Anda di halaman 1dari 19

Etika Profesi Kedokteran dan Rahasia Kedokteran

Intan Novia Sari


102014189
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Skenario 5

Seorang pasien laki-laki datang ke praktek dokter. Pasien ini dan keluarganya adalah pasien
lama dokter tersebut, dan sangat akrab serta selalu mendiskusikan kesehatan keluarganya
dengan dokter tersebut. Kali ini pasien laki-laki ini datang sendirian dan mengaku telah
melakukan hubungan dengan wanita lain seminggu yang lalu. Sesudah itu ia masih tetap
berhubungan dengan istrinya. Dua hari terakhir ia mengeluh bahwa alat kemaluannya
mengeluarkan nanah dan terasa nyeri. Setelah diperiksa ternyata ia menderita GO. Pasien
tidak ingin diketahui istrinya, karena bisa terjadi pertengkaran diantara keduanya. Dokter
tahu bahwa mengobati penyakit tersebut pada pasien tidaklah sulit, tetapi oleh karen ia
berhubungan juga dengan istrinya maka mungkin istrinya sudah tertular. Istrinya juga harus
diobati.

Pembahasan

Aspek Hukum

PERSETUJUAN TINDAKAN MEDIK


Peraturan Menteri Kesehatan No. 585/MenKes/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik

Pasal 1. Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989


a. Persetujuan tindakan medik/informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh
pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenal tindakan medik yang akan
dilakukan terhadap pasien tersebut;
b. Tindakan medik adalah suatu tindakan yang dilakukan terhadap pasien berupa diagnostik
atau terapeutik;
c. Tindakan invasif adalah tindakan medik yang langsung dapat mempengaruhi keutuhan
jaringan tubuh;
d. Dokter adalah dokter umur/dokter spesialis dan dokter gigi/dokter gigi spesialis yang
bekerja di rumah sakit, pus kesmes, klinik atau praktek perorangan/bersama.

1
Pasal 2. Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989
(1) Semua tindakan medik yg akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
(2) Persetujuan dapat diberikan secara tertulis maupun lisan.
(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat informasi
yang adekuat tentang perlunya tindakan medik yang bersangkutan serta resiko yang
dapat ditimbulkannya.
(4) Cara penyampaian dan isi informasi harus disesuaikan dengan tingkat pendidikan serta
kondisi dan situasi pasien

Pasal 3. Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989


(1) Setiap tindakan medik yang mengandung risiko tinggi harus dengan persetujuan tertulis
yang ditanda tangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.
(2) Tindakan medik yang tidak termasuk sebagaimana dimaksud dalam pasal ini tidak
diperlukan persetujuan tertulis, cukup persetujuan lisan
(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (2) dapat diberikan secara nyata-nyata atau
secara diam-diam. .

Pasal 4. Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989


(1)Informasi tentang tindakan medik harus diberikan kepada pasien, baik diminta maupun
tidak diminta.
(2)Dokter harus memberikan informasi selengkap-lengkapnya, kecuali bila dokter menilai
bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien atau pasien
menolak diberikan informasi.

Pasal 5. Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989


(1) Informasi yang diberikan mencakup keuntungan dan kerugian dari tindakan medik yang
akan dilakukan, baik diagnostik maupun terapeutik.
(2) Informasi diberikan secara lisan
(3) Informasi harus diberikan secara jujur dan benar kecuali bila dokter menilai bahwa hal
itu dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien.
(4) Dalam hal-hal sebagaimana dimaksud ayat (3) dokter dengan persetujuan pasien dapat
memberikan informasi tersebut kepada keluarga terdekat.

2
Pasal 6. Permenkes No 58#MenKes/Per/IX/1989
(1) Dalam hal tindakan bedah (operasi) atau tindakan invasif lainnya, informasi harus
diberikan oleh dokter yang akan melakukan operasi itu sendiri.

Pasal 7. Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989


(1) Informasi juga harus diberikan jika ada kemungkinan perluasan operasi.
(2) Perluasan operasi yang tidak dapat diduga sebelumnya, dapat dilakukan untuk
menyelamatkan jiwa pasien.

