Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Keseimbangan cairan

Air merupakan komponen utama dalam tubuh yakni sekitar 60% dari
berat badan pada laki-laki dewasa. Persentase tersebut bervariasi bergantung
beberapa faktor diantaranya:

 Total Body Water (TBW) pada orang dewasa berkisar antara 45-75%
dari berat badan. Kisaran ini tergantung pada tiap individu yang
memiliki jumlah jaringan adipose yang berbeda, yang mana jaringan ini
hanya mengandung sedikit air.

 TBW pada wanita lebih kecil dibanding dengan laki-laki dewasa pada
umur yang sama, karena struktur tubuh wanita dewasa yang
umumnya lebih banyak mengandung jaringan lemak.

 TBW pada neonatus lebih tinggi yaitu sekitar 70-80% berat badan.

3
 Untuk beberapa alasan, obesitas serta peningkatan usia akan menurunjkan
jumlah kandungan total air tubuh (Guyton, 2007)

Gambar 2.1. Total cairan tubuh

TBW dibagi dalam 2 komponen utama yaitu cairan intraseluler (CIS)


dan cairan ekstra seluler (CES). Cairan intra seluler merupakan 40% dari
TBW. Pada seorang laki- laki dewasa dengan berat 70 kg berjumlah sekitar
27 liter. Sekitar 2 liter berada dalam sel darah merah yang berada di
dalam intravaskuler. Komposisi CIS dan kandungan airnya bervariasi
menurut fungsi jaringan yang ada. Misalnya, jaringan lemak memiliki jumlah
air yang lebih sedikit dibanding jaringan tubuh lainnya.

Pada janin dan bayi baru lahir, volume CES lebih besar dari volume CIS.
Diuresis postnatal normal menyebabkan penurunan segera dalam volume CES.
Ini diikuti dengan ekspansi lanjutan dari volume CIS, yang dihasilkan dari
pertumbuhan seluler. Pada usia 1 tahun, rasio volume CIS terhadap volume CES
mendekati tingkat dewasa. Volume CES kira-kira 20-25% dari berat badan, dan
volume CIS kira-kira 30-40% dari berat badan, mendekati dua kali volume
CES. Dengan pubertas, peningkatan massa otot laki-laki menyebabkan mereka
memiliki volume CIS lebih tinggi daripada wanita. Tidak ada perbedaan yang

4
signifikan dalam volume CES antara wanita pascapubertas dan pria. (Kliegman
et.al., 2016)

Gambar 2.2. total body water (TBW), cairan intraselular (CIS), dan cairan ekstraselular (CES)

Komposisi dari CIS bervariasi menurut fungsi suatu sel.


Namun terdapat perbedaan umum antara CIS dan cairan interstitial. CIS

+ - -
mempunyai kadar Na , Cl dan HCO3 yang lebih rendah dibanding CES dan

+
mengandung lebih banyak ion K dan fosfat serta protein yang merupakan
komponen utama intra seluler. (Latief, 2002)

Komposisi CIS ini dipertahankan oleh membran plasma sel dalam


keadaan stabil namun tetap ada pertukaran. Transpor membran terjadi melalui
mekanisme pasif seperti osmosis dan difusi, yang mana tidak membutuhkan
energi sebagaimana transport aktif.

Sekitar sepertiga dari TBW merupakan cairan ekstraseluler (CES), yaitu


seluruh cairan di luar sel. Dua kompartemen terbesar dari mairan
ekstrasluler adalah cairan interstisiel, yang merupakan tiga perempat
cairan ekstraseluler, dan plasma, yaitu seperempat cairan ekstraseluler.

5
Plasma adalah bagian darah nonselular dan terus menerus berhubungan
dengan cairan interstisiel melalui celah-celah membran kapiler. Celah ini
bersifat sangat permeabel terhadap hampir semua zat terlarut dalam cairan
ekstraseluler, kecuali protein. Karenanya, cairan ekstraseluler terus bercampur,
sehingga plasma dan interstisiel mempunyai komposisi yang sama kecuali
untuk protein, yang konsentrasinya lebih tinggi pada plasma.

Cairan transeluler merupakan cairan yang disekresikan dalam tubuh


terpisah dari plasma oleh lapisan epithelial serta peranannya tidak terlalu berarti
dalam keseimbangan cairan tubuh, akan tetapi pada beberapa keadaan
dimana terjadi pengeluaran jumlah cairan transeluler secara berlebihan maka
akan tetap mempengaruhi keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh. Cairan
yang termasuk cairan transseluler yaitu :Cairan serebrospinal, cairan dalam
kelenjar limfe, cairan intra okular, cairan gastrointestinal dan empedu,
cairan pleura, peritoneal, dan perikardial. (Guyton, 2007)

Tabel 2.1. Komponen cairan ekstraseluler

6
Tabel 2.2 Komposisi cairan plasma, interstisial, dan intraselular

B. Proses Pergerakan Cairan Tubuh

Perpindahan air dan zat terlarut di antara bagian-bagian tubuh


melibatkan mekanisme transport pasif dan aktif. Mekanisme transport pasif

7
tidak membutuhkan energi sedangkan mekanisme transport aktif
membutuhkan energi. Difusi dan osmosis adalah mekanisme transport
pasif. Sedangkan mekanisme transport aktif berhubungan dengan pompa Na-
K yang memerlukan ATP.

