Msdm28 Tugas3 Eko Mardianto 024861956
Msdm28 Tugas3 Eko Mardianto 024861956
NIM : 024861956
MATA KULIAH : MSDM
1. Apa saja kesalahan dan bias yang umum terjadi dalam penilaian kinerja? Bagaimana
cara mengatasinya
Bias ini terjadi ketika opini personal penilai terhadap karyawan mempengaruhi ukuran kinerja.
Sebagai contoh, jika seorang penilai menyukai seorang karyawan, maka opini tersebut bisa jadi
mengalami distorsi estimasi terhadap kinerja karyawan itu. Masalah ini sering meringankan atau
memberatkan ketika para penilai harus menilai karakter kepribadian teman–teman mereka, atau
seseorang yang sangat tidak disukainya.
Beberapa penilai tidak menyukai untuk menilai karyawan apakah dalam kondisi efektif
atau dalam kondisi rata–rata. Dalam bentuk penilaian, distorsi ini menyebabkan para penilai
untuk menghindari penilaian ekstrem, seperti nilai amat buruk dan sempurna. Sebagai gantinya
mereka menempatkan angka–angka penilaiannya dekat dengan rata–rata. Inilah yang disebut
bias atau kesalahan menilai. Padahal ini mengakibatkan kerugian pada karyawan yang memang
secara obyektif memiliki kinerja tinggi.
Bias kemurahan hati terjadi ketika para penilai cenderung begitu mudah dalam menilai kinerja
para karyawan. Beberapa penilai melihat semua karyawan adalah baik dan memberikan penilaian
yang menyenangkan. Bias ketegasan hati merupakan hal yang sebaliknya. Hal itu merupakan
hasil dari para penilai yang begitu keras dalam evaluasinya. Sering disebut “kikir” dalam
menilai. Kedua bentuk bias ini lebih umum terjadi ketika standar kinerja tidak jelas.
d. Bias Lintas Budaya
Tiap penilai memiliki harapan tentang perilaku manusia yang didasarkan pada budayanya.
Ketika orang–orang diharapkan untuk mengevaluasi yang lainnya dari kultur yang berbeda,
mereka mungkin menggunakan harapan budayanya kepada seseorang yang memiliki
kepercayaan atau perilaku yang berbeda. Dengan keragaman budaya yang lebih besar dan
tingginya mobilitas karyawan melintas batas internasional, sumber bias potensial menjadi lebih
mungkin muncul.
e. Prasangka Personal (Contrast Effect)
Ketidaksukaan penilai terhadap sebuah kelompok orang dapat mendistorsi penilaian yang orang
terima. Sebagai contoh, beberapa departemen SDM telah memperhatikan penyelia pria boleh jadi
memberikan penilaian rendah yang tidak semestinya diberikan pada perempuan yang memegang
pekerjaan atau jabatan yang secara tradisi dipegang kaum laki–laki. Kadang–kadang para penilai
tidak sadar akan prasangkanya, dan hal ini membuat bias lebih sulit untuk dibatasi. Meskipun
demikian, para ahli hendaknya memberi perhatian dalam membuat pola penilaian tanpa adanya
unsur prasangka. Prasangka akan mengabaikan penilaian efektif dan dapat melanggar hukum
antidiskriminasi. Hal ini akan melanggar persamaan hak dalam pekerjaan.
Bagaimana mengurangi bias penilai? Manakala ukuran kinerja yang subyektif harus
digunakan, bias dapat dikurangi melalui pelatihan, umpan balik, dan teknik seleksi kinerja yang
lebih baik. Ada tiga langkah pelatihan untuk para penilai, yaitu (1) bias dan penyebabnya harus
jelas, (2) peranan keputusan tentang penilaian kinerja terhadap karyawan harus dijelaskan untuk
menekankan kebutuhan akan kejujuran dan obyektif, dan (3) jika ukuran–ukuran subyektif
digunakan, para penilai harus menggunakannya sebagai bagian dari pelatihan. Sebagai contoh,
pelatihan di ruang kelas membutuhkan evaluasi terhadap pelatih atau video-tape untuk
menunjukkan situasi pekerja dan pekerjaan. Kesalahan kesalahan yang tidak kelihatan selama
evaluasi simulasi kemudian dapat dibetulkan melalui tambahan pelatihan atau konseling.