Pasal 8. Permenkes No 585/Men Kes/Per/IX/1989


(1) Persetujuan diberikan oleh pasien dewasa yang berada dalam keadaan sadar dan sehat
mental.

(2) Pasien dewasa sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah yang telah berumur 21 tahun
(duapuluh satu) tahun atau telah menikah.

Pasal 9. Permenkes No 585/Men Kes/Per/lX/1989


(1) Bagi pasien dewasa yang berada di bawah pengampuan (cura tele) persetujuan diberikan
oleh wali/curator.
(2) Bagi pasien dewasa yang menderita gangguan mental, persetujuan diberikan oleh orang
tua/wali/curator.

Pasal 10. Permenkes No 585/Men Kes/Per/IX/1989


Bagi pasien di bawah umur 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak mempunyai orang tua/wali
dan atau orang tua/wali berhalangan, persetujuan diberikan oleh keluarga terdekat atau induk
semang (guardian).

Pasal 11. Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989


Dalam hal pasien tidak sadar/pingsan serta tidak didampingi oleh keluarga terdekat dan
secara medik berada dalam keadaan gawat dan atau darurat yang memerlukan tindakan
medik segera untuk kepentingannya, tidak diper Iukan persetujuan dari siapapun.

Pasal 12. Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989

3
(1) Dokter bertanggung jawab atas pelaksanaan ketentuan tentang persetujuan tindakan
medik.

Pasal 13. Permenkes No 585/Men Kes/Per/IX/1989


Terhadap dokter yang melakukan tindakan medik tanpa adanya persetujuan dari pasien atau
keluarganya dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan surat izin prakteknya.

Pasal 14. Permenkes No 585/Men Kes/Per/IX/1989


Dalam hal tindakan medik yang harus dilaksanakan sesuai dengan program pemerintah
dimana tindakan medik tersebut untuk kepentingan masyarakat banyak, maka persetujuan
tindakan medik tidak diperlukan.

Pasal 15. Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989


Hal-hal yang bersifat teknis yang belum diatur dalam. Peraturan Menteri ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Pelayanan Medik.2

Prinsip Etika Kedokteran

Kode Etik Kedokteran Indonesia

KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIA

KEWAJIBAN UMUM

Pasal 1

Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter.
Pasal 2

Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar
profesi yang tertinggi.
Pasal 3

Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh
sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.
Pasal 4

Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.

4
Pasal 5

Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik
hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh persetujuan
pasien.
Pasal 6

Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap
penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal-hal yang
dapat menimbulkan keresahan masyarakat.
Pasal 7

Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri
kebenarannya.
Pasal 7a

Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan medis yang
kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang
(compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.
Pasal 7b

Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya, dan
berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam
karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan, dalam
menangani pasien
Pasal 7c

Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga
kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien
Pasal 7d

Setiap dokten harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani.
Pasal 8

Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan


masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh
(promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial, serta berusaha
menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.
Pasal 9

5
Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang
lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.

KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP PASIEN


Pasal 10

Setiap dokten wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan
ketrampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien,ia wajib menujuk pasien kepada
dokten yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.
Pasal 11

Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat
berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam masalah
lainnya.
Pasal 12

Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien,
bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
Pasal 13

Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan,
kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.

KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP TEMAN SEJAWAT


Pasal 14

Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan.


Pasal 15

Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dan teman sejawat, kecuali dengan
persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.

KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP DIRI SENDIRI


Pasal 16

Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik.
Pasal 17

6
Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
kedokteran/kesehatan.3

Etika Profesi Kedokteran

Jenis hubungan dokter-pasien sangat dipengaruhi oleh etika profesi kedokteran,


sebagai konsekuensi dari kewajiban-kewajiban profesi yang memberikan batasan atau rambu-
rambu hubungan tersebut. Kewajiban-kewajiban tersebut tertuang di dalam prinsip-prinsip
moral profesi.

