Patofisiologi
Makrofag akan mencerna LDL teroksidasi dan juga berpenetrasi ke dinding arteri,
berubah menjadi sel foam dan selanjutnya membentuk fatty streaks. Makrofag
yang teraktivasi ini melepaskan zat-zat kemoatraktan dan sitokin (misalnya
monocyte chemoattractant protein -1, tumor necrosis factor α, IL-1, IL-6, CD40,
dan c-reactive protein) yang makin mengaktifkan proses ini dengan merekrut lebih
banyak makrofag, sel T, dan sel otot polos pembuluh darah (yang mensintesis
komponen matriks ekstraseluler) pada tempat terjadinya plak.
b) Beta-Adrenergik Blocker
Terapi beta-blocker oral sebaiknya diinisiasi dalam 24 jam pertama untuk
pasien yang tidak memiliki beberapa kondisi berikut: 1) tanda – tanda gagal
jantung, 2) bukti terdapat kondisi output jantung rendah, 3) peningkatan risiko
syok kardiogenik, atau 4) kontraindikasi terhadap beta blocker (interval PR >0,24
detik, blok jantung derajat 2 atau 3, asma aktif, atau penyakit saluran nafas
reaktif) (Amsterdam et al., 2014). Regimen yang biasa digunakan adalah
metoprolol 5 mg setiap 2-5 menit sampai total tiga dosis. Lima belas menit
setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg
tiap 6 jam selama 48 jam dan dilanjutkan 100 mg tiap 12 jam (O’Gara et al.,
2013).
c) Calcium-Channel Blocker (CCB)
CCB nondihidropiridin (verapamil atau diltiazem) sebaiknya diberikan
sebagai terapi awal jika pasien UA/NSTEMI yang kontraindikasi terhadap beta
blocker, tidak ada disfungsi ventrikel kiri yang signifikan secara klinik atau
kontraindikasi lain pada pasien dengan iskemia berulang atau berlanjut
(Amsterdam et al., 2014).
d) Renin-Angiotensin-Aldosteron Inhibitor
Angiotensin-converting enzym inhibitor (ACEI) sebaiknya diberikan kepada
pasien dengan kongesti paru atau fraksi ejeksi ventrikel kiri <0,04 dengan tidak
adanya hipotensi (<100 mmHg/ <30 mmHg) atau kontraindikasi yang diketahui
terhadap kelas obat tersebut (Amsterdam et al., 2014). ACEI dapat diberikan pada
24 jam pertama (O’Gara et al., 2013). Angiotensin receptor blocker (ARB)
sebaiknya diberikan pada pasien yang intoleran terhadap ACEI dan memiliki
tanda – tanda gagal jantung baik secara klinik atau radiologik atau fraksi ejeksi
ventrikel kiri <0,04 (Amsterdam et al., 2014).
4. Rekomendasi terapi antiiskemik kelas IIa (manfaat melebihi risiko)
1) Beta-Adrenergik Blocker
Terapi beta blocker dapat dilanjutkan pada pasien yang memiliki fungsi LV
yang normal pada UA/NSTEMI (Amsterdam et al., 2014). Pemberian beta
blocker secara intravena (i.v.) dapat digunakan pada pasien STEMI yang tidak
ada kontraindikasi (O’Gara et al., 2013).
2) Renin-Angiotensin-Aldosteron Inhibitor
ARB dapat digunakan pada pasien dengan penyakit kardiovaskular yang
intoleran terhadap pemberian ACEI (Amsterdam et al., 2014).
5. Rekomendasi terapi antiiskemik kelas IIb (manfaat sedikit melebihi risiko)
a) Nitrat
Nitrat sebaiknya tidak diberikan pada pasien yang telah mendapat
fosfodiesterase inhibitor dalam 24 jam penggunaan sildenafil atau 48 jam
penggunaan tadalafil (Amsterdam et al., 2014).
b) Renin-Angiotensin-Aldosteron Inhibitor
Angiotensin-converting enzym inhibitor (ACEI) dapat digunakan pada pasien
dengan penyakit kardiovaskular (Amsterdam et al., 2014).
6. Rekomendasi terapi antiiskemik kelas III (tidak bermanfaat atau berbahaya)
a) Beta-Adrenergik Blocker
Pemberian beta blocker secara intravena potensial menimbulkan bahaya pada
pasien UA/NSTEMI yang punya faktor risiko syok (Amsterdam et al., 2014).
b) Calcium-Channel Blocker (CCB)
Pemberian nifedipin (immediate-relase) sebaiknya tidak diberikan pada pasien
UA/NSTEMI yang tidak diberikan beta blocker (Amsterdam et al., 2014).
Sedangkan pemberian nifedipin adalah kontraindikasi untuk pasien STEMI
karena efek hipotensi dan aktivasi refleks simpatis dengan takikardi (O’Gara et
al., 2013).
