TINJAUAN PUSTAKA
A. Keseimbangan cairan
Air merupakan komponen utama dalam tubuh yakni sekitar 60% dari
berat badan pada laki-laki dewasa. Persentase tersebut bervariasi bergantung
beberapa faktor diantaranya:
Total Body Water (TBW) pada orang dewasa berkisar antara 45-75%
dari berat badan. Kisaran ini tergantung pada tiap individu yang
memiliki jumlah jaringan adipose yang berbeda, yang mana jaringan ini
hanya mengandung sedikit air.
TBW pada wanita lebih kecil dibanding dengan laki-laki dewasa pada
umur yang sama, karena struktur tubuh wanita dewasa yang
umumnya lebih banyak mengandung jaringan lemak.
TBW pada neonatus lebih tinggi yaitu sekitar 70-80% berat badan.
3
Untuk beberapa alasan, obesitas serta peningkatan usia akan menurunjkan
jumlah kandungan total air tubuh (Guyton, 2007)
Pada janin dan bayi baru lahir, volume CES lebih besar dari volume CIS.
Diuresis postnatal normal menyebabkan penurunan segera dalam volume CES.
Ini diikuti dengan ekspansi lanjutan dari volume CIS, yang dihasilkan dari
pertumbuhan seluler. Pada usia 1 tahun, rasio volume CIS terhadap volume CES
mendekati tingkat dewasa. Volume CES kira-kira 20-25% dari berat badan, dan
volume CIS kira-kira 30-40% dari berat badan, mendekati dua kali volume
CES. Dengan pubertas, peningkatan massa otot laki-laki menyebabkan mereka
memiliki volume CIS lebih tinggi daripada wanita. Tidak ada perbedaan yang
4
signifikan dalam volume CES antara wanita pascapubertas dan pria. (Kliegman
et.al., 2016)
Gambar 2.2. total body water (TBW), cairan intraselular (CIS), dan cairan ekstraselular (CES)
+ - -
mempunyai kadar Na , Cl dan HCO3 yang lebih rendah dibanding CES dan
+
mengandung lebih banyak ion K dan fosfat serta protein yang merupakan
komponen utama intra seluler. (Latief, 2002)
5
Plasma adalah bagian darah nonselular dan terus menerus berhubungan
dengan cairan interstisiel melalui celah-celah membran kapiler. Celah ini
bersifat sangat permeabel terhadap hampir semua zat terlarut dalam cairan
ekstraseluler, kecuali protein. Karenanya, cairan ekstraseluler terus bercampur,
sehingga plasma dan interstisiel mempunyai komposisi yang sama kecuali
untuk protein, yang konsentrasinya lebih tinggi pada plasma.
6
Tabel 2.2 Komposisi cairan plasma, interstisial, dan intraselular
7
tidak membutuhkan energi sedangkan mekanisme transport aktif
membutuhkan energi. Difusi dan osmosis adalah mekanisme transport
pasif. Sedangkan mekanisme transport aktif berhubungan dengan pompa Na-
K yang memerlukan ATP.
a. Osmosis
b. Difusi
8
Air melintasi membran sel dengan mudah, tetapi zat-zat lain sulit atau
diperlukan proses khusus supaya dapat melintasinya, karena itu komposisi
elektrolit di dalam dan di luar sel berbeda. Cairan intraselular banyak
mengandung ion K, ion Mg dan ion fosfat, sedangkan ekstraselular banyak
mengandung ion Na dan ion Cl.
Gangguan cairan tubuh dapat dibagi dalam tiga bentuk yakni perubahan :
1. Volume,
2. Konsentrasi, dan
3. Komposisi.
1. Perubahan Volume
Defisit Volume
9
Pada keadaan akut, kehilangan cairan yang cepat akan menimbulkan tanda
gangguan pada susunan saraf pusat dan jantung. Pada kehilangan cairan
yang lambat, lebih dapat ditoleransi sampai defisit volume cairan ekstraseluler
yang berat.
Kelebihan Volume
2. Perubahan Konsentrasi
3. Perubahan komposisi
10
kalsium, dimana pada keadaan hipokalsemia kadar Ca kurang dari 8 mEq,
sudah akan timbul kelainan klinik tetapi belum banyak menimbulkan
perubahan osmolaritas. (Graber, 2003)
D. Terapi cairan
Resusitasi cairan
Terapi rumatan
Mengganti kehilangan air dan elektrolit yang normal melaui urine, IWL,
dan feses
Membuat agar hemodinamik agar tetap dalam keadaan stabil
11
Cairan pemeliharaan ( jumlah cairan yang dibutuhkan selama 24 jam )
Cairan defisit ( jumlah kekurangan cairan yang terjadi )
Cairan pengganti ( replacement )
o Sekuestrasi ( cairan third space )
o Pengganti darah yang hilang
o Pengganti cairan yang hilang melalui fistel, maag slang dan
drainase
E. Pemilihan Cairan
1. Kristaloid
12
ekstraselular. Karena perbedaan sifat antara kristaloid dan koloid, dimana
kristaloid akan lebih banyak menyebar ke ruang interstitial dibandingkan
dengan koloid maka kristaloid sebaiknya dipilih untuk resusitasi defisit
cairan di ruang intersisial.
