Anda di halaman 1dari 12

TUGAS ANESTESI

Disusun oleh :

Aulia Shabrina Syukharial

Maya Intan Andriyani

Vindi Athira

Pembimbing :

Letkol CKM dr.Agus saptiady. Sp.An

dr. Budi Pratama sp.An. M.kes

KEPANITRAAN KLINIK ILMU ANESTESI

RS. M. RIDWAN MEURAKSA JAKARTA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI


1. Perbedaan Anastesi Spinal dan Epidural
Anastesi Spinal
 Definisi:
Pemberian obat anastetik local kedalam ruang subarachnoid.
Pemberian obat lokal anestesi ke dalam ruang intratekal atau ruang subaraknoid
di regio lumbal antara vertebra L2-3, L3-4, L4-5 untuk menghasilkan onset
anestesi yang cepat dengan derajat keberhasilan yang tinggi.

Gambar 1. Anatomi Spinal Anestesi (Friedrich, 2012)


 Indikasi:
Bedah ekstremitas bawah, bedah panggul, tindakan sekitar rectum perineum,
bedah obstetric-ginekologi, bedah urologi, bedah abdomen bawah, pada bedah
abdomen atas dan bedah pediatric biasanya dikombinasi dengan anastesia umum
ringan.
 Kontraindikasi absolut:
pasien menolak, infeksi pada tempat suntikan, hypovolemia berat, syok,
koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan, tekanan intracranial meningkat,
fasilitas resusitasi minim, kurang pengalaman/ tanpa didampingi konsultan
anastesia.
 Kontraindikasi relative:
infeksi sistemik, infeksi sekitar tempat suntikam, kelainan neurologis, kelainan
psikis, bedah lama, penyakit jantung, hypovolemia ringan, nyeri punggung kronis
.
 Obat – obatan yang digunakan :
1. Lidokain 2%, berat jenis 1.006, sifat isobarik, dosis 20-100mg (2-5ml)
2. Lidokain 5% dalam dekstros 7.5%, berat jenis 1.003, sifat hiperbarik, dosis
20-50 mg (1-2 ml)
3. Bupivakain 0.5% dalam air, berat jenis 1.005, sifat isobarik, dosis 5-2-mg
4. Bupivakain 0.5% dalam dekstros 8.25%, berat jenis 1.027, sifat hiperbarik,
dosis 5-15 mg (1-3ml)
 Persiapan:
Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan,
misalnya ada kelainan anatomis tulang atau pasien terlalu gemuk sehingga sulit
teraba prosesus spinosus. Informed concet, pemeriksaan fisik untuk melihat ada
tidaknya kelainan pada tulang punggung, pemeriksaan laboratorium anjuran
Hemoglobin, hematocrit, PT, PTT.
 Peralatan:
Monitor (Tekanan darah, nadi, oksimetri, EKG), resusitasi/ anastesia umum,
jarum spinal.
 Teknik analgesia spinal:
Posisi duduk atau posisi tidur lateral decubitus dengan tusukan pada garis tengah
ialah yang paling sering dikerjakan. Setelah dimonitor tidurkan pasien misalnya
pada posisi decubitus lateral atau duduk dengan membungkuk maksimal agar
prosesus spinous mudah teraba.
Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista iliaka dengan tulang
punggung ialah L4 atau L4– L5. Tentukan tempat tusukan.
Sterilkan tempat tusukan dengan povidone iodine atau alcohol.
Beri anastetik local pada tempat tusukan, misalnya lidocaine 1-2% 2-3ml.
Cara tusukan median atau paramedian biasanya digunakan jarum 25G. tusuk
introducersedalam kira-kira 2cm agak sedikit kearah sefal, kemudian masukan
spinocan beserta mandrinnya jika menggunakan jarum tajam irisan jarum atau
bevel harus sejajar dengan serat duramater. Setelah resistensi menghilang,
mandarin jarum dicabut dan keluar likuor, pasang spuit berisi obat dandiselingi
aspirasi sambil dimasukan obat tersebut.