Proses pergerakan cairan tubuh antar kompartemen dapat berlangsung


secara:

a. Osmosis

Osmosis adalah bergeraknya molekul (zat terlarut) melalui membran


semipermeabel (permeabel selektif dari larutan berkadar lebih rendah
menuju larutan berkadar lebih tinggi hingga kadarnya sama. Membran
semipermeabel ialah membran yang dapat dilalui air (pelarut), namun
tidak dapat dilalui zat terlarut misalnya protein. (Barret, 2012)

Tekanan osmotik plasma darah ialah 285 ± 5 mOsm/L. Larutan


dengan tekanan osmotik kira-kira sama disebut isotonik (NaCl 0,96%,
Dekstrosa 5%, Ringer-laktat), lebih rendah disebut hipotonik (akuades) dan
lebih tinggi disebut hipertonik.

b. Difusi

Difusi ialah proses bergeraknya molekul lewat pori-pori. Larutan akan


bergerak dari konsentrasi tinggi ke arah larutan berkonsentrasi
rendah. Tekanan hidrostatik pembuluh darah juga mendorong air masuk
berdifusi melewati pori-pori tersebut. Jadi difusi tergantung kepada
perbedaan konsentrasi dan tekanan hidrostatik.

c. Pompa Natrium Kalium

Pompa natrium kalium merupakan suatu proses transport yang memompa


ion natrium keluar melalui membran sel dan pada saat bersamaan memompa
ion kalium dari luar ke dalam. Tujuan dari pompa natrium kalium
adalah untuk mencegah keadaan hiperosmolar di dalam sel.

8
Air melintasi membran sel dengan mudah, tetapi zat-zat lain sulit atau
diperlukan proses khusus supaya dapat melintasinya, karena itu komposisi
elektrolit di dalam dan di luar sel berbeda. Cairan intraselular banyak
mengandung ion K, ion Mg dan ion fosfat, sedangkan ekstraselular banyak
mengandung ion Na dan ion Cl.

Tekanan osmotik suatu larutan dinyatakan dengan osmol atau


miliosmol/liter. Tekanan osmotik suatu larutan ditentukan oleh banyaknya
partikel yang larut dalam suatu larutan. Dengan kata lain, makin banyak partikel
yang larut maka makin tinggi tekanan osmotik yang ditimbulkannya. Jadi,
tekanan osmotik ditentukan oleh banyaknya pertikel yang larut bukan
tergantung pada besar molekul yang terlarut. Perbedaan komposisi ion antara
cairan intraseluler dan ekstraseluler dipertahankan oleh dinding yang
bersifat semipermeabel. (Guyton, 2007)

C. Perubahan Cairan Tubuh

Gangguan cairan tubuh dapat dibagi dalam tiga bentuk yakni perubahan :

1. Volume,

2. Konsentrasi, dan

3. Komposisi.

Ketiga macam gangguan tersebut mempunyai hubungan yang erat


satu dengan yang lainnya sehingga dapat terjadi bersamaan. Namun
demikian, dapat juga terjadi secara terpisah atau sendiri yang dapat member
gejala-gejala tersendiri pula. Yang paling sering dijumpai dalam klinik adalah
gangguan volume.

1. Perubahan Volume

 Defisit Volume

9
Pada keadaan akut, kehilangan cairan yang cepat akan menimbulkan tanda
gangguan pada susunan saraf pusat dan jantung. Pada kehilangan cairan
yang lambat, lebih dapat ditoleransi sampai defisit volume cairan ekstraseluler
yang berat.

 Kelebihan Volume

Kelebihan volume cairan ekstraselular merupakan suatu kondisi akibat


iatrogenic (pemberian cairan intravena seperti NaCl yang menyebabkan
kelebihan air dan NaCl ataupun pemberian cairan intravena glukosa yang
menyebabkan kelebihan air) ataupun dapat sekunder akibat insufisiensi
renal (gangguan GFR), sirosis, ataupun gagal jantung kongestif.

2. Perubahan Konsentrasi

Perubahan konsentrasi cairan tubuh dapat berupa hipernatremia atau


hiponatremia maupun hiperkalemia atau hipokalemia.

Rumus untuk menghitung defisitelektrolit :

o Defisit natrium (mEq total) = (Na serum yang diinginkan – Na


serum sekarang) x 0,6 x BB (kg)

o Defisit Kalium (mEq total) = (K serum yang diinginkan [mEq/liter] –


K serum yang diukur) x 0,25 x BB (kg)

o Defisit Klorida (mEq total) = (Cl serum yang diinginkan


[mEq/liter] – Cl serum yang diukur) x 0,45 x BB (kg)

3. Perubahan komposisi

Perubahan komposisi itu dapat terjadi tersendiri tanpa


mempengaruhi osmolaritas cairan ekstraseluler. Sebagai contoh misalnya
kenaikan konsentrasi K dalam darah dari 4 mEq menjadi 8 mEq, tidak
akan mempengaruhi osmolaritas cairan ekstraseluler tetapi sudah cukup
mengganggu otot jantung. Demikian pula halnya dengan gangguan ion

10
kalsium, dimana pada keadaan hipokalsemia kadar Ca kurang dari 8 mEq,
sudah akan timbul kelainan klinik tetapi belum banyak menimbulkan
perubahan osmolaritas. (Graber, 2003)

D. Terapi cairan

Penatalaksanaan terapi cairan meliputi dua bagian dasar yaitu ;

 Resusitasi cairan

Ditujukan untuk menggantikan kehilangan akut cairan tubuh, sehingga


seringkali dapat menyebabkan syok. Terapi ini ditujukan pula untuk
ekspansicepat dari cairan intravaskuler dan memperbaiki perfusi
jaringan.

