Anda di halaman 1dari 3

1

Spirit Islam dan Kemanusiaan dalam Tradisi Ketuwinan

Oleh: Amar Alfikar

Bukan lagi rahasia, bahwa Indonesia adalah yang dilakukan sebagai bentuk anti-Arab,
negara yang demikian diberkahi dengan tapi kesemuanya merupakan upaya
beragam kekayaan, baik yang bersifat pendekatan kultural yang mumpuni dan
badani seperti alam dan tanah yang subur, strategis demi mengislamkan Indonesia
hingga kekayaan dan keindahan yang rohani tanpa meninggalkan ruh tradisi yang telah
seperti tradisi, kebudayaan, dan keyakinan lahir dari rahim ibu pertiwi. Dalam konsep
yang begitu beragam. Ketika Indonesia fiqh, pendekatan semacam ini merupakan
disebut-sebut sebagai negara mayoritas bagian dari nafyul haraj, tidak membebani
muslim di dunia, identitas keislaman atau memberatkan.
tersebut diejawantahkan dalam wajah
Ketuwinan sebagai Wajah Islam dan
kebudayaan ala Indonesia yang begitu
Kemanusiaan
kental. Islam ala Indonesia adalah
persinggungan yang demikian erat antara Maka dalam konteks masyarakat Indonesia,
agama sebagai dogma, dengan agama semakin seseorang mengakui diri sebagai
sebagai wujud kultur kebudayaan yang muslim, maka semakin kuatlah akar-akar
membumi, itulah mengapa keberhasilan tradisi yang ada dalam dirinya. Di berbagai
penyebaran Islam di Indonesia adalah hasil daerah yang kultur keislamannya kuat, justru
perenungan yang cerdas dan bernas yang adalah daerah yang sangat menjaga budaya
dilakukan oleh para walisongo dalam lokal di dalamnya. Salah satunya adalah kota
mendakwahkan Islam di abad ke-14 hingga Kaliwungu, kota yang disebut-sebut sebagai
ke-16. Para wali berjuang membawa misi surga kaum sarungan, kota santri di Kendal
keislaman melalui pergumulan ajaran agama Jawa Tengah. Tak heran jika kota ini disebut
yang diasimilasikan dengan kebudayaan kota santri sebab puluhan pesantren berdiri
lokal, maka tak heran jika kemudian Islam kokoh di kecamatan ini, sekokoh beragam
Indonesia adalah Islam yang kaya dengan helatan tradisi dan kebudayaan yang ada di
tradisi-tradisi lokal. Bahkan dalam dalamnya.
melakukan peleburan kebudayaan antara
agama dan tradisi lokal tersebut, para wali Bagi masyarakat Kaliwungu, kemeriahan
tak segan-segan untuk menggunakan kosa merayakan momen-momen penting dalam
kata yang diserap dari bahasa Sansekerta penanggalan Islam atau Hijriyah tidak hanya
yang merupakan bahasa liturgis dari agama terjadi pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha,
Hindu dan Budha, dua agama dominasi namun juga dalam tanggal penting lainnya
sebelum Islam datang, Walisongo lebih seperti tanggal kelahiran Nabi Muhammad
memilih untuk melakukan familiarisasi atau SAW di bulan Rabiul Awal atau Mulud dalam
pola kebahasaan yang mudah dilafalkan bahasa Jawa. Kemeriahan pada bulan ini
lidah orang Jawa daripada menggunakan tidak semata digegap-gempitakan pada satu
bahasa Arab secara langsung. Misalnya, hari saja di tanggal kelahiran Nabi
ketimbang menggunakan kata ta’lim, para Muhammad, di hari ke-12, namun bahkan
wali memilih kata ngaji, begitu pula kata mendekati masuk bulan ini pun masyarakat
sembahyang untuk sholat, puasa untuk Kaliwungu sudah disibukkan dengan
shaum, dan lain sebagainya. Kecenderungan persiapan dan berbagai tradisi ringan. Salah
semacam itu tentu bukan lantaran dakwah satu tradisi yang sangat melekat bagi
2

