Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Spondilitis merupakan peradangan tulang belakang atau vertebrae akibat
kuman mikobakterium tuberkulosis, penyakit ini disebut juga penyakit Pott
terutama bila disertai paraplegia atau defisit neurologis, peradangannya sering
ditemukan pada vertebra torakalis akhir dan awal dari vertebra lumbal (Th8 – L3),
hal ini dikarenakan pada spondilitis terutama terjadi pada tulang – tulang yang
menopang berat badan dan bergerak aktif. Spondilitis tuberculosis juga sering
mengenai korpus vertebra dan jarang pada arcus vertebra(Jain Sahilesh,2013)
Infeksi spinal oleh tuberkulosis, atau yang biasa disebut sebagai spondilitis
tuberkulosis (TB), sangat berpotensi menyebabkan morbiditas serius, termasuk
defisit neurologis dan deformitas tulang belakang yang permanen, oleh karena itu
diagnosis dini sangatlah penting. (Jain Sahilesh,2013)
Diagnosis dini spondilitis TB sulit ditegakkan dan sering disalahartikan
sebagai neoplasma spinal atau spondilitis piogenik lainnya. Diagnosis biasanya
baru dapat ditegakkan pada stadium lanjut, saat sudah terjadi deformitas tulang
belakang yang berat dan defisit neurologis yang bermakna seperti paraplegia.
Indonesia menempati peringkat ketiga setelah India dan China sebagai negara
dengan populasi penderita TB terbanyak. Setidaknya hingga 20 persen penderita.
TB paru akan mengalami penyebaran TB ekstraparu. TB ekstraparu dapat berupa
TB otak, gastrointestinal, ginjal, genital, kulit, getah bening, osteoartikular, dan
endometrial. Sebelas persen dari TB ekstraparu adalah TB osteoartikular, dan
kurang lebih setengah penderita TB osteoartikular mengalami infeksi TB tulang
belakang. Tata laksana spondilitis TB secara umum adalah kemoterapi dengan
Obat Anti Tuberkulosis (OAT), imobilisasi, dan intervensi bedah ortopedi/ saraf.
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengevaluasi efektivitas pendekatan
penanganan spondilitis TB dengan hasil dan rekomendasi yang beragam. (Jain
Sahilesh,2013)

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Spondilitis tuberkulosis (TB) atau dikenal dengan Pott’s disease adalah


penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang
mengenai tulang belakang. Spondilitis TB telah ditemukan pada mumi dari
Spanyol dan Peru pada tahun 1779.Infeksi Mycobakcterium tuberculosis pada
tulang belakang terbanyak disebarkan melalui infeksi dari diskus. Mekanisme
infeksi terutama oleh penyebaran melalui hematogen(Mansjoer Arif,2000)

2.2 EPIDEMIOLOGI

Pada tahun 2005, World Health Organization(WHO) memperkirakan bahwa


jumlahkasus TB baru terbesar terdapat di AsiaTenggara (34 persen insiden TB
secara global)termasuk Indonesia. Jumlah penderitadiperkirakan akan terus
meningkat seiringdengan meningkatnya jumlah penderitaacquired
immunodeficiency syndrome (AIDS)oleh infeksi human immunodeficiency
virus(HIV). Satu hingga lima persen penderita TB,mengalami TB osteoartikular.
Separuh dariTB osteoartikular adalah spondilitis TB.Di negara berkembang,
penderita TB usiamuda diketahui lebih rentan terhadapspondilitis TB daripada
usia tua. Sedangkandi negara maju, usia munculnya spondilitisTB biasanya pada
dekade kelima hinggakeenam.TB osteoartikular banyak ditemukanpada penderita
dengan HIV positif, imigrandari negara dengan prevalensi TB yang tinggi,usia
tua, anak usia dibawah 15 tahun dankondisi-kondisi defisiensi imun lainnya.
Padapasien-pasien HIV positif, insiden TB diketahuI 500 kali lebih tinggi
dibanding populasi orang HIV negatif. Di sisi lain, sekitar 25 – 50 persen kasus
baru TB di Amerika Serikat adalah HIV positif.(WHO,2005)