Sifat hubungan antara dokter dengan pasien berkembang dari sifat paternalistik hingga ke
sifat kontraktual dan fiduciary. Pada masa sebelum tahun 1950-an paternalistik dianggap
sebagai sifat hubungan yang paling tepat, dimana dokter menentukan apa yang akan
dilakukan terhadap pasien berdasarkan prinsip beneficence (semua yang terbaik untuk
kepentingan pasien, dipandang dari kedokteran). Prinsip ini telah mengabaikan hak pasien
untuk turut menentukan keputusan. Sampai kemudian pada tahun 1970-an dikembangkanlah
sifat hubungan kontraktual antara dokter dengan pasien yang menitikberatkan kepada hak
otonomi pasien dalam menentukan apa-apa yang boleh dilakukan terhadapnya. Kemudian
sifat hubungan dokter-pasien tersebut dikoreksi oleh para ahli etika kedokteran menjadi
hubungan ficuiary (atas dasar niat baik dan kepercayaan), yaitu hubungan yang
menitikberatkan nila-nilai keutamaan (virtue ethics). Sifat hubungan kontraktual dianggap
meminimalkan mutu hubungan karena hanya melihatnya dari sisi hukum dan peraturan saja,
dan disebut sebagai bottom line ethicts.

Dalam profesi kedokteran dikenal 4 prinsip moral utama yaitu :

1. Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama
hak otonomi pasien (the rights to self determination).
2. Prinsip beneficence, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang
ditujukan ke kebaikan pasien.
3. Prinsip non maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang
memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai “primum non nocere” atau
“ do no harm”.
4. Prinsip Justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam
mendistribusikan sumber daya (distributive justice).

7
Otonomi pasien dianggap sebagai cerminan konsep self governance, liberty rights dan
individual choices. Immanuel Kant mengatakan bahwa setiap orang memiliki kapasitas untuk
memutuskan nasibnya sendiri, sedangkan John S Mills berkata bahwa kontrol sosial atas
seseorang individu hanya sah apabila dilakukan karena terpaksa untuk melindungi hak orang
lain.
Salah satu hak pasien yang disahkan dalam Declaration of Lisbon dari World Medical
Association (WMA) adalah “the rights to accept or to refuse treatment after receiving
adequate information”. Secara implisit amandemen UUD 45 pasal 28G ayat (1) juga
menyebutkannya demikian “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi,... dst”.
Selanjutnya UU No 23/1992 tentang kesehatan juga memberikan hak kepada pasien untuk
memberikan persetujuan atas tindakan medis yang akan dilakukan terhadapnya. Hak ini
kemudian diuraikan di dalam Permenkes tentang Persetujuan Tindakan Medis.
Suatu tindakan medis terhadap seseorang pasien tanpa memperoleh persetujuan
terlebih dahulu dari pasien tersebut dapat dianggap sebagai penyerangan atas hak orang lain
atau perbuatan melanggar hukum.

Prinsip otonomi pasien ini dianggap sebagai dasar dari doktrin informed consent. Tindakan
medis terhadap pasien harus mendapat persetujuan (otorisasi) dari pasien tersebut, setelah ia
menerima dan memahami informasi yang diperlukan.4

Kewajiban Dokter

“Semua tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat
persetujuan.” (Pasal 2 ayat (1) Permenkes No. 585/MenKes/Per/IX/1989). Berdasarkan pasal
tersebut, dapat disimpulkan bahwa sudah merupakan kewajiban dokter untuk mendapatkan
persetujuan dalam semua tindakan medis yang akan dilakukan baik tindakan diagnostik
maupun tindakan terapeutik. Namun, penting untuk diingat bahwa pasien harus mendapatkan
penjelasan yang adekuat sebelum mendapatkan tindakan medis tersebut (Pasal 2 ayat (3)).
Persetujuan tertulis dibutuhkan jika tindakan medis merupakan tindakan yang mengandung
resiko tinggi. Namun, persetujuan lisan dapat diterima jika tindakan medis tersebut tidak
mengandung resiko tinggi (Pasal 3 Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989).