masyarakat Kaliwungu di bulan ini adalah masyarakat, atau adanya kelompok sosial
tradisi ketuwinan (saling mengunjungi) yakni tertentu yang merasa lebih unggul dibanding
tradisi di mana setiap warga mempersiapkan yang lain sehingga rentan memunculkan
makanan, cemilan atau minumannya sikap pemujaan tirani satu arah. Pun, kalau
masing-masing dan menyediakannya dalam saja masyarakat Kaliwungu jaman dulu
jumlah yang banyak di rumahnya untuk memilih kata ketilikan dalam strata bahasa
kemudian dibagi-bagi dan ditukarkan ngoko ketimbang ketuwinan, rasa-rasanya
kepada tetangga dan sanak saudara. akan menciptakan ruang hambar dan
kehilangan ruh estetikanya, selain juga dapat
Dalam momen penting tradisi ketuwinan
menciptakan relasi yang kurang sopan.
inilah, masyarakat tak sekadar saling berbagi
Pemilihan kata tuwi mencitrakan pesan dan
makanan, namun juga menjadi ruang yang
refleksi sosiokultural masyarakat Kaliwungu
intens untuk saling menyapa tetangga dan
yang sangat mementingkan nilai-nilai
sanak saudara, berbaur dalam suka cita
kesopanan dan keluhuran budi pekerti tanpa
dalam upaya untuk mengokohkan nilai-nilai
kehilangan spirit egalitarianismenya.
persatuan dalam masyarakat dan
menghalau arus individualisme yang Maka kata ketuwinan dengan demikian
mengancam masyarakat lokal, terutama adalah representasi dari spirit kesetaraan
sejak deburan kemajuan jaman dan yang dinjunjung tinggi oleh masyarakat
teknologi terus menerus mengancam Kaliwungu di mana setiap orang memiliki
keluhuran sikap kemanusiaan kita. Tradisi hak dan kewajiban yang sama untuk
tesebut sudah barang tentu merupakan menghormati dan dihormati, menghargai
perwujudan sikap sosial yang sangat tinggi dan dihargai, memberi dan diberi,
yang didasarkan atas semangat berbagi dan mengunjungi dan dikunjungi, kesemuanya
memberi, di samping juga sebuah sikap pada akhirnya berujung pada sikap saling
kebudayaan yang dilandasi spirit religiositas mengasihi betapapun berbeda strata
dan spiritualitas yang membumi. sosialnya, tingkat ekonominya, dan apapun
pekerjaan dan profesinya.
Ditilik secara leksikal, penggunaan kata
ketuwinan ini sesungguhnya menarik untuk Itulah mengapa dalam momen ketuwinan di
direnungkan karena mengandung pesan Kaliwungu, setiap orang memiliki kewajiban
penting dalam konteks hubungan kebudayaan yang sama untuk menyediakan
kemanusiaan. Dalam strata bahasa Jawa, jajanan, makanan atau minuman di rumah
kita mengenal tiga tingkatan yakni ngoko, mereka untuk kemudian ditukar dengan
kromo madya dan kromo inggil, penggunaan jajanan orang lain. Tak ada bedanya antara
kata ketuwinan yang berasal dari kata dasar rumah masyarakat dan santri dengan
tuwi merupakan bentuk bahasa Jawa kromo ndalem poro Kiai dan Ulama, sama-sama
madya, kata ngoko nya adalah tilik, berkewajiban menyediakan makanan dalam
sementara kata dalam kromo inggil nya jumlah yang tak sedikit, sama-sama dituntut
adalah tinjo. Pemilihan kata tuwi yang untuk memberi dan sama-sama memiliki hak
merupakan bentuk kromo madya ini untuk diberi. Setiap pintu rumah mesti
menunjukkan posisi kesetaraan antar dibuka selebar-lebarnya bagi para tamu
sesama manusia tanpa meninggalkan nilai- yang berkunjung dan menukar jajanan, tak
nilai kesopanan atau unggah-ungguh. Kalau boleh ada pretensi untuk menutup diri dan
saja ketuwinan diganti menjadi ketinjoan berkilah dari nikmatnya bertegur sapa dan
dalam kromo inggil, patut diduga akan berbagi kebahagiaan dengan tetangga dan
menciptakan ruang primordialisme dalam saudara.
3

Di ujung hari menjelang tradisi ketuwinan Sang Nabi. Tradisi ini menunjukkan bahwa
berakhir, adalah pemandangan yang lazim kecintaan terhadap Sang Nabi tak cukup
ketika rumah-rumah masyarakat Kaliwungu sekadar di bibir saja, tak cukup jika hanya
dipenuhi berbagai jajanan yang beragam, dilisankan semata, tapi mesti diabadikan
berwarna-warni, indah dan menggiurkan. dalam tradisi dan kebudayaan yang memberi
Rumah yang semula menyediakan satu jenis ruang bagi para masyarakat untuk
makanan, kini bagaikan pusat jajanan yang mempraktikkan secara langsung keluhuran
komplit dan serba ada. Sebuah potret budi pekerti Rasulullah, yakni sosok yang
kebudayaan yang estetis namun demikian penuh cinta kasih terhadap sesama manusia,
kaya akan nilai-nilai filosofis. Tradisi sosok yang mulia namun membumi dengan
ketuwinan ialah sebuah konstruki budaya siapa saja, sosok yang mewakili citra Islam
dan agama yang indah dan mempesona, yang sesungguhnya: rahmatan lil alamin,
tradisi ini merupakan bentuk kegembiraan cahaya cinta di muka bumi. Akhirnya,
yang luar biasa dalam merayakan tanggal semoga tradisi ketuwinan tetap langgeng
kelahiran Kanjeng Nabi Muhammad SAW. dan tak kehilangan ruhnya sebagai
Kecintaan masyarakat Kaliwungu terhadap perhelatan suci masyarakat Kaliwungu
Sang Rasulullah, dipotret sedemikian rupa dalam menghayati nilai-nilai keimanan dan
dalam nuansa kebudayaan yang dibangun keislaman yang setia senafas dengan spirit
dalam rangka menghayati dan mengikuti kemanusiaan. Wallahua’lam bisshowab.
jejak serta sikap mulia dan penuh cinta dari

*Identitas Penulis
Nama : Amar Alfikar
TTL : Kendal, 11 April 1991
Alamat : Pungkuran Selatan, Kutoharjo, Kaliwungu
Pekerjaan : Penulis, Sastrawan
Kontak : 085713523426

Anda mungkin juga menyukai