2.3 ETIOLOGI

Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman


Mycobacterium tuberculosis yang merupakan anggota ordo Actinomicetales dan

2
famili Mycobacteriase. Basil tuberkel berbentuk batang lengkung, gram positif
lemah yaitu sulit untuk diwarnai tetapi sekali berhasil diwarnai sulit untuk
dihapus walaupun dengan zat asam, sehingga disebut sebagai kuman batang
tahan asam. Hal ini disebabkan oleh karena kuman bakterium memiliki dinding
sel yang tebal yang terdiri dari lapisan lilin dan lemak (asam lemak mikolat).
Selain itu bersifat pleimorfik, tidak bergerak dan tidak membentuk spora serta
memiliki panjang sekitar 2-4 μm. Ada 2 jenis mikobakterium yang dapat
menginfeksi manusia, yaitu tipe bovin dan tipe human. Tipe bovin ditularkan
melalui sapi yang menderita mastitis tuberkulosa, biasanya masuk melalui
saluran cerna. Tipe human ditularkan melaluiTetes dahak penderita yang terhirup
melaluisaluran pernafasan (droplet infection). Dipergunakan teknik Ziehl-Nielson
untuk memvisualisasikannya. Bakteri tubuh secara lambat dalam media egg-
enriched dengan periode 6-8 minggu. Produksi niasin merupakan karakteristik
Mycobacterium tuberculosis dan dapat membantu untuk membedakannnya
dengan spesies lain. (Mansjoer Arif,2000)

2.4 PATOFISIOLOGI

 Patologi TB paru
Droplet Mycobacterium tuberculosis masuk melalui saluran napas dan
akan menimbulkan fokus infeksi di jaringan paru. Fokus infeksi ini disebut
fokus primer (fokus Ghon). Kuman kemudian akan menyebar secara
limfogen dan menyebabkan terjadinya limfangitis lokal dan limfadenitis
regional. Gabungan dari fokus primer, limfangitis lokal dan limfadenitis
regional disebut sebagai kompleks primer. Jika sistem imun penderita
tidak cukup kompeten infeksi akan menyebar secara hematogen/ limfogen
dan bersarang di seluruh tubuh mulai dari otak, gastrointestinal, ginjal,
genital, kulit, getah bening, osteoartikular, hingga endometrial(PDPI,2006)
 Patologi spondilitis TB
Spondilitis TB dapat terjadi akibat penyebaransecara hematogen/limfogen
melalui noduslimfatikus para-aorta dari fokus tuberkulosisdi luar tulang
belakang yang sebelumnyasudah ada. Pada anak, sumber infeksibiasanya

3
berasal dari fokus primer di paru,sedangkan pada orang dewasa berasal
darifokus ekstrapulmoner (usus, ginjal, tonsil).Dari paru-paru, kuman
dapat sampai ketulang belakang melalui pleksus venosus paravertebral
Batson Lesi tuberkulosis pada tulang belakangdimulai dengan inflamasi
paradiskus. Setelahtulang mengalami infeksi, hiperemia, edemasumsum
tulang belakang dan osteoporosisterjadi pada tulang. Destruksi tulang
terjadiakibat lisis jaringan tulang, sehingga tulangmenjadi lunak dan
gepeng terjadi akibatgaya gravitasi dan tarikan otot torakolumbal.
( Zuwanda,2013)

Selanjutnya, destruksi tulang diperberatoleh iskemi sekunder akibat


tromboemboli,periarteritis, endarteritis. Karena transmisibeban gravitasi
pada vertebra torakal lebihterletak pada setengah bagian anterior
badanvertebra, maka lesi kompresi lebih banyakditemukan pada bagian
anterior badanvertebra sehingga badan vertebra bagiananterior menjadi
lebih pipih daripada bagianposterior.Resultan dari hal-hal
tersebutmengakibatkan deformitas kifotik. Deformitaskifotik inilah yang
sering disebut sebagaigibbus. Beratnya kifosis tergantung pada
jumlahvertebra yang terlibat, banyaknya ketinggiandari badan vertebra
yang hilang, dan segmentulang belakang yang terlibat. Vertebra
torakallebih sering mengalami deformitas kifotik.Pada vertebra servikal
dan lumbal, transmisibeban lebih terletak pada setengah bagianposterior
badan vertebra sehingga bilasegmen ini terinfeksi, maka bentuk lordosis
fisiologis dari vertebra servikal dan lumbalperlahan-lahan akan
menghilang dan mulaimenjadi kifosis.( Zuwanda,2013)

Menurut penelitian di Rumah Sakit CiptoMangunkusumo Jakarta, lesi


vertebra torakalterlapor pada 71 persen kasus spondilitis TB,diikuti dengan
vertebra lumbal, dan yangterakhir vertebra servikal.. Jika pada orang
dewasa spondilitis TB banyakterjadi pada vertebra torakal bagian

4
bawahdan lumbal bagian atas, khususnya torakal12 dan lumbal 1, pada
anak-anak spondilitisTB lebih banyak terjadi pada vertebra torakalbagian
atas Cold abscess terbentuk jika infeksi spinal telahmenyebar ke otot psoas
(disebut juga absespsoas) atau jaringan ikat sekitar. Cold abscessdibentuk
dari akumulasi produk likuefaksidan eksudasi reaktif proses infeksi. Abses
inisebagian besar dibentuk dari leukosit, materikaseosa, debris tulang, dan
tuberkel basil Abses di daerah lumbar akan mencari daerahdengan tekanan
terendah hingga kemudianmembentuk traktus sinus/fi stel di kulit hinggadi
bawah ligamentum inguinal atau regiogluteal Adakalanya lesi tuberkulosis
terdiri dari lebihdari satu fokus infeksi vertebra. Hal ini disebutsebagai
spondilitis TB non-contiguous, atau“skipping lesion”. Peristiwa ini
dianggapmerupakan penyebaran dari lesi secarahematogen melalui pleksus
venosus Batsondari satu fokus infeksi vertebra. Insidensspondilitis TB
non-contiguous dijumpai pada 16 persen kasus spondilitis.
( Zuwanda,2013)

