Anda di halaman 1dari 4

Cut Nyak Dien

Cut Nyak Dien lahir di Lampadang, Aceh Besar pada tahun 1850, ia

merupakan anak dari Nanta Setia, yang merupakan keturunan perantau Minang yang

datang dari Sumatera Barat ke Aceh pada abad ke 18 ketika kesultanan Aceh yang

diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir.

Cut Nyak Dien dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat beragaman dan

tumbuh dalam lingkungan yang memegang tradisi beragama.

Nanggroe Aceh Darussalam banyak melahirkan pahlawan perempuan yang

gigih dalam melawan penjajah.

Masa kecil Cut Nyak Dien diwarnai dengan suasana buruknya hubungan antara

kerajaan Aceh dan Belanda, hal itu sangat berpengaruh pada dirinya.

Semangat juang Cut Nyak Dien tidak tumbuh begitu saja pada dirinya, tetapi

ayahnya memang seorang penggerak perlawanan Belanda, ketika tanah kelahirannya

diduduki oleh penjajah, ia terpaksa harus berpisah dengan ayahnya yang berjuang

melawan penjajah.

Cut Nyak Dien memiliki sifat tabah, teguh pendirian dan tawakkal. Cut Nyak

Dien dibesarkan dalam suasana perjuangan yang amat dahsyat, yaitu ketika perang

Aceh. Sebuah peperarangan yang terjadi di tanah Aceh, perlawanan yang keras itu

berani ia lakukan karena keyakinan agama, serta amarah yang mendalam kaum kafir.

Pada usia yang sangat muda, yaitu 12 tahun ia menikah dengan Teuku Chik

Ibrahim Lamnga. Kehidupan rumah tangga Cut Nyak Dien berjalan dengan baik dan
harmonis, apalagi ia dan Teuku Ibrahim Lam Nga memiliki tujuan sama, yaitu

menghancurkan Belanda.

Belanda mendarat di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan Kohler yang

langsung bisa menguasai Mesjid Raya Baiturrahman dan membakarnya, Cut Nyak

Dien yang melihat hal itu berteriak “Lihatlah wahai orang-orang Aceh !, tempat

ibadah kita di rusak!. Mereka telah mencorengkan nama Allah ! sampai kita begini ?

sampai kapan kita akan menjadi budak Belanda ?

Bertahun-tahun peperangan berkecamuk di tanah kelahirannya, Belanda

memiliki keunggulan dalam hal persenjataan karena takut dengan persenjataan

Belanda, pejuang Aceh melakukan pengkhianatan satu persatu dalam pasukan Aceh.

Akhirnya benteng pertahanan Aceh berjatuhan, termasuk kuta (benteng) Lampadang.

Karena keadaan yang mendesak, Cut Nyak Dien beserta keluarganya terpaksa

mengungsi.

Cut Nyak Dien akhrinya mengungsi bersama ibu-ibu dan rombongan lainnya,

sedangkan suaminya tetap bertempur untuk merebut kembali daerah VI mukim. Pada

suatu pertempuran di Gle Tarum pada tanggal 29 Juni 1878., sang suami gugur. Hal

ini mengakibatkan Cut Nyak Dien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan

Belanda. Dalam hati iai bersumpah, ia hanya akan menerima laki-laki yang bersedia

membantu untuk membalas kematian suaminya.

Teuku Umar menikahinya pada tahun 1880. Teuku Umar adalah satu tokoh

yang melawan Belanda. Awalya Cut Nyak Dien menolak pinangan tersebut, tetapi

karena Teuku Umar memperbolehkannya ikut serta dalam medan perang, Cut Nyak
Dien setuju untuk menikah dengannya, dan saat itu Cut Nyak Dien melahirkan seorang

anak perempuan yang diberi nama Cut Gambang.

Di tengah perjuangan Teuku Umar, ia gugur dalam pertempuran di Meulaboh

pada 11 Februari 1899. Ia gugur tertembak peluru Belanda. Teuku Leube lah yang

menginformasikan kematian Teuku Umar. Ketika Cut Gambang mendengar kematian

ayahnya, ia sangat terpukul dan menangis. Lalu, Cut Gambang di tampar oleh ibunya

dan Cut Nyak Dien berkata, “Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan

air mata pada orang yang sudah syahid”.

Bertahun-tahun semangat juang Cut Nyak Dien terus berkobar, segala energi

dan pemikiran putri bangsawan itu hanya dicurahkan untuk berperang. Usia Cut Nyak

Dien semakin tua dan memiliki penyakit encok dan rabun, ia dipindahkan ke

Sumedang karena masih sering kedatangan tamu-tamu yang mengundang kecurigaan

Belanda.

Ia diasingkan ke Sumerang, Jawa barat pada tanggal 11 Desember 1905

berdasarkan surat keputusan No. 23 (Kolonial Verslag 1907:12).

Di Sumedang, sedikit orang yang mengenal perempuan renta bermata rabun

ini, ia tak pernah berganti pakaian yang sangat lusuh itu. Hanya pakaian itu yang

melekat di badannya. Hari-harinya selalu di isi dengan berzikir dan tangannya tidak

lepas dari sebuah tasbih, banyak sekali ayat suci yang dihapalnya. Waktu itu tak ada

yang menyangka bahwa perempuan tua yang mereka panggil Ibu Perbu (ratu) itu

ternyata dia adalah the quenn of Aceh Battle atau ratu Jihad dari Perang Aceh (1873 –

1904) bernama Cut Nyak Dien.


Semakin hari, penyakitnya semakin parah dan usianya sangat renta. Cut Nyak

Dien akhirnya meninggal pada 6 November 1908, ia dimakamkan secara terhormat di

Gunung Puyuh, yaitu sebuah kompleks pemakaman kaum bangsawan Sumedang.

Kesimpumpulan yang dapat kita ambil dari cerita ini adalah cintailah tanah air

mu, jagalah tanah airmu dari penjajah dan tirulah sikap Cut Nyak Dien dan pahlawan

lainnya.

~ ~ Cukup Sekian ~~

Anda mungkin juga menyukai