 Terapi rumatan

Bertujuan untuk memelihara keseimbangan cairan tub uh dan


nutrisi yang diperlukan oleh tubuh. (Aitkenhead, 2007)

Hal ini digambarkan dalam diagram berikut :

Prinsip pemilihan cairan dimaksudkan untuk :

 Mengganti kehilangan air dan elektrolit yang normal melaui urine, IWL,
dan feses
 Membuat agar hemodinamik agar tetap dalam keadaan stabil

Pada penggantian cairan, maka jenis cairan yang digunakan didasarkan


pada :

11
 Cairan pemeliharaan ( jumlah cairan yang dibutuhkan selama 24 jam )
 Cairan defisit ( jumlah kekurangan cairan yang terjadi )
 Cairan pengganti ( replacement )
o Sekuestrasi ( cairan third space )
o Pengganti darah yang hilang
o Pengganti cairan yang hilang melalui fistel, maag slang dan
drainase
E. Pemilihan Cairan

Cairan intravena diklasifikasikan menjadi kristaloid dan koloid.


Kristaloid merupakan larutan dimana molekul organik kecil dan inorganik
dilarutkan dalam air. Larutan ini ada yang bersifat isotonik, hipotonik,
maupun hipertonik. Cairan kristaloid memiliki keuntungan antara lain :
aman, nontoksik, bebas reaksi, dan murah. Adapun kerugian dari cairan
kristaloid yang hipotonik dan isotonik adalah kemampuannya terbatas
untuk tetap berada dalam ruang intravaskular.

1. Kristaloid

Kristaloid biasanya dianggap sebagai cairan resusitasi awal pada


pasien dengan hemoragik dan syok septik, pada pasien luka bakar, pada pasien
dengan cedera kepala (untuk mempertahankan tekanan perfusi serebral), dan
pada pasien yang menjalani plasmapheresis dan reseksi hati.

Berbagai macam cairan tersedia dan pilihannya sesuai dengan jenis


kehilangan cairan yang akan diganti. Untuk kehilangan air, penggantian
dengan cairan hipotonik, disebut cairan tipe-perawatan. Jika kehilangan
melibatkan air dan elektrolit, penggantiannya adalah dengan larutan elektrolit
isotonik, yang juga disebut cairan tipe pengganti. Glukosa diberikan dalam
beberapa larutan untuk mempertahankan tonisitas, atau mencegah ketosis dan
hipoglikemia karena puasa, atau berdasarkan tradisi. Anak-anak cenderung
mengalami hipoglikemia (<50 mg / dL) setelah puasa 4-8 jam. (Morgan, 2013)

Cairan kristaloid yang paling banyak digunakan adalah normal saline


dan ringer laktat. Cairan kristaloid memiliki komposisi yang mirip cairan

12
ekstraselular. Karena perbedaan sifat antara kristaloid dan koloid, dimana
kristaloid akan lebih banyak menyebar ke ruang interstitial dibandingkan
dengan koloid maka kristaloid sebaiknya dipilih untuk resusitasi defisit
cairan di ruang intersisial.

Penggunaan cairan normal salin dalam jumlah yang besar dapat


menyebabkan timbulnya asidosis hiperkloremik, sedangkan penggunaan
cairan ringer laktat dengan jumlah besar dapat menyebabkan alkalosis
metabolik yang disebabkan adanya peningkatan produksi bikarbonat
akibat metabolisme laktat.

Tabel 2.3. Komposisi cairan kristaloid

Sumber : (Morgan et.al., 2013)

Selain menyebabkan asidosis metabolik hiperkloremik, penggunaan


normal saline dalam jumlah banyak juga dapat menimbulkan efek pada ginjal
termasuk vasokonstriksi ginjal, mengurangi laju filtrasi glomerulus (GFR),
dan pengurangan perfusi kortikal ginjal. Uji coba pengamatan menunjukkan

13
bahwa penggunaan garam normal isotonik dapat meningkatkan kejadian
cedera ginjal akut (AKI) dan kebutuhan terapi penggantian ginjal,
kemungkinan karena berkurangnya perfusi ginjal. (Farag et.al., 2018 dan
Pardo et.al, 2017)

Larutan dekstrose 5% sering digunakan jika pasien memiliki gula


darah yang rendah atau memiliki kadar natrium yang tinggi. Namun
penggunaannya untuk resusitasi dihindarkan karena komplikasi yang
diakibatkan antara lain hiperomolalitas- hiperglikemik, diuresis osmotik,
dan asidosis serebral. (Stoelting, 2007)

2. Koloid

Cairan koloid disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau


biasa disebut “plasma expander”. Di dalam cairan koloid terdapat
zat/bahan yang mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas
osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama
dalam ruang intravaskuler.

Koloid dapat mengembalikan volume plasma secara lebih efektif


dan efisien daripada kristaloid, karena larutan koloid mengekspansikan
volume vaskuler dengan lebih sedikit cairan dari pada larutan kristaloid.
Sedangkan larutan kristaloid akan keluar dari pembuluh darah dan hanya 1/4
bagian tetap tinggal dalam plasma pada akhir infus. Koloid adalah cairan
yang mengandung partikel onkotik dan karenanya menghasilkan tekanan
onkotik. Bila diberikan intravena, sebagian besar akan menetap dalam
ruang intravaskular.