Sekali ukuran subyektif telah dibahas dan masuk dalam praktik, para penilai harus
memperoleh umpan balik tentang penilaian sebelumnya. Apakah penilaian terbukti secara relatif
akurat atau tidak akurat. Umpan balik akan membantu para penilai menilai perilaku mereka
secara lebih tepat. Departemen SDM juga dapat mengurangi distorsi melalui penyeleksian teknik
penilaian kinerja yang hati–hati. Fokusnya pada teknik penilaian terhadap kinerja masa lalu dan
kinerja masa depan. Umpan balik dapat terjadi ketika yang dinilai berhak untuk memprotes jika
hasil penilaiannya dianggap tidak adil.
b. Distribusi Paksa
Distribusi paksa adalah teknik untuk mendistribusikan penilaian yang dapat dihasilkan
dengan metode apapun. Tetapi, hal ini membutuhkan perbandingan diantara orang-orang
dalam kelompok kerja yang dinilai.
Metode distribusi paksa mempunyai beberapa kekurangan. Salah satunya adalah masalah
seorang supervisor mungkin menolak untuk menempatkan individu manapun dalam
kelompok terbawah atau teratas. Kesulitan juga muncul ketika penilai harus menjelaskan
kepada karyawan mengapa mereka ditempakan dalam satu kelompok dan lainnya
ditempatkan dalam kelompok yang lebih tinggi. Situasi tersebut menyebabkan tuntutan
hukum. Lebih jauh, dalam kelompok kecil, mungkin salah satu mengasumsikan bahwa
distribusi kinerja berbentuk lonceng atau yang lainnya dapat diterapkan. Terakhir dalam
beberapa kasus manajer dapat membuat perbedaan diantara karyawan yang mungkin
sebenarnya tidak ada.
3. Sebelum melakukan program pelatihan, kita perlu melakukan analisis kebutuhan pelatihan
(Training Needs Analysis/TNA). Jelaskan analisis yang dimaksud.
Pelatihan (training) adalah setiap usaha untuk memperbaiki performance pekerja pada suatu
pekerjaan tertentu yang sedang menjadi tanggung jawabnya. Pelatihan sering disamakan
dengan istilah pengembangan, perbedaannya kalau pelatihan langsung terkait dengan
performansi kerja pada pekerjaan yang sekarang, sedangkan pengembangan tidaklah harus.
Pelatihan Iebih terarah pada peningkatan kemampuan dan keahlian SDM organisasi yang
berkaitan dengan jabatan atau fungsi yang menjadi tanggung jawab individu yang
bersangkutan saat ini. Sasaran yang ingin dicapai dan suatu program pelatihan adalah
peningkatan kinerja individu dalam jabatan atau fungsi saat ini. Mengingat bahwa pelatihan
pada dasarnya diselenggarakan sebagai sarana untuk menghilangkan atau setidaknya
mengurangi gap (kesenjangan) antara kinerja yang ada saat ini dengan kinerja standard atau
yang diharapkan untuk dilakukan oleh si pegawai, maka dalam hal ini analisis kebutuhan
pelatihan merupakan alat untuk mengidentifikasi gap-gap yang ada tersebut dan melakukan
analisis apakah gap-gap tersebut dapat dikurangi atau dihilangkan melalui suatu pelatihan.
analisis kebutuhan training merupakan alat untuk memetakan pelatihan dan pengembangan
kebutuhan untuk menumbuhkan bakat di tingkat manapun dalam bisnis untuk memenuhi
kebutuhan bisnis di tahun mendatang. Analisis kebutuhan pelatihan adalah langkah awal
dalam proses siklus yang memberikan kontribusi untuk pelatihan dan strategi pendidikan
karyawan dalam suatu organisasi atau kelompok profesional. Siklus dimulai dengan
konsultasi yang sistematis untuk mengidentifikasi kebutuhan belajar masyarakat dianggap,
diikuti oleh perencanaan program, pengiriman dan evaluasi. Banyak pelatihan telah
dirancang tanpa mengambil kebutuhan peserta menjadi pertimbangan.