Dokter mempunyai kewajiban dalam menjelaskan secara lengkap mengenai resiko


maupun tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien, khususnya jika tindakan medis
tersebut merupakan tindakan yang invasif (Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 dan pasal 7 Permenkes

8
No 585/MenKes/Per/IX/1989). Dalam Pasal 4 Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989,
menyatakan bahwa:

(1) Informasi tentang tindakan medik harus diberikan kepada pasien, baik diminta maupun
tidak diminta.
(2) Dokter harus memberikan informasi selengkap-lengkapnya, kecuali bila dokter menilai
bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien atau pasien
menolak diberikan informasi.
Berdasarkan pasal tersebut jelas bahwa dokter mempunyai kewajiban memberikan informasi
yang adekuat walaupun pasien tidak menanyakan. Informasi yang diberikan harus meliputi
keuntungan dan kerugian dari tindakan medis yang akan dilakukan (Pasal 5 Permenkes No
585/MenKes/Per/IX/1989).
Dalam kasus ini, dokter harus menjelaskan kepada pasien bahwa pengobatan pasien
tidak akan berhasil jika tidak disertai dengan pengobatan istri pasien. Dokter harus
menjelaskan proses terjadinya penularan penyakit yang didertia pasie, dalam kasus ini
gonorrhea, serta cara pengobatan dan pencegahannya. Dokter tidak dituntut untuk memanggil
atau memberitahu informasi mengenai pasien kepada istri pasien demi kelangsungan
pengobatan, karena dokter terikat akan rahasia jabatan. Namun, dokter dapat menasehati
pasien agar dapat memberitahu istrinya untuk berobat jika ia ingin cepat sembuh.
Pada sisi lain, dari segi moral, dokter dapat memberikan konseling tambahan kepada
pasien laki-laki tersebut mengenai bahayanya penyakit gonorrhea beserta penyakit menular
seksual yang lain. Penting bagi dokter untuk membahas komplikasi yang dapat timbul serta
penyakit lain yang dapat menyertai, seperti contohnya HIV/AIDS.

Informed Consent

Menurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no 29 th 2004 Pasal 45 serta


Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008. maka Informed Consent adalah
persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah
mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan
terhadap pasien tersebut. Menurut Lampiran SKB IDI No. 319/P/BA./88 dan Permenkes no
585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis Pasal 4 ayat 2 menyebutkan
dalam memberikan informasi kepada pasien / keluarganya, kehadiran seorang perawat /
paramedik lainnya sebagai saksi adalah penting.

9
Persetujuan yang ditanda tangani oleh pasien atau keluarga terdekatnya tersebut, tidak
membebaskan dokter dari tuntutan jika dokter melakukan kelalaian. Tindakan medis yang
dilakukan tanpa persetujuan pasien atau keluarga terdekatnya, dapat digolongkan sebagai
tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351.

Pasal 351 KUHP

1) Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan


bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500_
2) Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, sitersalah dihukum penjara selama-lamanya
lima tahun
3) Jika perbuatan itu menjadikan mati orangnya, dia dihukum penjara selama-lamanya tujuh
tahun
4) Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan sengaja
5) Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat di hukum

Tujuan Informed Consent:

1. Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter yang sebenarnya tidak
diperlukan dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan tanpa
sepengetahuan pasiennya.

2. Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat negatif,
karena prosedur medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap tindakan medik ada
melekat suatu resiko ( Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3 )

Tindakan medis yang dilakukan tanpa izin pasien, dapat digolongkan sebagai tindakan
melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351 ( trespass, battery, bodily assault ).
Menurut Pasal 5 Permenkes No 290 / Menkes / PER / III / 2008, persetujuan tindakan
kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang memberi persetujuan, sebelum
dimulainya tindakan ( Ayat 1 ). Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran harus dilakukan
secara tertulis oleh yang memberi persetujuan ( Ayat 2 ).4

PERNYATAAN IDI TENTANG INFORMED CONSENT


(Lampiran SKB IDI No.319/P/BA./88)