Meskipun semua larutan koloid akan mengekspansikan ruang


intravaskular, namun koloid yang mempunyai tekanan onkotik lebih besar
daripada plasma akan menarik pula cairan ke dalam ruang intravaskular. Ini
dikenal sebagai ekspander plasma, sebab mengekspansikan volume plasma
lebih dari pada volume yang diberikan. (Evers, 2004)

14
a. Albumin

Albumin merupakan larutan koloid murni yang berasal dari plasma


0
manusia. Albumin dibuat dengan pasteurisasi pada suhu 60 C dalam 10 jam
untuk meminimalisir resiko transmisi virus hepatitis B atau C atau pun
virus imunodefisiensi. Waktu paruh albumin dalam plasma adalah sekitar 16
jam, dengan sekitar 90% tetap bertahan dalam intravascular 2 jam setelah
pemberian.

b. Dekstran

Dekstran merupakan semisintetik koloid yang secara komersial


dibuat dari sukrose oleh mesenteroides leukonostok strain B 512 dengan
menggunakan enzim dekstran sukrose. Ini menghasilkan dekstran BM tinggi
yang kemudian dilengketkan oleh hidrolisis asam dan dipisahkan dengan
fraksionasi etanol berulang untuk menghasilkan produk akhir dengan kisaran
BM yang relatif sempit. Dekstran untuk pemakaian klinis tersedia dalam
dekstran 70 (BM 70.000) dan dekstran 40 (BM 40.000) dicampur dengan garam
faal, dekstrosa atau Ringer laktat.

Dekstran 70 6 % digunakan pada syok hipovolemik dan untuk


profilaksis tromboembolisme dan mempunyai waktu paruh intravaskular sekitar
6 jam. Pemakaian dekstran untuk mengganti volume darah atau plasma
hendaknya dibatasi sampai 1 liter (1,5 gr/kgBB) karena risiko terjadi perdarahan
abnormal. Batas dosis dekstran yaitu 20 ml/kgBB/hari.

Sekitar 70% dosis dekstran 40 yang diberikan akan dieksresikan ke


dalam urine dalam 24 jam. Molekul- molekul yang lebih besar dieksresikan
lewat usus atau dimakan oleh sel-sel sistem retikoloendotelial. Volume dekstran
melebihi 1 L dapat mengganggu hemostasis. Disfungsi trombosit dan

15
penurunan fibrinogen dan faktor VIII merupakan alasan timbulnya
perdarahan yang meningkat. Reaksi alergi terhadap dekstran telah
dilaporkan, tetapi kekerapan reaksi anafilaktoid mungkin kurang dari 0,02 %.
Dekstran 40 hendaknya jangan dipakai pada syok hipovolemik karena dapat
menyumbat tubulus ginjal dan mengakibatkan gagal ginjal akut.

c. Gelatin

Gelatin dibuat dengan jalan hidrolisis kolagen sapi. Preparat


yang umum dipasaran adalah gelatin yang mengalami suksinasi seperti
Gelofusin dengan pelarut NaCL isotonik. Gelatin dengan ikatan urea-poligelin
( Haemaccel ) dengan pelarut NaCL isotonik dengan Kalium 5,1 mmol/l dan Ca
6,25 mmol/ L.

Pemberian gelatin agaknya lebih sering menimbulkan reaksi alergik


daripada koloid yang lain. Berkisar dari kemerahan kulit dan pireksia
sampai anafilaksis yang mengancam nyawa. Reaksi-reaksi tersebut
berkaitan dengan pelepasan histamine yang mungkin sebagai akibat efek
langsung gelatin pada sel mast.

Gelatin tidak menarik air dari ruang ekstravaskular sehingga


bukan termasuk ekspander plasma seperti dekstran. Larutan gelatin
terutama diekskresikan lewat ginjal dalam urin, sementara itu gelatin dapat
menghasilkan diuresis yang bagus. Sebagian kecil dieliminasikan lewat usus.
Karena gelatin tidak berpengaruh pada sistem koagulasi, maka tidak ada
pembatasan dosis. Namun, bila terlalu banyak infus, pertimbangkan adanya
efek dilusi. Gelatin dapat diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
bahkan pada pasien yang menjalani hemodialisis. Indikasi gelatin : Penggantian
volume primer pada hipovolemia, stabilisasi sirkulasi perioperatif.
Sedangkan kontraindikasi adalah infark miokard yang masih baru terjadi,
gagal jantung kongestif dan syok normovolemik.

d. Hydroxylethyl Starch (HES)

16
Senyawa kanji hidroksietil ( HES ) merupakan suatu kelompok
koloid sintetik polidisperse yang mempunyai glikogen secara struktural.
Kurang dapat diterima kanji hidroksi (HES ) untuk pengantian volume paling
mungkin akibat laporan-laporan adanya koagulasi abnormal yang menyertai
subtitusi plasma ini. Laporan laporan tentang HES yang memperlihatkan
koagulasi darah yang terganggu dan kecenderungan perdarahan yang
meningkat sebagian besar berdasarkan pemakaian preparat HES berat
molekul tinggi ( HMW-HES ). Waktu paruh dari 90% partikel HES adalah 17
hari.

