Anda di halaman 1dari 18

I.

Pendahuluan
Kontrasepsi ialah usaha-usaha untuk mencegah terjadinya kehamilan. Metode-
metode dengan efektivitas bervariasi yang saat mi digunakan adalah :
1. Kontrasepsi steroid oral
2. Kontrasepsi steroid suntik atau implan
3. Alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR)
4. Teknik fisik, kimiawi, atau sawar
5. Koitus interuptus
6. Pantang seksual di sekitar saat ovulasi
7. Menyusui
8. Kontrasepsi Mantap / Sterilisasi permanen

Usaha-usaha kontrasepsi ini dapat bersifat sementara, dapat juga bersifat


permanen. Perkiraan angka kegagalan selama pemakaian tahun pertama dari masing-
masing metode diberikan dalam tabel 1.
Yang bersifat permanen seperti kontrasepsi mantap atau sterilisasi pada wanita
adalah tubektomi dan pada pria adalah vasektomi.(1,2) Menurut Association for Voluntary
Surgical Contraception (1989), 66 % dari 976.000 prosedur sterilisasi di Amerika Serikat
dilakukan pada wanita. Dalam pembahasan ini pula, yang akan dijelaskan terbatas pada
sterilisasi / kontrasepsi mantap pada wanita, yaitu tubektomi.
Tubektomi ialah tindakan yang dilakukan pada kedua tuba fallopii yang
mengakibatkan yang bersangkutan tidak dapat hamil atau tidak dapat menyebabkan
kehamilan lagi.
Metode dengan cara operasi tersebut diatas telah dikenal sejak zaman dahulu.
Hippocrates menyebut bahwa itu dilakukan terhadap orang dengan penyakit jiwa. Dahulu
vasektomi (sterilisasi pada pria dengan tindakan pemotongan pada vas deferens pria)
diselenggarakan sebagai hukuman, misalnya pada mereka yang melakukan perkosaan.
Sekarang tindakan tubektomi begitupun juga vasektomi dilakukan secara sukarela dalam
rangka keluarga berencana.

1
Tabel I: Tipe Kontrasepsi dan Angka Kegagalan Penggunaan (Amerika Serikat)2

II. Anatomi
Tuba Fallopii ialah saluran telur berasal (juga uterus) dari duktus Mulleri. Rata-
rata panjangnya tuba 11-14 cm. Tuba fallopii terdiri atas: 1) pars interstisialis,
bagian'yang berada di dinding uterus dinamakan pars intertisialis; 2) lateral dari itu
(bagian medial tuba) 3-6 cm terdapat pars isthmika yang masih sempit (diameter 2-3
mm); 3) lebih ke arah lateral lagi pars ampullaris yang lebih lebar (diameter 4-l0mm),
tempat konsepsi teriadi; dan 4) mempunyai ujung tuba yang terbuka menyerupai anemon
(binatang laut) yang disebut infandibulum dan mempunyai fimbria. Fimbria penting
artinya bagi tuba untuk menangkap telur untuk kemudian menyalurkan telur ke dalam
tuba(3)

2
Bagian luar tuba diliputi oleh peritoneum viserale, yang merupakaa bagian dari
ligamentum latum. Otot di dinding tuba terdiri atas (dari luar ke dalam) otot longitudinal
dan otot sirkuler. Lebih ke dalam lagi terdapat mukosa yang berlipat-lipat ke arah
longitudinal dan terutama dapat ditemukan di bagian ampulla. Mukosa tuba terdiri atas
epitel kubik sampai silindrik, yang mempunyai bagian-bagian dengan serabut-serabut dan
yang bersekresi dan bersilia, yang bersekresi mengeluarkan getah, sedangkan yang
berserabut dengan getarannya menimbulkan suatu arus ke arah kavum uteri untuk
menyalurkan telur atau hasil konsepsi.(1,3)

Gatnbar 1: Tuba Fallopii dan Uterus.(4)