TB Defisit neurologis oleh kompresi ekstraduralmedula spinalis dan radiks


terjadi akibatbanyak proses, yaitu: 1) penyempitankanalis spinalis oleh
abses paravertebral, 2)subluksasio sendi faset patologis, 3)
jaringangranulasi, 4) vaskulitis, trombosis arteri/ venaspinalis, 5) kolaps
vertebra, 6) abses epiduralatau 7) invasi duramater secara langsung.Selain
itu, invasi medula spinalis dapat jugaterjadi secara intradural melalui
meningitisdan tuberkulomata sebagai space occupyinglesion Bila
dibandingkan antara pasien spondilitisTB dengan defisit neurologis dan
tanpadefisit neurologis, maka defisit biasanyaterjadi jika lesi TB pada
vertebra torakal.( Zuwanda,2013)

Defisit neurologis dan deformitas kifotik lebih jarang ditemukan apabila


lesi terdapatpada vertebra lumbalis. Penjelasan yangmungkin mengenai
hal ini antara lain: 1)Arteri Adamkiewicz yang merupakan arteriutama
yang mendarahi medula spinalissegmen torakolumbal paling sering

5
terdapatpada vertebra torakal 10 dari sisi kiri. Obliterasiarteri ini akibat
trombosis akan menyebabkankerusakan saraf dan paraplegia. 2)
Diameterrelatif antara medula spinalis dengan foramenvertebralisnya.
Intumesensia lumbalis mulaimelebar kira-kira setinggi vertebra torakal10,
sedangkan foramen vertebrale di daerahtersebut relatif kecil. Pada vertebra
lumbalis,foramen vertebralenya lebih besar dan lebihmemberikan ruang
gerak bila ada kompresidari bagian anterior.( Zuwanda,2013)

2.5 MANIFESTASI KLINIS


Defisit neurologis terjadi pada 12 – 50 persen penderita. Defisit yang
mungkin antara lain: paraplegia, paresis, hipestesia, nyeri radikular dan/ atau
sindrom kauda equina. Nyeri radikuler menandakan adanya gangguan pada radiks
(radikulopati). Spondilitis TB servikal jarang terjadi, namun manifestasinya lebih
berbahaya karena dapat menyebabkan disfagia dan stridor, tortikollis, suara serak
akibat gangguan n. laringeus. Jika n. Frenikus terganggu, pernapasan terganggu
dan timbul sesak napas (disebut juga Millar asthma).
Umumnya gejala awal spondilitis servikal adalah kaku leher atau nyeri leher
yang tidak spesifik Nyeri lokal dan nyeri radikular disertai gangguan motorik,
sensorik dan sfi ngter distal dari lesi vertebra akan memburuk jika penyakit tidak
segera ditangani.
Menurut salah satu sumber, insiden paraplegia pada spondilitis TB (Pott’s
paraplegia), sebagai komplikasi yang paling berbahaya, hanya terjadi pada 4 – 38
persen penderita.Pott’s paraplegia dibagi menjadi dua jenis: paraplegia onset
cepat (early-onset) dan paraplegia onset lambat (late-onset). Paraplegia onset
cepat terjadi saat akut, biasanya dalam dua tahun pertama. Paraplegia onset cepat
disebabkan oleh kompresi medula spinalis oleh abses atau proses infeksi.
Sedangkan paraplegia onset lambat terjadi saat penyakit sedang tenang, tanpa
adanya tanda-tanda reaktifasi spondilitis, umumnya disebabkan oleh tekanan
jaringan fibrosa/parut atau tonjolan-tonjolan tulang akibat destruksi tulang
sebelumnya Gejala motorik biasanya yang lebih dahulu muncul karena patologi