Seperti semua koloid lainnya, kanji hidroksietil juga berkaitan


dengan reaksi anafilaktoid yang ringan dengan kekerapan kira-kira 0,006 %.
Indikasi pemberian HES adalah :Terapi dan profilaksis defisiensi volume
(hipovolemia) dan syok (terapi penggantian volume) berkaitan dengan
pembedahan (syok hemoragik), cedera (syok traumatik), infeksi (syok
septik), kombustio (syok kombustio). Sedangkan kontra indikasi adalah : Gagal
jantung kongestif berat, Gagal ginjal (kreatinin serum >2 mg/dL dan >177
mikromol/L).Gangguan koagulasi berat (kecuali kedaruratan yang
mengancam nyawa). Dosis penggunaan HES adalah 20 ml/kgBB/hari.

F. Kontroversi Kristaloid vs Koloid

Pertanyaan apakah kristaloid atau koloid yang terbaik untuk


resusitasi terus merupakan bahan diskusi dan penelitian. Banyak cairan
telah dikaji unruk resusitasi, antara lain: NaCl 0,9%, Larutan Ringer laktat,
NaCl hipertonik, albumin, fraksi protein murni, plasma beku segar, hetastarch,
pentastarch, dan dekstran 70.

Bila problema sirkulasi utama pada syok adalah hipovolemia,


maka terapi hendaknya ditujukan untuk restorasi volume darah dengan cairan
resusitasi ideal. Cairan ideal adalah yang dapat membawa O2. Larutan koloid
yang ada terbatas karena ketidakmampuan membawa O2. Darah lengkap
marupakan ekspander volume fisiologis dan komplit, namun terbatas masa

17
simpan yang tidak lama, fluktuasi dalam penyimpanannya, risiko kontaminasi
viral, reaksi alergi dan mahal.

Biarpun larutan koloid tidak dapat membawa O2, namun sangat


bermanfaat karena mudah tersedia dan risiko infeksi relatif rendah.
resusitasi hemodinamik lebih cepat dilaksanakan dengan koloid karena
larutan koloid mengekspansikan volume vaskular dengan lebih sedikit
cairan dari pada larutan kristaloid. Sedangkan larutan kristaloid akan keluar
dari pembuluh darah dan hanya ¼ bagian tetap tinggal dalam plasma pada
akhir infus. Larutan kristaloid juga mengencerkan protein plasma sehingga TOK
menurun, yang memungkinkan filtrasi cairan ke interstisiel. Resusitasi
cairan kristaloid dapat pula berakibat pemberian garam dan air yang
berlebihan dengan konsekuensi edema interstitial. Pada kasus perdarahan
yang cukup banyak, tetapi yang tidak memerlukan transfusi, dapat dipakai
koloid dengan waktu paruh yang lama misalnya : Haes steril 6 %.

Tabel 2.4. Perbedaan Kristaloid dan Koloid

18
Bila pasien memerlukan transfusi, selama menunggu darah, kita
dapat memberi koloid dengan BM sekitar 40.000 misalnya : Expafusin,
Plasmafusin, Haemaccel, Gelafundin atau Dextran L. Dengan begitu,
manakala darah siap untuk ditransfusikan sekitar 2 -3 jam kemudian, kita
dapat melakukannya langsung, tanpa khawatir terjadi kelebihan cairan dalam
ruang intravaskular. (Stoelting, 2007)

G. Penggunaan Normal Saline dalam Berbagai Kasus


a) Dengue Shock Syndrome

Panduan untuk diagnosis DF dan DHF diterbitkan oleh WHO. DHF telah
diklasifikasikan ke dalam 4 tingkat keparahan berikut: grade I dan II hanya

19
melibatkan kebocoran kapiler ringan, tidak cukup untuk menghasilkan syok, dan
dibedakan dengan tidak adanya (grade I) atau adanya (grade II ) perdarahan
spontan; Pada grade III, terjadi kegagalan sirkulasi, dimanifestasikan oleh
denyut nadi yang cepat dan lemah, dengan penyempitan tekanan nadi menjadi
<20 mmHg; Pada grade IV terjadi syok yang sangat parah, tanpa denyut nadi
atau tekanan darah yang terdeteksi. Nilai DHF III dan IV secara kolektif disebut
sebagai DSS. Untuk pasien dengan DSS, WHO merekomendasikan penggantian
volume segera dengan larutan kristaloid isotonik, diikuti dengan penggunaan
larutan plasma atau koloid ( secara khusus, dekstran).

Cairan diberikan secara bolus dengan kecepatan 20ml/kg selama satu jam
pertama pada pasien DHF grade III. Sedangkan pada pasien DHF grade IV
cairan diberikan bolus 15 menit dengan kecepatan 15ml/kg. Untuk selanjutnya,
bolus kedua diberikan 20ml/kg untuk beberapa jam kemudian. Setelah
manajemen awal ini, pasien kemudian diberikan cairan RL sesuai dengan standar
protokol, berdasarkan panduan WHO untuk manajemen DSS. (Nhan et. Al,
2001)

b) Syok Sepsis

Sepsis adalah respon inflamasi yang merugikan terhadap infeksi dan


telah didefinisikan sebagai dugaan infeksi dengan setidaknya dua dari empat
kriteria Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS). Sepsis dapat
menyebabkan sepsis berat (sepsis plus disfungsi organ akut) dan syok septik
(sepsis berat plus hipotensi tidak responsif terhadap terapi cairan). Tiga
komponen sangat penting dalam keberhasilan pengelolaan sepsis yang
mengancam jiwa: terapi antibiotik tepat waktu dan tepat, dukungan
hemodinamik, dan kontrol sumber yang memadai. Dukungan hemodinamik
terhadap pasien syok septik dan septik telah direvolusi oleh the early goal-
directed therapy yang pertama kali diusulkan oleh Rivers et al pada tahun 2001.
Sejak tahun 2002, Surviving Sepsis Campaign telah mempelopori upaya

20
internasional yang sangat berhasil untuk mengurangi angka kematian sepsis
dengan menerapkan elemen pengobatan yang dibundel.