III. Tubektomi pada Wanita


Dalam pandangan medis, sterilisasi dapat dilakukan kapan saja dan sering
dilakukan saat seksio sesarea. Bagi wanita yang melahirkan pervaginam, awal masa nifas
adalah masa yang paling tepat. Selama beberapa hari setelah melahirkan per vaginam,
tuba fallopii dapat diakses melalui umbilikus tepat dibawah dinding abdomen. Karena itu,
secara teknis operasi lebih mudah dilakukan, dan rawat inap menjadi lebih singkat.
Semua faktor diatas menyebabkan tindakan ini menjadi kurang berbahaya dibandingkan
dengan sterilisasi interval.(2)

3
Beberapa individu cenderung melakukan sterilisasi pada masa nifas dini (Bucklfo
dan Smith, 1999). Hal ini memiliki beberapa kekurangan, dan sebagian dokter lebih
senang menunggu 12 sampai 24 jam. Parkland Hospital melakukan ligasi tuba masa nifas
keesokan pagi setelah melahirkan untuk mempersingkat lama rawat inap.(2)
Dahulu tubektomi dilakukan dengan jalan laparotomi atau pembedahan vaginal.
Sekarang, dengan alat-alat dan teknik baru, tindakan ini dilakukan dengan lebih mudah
dan tidak memerlukan perawatan dari rumah sakit.(1)
Keuntungan tubektomi ialah 1) motivasi hanya dilakukan satu kali saja, sehingga
tidak diperlukan motivasi yang benilang-ulang; 2) efektivitas hampir 100%; 3) tidak
mempengaruhi libido seksualis.(l)
Sehubungan dengan waktu melakukan metode dengan operasi, dapat dibedakan
antara metode dengan operasi (m.o.) post partum atau dikenal dengan istilah Sterilisasi
Tuba Puerperium dan m.o. dalam interval atau Sterilisasi Tuba NonPuerperium.(1.2)
Tindakan yang dilakukan sebagai tindakan pendahuluan untuk mencapai tuba
Fallopii terdiri atas pembedahan transabdominal seperti laparotomi, mini laparotomi,
laparoskopi; dan pembedahan transvagina, seperti kolpotomi, kuldoskopi; serta
pembedahan transservikal (trans-uterin), seperti penutupan lumen tuba histeroskopik.(1)
Untuk menutup lumen dalam tuba, dapat dilakukan pemotongan tuba dengan
berbagai macam tindakan operatif, seperti cara Pomeroy, cara Irving, cara Uchida, cara
Kroener, cara Aldridge. Pada cara Madlener tuba tidak dipotong. Di samping cara-cara
tersebut di atas, penutupan tuba dapat pula dilakukan dengan jalan kauterisasi.tuba,
penutupan tuba dengan clips, Falope ting, Yoon ring, dan lain-lain.(1)

III. 1. Indikasi metode dengan operasi (M.O)


Metode dengan operasi dewasa ini dijalankan atas dasar sukarela dalam rangka
keluarga berencana. Kerugiannya ialah bahwa tindakan ini dapat dianggap tidak
reversibel, saat ini ada kemungkinan untuk membuka tuba kembali pada-mereka yang
akhimya masih menginginkan anak lagi dengan operasi rekanalisasi.(l)

Tubektomi memiliki beberapa syarat, antara lain: (5)

 Usia > 26 tahun


 Paritas > 2

4
 Yakin telah mempunyai besar keluarga yang sesuai dengan kehendaknya
 Pada kehamilannya akan menimbulkan resiko kesehatan yang serius
 Pascapersalinan
 Pascakeguguran
 Paham dan secara sukarela setuju dengan prosedur ini.