7. Rekomendasi terapi antiplatelet kelas I (manfaat jauh melebihi risiko)
Aspirin chewable (162 mg – 325 mg) sebaiknya diberikan seawal mungkin
ada pasien UA/NSTEMI yang tidak kontraindikasi setelah masuk rumah sakit dan
diteruskan dengan dosis terapi (81 mg/hari – 325 mg/hari) (Baigent et al., 2009).
Pada pasien yang tidak dapat menerima aspirin karena hipersensitivitas atau
intoleransi saluran GI mayor, diberikan klopidogrel dengan dosis muatan yang
diikuti dengan dosis maintenance (Gollapudi et al., 2004 ). Klopidogrel atau
tikagrelor (P2Y12 Receptor Inhibitor) sebaiknya ditambahkan pada aspirin dan
terapi antikoagulan seawal mungkin setelah masuk rumah sakit dan diberikan
sampai 12 bulan pada pasien yang akan menjalani strategi awal konservatif
(noninvasif) (James et al.,2011). Pilihan regimen dosisnya : i) Klopidogrel 300 mg
– 600 mg sebagai dosis muatan dan diikuti dosis maintenance 75 mg per hari
(Yusuf et al.,2001), ii) Tikagrelor 180 mg sebagai dosis muatan dan diikuti dosis
maintenance 90 mg dua kali sehari (Wallentin et al., 2009). Dosis muatan P2Y12
Receptor Inhibitor sebaiknya diberikan untuk pasien STEMI segera mungkin.
Pilihan regimen dosisnya: i) Klopidogrel 600 mg, ii) Prasugrel 60 mg, iii)
Tikagrelor 180 mg (O’Gara et al., 2013).
8. Rekomendasi terapi antiplatelet kelas IIb (manfaat sedikit melebihi risiko)
Klopidogrel dapat digunakan dengan dosis muatan 600 mg dan diikuti dosis
maintenance yang lebih tinggi yaitu 150 mg per hari selama 6 hari kemudian 75 mg
per hari pada pasien yang tidak ada risiko tinggi perdarahan pada pasien yang
menjalani PCI sebagai bagian dari strategi awal invasif (Mehta et al., 2010).
9. Rekomendasi terapi antikoagulan kelas I (manfaat jauh melebihi risiko)
Terapi antikoagulan sebaiknya ditambahkan pada terapi antiplatelet pada
pasien UA/NSTEMI se awal mungkin setelah masuk rumah sakit. Rejimen
menggunakan enoksaparin, atau unfractioned heparin (UFH), atau fondaparinuks
memiliki efikasi yang telah terbukti pada pasien yang akan menjalani strategi
konservatif. Fondaparinuks lebih disarankan pada pasien yang akan menjalani
strategi konservatif yang memiliki risiko perdarahan yang meningkat (Amsterdam
et al., 2014). Untuk pasien STEMI rejimen yang direkomendasikan bisa dengan
unfractioned heparin (UFH) atau bivalirudin. UFH diperlukan untuk
mempertahankan terapi aktivasi level waktu pembekuan darah. Bivalirudin
digunakan dengan atau tidak terapi utama (UFH) (O’Gara et al., 2013).
PHARMACEUTICAL CARE
Pharmaceutical care atau pelayanan kefarmasian merupakan suatu praktik di mana
farmasis bertanggungjawab terhadap kebutuhan obat (drug related needs) pasien. Pelayanan
kefarmasian ini dilakukan untuk mencapai hasil terapi yang positif untuk pasien. Praktik
profesi pelayanan kesehatan dibentuk untuk menemukan kebutuhan obat pasien dengan cara
mengidentifikasi, menyelesaikan dan mencegah drug related problems. Pelayanan
kefarmasian ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan dalam sistem perawatan kesehatan
yang timbul karena beberapa resep pada tiap individu pasien, ledakan produksi serta promosi
obat di pasaran, peningkatan kompleksitas terapi obat dan masih tingginya biaya yang
dikeluarkan pasien karena kesalahan obat (Cipolle et al., 2004). Dalam pharmaceutical care
yang dilakukan apoteker dengan melibatkan pasien dan tenaga profesional kesehatan lainnya
dalam merancang, melaksanakan dan memantau hasil terapi dari pasien. Hal ini melibatkan
tiga fungsi utama yaitu :
1). mengidentifikasi drug related problems yang potensial dan aktual,
2). menyelesaikan drug related problems yang aktual, dan 3). mencegah drug related
problems yang potensial ( Hepler et al., 1990).
Pharmaceutical care adalah elemen penting dari pelayanan kesehatan dan harus
berintegrasi dengan elemen kesehatan lainnya. Pharmaceutical care bagaimanpun disediakan
untuk dapat memberikan manfaat langsung kepada pasien dan farmasis bertanggungjawab
langsung kepada pasien mengenai kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan. Farmasis
memiliki kesempatan yang besar dalam pelayanan kesehatan yang tujuan utamanya adalah
memberikan pelayanan terapi obat yang aman dan efektif ( Hepler et al., 1990).