Resusitasi cairan merupakan salah satu andalan dalam pengelolaan akut


sepsis. Namun, rejimen cairan yang optimal, termasuk jenis dan volume cairan
yang akan diberikan, tidak jelas. Selama dekade terakhir, ada banyak uji coba
terkontrol secara acak dan meta-analisis untuk mengatasi teka-teki ini tanpa
konsensus atau rekomendasi yang jelas mengenai terapi spesifik. Panduan
Surviving Sepsis Campaign yang paling baru menganjurkan 30 cc / kg kristaloid
dalam 3 jam pertama untuk pasien sepsis hipovolemik namun tidak menentukan
jenis kristaloid yang akan digunakan. Memang, praktik terapi cairan saat ini
untuk penyakit kritis tampaknya lebih bergantung pada norma dan tradisi
regional daripada obat berbasis bukti.

Resusitasi dengan saline normal diketahui menyebabkan asidosis


metabolik hyperchloremic dan dikaitkan dengan peningkatan penanda inflamasi.
Hal ini juga telah ditunjukkan untuk menginduksi koagulopati dengan
meningkatnya kebutuhan akan produk darah pada pasien yang menjalani operasi
aorta dan pada model hewan dengan perdarahan dibandingkan dengan Ringer
lactat. Hiperkloremia itu sendiri tampaknya mengubah aliran darah ginjal dan
fungsi ginjal. Studi pada hewan menemukan bahwa peningkatan konsentrasi
serum klorida (tapi tidak meningkatkan konsentrasi natrium) mengakibatkan
penyempitan arteriole afferen ginjal dan mengurangi aliran darah ginjal dan laju
filtrasi glomerulus. Dalam sebuah studi crossover double-blind acak,
sukarelawan manusia sehat menerima bolus 2 liter saline normal dan bolus 2
liter larutan Hartmann pada kesempatan terpisah. Peneliti menemukan bahwa
ekskresi natrium dan air lebih lambat setelah bolus saline normal versus larutan
bolus Hartmann, konsisten dengan penurunan hiperkloremik dalam laju filtrasi
glomerulus. Sebuah studi crossover blind crossover acak ke dua menunjukkan
penurunan perfusi kortikal ginjal dan aliran darah ginjal pada pencitraan
resonansi magnetik pada sukarelawan sehat setelah bolus saline 2 liter dan tidak
ada perubahan perfusi ginjal setelah bolus 2 liter plasma Plasma-Lyte. Analisis

21
retrospektif terhadap 1.940 pasien ICU menemukan bahwa hiperkloremia 72 jam
setelah penerimaan ICU dikaitkan secara bermakna dengan peningkatan
mortalitas dan bahwa setiap peningkatan konsentrasi klorida serum meningkat
pada peningkatan serum (adjusted odds ratio [OR] 1,37, 95% interval
kepercayaan [CI] 1.11 - 1.69). Karena temuan ini, peran saline normal dalam
perawatan pasien septis dan pasien kritis lainnya mengalami evaluasi ulang.
(Chang et. al, 2016)

c) Trauma dan Syok Hemoragik

Perdarahan tetap menjadi penyebab utama kematian dini setelah trauma.


Tindakan perawatan utama mencakup kontrol definitif dari perdarahan dan
resusitasi cairan. Regimen resusitasi optimal (khususnya jenis cairan) saat ini
tidak diketahui, dan larutan garam normal (NS) dan Lactated Ringer (LR) sering
digunakan secara bergantian untuk resusitasi syok hemoragik.

Asidosis metabolik hyperchloremic dihasilkan dari resusitasi dengan


larutan kristaloid yang memiliki konsentrasi klorida yang besar. Asidosis ini
sering terjadi pada penggunaan NS. Efek asidosis yang tidak diinginkan meliputi
tertekannya kontraktilitas miokard , resistensi vaskular perifer yang berkurang,
respons inotropik yang berkurang terhadap katekolamin dan aritmia, disfungsi
trombosit, dan disfungsi kaskade koagulasi keseluruhan. Asidosis adalah salah
satu komponen dari trias mematikan pada trauma, dua lainnya adalah
koagulopati dan hipotermia. Dalam resusitasi syok yang tidak terkendali, volume
yang berlebihan menyebabkan koagulopati dilatasi. Koagulopati dilatasi ini
bergantung pada jenis dan volume cairan yang digunakan. (Todd et. al, 2007 dan
Ho et. al., 2001)

Resusitasi dengan NS menghasilkan keadaan hiperkoagulasi. Efek ini


kemungkinan besar berhubungan dengan asidosis dan dapat diakibatkan oleh
peningkatan volume cairan yang diberikan. Keadaan yang hiperkoagulasi ini
dapat mengurangi perdarahan dan awalnya bersifat protektif, namun dapat
menyebabkan komplikasi tromboemboli di kemudian hari dalam perjalanan