6
terjadi dari anterior, sesuai dengan posisi motoneuron di kornu anterior medula
spinalis, kecuali jika ada keterlibatan bagian posterior medula spinalis, keluhan
sensorik bisa lebih dahulu muncul(Vitriana,2002)
 Gejala Umum
Penderita memperlihatkan gejala-gejala sakit kronik dan mudah lelah,
demam subfebris terutama pada malam hari, anoreksia, berat badan
menurun, berkeringat pada malam hari, takikardi dan anemia.
(Vitriana,2002)
 Gejala Lokal
Nyeri dan kaku punggung merupakan keluhan yang pertama kali muncul.
Nyeri dapat dirakan terlokalisir disekitar lesi atau berupa nyeri menjalar
sesuai saraf yang terangsang. Spasme otot-otot punggung terjadi sebagai
suatu mekanisme pertahanan menghindari pergerakan pada vertebra. Saat
penderita tidur, spasme otot hilang dan memungkinkan terjadinya
pergerakan tetapi kemudian timbul nyeri lagi. Gejala ini dikenal sebagai
night cry, umumnya terdapat pada anakGejala lokal sesuai dengan lokasi
vertebra yang terkena penyakit. (Vitriana,2002)
Pada vertebra servikal.dapat ditemukan gejala kaku leher , nyeri vertebra
yang menjalar ke oksipital atau lengan,yang dirasakan lebih hebat bila
kepala ditekan kearah kaudal. Kemudian dapat terjadi deformitas, lordosis-
normal akan berkurang dan anak menopang kepalanya dengan lengan,
abses retrofaringeal atau servikal, paralisa lengan diikuti oleh paralisa
tungkai. Gejala neurologik dapat terjadi karena, subluksasi antar vertebra,
penekanan medula spinalis atau radiks saraf serta diskus oleh tulang,
terbentuknya abses, reaksi terhadap infeksi lokal, terjadinya vaskulitis
tuberkulosaPada vertebra servikal bawah dan torakal atas, ditemukan
gejala lokal, misalnya kekakuan kifosis angular sampai gibbus, nyeri
sepanjang pleksus brakialis. Abses retrofaringeal,supraklavikular dan
mediastinal jarang menyebabkan gangguan saraf spinal. Bila terjadi
penekanan saraf simpatis, akan timbul sindrom Horner dan kaku leher.
Pada daerah torakal dan lumbal dapat ditemukan kifosis angular sampai

7
gibbus, nyeri pada daerah tersebut dapat menyebar ke ekstrimitas bawah,
khususnya daerah lateral paha. Juga dapat ditemukan abses iliaka atau
abses psoas. Pada daerah lumbosakral dapat dijumpai gejala lokal
misalnya deformitas, nyeri yang menyebar ke ekstrimitas bawah, abses
psoas, dan gangguan gerak pada sendi panggul. (Vitriana,2002)

2.6 KLASIFIKASI
Klasifikasi spondilitis TB telah dilakukan beberapa pihak dengan tujuan
untuk menentukan deskripsi keparahan penyakit, prognosis dan tatalaksana.
Klasifi kasi Pott’s paraplegia disusun untuk mempermudah komunikasi antar
klinisi dan mempermudah deskripsi keparahan gejala klinis pasien spondilitis TB.

Tabel 1. Klasifikasi pott’s paraplegia


Klasifikasi klinikoradiologis untuk memperkirakan durasi perjalan penyakit
berdasarkan temuan klinis dan temuan radiologis pasien. Klasifikasi menurut
Gulhane Askeri Tip Akademisi (GATA) baru-baru ini telah disusun untuk
menentukan terapi yang dianggap paling baik untuk pasien yang bersangkutan.
Sistem klasifi kasi ini dibuat berdasarkan kriteria klinis dan radiologis, antara lain:
formasi abses, degenerasi diskus, kolaps vertebra, kifosis, angulasi sagital,
instabilitas vertebra dan gejala neurologis; membagi spondilitis TB menjadi tiga
tipe (I, II, dan III). (WHO,2005)

8
Tabel 2. Klasifikasi klinikoradiologis
Untuk menilai derajat keparahan, memantau perbaikan klinis, dan
memprediksi prognosis pasien spondilitis TB dengan cedera medula spinalis,
dapat digunakan klasifikasi AmericanSpinal Injury Association (ASIA)
impairmentscale. Sistem ini adalah pembaruan dari sistem klasifi kasi Frankel dan
telah diterima secara luas. ASIA impairment scale membagi cedera medula
spinalis menjadi 5 tipe (A, cedera medula spinalis komplit, B – D, cedera medula
spinalis inkomplit, E, normal). Hasil penelitian tentang prognosis pasien dengan
cedera medula spinalis menyatakan bahwa pasien dengan cedera medula spinalis
ASIA A, hanya memiliki paling tinggi lima persen kemungkinan menjadi ASIA D,
20 – 50 persen pada ASIA B untuk menjadi ASIA D dalam 1 tahun, 60 – 75
persen pada ASIA C untuk menjadi ASIA D dalam 1 tahun. (WHO,2005)