III. 2. Sterilisasii Tuba Puerperium


Sterilisasi tuba puerperium adalah tubektomi post partum yang dilakukan satu hari
setelah partus. Sterilisasi tuba pertama yang dilaporkan di Amerika Serikat 120 tahun lalu
adalah ligasi tuba fallopii dengan benang sutera sekitar 1 inci dari tempat tuba menempel
ke uterus setelah seksio sesarea yang kedua (Lungren, 1881). Pada saat itu, pasien
tersebut menjalani pengikatan tuba. Kemudian diketahui bahwa angka kegagalan ligasi
tanpa reseksi tuba sangatlah tinggi. Sekarang tersedia beragam teknik untuk merusak
patensi tuba, antara lain.(2)

1. Prosedur Irving
Prosedur ini merupakan prosedur yang paling kecil kemungkinan
kegagalannya. Prosedur ini berupa pemutusan tuba fallopii dan pemisahan tuba bagian
media dari dari mesosalping secukupnya sehingga membentuk suatu segmen medial
tuba. Puntung distal dari segmen tuba proksimal ditanam di dalam suatu terowongan di
miometrium di belakang uterus, dan ujung proksimal segmen tuba distal ditanam di
dalam suafu mesosalping atau ligamentum latum. Prosedur ini memerlukan pemajanan
yang cukup lebar.(1,2)

Gambar 2: Metode Irving(6)


5
2. Prosedur Pomeroy
Cara Pomeroy banyak dilakukan dari merupakan metode pemisahan tuba
yang paling sederhana dan cukup efektif. Cara ini dilakukan dengan mengangkat
bagian tengah dari tuba sehingga membentuk suatu lipatan terbuka, kemudian
dasamya diikat dengan benang yaag dapat diserap (PGA/PolyGlicolic Acid} atau
catgut polos, tuba diatas dasar ikatan itu dipotong, karena dasar ilmiah prosedur
ini adalah absorpsi cepat ligasi dan kemudian pemisahan ujung-ujung tuba yang
terpotong. Setelah benang pengikat diserap, maka ujung-ujung tuba akhimya
terpisah satu sama lain. Angka kegagalan berkisar antara 0-0,4%.(1)

Gambar 3: Metode Pomeroy(6)

3. Prosedur Parkland
Prosedur ini dikembangkan pada tahun 1960-an dan diraneang untuk
menghindari aproksimasi dari ujung-ujung tuba fallopii yang dipotong seperti
pada prosedur Pomeroy. Dibuat sebuah insisi kecil di dinding abdomen
infraumbilikus. Tuba fallopii diidentifikasi dengan menjepit bagian tengah dengan
sebuah klem Babcock dan memastikanya melalui identifikasi langsung fimbriae
di bagian distal, Hal ini mencegah kesalahan identifikasi ligamentum rotundum
sebagai bagian tengah tuba fallopii Apabila secara tidak sengaja tuba fallopii
terjatuh, prosedur identifikasi di atas harus diulang kembali dari awal.

6
Kemudian dilakukan perforasi di tempat avaskular di mesosalping dekat
tuba fallopii dengan sebuah hemostat kecil, dan rahang hemostat dibuka untuk
memisahkan tuba fallopii dari mesosalping di dekatnya sepanjang sekitar 2,5cm.
Tuba fallopii yang sudah dibebaskan diikat di bagian proksimal dan distal dengan
benang kromik 0, dan segmen di tengah sekitar 2 cm dieksisi dan diperiksa untuk
melihat ada tidaknya perdarahan. Kedua segmen yang telah dieksisi diberi label
dan dikirim untuk konfinnasi histologis. Angka kegagalan adalah sekitar 1 per
400 prosedur.(1,2)

Gambar 4: Metode Parkland(2)

4. Prosedur Madlener
Bagian tengah dari tuba diangkat dengan cunam Pean, sehingga terbentuk
suatu lipatan terbuka, Kemudian, dasar dari lipatan tersebut dijepit dengan cunam
kuat-kuat, dan selanjutnya dasar itu diikat dengan benang yang tidak dapat
diserap. Prosedur ini serupa dengan operasi Pomeroy, tetapi pada cara ini tidak
dilakukan pemotongan tuba. Sekarang cara Madlener tidak dilakukan lagi oleh
karena angka kegagalannya relatif tinggi yaitu 1% sampai 7%.(1,2)

7
Gambar 5: Prosedur Madlener(7)

5. Prosedur Aldridge
Peritoneum dari ligamentum latum dibuka dan kemudian tuba bagian
distal bersama-sama dengan. fimbria ditanam ke dalam ligamentum. latum.