22
trauma. Resusitasi dengan NS meregulasi hiperkoagulabilitas setelah trauma dan
menghasilkan peningkatan kebutuhan cairan. (Kiraly et. Al., 2006)

d) Ketoasidosis Diabetik dan Status Hiperosmolar Hiperglikemik

Ketoasidosis diabetik dan status hiperosmolar hiperglikemi merupakan


kasus kegawatan diabetik yang memiliki tingkat kematian dan kecacatan yang
tinggi. Terapi utama kasus ini adalah cairan, insulin, dan koreksi elektrolit.
(Dhatariya dan Vellanki, 2017)

Tatalaksana utama yang harus dilakukan adalah penggantian cairan dan


pilihan penggantian cairan awal adalah larutan nasal saline 0,9%. Kecepatan
penggantian cairan adalah 15-20 mL / kg / jam (1-1,5 L) pada jam pertama
(terlepas dari tingkat keparahannya) menurut panduan Amerika dan 1 L di
masing-masing 2 jam pertama menurut panduan Inggris. (Dhatariya adn
Vellanki, 2017)

23
Gambar 2.3 panduan praktis klinis Canadian Diabetes Asossiation (CDA)(Hamelin et.al., 2017)

Meskipun rehidrasi saline adalah standar perawatan saat ini, perdebatan


mengenai cairan resusitasi ideal di KAD masih terus berlanjut. Saline normal,
tidak normal 'maupun fisiologis (pH 5,5 dengan kadar klorida tinggi) dapat
menyebabkan hiperkloremia. Sebuah uji coba baru-baru ini menunjukkan
kebutuhan insulin yang meningkat dan pepanjangan tinggal di rumah sakit pada
mereka yang hanya menerima NS sebagai cairan rehidrasi pasca bolus atau
mereka yang menerima NS namun beralih ke saat pemulihan bila dibandingkan

24
dengan anak-anak yang hanya menerima garam N / 2. Resistensi asidosis lebih
awal diamati saat Plasmalyte (mengandung natrium 140 mEq / L, kalium 5
mEq / L, klorida 98 mEq / L, magnesium 3 mEq / L, asetat 27 mEq / L, glukonat
23 mEq / L; osmolalitas: 294 mOsm / L) digunakan sebagai pengganti NS dalam
12 jam pertama pengelolaan KAD. Uji coba orang dewasa yang membandingkan
NS dengan Ringer's lactate (RL) gagal menunjukkan perbedaan yang signifikan
dalam pemecahan masalah KAD. Satu-satunya uji coba acak yang
membandingkan NS dengan larutan elektrolit seimbang (BES) untuk resusitasi
cairan pada anak-anak dengan KAD mengungkapkan bahwa BES secara
konsisten mencegah HMA. Manfaat BES disebabkan oleh pH serum (7,4) dan
kadar klorida yang lebih rendah (98mEq / L) bila dibandingkan dengan NS dan
RL. (Prashanth et.al., 2014)

Suatu studi yang membandingkan penggunaan ringer laktat dan normal


saline pada pasien KAD menyatakan bahwa target nilai glikemik pasien dengan
ringer laktat lebih lama tercapai dibandingkan dengan NS. Pemulihan glikemik
ke tingkat 14 mmol / l dan 11.1 mmol / l secara signifikan tertunda dengan
larutan Ringer laktat, dengan waktu yang diperlukan adalah 410 menit. Hal ini
secara signifikan lebih lama dibandingkan dengan natrium klorida 0,9% yang
membutuhkan waktu 300 min.

Laktat dalam larutan laktat Ringer dimetabolisme melalui dua rute, yakni
di hati dan ginjal dengan rute utamanya adalah hati. Mekanisme ini
menyumbang sekitar 70% dari pembersihan laktat. Glukoneogenesis laktat
terjadi melalui produksi pyrovate dan menghasilkan peningkatan sementara
glukosa darah pada individu normal yang memiliki respon insulin yang tepat,
yang tidak terjadi pada pasien dengan ketoasidosis diabetes. (Van et.al., 2011)

e) Hiponatremi

Hiponatremia akibat deplesi natrium biasanya diatasi dengan infus


larutan saline isotonik (0,9% NaCl) dengan kecepatan 1-3 ml / kg per jam dan
restriksi cairan. Pengamatan yang ketat diperlukan untuk menghindari koreksi

25
yang terlalu cepat dari natrium serum pada saat mendekati restitusi volume
cairan ekstraseluler. Pasien dengan kasus ringan dapat dikelola sebagai pasien
rawat jalan dengan meningkatkan konsumsi sodium. Ketika perkiraan volume
cairan ekstraselular tidak jelas, tantangan 1- hingga 2-L dari saline isotonik dapat
membantu diagnosis dan pengobatan. (Adrogué dan Madias, 2012)

H. Potensi Dampak Kerusakan Pemakaian Saline dalam Jumlah Banyak


1) Dampak pada keseimbangan asam-basa

Cairan kaya Cl tidak mengandung HCO3 atau anion lain yang dapat
dimetabolisme menjadi HCO3-, menyebabkan kenaikan pada Cl - dan
penurunan konsentrasi HCO3, suatu kondisi yang disebut asidosis metabolik
hiperkloremik. Asidosis yang disebabkan oleh saline, yang biasa disebut asidosis
dilusi, adalah fenomena jangka pendek kecuali jika menderita kerusakan ginjal.
Secara keseluruhan, bagaimanapun, prognosis pasien unit perawatan intensif
dengan asidosis hiperkloremik jauh lebih baik daripada pasien dengan non-
hiperkloremik, seperti asidosis metabolik laktat.

