhan kombinasi
farmakoterapi untuk mencapai efek sinergis atau
potensiasi

Obat tidak efektif (Ineffective a. Obat yang diberikan bukanlah obat yang paling efektif
drug) untuk masalah kesehatan tersebut
b. Menerima obat yang tidak efektif untuk indikasi
pengobatan
c. Bentuk sediaan dari obat tersebut yang tidak tepat
Dosis terlalu rendah (Dosage a. Dosis yang digunakan terlalu rendah untuk
too low) menimbulkan respon
b. Interval dosis yang terlalu jarang untuk menghasilkan
respon
c. Durasi pemberian obat terlalu singkat untuk
menghasilkan respon
d. Interaksi obat yang mengurangi jumlah obat aktif
dalam tubuh

Dosis terlalu tinggi (Dosage a. Dosis yang diberikan terlalu tinggi


too high) b. Frekuensi pemberian terlalu singkat
c. Dosis obat meningkat terlalu cepat
d. Durasi pemberian obat terlalu panjang
e. Adanya interaksi obat yang menghasilkan reaksi
keracunan
Reaksi yang tidak dikehendaki a. Obat menyebabkan reaksi yang tidak
(Adverse drug reaction) dinginkan/permasalahan lain yang tidak terkait dengan
dosis
b. Obat yang lebih aman dibutuhkan karena adanya faktor
risiko
c. Interaksi obat menyebabkan reaksi yang tidak
diinginkan yang tidak terkait dengan dosis
d. Regimen dosis yang diberikan berubah terlalu cepat e.
Obat yang menyebabkan reaksi alergi
e. Obat yang dikontraindikasikan karena adanya faktor
risiko
Ketidakpatuhan pasien a. Pasien yang tidak mengerti mengenai aturan pakai
(Noncompliance) b. Pasien lupa untuk mengambil obat
c. Obat yang terlalu mahal untuk pasien
d. Pasien tidak dapat menelan atau tidak dapat
menggunakan obatnya sendiri dengan tepat
e. Obat tidak tersedia untuk pasien

DRPS merupakan kejadian atau pengalaman yang tidak menyenangkan yang dialami
pasien, melibatkan atau diduga berkaitan dengan terapi obat dan secara aktual maupun
potensial mempengaruhi outcome terapi pasien. DRPs aktual adalah problem yang sedang
terjadi berkaitan dengan terapi obat yang sedang diberikan pada pasien. DRPs potensial
adalah problem yang diperkirakan akan terjadi yang berkaitan dengan terapi obat yang
sedang digunakan oleh pasien (Cipolle et al., 2004).

D. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan penunjang dilakukan setelah anamnesa yang berhubungan dengan
riwayat nyeri dada, faktor risiko dan riwayat kesehatan (Lewis et al, 2011). Pemeriksaan
diagnostik yang dapat dilakukan adalah:
1. Elektrokardiografi
EKG adalah salah sattu alat primer untuk membedakan UAP atau miokard
infark. Perubahan EKG pada akut STEMI meliputi hiperakut gelombang T, ST
elevasi yang diikuti terbentuknya gelombang Q patologis, kembalinya ST segmen
pada garis isoelektrik dan inversi gelombang T. Cut off point elevasi segmen ST
adalah 0,1 mm. perubahan ini harus ditemui minimal pada 2 sandapan yang
berdekatan.
Kriteria diagnostik infark lama meliputi gelombang QS pada sandapan V1 - V3
yang melebihi 30 msec (0,03 sec) atau gelombang Q pada sandapan I, II, aVL, aVF,
V4 – V6 yang ditemukan pada minimal 2 sandapan yang berdekatan dengan
kedalaman minimal 1 mm. Pada penderita dengan EKG normal namun diduga kuat
akut STEMI, pemeriksaan EKG 12 sandapan harus diulang dengan jarak waktu yang
dekat dimana diperkirakan terjadi perubahan EKG. Pada keadaan seperti ini
perbandingan dengan EKG sebelumnya dapat membantu diagnosis. Pada penderita
dengan infark inferior, harus dicurigai kemungkinan infark posterior dan infark
ventrikel kanan, karena itu pemeriksaan EKG pada sandapan V3R dan V4R dan V7 –
V9 harus dikerjakan (Lewis at all, 2011).
Tabel 2.1 Lokasi Infark Berdasarkan Perekaman EKG
LOKASI LEAD ARTERI KORONARIA
YANG
TERLIBAT
Anterior V2 – V4 Desendens anterior kiri
Anteroseptal V1 – V4 Desendens anterior kiri
Anterior Ekstensif V1 – V6
Posterior V1 – V2 Arteri koronaria dextra
Lateral I, aVL, V5 – V6 Ramus sirkumflek arteri koronaria
kiri
Inferior II, III, aVF Arteri koronaria dextra
Ventrikel Kanan V3R – V4R
(Sumber: Price, S. A., & Wilson, L. M., 2006 hal 591)