Anastesi Epidural
 Definisi:
Blockade saraf dengan menempatkan obat diruang epidural (peridural,
ekstradural) ruang ini berada di antara lig. Flavum dan duramater. Awal kerja
anastesia epidural lebih lambat disbanding anastesia spinal, sedangkan kualitas
blockade sensorik motoric juga lebih lemah.
 Indikasi:
Pembedahan dan penanggulangan nyeri pasca bedah, tatalaksana nyeri saat
persalinan, penurunan tekanan darah saat pembedahan supaya tidak banyak
pendarahan, tambahan pada anastesi umum ringan karena penyakit tertentu,
 Persiapan:
Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan,
misalnya ada kelainan anatomis tulang atau pasien terlalu gemuk sehingga sulit
teraba prosesus spinosus. Informed concet, pemeriksaan fisik untuk melihat ada
tidaknya kelainan pada tulang punggung, pemeriksaan laboratorium anjuran
Hemoglobin, hematocrit, PT, PTT.
 Peralatan:
Monitor (Tekanan darah, nadi, oksimetri, EKG), resusitasi/ anastesia umum,
jarum epidural.
 Teknik analgesi epidural:
Posisi pasien sama seperti anastesi spinal.
Tusukan jarum epidural biasanya dikerjakan pada ketinggian L3-L4, karena jarak
antara lig. Flavum – duramater pada ketinggian ini adalah yang terlebar.
Jarum yang digunakan ada 2 macam, jarum ujung tajam untuk dosis tunggal dan
jarum ujung khusus (tuohy) biasanya jarum ditandai setiap cm untuk memandu
memasukan kateter keruang epidural..
Untuk mengenal ruang epidural digunakan 2 teknik. Yang pertama teknik
hilangnya resistensi (loss of resistence), yang kedua menggunakan teknik tetes
tergantung (hanging drop) dengan test dose.
 Komplikasi:
Blok tidak merata, depresi kardiovaskular, hipoventilasi, mual – muntah.
Spinal needle Epidural needle

2. Mengapa pada pasien dengan spinal anestesi dapat menyebabkan hipotensi?


Hipotensi adalah suatu keadaan tekanan darah yang rendah yang abnormal, yang
ditandai dengan tekanan darah sistolik yang mencapai dibawah 80 mmHg atau 90 mmHg,
atau dapat juga ditandai dengan penurunan sistolik atau MAP (Mean Arterial Pressure)
mencapai dibawah 30 % dari baseline. (Liguori, 2007)

Insiden terjadinya hipotensi pada anestesi spinal cukup signifikan. Pada beberapa
penelitian menyebutkan insidensinya mencapai 8 – 33 %. (Liguori, 2007)
Tabel.1. Insidensi Hipotensi Pada Neuraxial Anesthesia

(Liguori, 2007)

Penyebab utama terjadinya hipotensi pada anestesi spinal adalah blokade tonus
simpatis. Blok simpatis ini akan menyebabkan terjadinya hipotensi, hal ini disebabkan oleh
menurunnya resistensi vaskuler sistemik dan curah jantung. Pada keadaan ini terjadi pooling
darah dari jantung dan thoraks ke mesenterium, ginjal, dan ekstremitas bawah. (Liguori,
2007; Salinas, 2009)

Manifestasi fisiologi yang umum pada anestesi spinal adalah hipotensi dengan derajat
yang bervariasi dan bersifat individual. Terjadinya hipotensi biasanya terlihat pada menit ke
20 – 30 pertama setelah injeksi, kadang dapat terjadi setelah menit ke 45 – 60. Derajat
hipotensi berhubungan dengan kecepatan obat lokal anestesi ke dalam ruang subarachnoid
dan meluasnya blok simpatis. Blok yang terbatas pada dermatom lumbal dan sakral
menyebabkan sedikit atau tidak ada perubahan tekanan darah. Anestesi spinal yang meluas
sampai ke tingkat thorax tengah berakibat dalam turunnya tekanan darah yang sedang.
Anestesi spinal yang tinggi, di atas thorax 4 – 5, menyebabkan blokade simpatis dari serabut-
serabut yang menginervasi jantung, mengakibatkan penurunan frekwensi jantung dan karena
kotraktilitas jantung dan venous return menyebabkan penurunan curah jantung. Semuanya itu
menyebabkan hipotensi yang dalam. (Covino, 1994; Salinas, 2009)

Gambar. 3
Patofisiologi Hipotensi Dan Bradikardi Pada Anestesi Spinal

(Liguori, 2007)

Faktor-faktor pada anestesi spinal yang mempengaruhi terjadinya hipotensi :

1. Ketinggian blok simpatis


Hipotensi selama anestesi spinal dihubungkan dengan meluasnya blokade simpatis
dimana mempengaruhi tahanan vaskuler perifer dan curah jantung. Blokade simpatis yang
terbatas pada rongga thorax tengah atau lebih rendah menyebabkan vasodilatasi anggota
gerak bawah dengan kompensasi vasokonstriksi pada anggota gerak atas atau dengan kata
lain vasokonstriksi yang terjadi diatas level dari blok, diharapkan dapat mengkompensasi
terjadinya vasodilatasi yang terjadi dibawah level blok. (Covino, 1994; Liguori, 2007)

Pada beberapa penelitian dikatakan efek terhadap kardiovaskuler lebih minimal pada
blok yang terjadi dibawah T5. (Liguori, 2007; Salinas, 2009)