Obat tidak efektif (Ineffective a. Obat yang diberikan bukanlah obat yang paling efektif
drug) untuk masalah kesehatan tersebut
b. Menerima obat yang tidak efektif untuk indikasi
pengobatan
c. Bentuk sediaan dari obat tersebut yang tidak tepat
Dosis terlalu rendah (Dosage a. Dosis yang digunakan terlalu rendah untuk
too low) menimbulkan respon
b. Interval dosis yang terlalu jarang untuk menghasilkan
respon
c. Durasi pemberian obat terlalu singkat untuk
menghasilkan respon
d. Interaksi obat yang mengurangi jumlah obat aktif
dalam tubuh
DRPS merupakan kejadian atau pengalaman yang tidak menyenangkan yang dialami
pasien, melibatkan atau diduga berkaitan dengan terapi obat dan secara aktual maupun
potensial mempengaruhi outcome terapi pasien. DRPs aktual adalah problem yang sedang
terjadi berkaitan dengan terapi obat yang sedang diberikan pada pasien. DRPs potensial
adalah problem yang diperkirakan akan terjadi yang berkaitan dengan terapi obat yang
sedang digunakan oleh pasien (Cipolle et al., 2004).
D. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan penunjang dilakukan setelah anamnesa yang berhubungan dengan
riwayat nyeri dada, faktor risiko dan riwayat kesehatan (Lewis et al, 2011). Pemeriksaan
diagnostik yang dapat dilakukan adalah:
1. Elektrokardiografi
EKG adalah salah sattu alat primer untuk membedakan UAP atau miokard
infark. Perubahan EKG pada akut STEMI meliputi hiperakut gelombang T, ST
elevasi yang diikuti terbentuknya gelombang Q patologis, kembalinya ST segmen
pada garis isoelektrik dan inversi gelombang T. Cut off point elevasi segmen ST
adalah 0,1 mm. perubahan ini harus ditemui minimal pada 2 sandapan yang
berdekatan.
Kriteria diagnostik infark lama meliputi gelombang QS pada sandapan V1 - V3
yang melebihi 30 msec (0,03 sec) atau gelombang Q pada sandapan I, II, aVL, aVF,
V4 – V6 yang ditemukan pada minimal 2 sandapan yang berdekatan dengan
kedalaman minimal 1 mm. Pada penderita dengan EKG normal namun diduga kuat
akut STEMI, pemeriksaan EKG 12 sandapan harus diulang dengan jarak waktu yang
dekat dimana diperkirakan terjadi perubahan EKG. Pada keadaan seperti ini
perbandingan dengan EKG sebelumnya dapat membantu diagnosis. Pada penderita
dengan infark inferior, harus dicurigai kemungkinan infark posterior dan infark
ventrikel kanan, karena itu pemeriksaan EKG pada sandapan V3R dan V4R dan V7 –
V9 harus dikerjakan (Lewis at all, 2011).
Tabel 2.1 Lokasi Infark Berdasarkan Perekaman EKG
LOKASI LEAD ARTERI KORONARIA
YANG
TERLIBAT
Anterior V2 – V4 Desendens anterior kiri
Anteroseptal V1 – V4 Desendens anterior kiri
Anterior Ekstensif V1 – V6
Posterior V1 – V2 Arteri koronaria dextra
Lateral I, aVL, V5 – V6 Ramus sirkumflek arteri koronaria
kiri
Inferior II, III, aVF Arteri koronaria dextra
Ventrikel Kanan V3R – V4R
(Sumber: Price, S. A., & Wilson, L. M., 2006 hal 591)
Lewis,Sharon L et al. 2011. Medical Surgical Nursing Volume 1. United States America:
Elsevier Mosby
Myrtha, R. 2012. Patofisiologi Sindrom Koroner Akut. CDK. vol. 39, no. 24, pp. 261-4.
Davey, Patrick. 2006. At a Glance MEDICINE. Alihbahasa Annisa Rahmalia dan Novianty
R. Jakarta: Gramedia
Armstrong P., Willerson J., et al. 2014. Trearment of Acute ST-Elevation Myocard
Infarction. New England Journal Medicine. 12(2) : 1379-87.
O’gara P. T., Kushner F. G., et al., 2013. Practice Guideline : 2013 ACCF/AHA Guidelines
fot the Management of ST-Elevation Myocardial Infarction. Journal of the American
College of Cardiology. 61(4) : 4-30
Price, S. A. dan Wilson, L. M. (2006). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-. Proses Penyakit,
Edisi 6, Volume 1. Jakarta: EGC. Ratnadita, A. (2011).
Cipolle, R.J, Strand, L.M. & Morley, P.C., 2004, Pharmaceutical Care Practice, hal : 75, 82-
83, 96-101, 116, Mc Graw Hill Company, New York