Petanda Biokimia Jantung


Beberapa petanda biokimia jantung sebagai berikut :
a. Troponin
Troponin jantung spesifik (cTNT dan cTnI) merupakan petunjuk adanya cedera
miokardium. Troponin-trommponin ini merupakan protein regolator yang
mengendalikan hubungan aktin dan miosin yang diperantarai oleh kalsium.
Peningkatan kadar serum bersifat spesifik untuk pelepasan dari miokardium.
Troponin akan meningkat 4 hingga 6 jam setelah cidera miokardium dan akan
menetap selama 10 hari (Price & Wilson, 2006) Kompleks troponin jantung adalah
komponen dasar miokardium dimana berperan dalam kontraksi otot jantung.
Troponin T hampir sama dengan CK-MB, meningkat sekitar 3–6 jam setelah mulai
nyeri dada. Peningkatan nilai bertahan sekitar 14-21 hari.
b. CK-MB (juga disebut MB-bands)
Kreatinin kinase merupakan suatu enzim yang dilepaskan saat terjadi cedera
otot dan emiliki tiga fraksi isoenzim: CK-MM, CK-BB dan CK-MB. CK-BB paling
banyak terdapat dalam jaringan otak dan biasanya tidak terdapat dalam serum. CK-
MM dijumpai pada otot skelet dan CK yang paling banyak terdapat dalam sirkulasi.
Cedera otot menyebabkan peningkatan CK dan CK-MM. CK-MB mrupakan
pertanda cedera otot yang paling spesifik seperti infark miokardium. Setelah infark
akut, CK dan CK-MB meningkat dalam waktu 4 hingga 6 jam dengan kadar puncak
dalam 18 hingga 24 jam kembali menurun dan normal kembali setelah 2 – 3 hari
(Price & Wilson, 2006).
Dalam isoenzim dari kreatinin fospokinase (CPK) yang spesifik ditemukan di
otot jantung, meningkat 3-6 jam setelah nyeri dada dengan puncak nilai pada 12–18
jam dan kembali normal dalam 3–4 hari.
c. LDH adalah sub unit dari otot jantung dan dilepaskan ke serum ketika terjadi
kerusakan otot jantung. LDH meningkat 14 – 24 jam setelah terjadi kerusakan otot
jantung, mencapai puncak pada 48 – 72 jam, menurun secara pelan-pelan dan
kembali normal
d. Protein C-reaktif (C-reactive protein/CRP).
Perkembangan lesei aterosklerotik dari destabilisasi plak terjadi akibat
inflamasi suatu peristiwa inflamasi akut (misal, angina tidak stabil) menyebabkan
peningkatan CRP (Price & Wilson, 2006)
e. SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase) atau AST (Aspartat
Aminotransferase Serum) SGOT/AST adalah enzim yang sebagian besar terdapat
dalam otot jantung dan hati, sebagian lagi ditemukan dalam otot rangka, ginjal dan
pancreas. Nilai AST yang tinggi ditemukan pada infark
miokardial akut dan kerusakan hepar. Setelah nyeri dada yang hebat yang
disebabkan oleh infark miokardial, AST meningkat dalam 6 sampai 10 jam
meningkat beberapa jam setelah terjadi nyeri dada, mencapai puncak 12 – 18 jam
dan kembali normal dalam 4 - 6 hari.
2. Treadmill
Tes latihan treadmill penting dalam pemeriksaan penunjang pasien dengan
nyeri dada. Pemeriksaan ini harus dilihat sebagai perluasan dari pemeriksaan klinis
dan memungkinkan pengambilan keputusan untuk tindakan lebih lanjut. Perubahan
EKG (ST depresi), yang terjadi saat dilakukan treadmill merupakan indikator yang
sensitif terhadap terjadinya PJK.
3. Radiografi Toraks
Radiografi toraks biasanya normal pada pasien angina. Pembesaran jantung dan atau
peningkatan tekanan vena dapat menandakan infark miokardial atau disfungsi ventrikel kiri
sebelumnya.
4. Ekokardiografi
Pemeriksaan ekokardiografi dapat memperlihatkan ganguan ventrikel kiri, adanya
mitral insufisiensi dan abnormalitas gerakan dinding jantung yang merupakan prognosis
kurang baik pada penyakit jantung koroner.
5. Corangiografi koroner
Corangiografi koroner saat ini merupakan satu-satunya metode yang menggambarkan
anatomi koroner untuk menentukan prognosis dan tindakan ini harus dilakukan sebelum
dilakukan PCI dan pemasangan stent serta CABG. Pada pemeriksaan ini dapat menentukan
derajat keparahan stenosis pembuluh darah koroner.
6. Multi-Scile Computed Tomography Scanning (MSCT)
Merupakan pemeriksaan diagnostik yang menghasilkan gambar tomography
digital dari sinar X yang menembus organ. Teknik pemeriksaan ini kelebihannya
adalah tidak invasif, yaitu tidak memasukkan kateter ke dalam jantung sehingga tidak
menimbulkan komplikasi perdarahan atau infeksi.
Daftar pustaka

Lewis,Sharon L et al. 2011. Medical Surgical Nursing Volume 1. United States America:
Elsevier Mosby

Myrtha, R. 2012. Patofisiologi Sindrom Koroner Akut. CDK. vol. 39, no. 24, pp. 261-4.

Davey, Patrick. 2006. At a Glance MEDICINE. Alihbahasa Annisa Rahmalia dan Novianty
R. Jakarta: Gramedia

Armstrong P., Willerson J., et al. 2014. Trearment of Acute ST-Elevation Myocard
Infarction. New England Journal Medicine. 12(2) : 1379-87.

O’gara P. T., Kushner F. G., et al., 2013. Practice Guideline : 2013 ACCF/AHA Guidelines
fot the Management of ST-Elevation Myocardial Infarction. Journal of the American
College of Cardiology. 61(4) : 4-30

Price, S. A. dan Wilson, L. M. (2006). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-. Proses Penyakit,
Edisi 6, Volume 1. Jakarta: EGC. Ratnadita, A. (2011).

Cipolle, R.J, Strand, L.M. & Morley, P.C., 2004, Pharmaceutical Care Practice, hal : 75, 82-
83, 96-101, 116, Mc Graw Hill Company, New York

Anda mungkin juga menyukai