Gambar 6 : Prosedur Aldridge

6. Prosedur Uchida
Pada cara ini tuba ditarik ke luar abdomen melalui suatu insisi kecil
(minilaparotomi) di atas simfisis pubis. Kemudian di daerah ampulla tuba
dilakukan suntikan dengan larutan adrenalin dalam air garam di bawah serosa

8
tuba. Akibat suntikan ini, mesosalping di daerah tersebut mengembung. Lalu,
dibuat sayatan kecil di daerah yang kembung tersebut. Serosa dibebaskan dari
tuba sepanjang kira-kira 4-5 cm; tuba dicari dan setelah ditemukan dijepit, diikat,
lalu digunting. Ujung tuba yang proksimal akan tertanam dengan sendirinya di
bawah serosa, sedangkan ujung tuba yang distal dibiarkan berada di luar serosa.
Luka sayatan dijahit secara kantong tembakau.

Gambar 7: Prosedur Uehida

7. Prosedur Kroener
Bagian fimbria dari tuba dikeluarkan dari lubang operasi. Suatu ikatan
dengan benang sutera dibuat melalui bagian mesosalping di bawah fimbria.
Jahitan ini diikat dua kali, satu mengelilingi tuba dan yang lain mengelilingi tuba
sebelah proksimal dari jahitan sebelumnya. Seluruh fimbria dipotong. Setelah
pasti tidak ada perdarahan, maka tuba dikembalikan ke dalam rongga perut.
Teknik ini banyak digunakan. Keuntungan cara ini antara lain ialah sangat
kecimya kemungkman kesalahan mengikat ligamentum rotundum.

9
Gambar 8: Prosedur Kroener

III.3 Sterilisasi Tuba NonPuerperium (Interval)


Jumlah teknik sterilisasi tuba interval, termasuk modifikasi-modifikasinya yang
telah direkomendasikan untuk sterlisasi melalui oklusi tuba, sangatlah banyak. Pada
dasamya, teknik-teknik tersebut berupa :
1. Ligasi dan reseksi melalui laparotomi, seperti dijelaskan sebelumnya untuk sterilisasi
puerperium.
2. Pemasangan secara permanen berbagai cincin atau klip ke tuba fallopii, biasanya
dengan laparoskopi.
3. Elektrokoagulasi suatu segmen tuba fallopii, juga biasanya melalui laparoskop.

Tindakan Pendahuluan Guna Penutupan Tuba


Laparotomi
Apabila uterus mengalami involusi sempuma dan kembali ke panggul sejati
pascapartum, pemajanan dapat lebih baik apabila uterus dan adneksa didorong keluar dari
panggul sejati ke arah dinding abdomen dengan menggunakan suatu manipulator yang
dimasukkan kedalam uterus. Namun tindakan ini tidak dilakukan lagi sebagai tindakan
khusus guna tubektomi. Disini penutupan tuba dijalankan sebagai tambahan apabila
wanita yang bersangkutan perlu dibedah untuk keperluan lain. Misalnya, pada wanita
yang perlu dilakukan seksio sesarea, kadang-kadang tuba kanan dan kiri ditutup apabila
tidak diinginkan bahwa ia hamil lagi.(1,2)

10
Laparotomi postpartum
Laparotomi ini dilakukan satu hari postpartum. Keuntungannya ialah bahwa
waktu perawatan nifas sekaligus dapat digunakan untuk perawatan pascaoperasi, dan oleh
karena uterus masih besar, cukup dilakukan sayatan kecil dekat fundus uteri untuk
mencapai tuba kanan dan kiri. Sayatan dilakukan dengan sayatan semilunar (bulan sabit)
di garis tengah distal dari pusat dengan panjang kurang lebih 3 cm dan penutupan tuba
biasanya dilakukan dengan cara Pomeroy.(2)

