Anda di halaman 1dari 8

NAMA : EKO MARDIANTO

NIM : 024861956
MATA KULIAH : MSDM
1. Apa saja kesalahan dan bias yang umum terjadi dalam penilaian kinerja? Bagaimana
cara mengatasinya

Bentuk bias penilai meliputi hal – hal berikut.


a. Hallo Effect

Bias ini terjadi ketika opini personal penilai terhadap karyawan mempengaruhi ukuran kinerja.
Sebagai contoh, jika seorang penilai menyukai seorang karyawan, maka opini tersebut bisa jadi
mengalami distorsi estimasi terhadap kinerja karyawan itu. Masalah ini sering meringankan atau
memberatkan ketika para penilai harus menilai karakter kepribadian teman–teman mereka, atau
seseorang yang sangat tidak disukainya.

b. Kesalahan Kecenderungan Penilaian Berlebihan

Beberapa penilai tidak menyukai untuk menilai karyawan apakah dalam kondisi efektif
atau dalam kondisi rata–rata. Dalam bentuk penilaian, distorsi ini menyebabkan para penilai
untuk menghindari penilaian ekstrem, seperti nilai amat buruk dan sempurna. Sebagai gantinya
mereka menempatkan angka–angka penilaiannya dekat dengan rata–rata. Inilah yang disebut
bias atau kesalahan menilai. Padahal ini mengakibatkan kerugian pada karyawan yang memang
secara obyektif memiliki kinerja tinggi.

c. Bias Kemurahan dan Ketegasan Hati

Bias kemurahan hati terjadi ketika para penilai cenderung begitu mudah dalam menilai kinerja
para karyawan. Beberapa penilai melihat semua karyawan adalah baik dan memberikan penilaian
yang menyenangkan. Bias ketegasan hati merupakan hal yang sebaliknya. Hal itu merupakan
hasil dari para penilai yang begitu keras dalam evaluasinya. Sering disebut “kikir” dalam
menilai. Kedua bentuk bias ini lebih umum terjadi ketika standar kinerja tidak jelas.
d. Bias Lintas Budaya
Tiap penilai memiliki harapan tentang perilaku manusia yang didasarkan pada budayanya.
Ketika orang–orang diharapkan untuk mengevaluasi yang lainnya dari kultur yang berbeda,
mereka mungkin menggunakan harapan budayanya kepada seseorang yang memiliki
kepercayaan atau perilaku yang berbeda. Dengan keragaman budaya yang lebih besar dan
tingginya mobilitas karyawan melintas batas internasional, sumber bias potensial menjadi lebih
mungkin muncul.
e. Prasangka Personal (Contrast Effect)

Ketidaksukaan penilai terhadap sebuah kelompok orang dapat mendistorsi penilaian yang orang
terima. Sebagai contoh, beberapa departemen SDM telah memperhatikan penyelia pria boleh jadi
memberikan penilaian rendah yang tidak semestinya diberikan pada perempuan yang memegang
pekerjaan atau jabatan yang secara tradisi dipegang kaum laki–laki. Kadang–kadang para penilai
tidak sadar akan prasangkanya, dan hal ini membuat bias lebih sulit untuk dibatasi. Meskipun
demikian, para ahli hendaknya memberi perhatian dalam membuat pola penilaian tanpa adanya
unsur prasangka. Prasangka akan mengabaikan penilaian efektif dan dapat melanggar hukum
antidiskriminasi. Hal ini akan melanggar persamaan hak dalam pekerjaan.

Bagaimana mengurangi bias penilai? Manakala ukuran kinerja yang subyektif harus
digunakan, bias dapat dikurangi melalui pelatihan, umpan balik, dan teknik seleksi kinerja yang
lebih baik. Ada tiga langkah pelatihan untuk para penilai, yaitu (1) bias dan penyebabnya harus
jelas, (2) peranan keputusan tentang penilaian kinerja terhadap karyawan harus dijelaskan untuk
menekankan kebutuhan akan kejujuran dan obyektif, dan (3) jika ukuran–ukuran subyektif
digunakan, para penilai harus menggunakannya sebagai bagian dari pelatihan. Sebagai contoh,
pelatihan di ruang kelas membutuhkan evaluasi terhadap pelatih atau video-tape untuk
menunjukkan situasi pekerja dan pekerjaan. Kesalahan kesalahan yang tidak kelihatan selama
evaluasi simulasi kemudian dapat dibetulkan melalui tambahan pelatihan atau konseling.
Sekali ukuran subyektif telah dibahas dan masuk dalam praktik, para penilai harus
memperoleh umpan balik tentang penilaian sebelumnya. Apakah penilaian terbukti secara relatif
akurat atau tidak akurat. Umpan balik akan membantu para penilai menilai perilaku mereka
secara lebih tepat. Departemen SDM juga dapat mengurangi distorsi melalui penyeleksian teknik
penilaian kinerja yang hati–hati. Fokusnya pada teknik penilaian terhadap kinerja masa lalu dan
kinerja masa depan. Umpan balik dapat terjadi ketika yang dinilai berhak untuk memprotes jika
hasil penilaiannya dianggap tidak adil.