9
Tabel 3. Klasifikasi AmericanSpinal Injury Association(ASIA) impairmentscale

2.7 DIAGNOSIS
Diagnosis dini spondilitis TB sulit ditegakkan dan sering disalahartikan
sebagai neoplasmaspinal atau spondilitis piogenik lainnya. Ironisnya, diagnosis
biasanya baru dapat ditegakkan pada stadium lanjut, saat sudah terjadi deformitas
tulang belakang dan defi sit neurologis.(Zuwanda,2013)
Penegakan diagnosis seperti pada penyakitpenyakit pada umumnya melalui
anamnesis, pemeriksaan fisik, diikuti dengan pemeriksaan penunjang.
Keberhasilan melakukan diagnosisdini menjanjikan prognosis yang lebih
baik.Diagnosa dibuat berdasarkan temuan klinis dengan tingkat kecurigaan yang
tinggi didaerah endemis, dengan keluhan nyeri dan tanda-tanda infeksi sistemik
lainnya disertai dengan hasil pemeriksaan hematologis, radiologis, bakteriologis
dan histipatologis. (Zuwanda,2013)
Diagnosa untuk tuberkulosis diluar paru (extra pulmonal tuberculosis)
termasuk spondilitis tuberkulosa dapat dikatakan pasti bila secara klinis, dan hasil
pemeriksaan penunjang menunjukkan hasil positif. Jika hasil pemeriksaan
bakteriologis dan histopatologis negatif maka disebut sebgai kasus tuberkulosis
ekstra paru tersangka. (Zuwanda,2013)

10
2.8 ANAMNESIS PEMERIKSAAN FISIK
Nyeri punggung belakang adalah keluhan yang paling awal, sering tidak
spesifik dan membuat diagnosis yang dini menjadi sulit. Maka dari itu, setiap
pasien TB paru dengan keluhan nyeri punggung harus dicurigai mengidap
spondilitis TB sebelum terbukti sebaliknya. Selain itu, dari anamnesis bisa
didapatkan adanya riwayat TB paru, atau riwayat gejalagejala klasik (demam
lama, diaforesis nokturnal, batuk lama, penurunan berat badan) jika TB paru
belum ditegakkan sebelumnya. Demam lama merupakan keluhan yang paling
sering ditemukan namun cepat menghilang (satu hingga empat hari) jika diobati
secara adekuat.24 Paraparesis adalah gejala yang biasanya menjadi keluhan
utama yang membawa pasien datang mencari pengobatan. Gejala neurologis
lainnya yang mungkin: rasa kebas, baal, gangguan defekasi dan miksi.
Pemeriksaan fisik umum dapat menunjukkan adanya fokus infeksi TB di paru
atau di tempat lain, meskipun pernah dilaporkan banyak spondilitis TB yang
tidak menunjukkan tandatanda infeksi TB ekstraspinal. Pernapasan cepat dapat
diakibatkan oleh hambatan pengembangan volume paru oleh tulang belakang
yang kifosis atau infeksi paru oleh kuman TB. Infiltrat paru akan
terdengarsebagai ronkhi, kavitas akan terdengar sebagai suara amforik atau
bronkial dengan predileksidi apeks paru. Kesegarisan (alignment) tulang
belakang harus diperiksa secara seksama. Infeksi TB spinal dapat menyebar
membentuk abses paravertebra yang dapat teraba, bahkan terlihat dari luar
punggung berupa pembengkakan. Permukaan kulit juga harus diperiksa secara
teliti untuk mencari muara sinus/fi stel hingga regio gluteal dan di bawah inguinal
(trigonum femorale). Tidak tertutup kemungkinan abses terbentuk di anterior
rongga dada atau abdomen. Terjadinya gangguan neurologis menandakan bahwa
penyakit telah lanjut, meski masih dapat ditangani. Pemeriksaan fi sik neurologis
yang teliti sangat penting untuk menunjang diagnosis dini spondilitis TB.
(Zuwanda,2013)
Pada pemeriksaan neurologis bisa didapatkan gangguan fungsi motorik,
sensorik, dan autonom. Kelumpuhan berupa kelumpuhan upper motor neuron
(UMN), namun pada presentasi awal akan didapatkan paralisis flaksid, baru

11
setelahnya akan muncul spastisitas dan refleks patologis yang positif.
Kelumpuhan lower motor neuron (LMN) mononeuropati mungkin saja terjadi
jika radiks spinalis anterior ikut terkompresi. Jika kelumpuhan sudah lama, otot
akan atrofi , yang biasanya bilateral. Sensibilitas dapat diperiksa pada tiap
dermatom untuk protopatis (raba, nyeri, suhu), dibandingkan ekstremitas atasdan
bawah untuk proprioseptif (gerak, arah, rasa getar, diskriminasi 2 titik). Evaluasi
sekresi keringat rutin dikerjakan untuk menilai fungsi saraf autonom.
(Zuwanda,2013)