10
1. Manusia dewasa dan sehat rohaniah berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak
dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang
bertentangan dengan kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien itu sendiri.
2. Oleh karena itu, semua tindakan medis ( diagnostik, terapeutik maupun paliatif )
memerlukan "Informed Consent" secara lisan maupun tertulis.
3. Setiap tindakan medis yang mengandung risiko cukup besar, mengharuskan adanya
persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh pasien, setelah sebelumnya pasien itu
memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan
serta risiko yang berkaitan dengannya ( "Informed Consent" ).
4. Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan persetujuan lisan atau
sikap diam.
5. Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta oleh pasien
maupun tidak.
6. Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang direncanakan, baik
diagnostik, terapeutik maupun paliatif. Informasi biasanya diberikan secara lisan, tetapi dapat
pula secara tertulis ( berkaitan dengan informasi "Informed Consent" ).
7. Dalam hal tindakan bedah ( operasi ) dan tindakan invasif lainnya, informasi harus
diberikan oleh dokter yang bersangkutan sendiri.
9. "Informed Consent" diberikan oleh pasien dewasa yang berada dalam keadaan sehat
rohaniah.
10. Untuk orang dewasa yang berada dibawah pengampuan, "Informed Consent" diberikan
oleh orangtua / kurator / wali. Untuk yang dibawah umur dan tidak mempunyai orangtua /
wali. "Informed Consent" diberikan oleh keluarga terdekat / induk semang ( guardian ).
12. Dalam pemberian persetujuan berdasarkan informasi untuk tindakan medis di RS / Klinik,
maka RS / Klinik yang bersangkutan ikut bertanggung jawab.5

Rahasia Kedokteran

Penggunaan kata privasi, kerahasiaan dan keamanan seringkali tertukar. Akan tetapi
terdapat beberapa perbedaan yang penting, diantaranya:
 Privasi adalah "hak individu untuk dibiarkan sendiri, termasuk bebas dari campur tangan
atau observasi terhadap hal-hal pribadi seseorang serta hak untuk mengontrol informasi-
informasi pribadi tertentu dan informasi kesehatan". (Harman 2001 a,p. 376)

11
 Kerahasiaan merupakan "pembatasan pengungkapan informasi pribadi tertentu. Dalam
hal ini mencakup tanggungjawab untuk menggunakan, mengungkapkan, atau
mengeluarkan informasi hanya dengan sepengetahuan dan ijin individu". (Harman
2001a,p.370). Informasi yang bersifat rahasia dapat berupa tulisan ataupun verbal.
 Keamanan meliputi "perlindungan fisik dan elektronik untuk informasi berbasis
komputer secara utuh, sehingga menjamin ketersediaan dan kerahasiaan. Termasuk ke
dalamnya adalah sumber-sumber yang digunakan untuk memasukkan, menyimpan,
mengolah dan menyampaikan, alat-alat untuk mengatur akses dan melindungi informasi
dari pengungkapan yang tak disengaja maupun yang disengaja. (Harman 2001a,p.372)
Kerahasiaan rekam medis diatur di dalam UU Praktik Kedokteran pasal 47 ayat (2)
yang menyatakan bahwa "rekam medis harus disimpan dan dijaga kerahasiannya oleh dokter
atau dokter gigi dan pimpinan sarana kesehatan". Hal yang sama dikemukakan dalam pasal
11 Peraturan Pemerintah No 10 tahun 1966 tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran.
Selanjutnya, pasal 1 PP yang sama menyatakan bahwa "yang dimaksud dengan rahasia
kedokteran adalah segala sesuatu yang diketahui oleh orang-orang dalam pasal 3 pada waktu
atau selama melakukan pekerjaannya dalam lapangan kedokteran".
Selanjutnya UU Praktik Kedokteran memberikan peluang pengungkapan informasi
kesehatan secara terbatas, yaitu dalam pasal 48 ayat (2):

e. untuk kepentingan kesehatan pasien


f. untuk memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum

g. permintaan pasien sendiri


h. berdasarkan ketentuan undang-undang
Sedangkan pasal 12 Permenkes 749a menyatakan bahwa :