Sebaliknya, kebutuhan tenaga kerja atau kebutuhan lembaga pelatihan atau bahkan
kebutuhan pelatih dipandang lebih penting. Kadang-kadang upaya dilakukan untuk
mempertimbangkan kebutuhan pelatihan, namun informasi yang dikumpulkan tidak cukup
atau tidak dari sumber yang paling tepat.
Jika peserta training tidak terlibat, mereka mungkin merasa jauh dari proses belajar dan
kehilangan motivasi. Mereka mungkin tidak memahami konsep pelatihan dan tidak tau pasti
tentang apa yang akan mereka capai di akhir sehingga pelatihan ini tidak mungkin efektif.
Analisis dilakukan pada tahap awal merupakan titik awal yang penting untuk mengetahui
kebutuhan training yang akan dijalankan. Analisis ini dapat membantu untuk
mengidentifikasi sumber informasi terbaik tentang pelatihan kebutuhan.
Karyawan yang sudah memiliki keterampilan yang tepat untuk melakukan tugas tertentu
secara efektif dapat memberikan informasi yang sangat berguna, serta pengawas atau
pengusaha dari peserta traning. Mereka sadar akan perkembangan baru, kesulitan dan
kendala serta para karyawan yang potensial karena mereka paling tahu apa yang mereka
sudah mampu capai dan apa yang mereka ingin lakukan di masa depan.
Tim training akan merancang training yang dapat berkolaborasi dengan para pemangku
kepentingan ini untuk membangun dan struktur acara training secara efektif. Agar analisis
kebutuhan training bisa berjalan dengan tepat maka kuncinya adalah untuk terus mengikuti
pembelajaran yang sedang berlangsung dengan membentuk sistem untuk memantau data
yang telah dikumpulkan. Jika ada anggaran pelatihan yang dikelola secara terpusat,
beberapa informasi ini secara otomatis akan datang ke manajer yang berhubungan dengan
anggaran pelatihan.
Evaluasi yang dilakukan pada umumnya masih bersifat evaluasi dari peserta pelatihan,
dengan cara mengisi kuestioner apakah pelatihan dimaksud sesuai dengan bidang kerjanya,
apakah penyajiannya baik, akomodasi bagus dsb nya. Sedangkan evaluasi yang dilakukan
oleh staf, berupa laporan hasil pelatihan yang ditujukan kepada perusahaan pada umumnya
bernilai “baik”, dengan harapan staf tadi dapat dikirim lagi ke seminar atau pelatihan
berikutnya.
Kita menyadari, bahwa SDM merupakan aset perusahaan, dan untuk meningkatkan
kemampuan dan kualitas SDM, antara lain bisa diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan.
Oleh karena itu diperlukan campur tangan dari Manajemen perusahaan, agar proses evaluasi
pendidikan dan pelatihan ini dapat berjalan lancar. Apalagi bagi perbankan, terdapat aturan
Bank Indonesia, bahwa minimal setiap Bank harus mencadangkan 5% dari BTK (Biaya
Tenaga Kerja) untuk mendidik para karyawannya.
Apabila kita melihat laporan keuangan publikasi Bank-bank , terlihat bahwa angka BTK
cukup tinggi, oleh karena itu besarnya biaya pendidikan yang dikeluarkan harus diimbangi
dengan hasil yang dapat diaplikasikan dilapangan. Disadari, ada pendidikan yang bersifat
konseptual, yang hasilnya tak dapat dilihat langsung, namun akan terlihat pada beberapa
tahun kedepan. Pendidikan yang bersifat aplikatif akan langsung terlihat hasilnya, minimal
terjadi penurunan tingkat kesalahan, atau kinerja unit kerja tersebut meningkat.
5. Jelaskan elemen dasar yang paling sukses dalam program keselamatan kerja menurut
Byars dan Rue (1997).