2.9 PEMERIKSAAN PENUNJANG


 Pemeriksaan Radiologi
Radiologi hingga saat ini merupakan pemeriksaan yang paling menunjang
untuk diagnosis dini spondilitis TB karena memvisualisasi langsung
kelainan fi sik pada tulang belakang. Terdapat beberapa pemeriksaan
radiologis yang dapat digunakan seperti sinar-X, Computed Tomography
Scan (CTscan), dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Pada infeksi TB
spinal, klinisi dapat menemukan penyempitan jarak antar diskus
intervertebralis, erosi dan iregularitas dari badan vertebra, sekuestrasi,
serta massa para vertebra. Pada keadaan lanjut, vertebra akan kolaps ke
arah anterior sehingga menyerupai akordion (concertina), sehingga disebut
jugaconcertina collapse. (Mansjoer Arif,2000)

 Sinar-X
Sinar-X merupakan pemeriksaan radiologisawal yang paling sering
dilakukan dan bergunauntuk penapisan awal. Proyeksi yang
diambilsebaiknya dua jenis, proyeksi AP dan lateral.Pada fase awal, akan
tampak lesi osteolitikpada bagian anterior badan vertebra danosteoporosis
regional. Penyempitan ruangdiskus intervertebralis menandakan
terjadinyakerusakan diskus. Pembengkakan jaringanlunak sekitarnya
memberikan gambaranfusiformis.Pada fse lanjut, kerusakan bagian
anterior semakinmemberat dan membentuk angulasikifotik (gibbus).

12
Bayangan opak yang memanjangparavertebral dapat terlihat,
yangmerupakan cold abscess.Namun, sayangnyasinar-X tidak dapat
mencitrakan cold abscessdengan baik . Dengan proyeksilateral, klinisi
dapat menilai angulasi kifotik diukurdengan metode Konstam. (Mansjoer
Arif,2000)

13
 CT Scan
CT-scan dapat memperlihatkan dengan jelas sklerosis tulang, destruksi
badan vertebra, abses epidural, fragmentasi tulang, dan penyempitan
kanalis spinalis (gambar 4). CT myelography juga dapat menilai dengan
akurat kompresi medula spinalis apabila tidak tersedia pemeriksaan MRI.
Pemeriksaan ini meliputi penyuntikan kontras melalui punksi lumbal ke
dalam rongga subdural, laludilanjutkan dengan CT scan.27 Selain hal yang
disebutkan di atas, CT scan dapat juga berguna untuk memandu tindakan
biopsi perkutan dan menentukan luas kerusakan jaringan tulang.27
Penggunaan CT scan sebaiknya diikuti dengan pencitraan MRI untuk
visualisasi jaringan lunak. (Mansjoer Arif,2000)

 MRI
MRI merupakan pencitraan terbaik untuk menilai jaringan lunak. Kondisi
badan vertebra,diskus intervertebralis, perubahan sumsum tulang,
termasuk abses paraspinal dapat dinilai dengan baik dengan pemeriksaan
ini. Untuk mengevaluasi spondilitis TB, sebaiknya dilakukan pencitraan
MRI aksial, dan sagital yang meliputi seluruh vertebra untuk mencegah
terlewatkannya lesi noncontiguous.

14
MRI juga dapat digunakan untuk mengevaluasi perbaikan jaringan.
Peningkatan sinyal- T1 pada sumsum tulang mengindikasikan pergantian
jaringan radang granulomatosa oleh jaringan lemak dan perubahan MRI
ini berkorelasi dengan gejala klinis. Bagaimana membedakan spondilitis
TB dari spondilitis lainnya melalui MRI akan dijelaskan pada bagian
diagnosis diferensial setelah ini. (Mansjoer Arif,2000)

 Biopsi dan pemeriksaan mikrobiologis


Untuk memastikan diagnosis secara pasti, perlu dilakukan biopsi tulang
belakang atau aspirasi abses. Biopsi tulang dapat dilakukan secara
perkutan dan dipandu dengan CT scan atau fluoroskopi. Spesimen
kemudian dikirim ke laboratorium untuk pemeriksaan histologis, kultur
dan pewarnaan basil tahan asam (BTA), gram, jamur dan tumor. Kultur
BTA positif pada 60–89 persen kasus. Studi histologi jaringan penting
untuk memastikan diagnosis jika kultur negatif, pewarnaan BTA negatif,
sekaligus menyingkirkan diagnosis banding lainnya. Temuan histologi
pada infeksi TB jaringan adalah akumulasi sel epiteloid (granuloma