Minilaparotomi
Laparotomi mini dilakukan dalam masa interval. Sayatan dibuat di garis tengah di
atas simfisis sepanjang 3 cm sampai menembus peritoneum. Untuk mencapai tuba
dimasukkan alat khusus (elevator uterus) ke dalam kavum uteri. Dengan bantuan alat ini
uterus bilamana dalam retrofleksi dijadikan letak antefleksi dahulu dan kemudian
didorong ke arah lubang sayatan. Kemudian, dilakukan penutupan tuba dengan salah satu
cara.(1,2)

Laparoskopi
Ligasi tuba laparoskopik adalah metode utama untuk keluarga berencana bagi
wanita yang menginginkan sterilisasi (Filshie,1999). Wanita yang bersangkutan biasanya
menjalani pembedahan rawat jaian. Dilakukan induksi anastesi, biasanya anastesi umum
dengan intubasi trakea. Setelah menimbulkan pneumoperitoneum dengan karbon
dioksida, dilakukan prosedur sterilisasi. Umumnya wanita yang dapat dipulangkan
beberapa jam kemudian- Perusakan kontinuitas tuba dapat dilakukan dengan
menggunakan loops, klip, dan elektrokauterisasi dengan atau tanpa transeksi tuba. Karena
elektrokauterisasi merusak sebagian besar segmen tuba, umumnya tidak dapat dilakukan
penyambungan kembali secara bedah dan prosedur ini umumnya tidak dianjurkan bagi
wanita yang berusia kurang dari 25 tahun, atau mereka yang paritasnya rendah.(2.5)

11
Gambar 6: Kauterisasi(7)

Penatalaksanaannya mula-mula dipasang cunam serviks pada bibir depan porsio


uteri, dengan maksud supaya kelak dapat menggerakkan uterus jika hal itu diperlukan
pada waktu laparoskopi. Setelah dilakukan persiapan seperlunya, dibuat sayatan kulit di
bawah pusat sepanjang lebih 1 cm. Kemudian, di tempat luka tersebut dilakukan pungsi
sampai rongga peritoneum degan jarum khusus (jarum Veres), dan melalui jarum itu
dibuat pneumoperitoneum dengan memasukkan C02 sebanyak 1 sampai 3 liter dengan
kecepatan kira-kira 1 liter per menit Setelah pneumoperitoneum dirasa cukup, jarum
Veres dikeluarkan dan sebagai gantinya dimasukan troikar (dengan tabungnya). Sesudah
itu, troikar diangkat dan dimasukkan laparoskop melalui tabung. Untuk memudahkan
penglihatan uterus dan adneksa, penderita diJetakkan dalam posisi Trandelenburg dan
uterus digerakkan melalui cunam serviks pada porsio uteri. Kemudian, dengan cunam
yang masuk dalam rongga peritoneum bersama-sama dengan laparoskop, tuba dijepit dan
dilakukan penutupan tuba dengan kauterisasi, atau dengan memasang pada tuba cincin
Yoon atau cincin Falope atau clip Hulks. Berhubung dengan kemungkinan komplikasi
yang lebih besar pada kauterisasi, sekarang lebih banyak digunakan cara-cara yang lain.(2)

12
Gambar 7: Ligasi Tuba Laparoskopik dengan Klip dan Loop(8)

Kuldoskopi
Wanita ditempatkan pada posisi menungging (posisi genupektoral) dan setelah
spekulum dimasukkan dan bibir belakang serviks uteri dijepit dan uterus ditarik ke luar
dan agak ke atas, tampak kavum Douglasi mekar di antara ligamentum sakro-uterium
kanan dan kiri sebagai tanda bahwa tidak ada perlekatan. Dilakukan pungsi dengan jarum
Touhy di belakang uterus, dan melalui jarum tersebut udara masuk dan usus-usus
terdorong ke rongga penrt. Setelah jarum diangkat, lubang diperbesar, sehingga dapat
dimasukkan kuldoskop. Melalui kuldoskop dilakukan pengamatan adneksa dan dengan
cunam khusus tuba dijepit dan ditarik ke luar untuk dilakukan penutupannya dengan cara
Pomeroy, cara Kroener, kauterisasi, atau pemasangan cincin Falope.(2)