Gambar. 4

Hubungan Antara Perubahan Tekanan Darah Dengan


Ketinggian Blok Pada Anestesi Spinal

(Covino, 1994)

2. Posisi Pasien
Kontrol simpatis pada sistem vena sangat penting dalam memelihara venous return dan
karenanya kardiovaskuler memelihara homeostasis selama perubahan postural. Vena-vena
mempunyai tekanan darah dan berisi sebagian besar darah sirkulasi (70%). Blokade simpatis
pada anestesi spinal menyebabkan hilangnya fungsi kontrol dan venous return menjadi
tergantung pada gravitasi. Jika anggota gerak bawah lebih rendah dari atrium kanan, vena-
vena dilatasi, terjadi sequestering volume darah yang banyak (pooling vena). Penurunan
venous return dan curah jantung bersama-sama dengan penurunan tahanan perifer dapat
menyebabkan hipotensi yang berat. Hipotensi pada anestesi spinal sangat dipengaruhi oleh
posisi pasien. Pasien dengan posisi head-up akan cenderung terjadi hipotensi diakibatkan oleh
venous pooling. Oleh karena itu pasien sebaiknya pada posisi slight head-down selama anestesi
spinal untuk mempertahankan venous return. (Covino, 1994)

Gambar. 5

Hubungan Antara Ketinggian Blok Pada Anestesi Spinal


Dengan Posisi Pasien

(Covino, 1994)

3. Faktor yang berhubungan dengan kondisi pasien


Kondisi fisik pasien yang dihubungkan dengan tonus simpatis basal, juga mempengaruhi
derajat hipotensi. Hipovolemia dapat menyebabkan depresi yang serius pada sistem
kardiovaskuler selama anestesi spinal. Pada hipovolemia, tekanan darah dipertahankan dengan
peningkatan tonus simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi perifer. Blok simpatis oleh
karena anestesi spinal mungkin mencetuskan hipotensi yang dalam. Karenanya hipovolemia
merupakan kontraindikasi relative pada anestesi spinal. Tetapi, anestesi spinal dapat dilakukan
jika normovolemi dapat dicapai dengan penggantian volume cairan. Pasien hamil, sensitif
terhadap blokade sympatis dan hipotensi. Hal ini dikarenakan obstruksi mekanis venous return
oleh uterus gravid. Pasien hamil harus ditempatkan dengan posisi miring lateral, segera setelah
induksi anestesi spinal untuk mencegah kompresi vena cava. Demikian juga pasien dengan
tumor abdomen, atau masa abdomen, mungkin menyebabkan hipotensi berat pada anestesi
spinal. Pasien-pasien tua dengan hipertensi dan ischemia jantung sering menjadi hipotensi
selama anestesi spinal dibanding dengan pasien - pasien muda sehat. (Covino, 1994; Tarkkila,
2007)

4. Faktor Agent Anestesi Spinal


Derajat hipotensi tergantung juga pada agent anestesi spinal. Pada level anestesi yang
sama, bupivacaine mengakibatkan hipotensi yang lebih kecil dibandingkan tetracaine. Hal ini
mungkin disebabkan karena blokade serabut-serabut simpatis yang lebih besar dengan tetracain
di banding bupivacaine. Barisitas agent anestesi juga dapat berpengaruh terhadap hipotensi
selama anestesi spinal. Agent tetracaine maupun bupivacaine yang hiperbarik dapat lebih
menyebabkan hipotensi dibandingkan dengan agent yang isobarik ataupun hipobarik. Hal ini
dihubungkan dengan perbedaan level blok sensoris dan simpatis. Dimana agent hiperbarik
menyebar lebih jauh daripada agent isobarik maupun hipobarik sehingga menyebabkan
blokade simpatis yang lebih tinggi. (Covino, 1994; Tsai, 2007)

Mekanisme lain yang dapat menjelaskan bagaimana anestesi spinal dapat menyebabkan
hipotensi adalah efek sistemik dari obat anestesi lokal itu sendiri. Obat anestesi lokal tersebut
mempunyai efek langsung terhadap miokardium maupun otot polos vaskuler perifer. Semua
obat anestesi mempunyai efek inotropik negatif terhadap otot jantung. Obat anestesi lokal
tetracaine maupun bupivacaine mempunyai efek depresi miokard yang lebih besar
dibandingkan dengan lidocaine ataupun mepivacaine. (Liguori, 2007)

Adapun beberapa faktor resiko lain terjadinya hipotensi pada anestesi spinal, diantaranya
adalah hipertensi preoperatif, usia lebih dari 40 th, obesitas, kombinasi general anestesi dan
regional anestesi, alkoholisme yang kronis, dan tekanan darah baseline kurang dari 120 mmHg.
(Liguori, 2007; Salinas, 2009)

Anda mungkin juga menyukai