15
epiteloid), sel datia langhans dan nekrosis kaseosa. Sel epiteloid adalah sel
mononuklear yang mem-fagositosis basil tuberkulosis dengan sisa-sisa
lemak kuman pada sitoplasmanya. Granuloma epiteloid dapat ditemukan
pada 89 persen spesimen yang merupakan gambaran khas histologi infeksi
TB. Superinfeksi kuman piogenik telah dilaporkan pada beberapa kasus.
Jika biopsi jarum tidak dapat memastikan diagnosis, biopsi bedah yang
diikuti dengan kultur dapat dipertimbangkan. biopsi bedah umumnya
dilakukan pada keadaan dimana biopsi jarum sangat berbahaya dan tidak
menghasilkan spesimen (dry tap). Kultur umumnya memerlukan waktu
yang relatif lama, yaitu 2 minggu. Kultur sebaiknya diikuti dengan uji
resistensi OAT. Spesimen yang cocok untuk dijadikan kultur adalah organ-
organ dalam, tulang, pus, cairan sinovial, atau jaringan sinovial. Media
yang dapat digunakan adalah media berbasis telur, seperti media
Lowenstein-Jensen dan media berbasis cairan, seperti Becton- Dickinson
dan BACTECTM. Pajanan pasien dengan fluorokuinolon sebelumnya
akanmemperlambat pertumbuhan kultur hingga 2 minggu. (Mansjoer
Arif,2000)

 Pemeriksaan laboratoris
Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat digunakan untuk mendeteksi
DNA kuman tuberkulosis. Lain halnya dengan kultur yang memerlukan
waktu lama, pemeriksaan ini sangat akurat dan cepat (24 jam), namun
memerlukan biaya yang lebih mahal dibandingkan pemeriksaan lainnya.
Prinsip kerja PCR adalah memperbanyak DNA kuman secara eksponensial
sehingga dapat terdeteksi meski kuman dalam jumlah yang sedikit (10
hingga 1000 kuman). PCR memiliki sensitivitas sekitar 80 –98 persen dan
spesifi sitas 98 persen. Pemeriksaan imunologi seperti deteksi antigen
excretory-secretory ES-31 mycobacterial, IgG anti-TB, IgM anti-TB, IgA
anti-TB, dan antigen 31 kDa dikatakan dapat berguna, namun
efektivitasnya masih diuji lebih lanjut. Pemeriksaan penunjang lainnya

16
meliputi studi hematologis. Laju endap darah (LED) biasanya meningkat,
namun tidak spesifik menunjukkan proses infeksi granulomatosa TB.
Peningkatan kadar C-reactive protein (CRP) diasosiasikan kuat dengan
formasi abses. Uji Mantoux positif pada sebagian besar pasien (84–95
persen) namun hanya memberi petunjuk tentang paparan kuman. TB
sebelumnya atau saat ini. Spesimen sputum memberikan hasil positif
hanya jika proses infeksi paru sedang aktif. Studi di Malaysia
mengemukakan bahwa kelainan hematologis yang paling sering
ditemukan pada pasien spondilitis TB adalah anemia normositik
normokrom, trombositosis dengan/tanpa peningkatan LED dan
leukositosis. (Mansjoer Arif,2000)

2.10 PENATALAKSANAAN
a. Terapi Konservatif
Pengobatan konservatif yang ketat dapat memberikan hasil yang cukup
baik
 Istirahat di Tempat Tidur
Istirahat dapat dilakukan dengan memakaigips terutama pada keadaan akut
atau fase aktif.Istirahat ditempat tidur dapat berlangsung 3 – 4minggu,
sampai dicapai keadaan yang tenangsecara klinis, radiologis dan
laboratoris. Nyeriakan berkurang, spasme otot-otot
paravertebralmenghilang, nafsu makan pulih dan berat badanmeningkat.,
suhu tubuh normal. Secaralaboratoris, laju endap darah menurun,
tesmantoux diameter < 10 mm. Pada pemeriksaanradiologis tidak dijumpai
penambahan destruksitulang, kavitasi ataupun sekuester. ( Zuwanda,2013)

 Kemoterapi Anti Tuberkulosa


Tujuan pemderian obat antituberkulosa (OAT) secara umum adalah:
1. Menyembuhkan penderita dalam waktu singkat dengan gangguan yang
minimal
2. Mencegah kematian akibat penyakit atau oleh efek lanjutannya.

17
3. Mencegah kekambuhan
4. Mencegah timbulnya kuman yang resisten
5. Melindungi masyarakat dari penularan
Pemberian OAT harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Terapi sedini mungkin
2. Obat-obat dalam bentuk kombinasi
3. Diberikan secara teratur
4. Dosis harus cukup
5. Diberikan sesuai jangka waktu pemberiannya.
WHO memeberikan panduan penggunaan OAT berdasarkan berat
ringannya penyakit
1. Kategori I adalah tuberkulosis yang berat, termasuk tuberkulosis paru
yang luas, tuberkulosis milier, tuberkulosis disseminata, tuberkulosis
disertai diabetes mellitus dan tuberkulosis ekstrapulmonal termasuk
spondilitis tuberkulosa.
2. Kategori II adalah tuberkulosis paru yang kambuh atau gagal dala
pengobatan.
3. Kategori III adalah tuberkulosis paru tersangka aktif.