III.4 Resiko Sterilisasi Tuba


Bahaya utama adalah penyulit anastesi, cedera struktur sekitar seeara tidak
sengaja, embolisme paru (walaupun jarang) dan kegagalan menghasilkan mfertilltas
sehingga keroudian terjadi kehamilan ektopik.
Karena membaiknya tingkat keamanan teknik anastesi dan laparoskopi, angka
kasus kematian untuk sterilisasi tuba telah jauh berkurang selama 2 dekade terakhir.
Sebagai contoh, dari tahun 1977 sampai 1981, Peterson dkk (1983) memperkirakan
frekuensi kematian per kasus adalah 8 per 100.000 prosedur. Data yang lebih baru dari

13
Hatcher dkk (1998) menyatakan bahwa angka kematian adalah sekitar 1,5 per 100.000
untuk sterilisasi laparoskopik. Angka ini lebih baik dibandingkan dengan angka kematian
ibu hamil yang sekitar 8 per 100.000 kelahiran hidup.

DeStefano dkk (1983) mengidentifikasi penyuirt infra- dan pascaoperasi pada


1,7% dari sejumlah besar wanita yang menjalani elektrokoagulasi tuba laparoskopik non-
nifas untuk sterilisasi. Faktor-faktor yang diketahui meningkatkan morbiditas adalah
riwayat bedah abdomen atau panggul, riwayat infeksi panggul, kegemukan, diabetes, dan
anastesi umum.(2)

III.5 Kegagalan Sterilisasi Tuba

Tidak ada metode sterilisasi tuba yang bebas kegagalan. Kegagalan ini dapat
menyebabkan kehamilan intrauterus atau ektopik.(2)

Kegagalan Sterilisasi Tuba Interval


Penyebab kegagalan sterilisasi tuba interval tidak selalu jelas, tetapi sebagian
alasannya adalah(2)
1. Kesalahan bedah mungkin menjadi penyebab 30 sampai 40 persen kasus.
2. Pasien sudah hamil saat pembedahan, yaitu yang disebut sebagai kehamilan fase luteal.
3. Kegagalan metode oklusi mungkin disebabkan oleh terbentuknya fistula, yang dapat
timbul setelah tindakan elektrokauterisasi. Klip penjepit mungkin kurang bekerja
sempuma, atau tuba fallopii secara spontan mengalatni reanastomosis.
4. Kerusakan alat, misainya gangguan arus listrik pada kauterisasi juga dapat menjadi faktor
penyebab.

Kegagalan Sterilisasi Puerperium


Walaupun sejumlah penulis melaporkan peningkatan angka kegagalan untuk
sterilisasi yang dilakukan pada saat seksio sesarea, dengan teknik sterilisasi tuba yang
digunakan di Parkland Hospital, tidak dijumpai adanya perbedaan. Dua penyebab utama
pada kegagajan sterilisasi masa nifas adalah(2)

14
1. Kesalahan pembedahan, yakni pemotongan ligamentum rotundum dan bukan tuba
fallopii, atau pemotongan tuba secara parsial.
2. Terbentuknya saluran fistula antara puntung tuba yang terpotong atau reanastomisis
spontan.
Soderstorm (1985) menyimpulkan bahwa sebagian besar kegagalan sterilisasi tidak
dapat dicegah. Kesimpulan serupa dikemukakan oleh American College of
Obstetricians and Gynecologists (1996), yang menyatakan "kehamilan setelah
sterilisasi dapat terjadi tanpa kesalahan teknis apapun".