(1) pemaparan isi rekam medis hanya boleh dilakukan oleh dokter yang merawat pasien
dengan ijin tertulis pasien.
(2) Pimpinan sarana pelayanan kesehatan dapat memaparkan isi rekam medis tanpa seijin
pasien berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Di bidang keamanan rekam medis, Permenkes No 749a/ MENKES/PER/XII/1989
menyatakan dalam pasal 13, bahwa pimpinan sarana kesehatan bertanggungjawab atas (a)
hilangnya, rusaknya, atau pemalsuan rekam medis, (b) penggunaan oleh orang / Badan yang
tidak berhak.4

12
Rahasia Jabatan dan Pembuatan SKA / V et R

Peraturan Pemerintah No 26 tahun 1960 tentang lafal sumpah dokter

Saya bersumpah/berjanji bahwa:

Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan Saya akan
menjalankan tugas saya dengan cara yang terhormat dan bersusila, sesuai dengan
martabat pekerjaan saya.

Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur jabatan
kedokteran.
Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan
karena keilmuan saya sebagai dokter........ dst.

Peraturan Pemerintah no 10 tahun 1966 tentang wajib simpan rahasia Kedokteran.

Pasal 1 PP No 10/1966
Yang dimaksud dengan rahasia kedokteran ialah segala sesuatu yang diketahui oleh
orang-orang tersebut dalam pasal 3 pada waktu atau selama melakukan pekerjaannya
dalam lapangan kedokteran.

Pasal 2 PPNo 10 /1966


Pengetahuan tersebut pasal l harus dirahasiakan oleh orang-orang yang tersebut dalam
pasal 3, kecuali apabila suatu peraturan lain yang sederajat atau lebih tinggi dari pada PP
ini menentukan lain.
Pasal 3 PP No 10/1966
Yang diwajibkan menyimpan rahasia yang dimaksud dalam pasal 1 ialah:
a. tenaga kesehatan menurut pasal 2 UU tentang tenaga kesehatan.
b. Mahasiswa kedokteran, murid yang bertugas dalam lapangan pemeriksaan,
pengobatan dan atau perawatan, dan orang lain yang ditetapkan oleh menteri
kesehatan.

Pasal 4 PP No 10/1966
Terhadap pelanggaran ketentuan mengenai wajib simpan rahasia kedokteran yang tidak
atau tidak dapat dipidana menurut pasal 322 atau pasal 112 KUHP, menteri kesehatan
dapat melakukan tindakan administratip berdasarkan pasal UU tentang tenaga kesehatan.

Pasal 5 PP No 10/1966

13
Apabila pelanggaran yang dimaksud dalam pasal 4 dilakukan oleh mereka yang disebut
dalam pasal 3 huruf b, maka menteri kesehatan dapat mengambil tindakan-tindakan
berdasarkan wewenang dan kebijaksanaannya.

Pasal 6 PPNo 10/1966


Dalam pelaksanaan peraturan ini, menteri kesehatan dapat mendengar Dewan Pelindung
Susila Kedokteran dan atau badan-badan lain bilamana perlu.

Pasal 322 KUHP


(1)Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan
atau pencariannya baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ribu
rupiah.
(2)Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat
dituntut atas pengaduan orang itu.

Pasal 48 KUHP
Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana.

MA I17/K/Kr/1968 2 Juli 1969


Dalam "noodtoestand" harus dilihat adanya:
1. Pertentangan antara dua kepentingan hukum
2. Pertentangan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum
3. Pertentangan antara dua kewajiban hukum

Pasal 49 KUHP
(1)Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri
maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang
lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang
melawan hukum.
(2)Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan keguncangan jiwa
yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.

Pasal 50 KUHP
Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang- undang, tidak
dipidana.

Pasal 51 KUHP

14
(1) Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan
oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.