13
bahwa penggunaan garam normal isotonik dapat meningkatkan kejadian
cedera ginjal akut (AKI) dan kebutuhan terapi penggantian ginjal,
kemungkinan karena berkurangnya perfusi ginjal. (Farag et.al., 2018 dan
Pardo et.al, 2017)
2. Koloid
14
a. Albumin
b. Dekstran
15
penurunan fibrinogen dan faktor VIII merupakan alasan timbulnya
perdarahan yang meningkat. Reaksi alergi terhadap dekstran telah
dilaporkan, tetapi kekerapan reaksi anafilaktoid mungkin kurang dari 0,02 %.
Dekstran 40 hendaknya jangan dipakai pada syok hipovolemik karena dapat
menyumbat tubulus ginjal dan mengakibatkan gagal ginjal akut.
c. Gelatin
16
Senyawa kanji hidroksietil ( HES ) merupakan suatu kelompok
koloid sintetik polidisperse yang mempunyai glikogen secara struktural.
Kurang dapat diterima kanji hidroksi (HES ) untuk pengantian volume paling
mungkin akibat laporan-laporan adanya koagulasi abnormal yang menyertai
subtitusi plasma ini. Laporan laporan tentang HES yang memperlihatkan
koagulasi darah yang terganggu dan kecenderungan perdarahan yang
meningkat sebagian besar berdasarkan pemakaian preparat HES berat
molekul tinggi ( HMW-HES ). Waktu paruh dari 90% partikel HES adalah 17
hari.
17
simpan yang tidak lama, fluktuasi dalam penyimpanannya, risiko kontaminasi
viral, reaksi alergi dan mahal.
18
Bila pasien memerlukan transfusi, selama menunggu darah, kita
dapat memberi koloid dengan BM sekitar 40.000 misalnya : Expafusin,
Plasmafusin, Haemaccel, Gelafundin atau Dextran L. Dengan begitu,
manakala darah siap untuk ditransfusikan sekitar 2 -3 jam kemudian, kita
dapat melakukannya langsung, tanpa khawatir terjadi kelebihan cairan dalam
ruang intravaskular. (Stoelting, 2007)
Panduan untuk diagnosis DF dan DHF diterbitkan oleh WHO. DHF telah
diklasifikasikan ke dalam 4 tingkat keparahan berikut: grade I dan II hanya
19
melibatkan kebocoran kapiler ringan, tidak cukup untuk menghasilkan syok, dan
dibedakan dengan tidak adanya (grade I) atau adanya (grade II ) perdarahan
spontan; Pada grade III, terjadi kegagalan sirkulasi, dimanifestasikan oleh
denyut nadi yang cepat dan lemah, dengan penyempitan tekanan nadi menjadi
<20 mmHg; Pada grade IV terjadi syok yang sangat parah, tanpa denyut nadi
atau tekanan darah yang terdeteksi. Nilai DHF III dan IV secara kolektif disebut
sebagai DSS. Untuk pasien dengan DSS, WHO merekomendasikan penggantian
volume segera dengan larutan kristaloid isotonik, diikuti dengan penggunaan
larutan plasma atau koloid ( secara khusus, dekstran).
Cairan diberikan secara bolus dengan kecepatan 20ml/kg selama satu jam
pertama pada pasien DHF grade III. Sedangkan pada pasien DHF grade IV
cairan diberikan bolus 15 menit dengan kecepatan 15ml/kg. Untuk selanjutnya,
bolus kedua diberikan 20ml/kg untuk beberapa jam kemudian. Setelah
manajemen awal ini, pasien kemudian diberikan cairan RL sesuai dengan standar
protokol, berdasarkan panduan WHO untuk manajemen DSS. (Nhan et. Al,
2001)
b) Syok Sepsis
20
internasional yang sangat berhasil untuk mengurangi angka kematian sepsis
dengan menerapkan elemen pengobatan yang dibundel.
21
retrospektif terhadap 1.940 pasien ICU menemukan bahwa hiperkloremia 72 jam
setelah penerimaan ICU dikaitkan secara bermakna dengan peningkatan
mortalitas dan bahwa setiap peningkatan konsentrasi klorida serum meningkat
pada peningkatan serum (adjusted odds ratio [OR] 1,37, 95% interval
kepercayaan [CI] 1.11 - 1.69). Karena temuan ini, peran saline normal dalam
perawatan pasien septis dan pasien kritis lainnya mengalami evaluasi ulang.