Kegagalan Sterilisasi Metode Terkait

Tampak jelas bahwa metode sterilisasi tertentu. memiliki angka kegagalan


yang lebih. rendah daripada metode lain. sebagai contoh, dari kajian ulang
terhadap data yang tercantum di Tabel-2, sterilisasi masa nifas dan koagulasi
unipolar interval tampaknya memiliki angka kegagalan terendah. Apabila bagian
tuba yang dikoagulasi kurang dairtiga, probabilitas kehamilan kumulatif 5 tahun
adalah sekitar 12 per 1000 prosedur. Apabila bagian yang dikoagulasi lebih
banyak, angkanya menjadi hanya 3 per 1000 (Peterson dkk, 1999). Angka
kegagalan kumulatif sepanjang hidup yang meningkat menegaskan bahwa
kegagalan setelah 1 tahun bukan disebabkan oleh kesalahan teknis. (2)

Probabilitas Kehamilan Kumulatif (10 Tahun) pada Wanita yang Menjalani


Sterilisasi
Berdasarkan Metode.(9)
Metode Kehamilan dalam 10 Tahun
Salpingektomi postpartum 0,75
Salpingektomi parsial 2,01
Koagulasi unipolar 0,75
Koagulasi bipolar 2,48
Klip spring (Klip Hulka) 3,65
Pita Karet silikon (Falope Ring) 1,77

15
Kehamilan Ektopik
Sekitar separuh dari kehamilan yang teriadi setelah kegagalan prosedur
elektrokoagulasi adalah kehamilan ektopik, dibandingkan dengan 10 pada kegagalan
metode reseksi, cincin atau klip tuba (Hatcher dkk, 1990). Angka-angka ini harus
dibandingkan dengan angka kehamilan ektopik pada wanita yang tidak disterilisasi yang
besarnya sekitar 1 persen. Setiap gejala kehamilan pada seorang wanita yang telah
menjalani sterilisasi tuba harus diperiksa, dan kemungkinan kehamilan ektopik harus
disingkirkan. (2)

Sindrom Pascaligasi tuba

Sindrom ini biasanya ditandai oleh rasa tidak nyaman di panggul, pembentukan
kista ovarium, dan khususnya menoragia. Masih perlu dibuktikan apakah ligasi tuba
menyebabkan salah satu dari keluhan diatas. Kasonde dan Bonnar (1976) mengukur
darah haid yang keluar sebelum dan 6 sampai 12 bulan setelah sterilisasi tuba. Mereka
tidak menemukan perbedaan bermakna dalam hal pengeluaran darah haid. Mereka juga
melaporkan bahwa wanita yang datang dengan menoragia segera setelah sterilisasi
biasanya sudah mengalaminya sebelumnya, atau mereka pemah menggunakan
kontrasepsi oral, yang mengurangi pengeluaran darah. DeStefano dkk (1983) mengikuti
hampir 2500 wanita selama 2 tahun setelah sterilisasi tuba dan melaporkan bahwa, selain
nyeri haid, tidak terjadi peningkatan prevalensi gangguan mngsi haid. Sebenamya,
separuh atau lebih wanita yang mengalami gangguan haid sebelum sterilisasi
memperlihatkan perbaikan dalam 2 tahun setelah sterilisasi. DeStefano dkk (1985) serta
Shy dkk (1992) menyertakan kelompok kontrol berupa wanita yang pasangannya
menjalani vasektomi. Mereka melaporkan bahwa gangguan perdarahan haid jarang
terjadi kecuali apabila hal tersebut sudah dilaporkan sebelum sterilisasi. Yang menarik
dibandingkan dengan kontrol normal, wanita yang haidnya tidak teratur sebelum
sterilisasi memberikan kemungkinan lebih kecil untuk pulih secara spontan ke siklus
normal setelah itu. Vassey dkk (1983) membandingkan frekuensi gangguan ginekologis
dan psikologis antara wanita yang menjalani sterilisasi tuba dan mereka yang suaminya

16
menjalani vasektomi, dan hanya mendapatkan sedikit perbedaan diantar kedua kelompok
tersebut. (2)

