Anda di halaman 1dari 2

Mohon maaf sebelumnya tulisan ini bukan untuk membenarkan pendapat saya, mengaskan argumen

bantahan, atau apa pun yang untuk membenarkan diri saya sendiri. Sama sekali tidak. Ini hanya
sekedar jalan dakwah tidak lebih. Tadi saya sempat menulis status:

Kerjo kui durung mesti dadi karuane uwong entok duit,

Duit kui durung mesti dadi karuane uwong iso mangan,

Mangan kui durung mesti dadi karuane uwong iso urip,

Dadi sing paling mesti kui opo?

Sing paling mesti kui kersane sing gawe pesten.

(dawuh mbah yai)

Saya mengeri betul bagaimana kata-kata itu sangat sulit untuk bisa diterima logika metafisik
seperti manusia pada umumnya. Dan saya mengerti betul bagaimana statemen di atas lebih sering
bertentangan dengan hal-hal logis yag sudah terlanjur menjadi hukum kausalitas yang mapan dalam
kehidupan ini. Seperti kerjo kui durung mesti dadi karuane uwong entok duit. Saya pahami orang
belum sepenuhnya dapat menerima statemen itu karena dalam persepsinya: “kalau tidak dari bekerja
bagaimana cara orang apat uang?” Atau semacamnya. Dan seterusnya, dan seterusnya.

Nha oleh karena itu mari kita coba pahami pelan-pelan dari mana kata-kata itu berangkat, dan
dari persepsi mana kata-kata itu diangkat.

Jika orang menggunakan persepsi logis maka selamanya kata-kata itu tidak akan pernah menjadi
kebenaran, sebab muatan kata-kata itu isinya bukan logika metafisis-empiris. Muatan kata-kata itu
isinya adalah Tauhid. Sedang persepsi tauhid sendiri bagi kebanyakan persepsi lain sangat sulit
dipahami oleh jalan logika lainnya. Itulah mengapa persepsi tauhid sangat bisa memaklumi mengapa
persepsi lain sangat mudah mensalah-pahami, mensalah-mengerti serta memprasangkai dirinya
karena jalannya yang telalu curam, terlalu berbeda dengan jalan hukum alam yang biasa manusia
alami.

Seperti misal dalam teori kebutuhan manusia Abraham Maslow yang mengatakan “kebutuhan
dasar manusia yang paling dasar adalah makan”. Teori ini secara otomatis disetujui semua manusia
karena secara empiris mereka benar-benar mengalami makan sebagai jalan memperoleh
keberlangsungan hidup.

Tapi coba kita rujuk kembali muatan tauhid dalam statemen di atas satu persatu:

Kerjo kui durung mesti dadi karuane uwong entok duit,

Kita telah bersama-sama pernah melihat bagaimana orang selepas bekerja kemudian uangya
dicuri. Atau orang yang yang habis bekerja dia lupa menaruh uangnya sehingga tidak bisa untuk
memperoleh kebutuhan-kebutuhannya. Dan banyak kejadian lain yang menceritakan bagaimana
pekerjaan itu bukan satu-satunya jalan bagi seseorang memperoleh rizki.

dilanjutkan statemen berikutnya:

Duit kui durung mesti dadi karuane uwong iso mangan,


Sama juga ketika orang punya uang, lalu buat beli beras, ternyata beras untuk jatah makan bulan
ini terkena banjir. Atau sebab lain, semisal orang beli nasi di warung, kemudian nasinya terjatuh. Atau
sebab yang lebih baik semisal, orang habis beli nasi, tapi kemudian ada pengemis meminta-minta.
Katanya dia belum makan hari itu. karena kasihan maka nasi itu diberikan kepada pengemis itu. tapi
kemudian ada orang datang kerumahnya memberi sekotak nasi karena da syukuran. Dan banyak lah
saya pikir kejadian lain yang menggambarkan betapa uang bukanlah jalan satu-satunya bagi seseorang
memperoleh kebutuhan hidupnya. Apalagi hanya untuk sekedar makan.

Mangan kui durung mesti dadi karuane uwong iso urip,

Kemaren baru saja ibu sahabat saya. badannya sehat segar bugar, pagi-pagi dia beru menerima
pesanan catering. Siang hari pesanannya selesai. Harapan sang ibu dengan menerima catering itu
hasilnya bisa buat makan. Tapi nasib berkata lain. siang hari sang ibu merasa kecapek’an lalu
bermaksud untuk beristirahat sebentar. “nok aku kok sayah meni tak ngasuh sik ya!. Si anak pun
melayani sang ibu dengna memijit kakinya. Tapi tak lama setelah itu penyakit jantungnya kambuh.
Kondisi kecapekannya menicu jantungnya berdetak lebih cepat. Serangan darah tingginya naik, dalam
keadaan tertidur itu ibunya tak sadarkan diri, ketika di bawa ke rumah sakit, dalam perjalanan sang
ibu sudah tidak bisa menjawab apa-apa. Selamanya.

Dari cerita-cerita itu-lah kemudian saya membuat hipotesa diatas.

Saya bukan ingin berdebat argumentasi untuk mencari pembenaran atau untuk mendapatkan
siapa yang lebih pandai disini. Semua rangkaian kata tadi saya hanya ingin mengajak semuanya
melihat betapa kejadian dunia ini tidak selalu terikat pada hubungan sebab-akibat. Dan adapun
hubungan sebab-akibat yang sering orang lihat itu tidak selalu bersifat muthlak. Orang bekerja tidak
harus selalu menjadi sebab orang mendapatkan rizkinya—Meskipun orang tidak bekerja pun tidak
mungkin juga dia akan mendapatkan apa-apa. Tapi maksud saya, coba lah sejenak melihat, yang
menyebabkan seseorang mendapat rizki itu bukan karena dia bekerja. Tapi karena kemuahan Tuhan
lah rizki itu bisa ia terima.

Jika kamu masih merasa rizkimu dari hasil usahamu bekerja, kapan engkau akan berterimakasih
kepada Tuhan yang memang sejatinya semua rizki berasal dariNya?

Jika engkau masih berasumsi uangmu yang membuatmu memperoleh segala yang kau butuhkan
kapan kau akan merasa Tuhanmu yang memberikanmu semua kecukupan?

Jika kamu masih berfikir bahwa kehidupanmu diperoleh dari makanan, lalu kapan engkau akan
melihat bahwa sebenarya Tuhanmu yang memberimu kehidupan?

Saya hanya ingin mengajak pembaca status saya: apa pun yang kita alami dalam hidup yuk, mari
kita kembali dan serahkan semuanya kepada Tuhan. Tuhan yang menyebabakan semuanya terjadi.
Tuhan yang menjadi sebab utama terjadinya segala sesuatu, terciptanya sesuatu. Dia lah sebab
berawalnya dan berakhirnya segala sesuatu. Cobalah dasari hidup ini dengan persepsi bahwa segala
sesuatu itu disebabkan oleh Kersane pengeran kang duwe pesten (Kehendak Tuhanlah yang
menyebakan semuanya menjadi sebuah kepastian).

Anda mungkin juga menyukai