(Chang et. al, 2016)
22
trauma. Resusitasi dengan NS meregulasi hiperkoagulabilitas setelah trauma dan
menghasilkan peningkatan kebutuhan cairan. (Kiraly et. Al., 2006)
23
Gambar 2.3 panduan praktis klinis Canadian Diabetes Asossiation (CDA)(Hamelin et.al., 2017)
24
dengan anak-anak yang hanya menerima garam N / 2. Resistensi asidosis lebih
awal diamati saat Plasmalyte (mengandung natrium 140 mEq / L, kalium 5
mEq / L, klorida 98 mEq / L, magnesium 3 mEq / L, asetat 27 mEq / L, glukonat
23 mEq / L; osmolalitas: 294 mOsm / L) digunakan sebagai pengganti NS dalam
12 jam pertama pengelolaan KAD. Uji coba orang dewasa yang membandingkan
NS dengan Ringer's lactate (RL) gagal menunjukkan perbedaan yang signifikan
dalam pemecahan masalah KAD. Satu-satunya uji coba acak yang
membandingkan NS dengan larutan elektrolit seimbang (BES) untuk resusitasi
cairan pada anak-anak dengan KAD mengungkapkan bahwa BES secara
konsisten mencegah HMA. Manfaat BES disebabkan oleh pH serum (7,4) dan
kadar klorida yang lebih rendah (98mEq / L) bila dibandingkan dengan NS dan
RL. (Prashanth et.al., 2014)
Laktat dalam larutan laktat Ringer dimetabolisme melalui dua rute, yakni
di hati dan ginjal dengan rute utamanya adalah hati. Mekanisme ini
menyumbang sekitar 70% dari pembersihan laktat. Glukoneogenesis laktat
terjadi melalui produksi pyrovate dan menghasilkan peningkatan sementara
glukosa darah pada individu normal yang memiliki respon insulin yang tepat,
yang tidak terjadi pada pasien dengan ketoasidosis diabetes. (Van et.al., 2011)
e) Hiponatremi
25
yang terlalu cepat dari natrium serum pada saat mendekati restitusi volume
cairan ekstraseluler. Pasien dengan kasus ringan dapat dikelola sebagai pasien
rawat jalan dengan meningkatkan konsumsi sodium. Ketika perkiraan volume
cairan ekstraselular tidak jelas, tantangan 1- hingga 2-L dari saline isotonik dapat
membantu diagnosis dan pengobatan. (Adrogué dan Madias, 2012)
Cairan kaya Cl tidak mengandung HCO3 atau anion lain yang dapat
dimetabolisme menjadi HCO3-, menyebabkan kenaikan pada Cl - dan
penurunan konsentrasi HCO3, suatu kondisi yang disebut asidosis metabolik
hiperkloremik. Asidosis yang disebabkan oleh saline, yang biasa disebut asidosis
dilusi, adalah fenomena jangka pendek kecuali jika menderita kerusakan ginjal.
Secara keseluruhan, bagaimanapun, prognosis pasien unit perawatan intensif
dengan asidosis hiperkloremik jauh lebih baik daripada pasien dengan non-
hiperkloremik, seperti asidosis metabolik laktat.
Studi lain meyatakan bahwa pada pasien dengan penyakit ginjal tingkat
akhir dan syok sepsis, asidosis metabolik hiperkloremik telah muncul dengan
pemberian NS sebanyak 12.4 liter dalam 16 jam. Hasil laborat berubah, anion
gap dari 10 mEq/L menjadi 14 mEq/L, Cl- dari 103 mEq/L menjadi 115 mEq/L,
pH awal 7.34 menjadi 7.04, dan HCO3- dari 25 mEq/L menjadi 14 mEq/L. (Ho
et.al., 2001)
26
Kandungan Cl yang tinggi dari saline dapat menyebabkan kerusakan
ginjal akut dengan retensi Na+. Faktor-faktor berikut mungkin mendasari
kerusakan ini: 1. Peningkatan kadar Cl dalam darah diikuti oleh penurunan
reabsorbsi Cl- di tubulus proksimal dan oleh peningkatan Cl- tubulus ginjal; 2.
Peningkatan Cl- tubulus ginjal menghasilkan masuknya Cl- ke makula densa
yang menyebabkan pelepasan adenosin, yang menyebabkan vasokonstriksi
arteriolar aferen; 3. Peningkatan resistansi arteriolar aferen mengurangi aliran
ginjal dan laju filtrasi glomerulus yang menyebabkan penurunan output urin dan
ekskresi Na +. Meskipun demikian, walaupun penelitian manusia
mengkonfirmasi bahwa larutan saline dalam jumlah besar menyebabkan
kerusakan fungsi ginjal, tidak ada bukti kuat bahwa efek samping ini relevan
secara klinis (ini mungkin hanya mencerminkan kekurangan data).
Tabel 2.5. Efek merugikan pemakaian cairan kaya Cl dalam jumlah besar
27
diinfus; b) bertentangan dengan saline yang menyebabkan asidosis
hiperkloremik, kristaloid garam "seimbang" tidak memobilisasi K+ dari ruang
intraselular; c) kerusakan ginjal jarang terjadi pada subyek yang diinfuskan
dengan kristaloid garam "seimbang".
5) Inflamasi
28
Sedikit bukti menunjukkan bahwa pemberian saline dalam volume yang
besar memiliki efek merugikan pada koagulasi serta perfusi dan fungsi
gastrointestinal.
29