Sebuah studi mempelajari secara prospektif dua kelompok acak yang


masing-masing terdiri dari 12 orang yang menjalani operasi ginekologi mayor.
Mereka menemukan bahwa infus NS 30 mL / kg / jam menghasilkan asidosis
metabolik hiperkloremik. PH rata-rata menurun dari 7,41 menjadi 7,28, dan
tingkat Cl- rata-rata meningkat dari 104 menjadi 115 mEq / L.

Studi lain meyatakan bahwa pada pasien dengan penyakit ginjal tingkat
akhir dan syok sepsis, asidosis metabolik hiperkloremik telah muncul dengan
pemberian NS sebanyak 12.4 liter dalam 16 jam. Hasil laborat berubah, anion
gap dari 10 mEq/L menjadi 14 mEq/L, Cl- dari 103 mEq/L menjadi 115 mEq/L,
pH awal 7.34 menjadi 7.04, dan HCO3- dari 25 mEq/L menjadi 14 mEq/L. (Ho
et.al., 2001)

2) Dampak pada fungsi ginjal

26
Kandungan Cl yang tinggi dari saline dapat menyebabkan kerusakan
ginjal akut dengan retensi Na+. Faktor-faktor berikut mungkin mendasari
kerusakan ini: 1. Peningkatan kadar Cl dalam darah diikuti oleh penurunan
reabsorbsi Cl- di tubulus proksimal dan oleh peningkatan Cl- tubulus ginjal; 2.
Peningkatan Cl- tubulus ginjal menghasilkan masuknya Cl- ke makula densa
yang menyebabkan pelepasan adenosin, yang menyebabkan vasokonstriksi
arteriolar aferen; 3. Peningkatan resistansi arteriolar aferen mengurangi aliran
ginjal dan laju filtrasi glomerulus yang menyebabkan penurunan output urin dan
ekskresi Na +. Meskipun demikian, walaupun penelitian manusia
mengkonfirmasi bahwa larutan saline dalam jumlah besar menyebabkan
kerusakan fungsi ginjal, tidak ada bukti kuat bahwa efek samping ini relevan
secara klinis (ini mungkin hanya mencerminkan kekurangan data).

Tabel 2.5. Efek merugikan pemakaian cairan kaya Cl dalam jumlah besar

3) Dampak pada kadar potassium

Sebagaimana banyak kristaloid garam "seimbang" (misalnya: Ringer


laktat) mengandung K+, mereka biasanya dikontraindikasikan dengan adanya
hiperkalemia. Namun, literatur yang membandingkan saline dengan kristaloid
garam "seimbang" tidak mengkonfirmasi hal ini. Tiga faktor yang mungkin
dapat menjelaskan pengamatan ini: a) konten K+ dalam kristaloid "seimbang"
dari ≤5 mmol / L terdifusi dengan cepat dalam cairan ekstraselular setelah

27
diinfus; b) bertentangan dengan saline yang menyebabkan asidosis
hiperkloremik, kristaloid garam "seimbang" tidak memobilisasi K+ dari ruang
intraselular; c) kerusakan ginjal jarang terjadi pada subyek yang diinfuskan
dengan kristaloid garam "seimbang".

4) Dampak pada kekakuan dan permeabilitas vaskuler

Volume saline yang besar menyebabkan peningkatan volume cairan


interstisial yang lebih besar (dan, karenanya, edema) daripada kristaloid garam
"seimbang". Ini mungkin mencerminkan kerusakan ginjal akut di atas dengan
retensi Na+ yang terjadi setelah infus saline serta peningkatan permeabilitas
vaskular sekunder akibat asidosis metabolik hiperkloremik. Sisi luminal sel
endotel vaskular ditutupi oleh lapisan makromolekul mucopolysaccharide, yang
disebut lapisan permukaan endotel atau glycocalix endotel, yang merupakan
penentu utama permeabilitas vaskular. Integritas lapisan ini dan dengan jalan itu,
potensi pengembangan edema interstisial sering berubah di bawah kondisi
peradangan saat kristaloid garam biasa digunakan, seperti sepsis dan setelah
operasi atau trauma. Data awal menunjukkan bahwa lapisan ini mungkin lebih
baik dipertahankan setelah resusitasi dengan Ringer laktat dibandingkan dengan
cairan lainnya (sayangnya, tidak ada data yang tersedia dengan saline). Peptida
Natriuretik adalah faktor lebih lanjut yang dapat merusak lapisan permukaan
endotel dan mungkin juga meningkatkan kekakuan vaskular.

5) Inflamasi

Pada hewan percobaan, pemberian saline diikuti oleh peningkatan


mediator proinflamasi. Selanjutnya, pada pasien yang menjalani operasi,
peningkatan risiko infeksi pasca operasi ditemukan pada pasien yang menerima
saline dibandingkan dengan garam kristaloid "seimbang".

6) Dampak pada koagulasi dan saluran cerna

28
Sedikit bukti menunjukkan bahwa pemberian saline dalam volume yang
besar memiliki efek merugikan pada koagulasi serta perfusi dan fungsi
gastrointestinal.

7) Kemungkinan yang tidak mudah pada bedside

Dalam kondisi syok, sepsis dan kehilangan cairan dari saluran


pencernaan, asidosis yang terjadi dengan saline sering ditafsirkan sebagai tanda
hipovolemia yang kemudian mengundang resep cairan lebih banyak. Akibatnya,
asidosis persisten selama pemberian saline bisa mengakibatkan pemberian cairan
yang tidak perlu lagi. (Santi et. al, 2015)

29

Anda mungkin juga menyukai