(2) Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang
diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perinlah diberikan dengan wewenang dan
pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.2

Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI)

Pasal 7c

Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga
kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien.
Pasal 12

Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien,
bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.3

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG


PRAKTIK KEDOKTERAN

Rekam Medis
Pasal 46
(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat
rekam medis.
(2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera dilengkapi setelah pasien
selesai menerima pelayanan kesehatan.
(3) Setiap catatan rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan petugas yang
memberikan pelayanan atau tindakan.
Pasal 47
(1) Dokumen rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 merupakan milik dokter,
dokter gigi, atau sarana pelayanan kesehatan, sedangkan isi rekam medis merupakan
milik pasien.
(2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disimpan dan dijaga
kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan.

15
(3) Ketentuan mengenai rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan Peraturan Menteri.

Rahasia Kedokteran
Pasal 48
(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib menyimpan
rahasia kedokteran.
(2) Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi
permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien
sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundangundangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur dengan Peraturan Menteri.

Hak dan Kewajiban Dokter atau Dokter Gigi


Pasal 51
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai
kewajiban :
a. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional serta kebutuhan medis pasien;
b. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan
yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;
c. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien
itu meninggal dunia;
d. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang
lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
e. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau
kedokteran gigi.6

Pemeriksaan Gonorrhea

Diagnosis ditegakkan atas dasar anamnesis, pemeriksaan klinis, danpemeriksaan


pembantu yang terdiri atas 15 tahap, yaitu:
1. Sediaan langsung dengan pewarnaan gram akan ditemukan diplokokus gram negatif,
intraseluler dan ekstraseluler, leukosit polimorfonuklear.

16
2. Kultur untuk identifikasi perlu atau tidaknya dilakukan pembiakan kultur.Menggunakan
media transport dan media pertumbuhan.
3. Tes definitif: Tes Oksidasi (semua golongan Neisseria akan bereaksi positif) dan Tes
Fermentasi (kuman gonokokus hanya meragikan glukosa).
4. Tes beta laktamase, hasil tes positif ditunjukkan dengan perubahan warnakuning menjadi
merah apabila kuman mengandung enzim beta laktamase
5. Tes Thomson dengan menampung urin pagi dalam dua gelas. Tes inidigunakan untuk
mengetahui sampai dimana infeksi sudah berlangsung.7

Dampak Hukum

Setiap tindakan medis mempunyai indikasi, resiko, keuntungan dan kerugiannya


tersendiri. Dalam tindakan pengobatan pasien penderita gonorrhea, penting untuk diketahui
riwayat hubungan seksual, sudah menikah belum, apakah melakukan persetubuhan dengan
lebih dari satu orang. Penting bagi dokter untuk mengingat bahwa ‘ping-pong phenomene’
dapat terjadi pada kasus gonorrhea, maka penting untuk mengobati kedua orang yang sudah
berhubugan seksual, khususnya jika sudah menikah.

Kewajiban Dokter – Penjelasan Tindakan Medis


Pada kasus tersebut, pasien laki-laki harus dijelaskan mengenai keuntungan dan
kerugian jika ia menjalani pengobatan tanpa mengobati juga sang istri yang kemungkinan
sudah terkena gonorrhea. Jika dokter tidak meberikan penjelasan terlebih dahulu, dokter
tersebut tidak memenuhi kewajiban dokter yang tercantum dalam Pasal 4 dan Pasal 5
Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989, yang menuntut dokter untk menjelaskan atau
memberikan informasi yang adekuat kepada pasien sebelum melakukan tindakan medis.

Rahasia Kedokteran
Di lain pihak, jika dokter tidak menjelaskan kepada pasien bahwa penting untuk
memberitahu kepada istri pasien untuk menjalani pengobatan, tetapi dokter tersebut yang
menyampaikan informasi secara langsung kepada istri pasien tanpa persetujuan dari pasien,
dokter telah melanggar hak pasien atas rahasia rekam medis pasien.

Pasal 322 KUHP


(1) Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan
atau pencariannya baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana

17
penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ribu
rupiah.
(2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat
dituntut atas pengaduan orang itu.