Observasi terakhir yang dilaporkan Peterson dkk (2000) untuk US Collaborative


Review of Sterilization Working Group penting diperhatikan. Mereka memperlihatkan
bahwa sterlisasi tuba tidak diikuti oteh peningkatan resiko kelainan haid. Hal ini
disimpulkan setelah dilakukan penelitian terhadap 9514 wanita yang telah menjalani
sterilisasi tuba dan membandingkannya dengan 573 wanita yang pasangannya menjalani
vasektomi. Pada kedua kelompok tidak terdapat perbedaan dalam peningkatan volume
darah haid atau perdarahan antarhaid. Wanita yang menjalani sterilisasi tuba cenderung
lebih banyak melaporkan penurunan durasi haid, jumlah darah haid dan dismenorea.

Menurut Hargrove dan Abraham (1981), sejumlah. wanita yang telah menjalani
sterilisasi tuba memperlihatkan kadar estradiol serum yang tinggi dan progesteron serum
yang rendah dibandingkan dengan kontrol. Peneliti lain tidak dapat mengidentifikasi
adanya disfung si fase luteal setelah sterilisasi tuba, kecuali mungkin pada teknik yang
dapat menyebabkan obstruksi arteri utero-ovarium (Alvarez- Sanches dkk 1981; Donnez
dkk 1981).

Meski pemotongan total tuba fallopii merupakan keharusan, pada saat yang sama
aliran darah melalui mesosalping di dekatnya sebaiknya dipertahankan. Hal ini dapat
memperkecil kemungkinan kelainan "pascaligasi" yang oleh sebagian pihak diduga
disebabkan oleh sterilisasi tuba. Yang menarik, El Minawi dkk (1983)- dengan bantuan
venografi-sermg menemukan varises uterovagina dan ovarium setelah prosedur pomeroy
dan beberapa prosedur lain, tetapi tidak pada prosedur Parkland.(2)

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Albar, E. Kontrasepsi. Dalam: Wiknjosastro H (ed). Ilmu Kandungan. Edisi 2. 2007.


Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawihardjo. Jakarta, p. 564-72.
2. Pemoll ML. Contraception. In: Benson & Pernoll's Handbook of Obstetrics &
Gynecology. Tenth Edition. 2001. McGraw-Hill Medical Publishing Division. New
York. p.728.
3. Wikmjosastro H. Anatomi Alat Kandungan. Dalam: Wiknjosastro H (ed). Ilmu
Kebidanan. Edisi Ketiga. 2007. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawihardjo. Jakarta.
p.41
4. Farthing A. Clinical Anatomy of The Pelvis and Reproductive Tract. In; Edmonds DK
(ed). Dewhurst's Textbook of Obstetrics & Gynaecology. Seventh Edition. 2007.
Blackwell Publishing. Australia, p.7
5. Affandi B. Tubektomi. Dalam: Saifuddin AB. (eds). Bulcu Panduan Praktis Pelayanan
Kontrasepsi. Edisi 2. 2006. Yayasan Bina Sarwono Prawirohardjo. Jakarta.
6. Levit AF. Contraception. In: Havens CS, Sullivan ND (eds). Manual of Outpatient
Gynecology. 2002. Lippincott Williams & Wilkins. California, p.232.
7. Norwitz ER, Schorge JO. Sterilization. In: Norwitz, Schorge (eds). Obstetrics and
Gynecology at a Glance. 2001. Blackwell Science. London, p.32-3.
8. Hanretty KP. Contraception. In: Ham-etty (ed). Obstetrics Illustrated. 1969. Churchill
Livingstone. Glasgow, p.318.
9. Pavone ME, Burke A. Fertility Control: Contraception, Sterilization, and Abortion. In:
Fortner KB, Szymanski LM, et al (eds). The Johns Hopkins Manual of Gynecology and
Obstetrics. 2007. Lippincott Williams & Wilkins. Baltimore, p.281.

18

Anda mungkin juga menyukai