Paduan OAT untuk spondilitis tuberkulosa sesuai dengan Kategori I seperti


dalam Tabel 1. INH diberikan sampai 12 bulan.Streptomycin hanya
sebagai kombinasi terakhir Atau tambahan pada regimen yang ada.
Disamping itu ada OAT tambahan tetapi kemampuannya lemah misalnya
Kanamycin, PAS, Thiazetazone, ethionamide, dan
quinolone( Zuwanda,2013)

18
Tabel 6. Panduan OAT untuk tiap kategori

Tabel 7. Dosis OAT

Tabel 8. Tabel dosis OAT anak dan dewasa


 Immobilisasi
Pemasangan gips bergantung pada level lesi, pada daerah servikal dapat
dilakukan torakal, torakolumbal dan lumbal atas immobilisasi dengan
body jacket atau gips korset disertai fiksasi pada salah satu panggul.
Immobilisasi pada umumnya berlangsung 6 bulan, dimulai sejak penderita
diizinkan berobat jalan.
Selama pengobatan penderita menjalani kontrol berkala dan dilakukan
pemeriksaan klinis, radiologis dan laboratoris. Bila dalam pengamatan
tidak tampak kemajuan, maka perlu difikirkan kemungkinan resistensi
obat, adanya jaringan kaseonekrotik dan sekuester, nutrisi yang kurang
baik, makan obat tidak berdisiplin( Zuwanda,2013)

19
 TERAPI OPERATIF
Tujuan terapi operatif adalah menghilangkan sumber infeksi, mengkoreksi
deformitas, menghilangkan komplikasi neurologik dan kerusakan lebih
lanjut. Salah satu tindakan bedah yang penting adalah debridement yang
bertujuan menghilangkan sumber infeksi dengan cara menbuang semua
debri dan jaringan nekrotik, benda asing dan mikro-organisme.
Indikasi operasi:
1. Jika terapi konservatif tidak memberikan hasil yang memuaskan, secara
klinis dan radiologis memburuk.
2. Deformitas bertambah, terjadi destruksi korpus multipel.
3. Terjadinya kompresi pada medula spinalis dengan atau tidak dengan
defisit neurologik, terdapat abses paravertebral
4. Lesi terletak torakolumbal, torakal tengah dan bawah pada penderita
anak. Lesi pada daerah ini akan menimbulkan deformitas berat pada anak
dan tidak dapat ditanggulangi hanya dengan OAT.
5. Radiologis menunjukkan adanya sekuester, kavitasi dan kaseonekrotik
dalam jumlah banyak. ( Zuwanda,2013)

20
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Spondilitis merupakan peradangan tulang belakang atau vertebrae akibat
kuman mikobakterium tuberkulosis, penyakit ini disebut juga penyakit Pott
terutama bila disertai paraplegia atau defisit neurologis, peradangannya sering
ditemukan pada vertebra torakalis akhir dan awal dari vertebra lumbal (Th8 – L3),
hal ini dikarenakan pada spondilitis terutama terjadi pada tulang – tulang yang
menopang berat badan dan bergerak aktif. Diagnosis biasanya baru dapat
ditegakkan pada stadium lanjut, saat sudah terjadi deformitas tulang belakang
yang berat dan defisit neurologis yang bermakna seperti paraplegia. Tata laksana
spondilitis TB secara umum adalah kemoterapi dengan Obat Anti Tuberkulosis
(OAT), imobilisasi, dan intervensi bedah ortopedi/ saraf.

21
DAFTAR PUSTAKA

Jain Sahilesh. Spinal Tuberkulosis and Management. pdf. 2013: S 1 - 27

Mansjoer Arif, Suprohaita, Wardhani Wahyu Ika, dkk. Bedah Orthopedi –


Spondilitis Tuberkulosis, dalam Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga Jilid
Kedua. Media Aesculapius FK Universitas Indonesia, Jakarta. 2000 : 360.

Paramarta I. G. E, dkk. Spondilitis Tuberkulosis. Dalam Sari Pediatri. Vol.10.


No.3. Oktober 2008 : P 177 – 183.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan


Penatalaksanaan di Indonesia.Grafika. Jakarta. 2006. hal. 5

Vitriana. Spondilitis Tuberkulosis. Dalam Jurnal Bagian Ilmu Kedokteran


Fisik dan Rehabilitasi. FK Universitas Indonesia, Jakarta. 2002: P 1 – 27.

Zuwanda, Janitra Raka. Diagnosis dan Penatalaksanaan Spondilitis


Tuberkulosis. Dalam: Cermin Dunia Kedokteran-208. Vol. 40. No.9. 2013 : P 661
– 672.

22

Anda mungkin juga menyukai