Pasal 12 - KODEKI

Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien,
bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.

Kasus AIDS

Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome


(disingkat AIDS ) adalah sekumpulan gejala dan infeksi (atau sindrom) yang timbul karena
rusaknyasistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV atau infeksi virus-virus
lain yang mirip yang menyerang spesies lainnya (SIV,FIV,dan lain-lain). Virusnya sendiri
bernama Human Immunodeficiency Virus (atau disingkat HIV) yaitu virus yang
memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi
rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor.

Skrining Dengan Teknologi Modern


Sebagian besar test HIV adalah test antibodi yang mengukur antibodi yang dibuat tubuh
untuk melawanHIV. Jika test HIV awal negatif dilakukan dalam waktu 3 bulan setelah
kemungkinan pemaparan kuman,test ulang harus dilakukan sekitar 3 bulan kemudian, untuk
menghindari kemungkinan hasil negatif palsu.
Tipe test yang lain adalah test RNA, yang dapat mendeteksi HIV secara langsung.
Waktu antara infeksiHIV dan deteksi RNA adalah antara 9-11 hari.
Dalam sebagian besar kasus, EIA (enzyme immunoassay) digunakan pada sampel darah
yang diambildari vena, adalah test skrining yang paling umum untuk mendeteksi antibodi
HIV. EIA positif (reaktif)harus digunakan dengan test konformasi seperti Western Blot untuk
memastikan diagnosis positif.
Ada beberapa tipe test EIA yang menggunakan cairan tubuh lainnya untuk menemukan
antibodi HIV. Merekaadalah
• Test Cairan Oral. Menggunakan cairan oral (bukan saliva) yang dikumpulkan dari
mulutmenggunakan alat khusus.

18
• Test Urine. Menggunakan urine, bukan darah. Sensitivitas dan spesifitas dari test ini
adalah tidak sebaik test darah dan cairan oral. Ia juga memerlukan test konformasi
dengan metode WesternBlot dengan sampel urine yang sama.

Karena salah satu proses penularan HIV adalah sama dengan proses penularan
gonorrhea, yaitu melalui hubungan seksual atau persetubuhan penting pada kasus ini untuk
melakukan tes skrining untuk kemungkinan terjadinya infeksi HIV agar dapat cepat
mendapatkan pengobatan.

Jika pada kasus tersebut pasien datang dan terdiagnosa menderita AIDS, penting bagi
dokter untuk cepat memberikan pengobatan dan menjelaskan kepada pasien pentingnya
melakukan tes skrining HIV. Dokter juga mempunyai kewajiban untuk menjelaskan kerugian.

Daftar Pustaka

1. Anonim. Etika Kedokteran Indonesia dan Penanganan Pelanggaran Etika di Indonesia


Budi Sampurna. 2005. Diunduh dari:
http://www.freewebs.com/etikakedokteranindonesia/ 12Januari 2018.
2. Peraturan perundang-undangan bidang kedokteran. Edisi ke-2. Jakarta: Bagian
Kedokteran Forensk FKUI; 1994; hal 17-8, 20-3.
3. MKEK. Kode Etik Kedokteran Indonesia. Diunduh dari:
http://www.google.co.id/luk.staff.ugm.ac.id/atur/sehat/Kode-Etik-Kedokteran.pdf. 12
Januari 2018
4. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Informed consent. Dalam: Bioetik dan Hukum
Kedokteran. Cetakan ke-2. Jakarta: Pustaka Dwipar; 2007; hal. 29-39, 62-3, 77-83.
5. Hanafiah HJ. Pernyataan IDI tentang informed consent. Dalam: Etika Kedokteran dan
Hukum Kesehatan. Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1999; hal. 279.
6. Presiden RI. Undang-Undang Republik Indonesia No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran.
7. Gonorrhea. 2011. Diunduh dari: http://www.scribd.com/doc/55341133/Gonorrhea. 12
Januari 2018

19

Anda mungkin juga menyukai