2. Berikan contoh metode penilaian kinerja karyawan dengan pendekatan komparatif


a. Metode Komparatif
Metode komparatif memerlukan para manajer untuk membandingkan secara langsung
kinerja karyawan mereka terhadap satu sama lain. Sebagai contoh, kinerja seorang operator
pemasukan data (data-entry) akan dibandingkan dengan kinerja dari operator pemasukan
data (data-entry) yang lebih supervisor. Salah satu teknik komparatif adalah penentuan
peringkat.
b. Penentuan Peringkat
Dengan metode penentuan peringkat (ranking), kinerja semua karyawan diurutkan dari
yang tertinggi samai yang terendah. Kekurangan dari metode penentuan peringkat ini
adalah ukuran perbedaan diantara individu-individu tidak didefenisikan dengan jelas.
Sebagai contoh, kinerja dari individu-individu yang mempunyai peringkat kedua dan ketiga
mungkin hanya berbeda sedikit, tetapi kinerja diantara mereka yang mempunyai peringkat
ketiga dan keempat berbeda banyak. Kekurangan ini dapat diatasi pada tingkat tertentu
dengan memberikan angka untuk menunjukkan ukuran jarak. Penentuan peringkat juga
berarti seseorang harus menjadi yang terakhir, yang mengesampingkan kemungkinan bahwa
individu yang mempunyai peringkat terakhir dalam sebuah kelompok mungkin setara
dengan karyawan puncak dalam kelompok lain. Lebih jauh, tugas penetuan peringkat
menjadi sangat sulit jika kelompok yang akan ditentukan peringkatnya sangat besar.

b. Distribusi Paksa

Distribusi paksa adalah teknik untuk mendistribusikan penilaian yang dapat dihasilkan
dengan metode apapun. Tetapi, hal ini membutuhkan perbandingan diantara orang-orang
dalam kelompok kerja yang dinilai.
Metode distribusi paksa mempunyai beberapa kekurangan. Salah satunya adalah masalah
seorang supervisor mungkin menolak untuk menempatkan individu manapun dalam
kelompok terbawah atau teratas. Kesulitan juga muncul ketika penilai harus menjelaskan
kepada karyawan mengapa mereka ditempakan dalam satu kelompok dan lainnya
ditempatkan dalam kelompok yang lebih tinggi. Situasi tersebut menyebabkan tuntutan
hukum. Lebih jauh, dalam kelompok kecil, mungkin salah satu mengasumsikan bahwa
distribusi kinerja berbentuk lonceng atau yang lainnya dapat diterapkan. Terakhir dalam
beberapa kasus manajer dapat membuat perbedaan diantara karyawan yang mungkin
sebenarnya tidak ada.

3. Sebelum melakukan program pelatihan, kita perlu melakukan analisis kebutuhan pelatihan
(Training Needs Analysis/TNA). Jelaskan analisis yang dimaksud.

Pelatihan (training) adalah setiap usaha untuk memperbaiki performance pekerja pada suatu
pekerjaan tertentu yang sedang menjadi tanggung jawabnya. Pelatihan sering disamakan
dengan istilah pengembangan, perbedaannya kalau pelatihan langsung terkait dengan
performansi kerja pada pekerjaan yang sekarang, sedangkan pengembangan tidaklah harus.
Pelatihan Iebih terarah pada peningkatan kemampuan dan keahlian SDM organisasi yang
berkaitan dengan jabatan atau fungsi yang menjadi tanggung jawab individu yang
bersangkutan saat ini. Sasaran yang ingin dicapai dan suatu program pelatihan adalah
peningkatan kinerja individu dalam jabatan atau fungsi saat ini. Mengingat bahwa pelatihan
pada dasarnya diselenggarakan sebagai sarana untuk menghilangkan atau setidaknya
mengurangi gap (kesenjangan) antara kinerja yang ada saat ini dengan kinerja standard atau
yang diharapkan untuk dilakukan oleh si pegawai, maka dalam hal ini analisis kebutuhan
pelatihan merupakan alat untuk mengidentifikasi gap-gap yang ada tersebut dan melakukan
analisis apakah gap-gap tersebut dapat dikurangi atau dihilangkan melalui suatu pelatihan.

analisis kebutuhan training merupakan alat untuk memetakan pelatihan dan pengembangan
kebutuhan untuk menumbuhkan bakat di tingkat manapun dalam bisnis untuk memenuhi
kebutuhan bisnis di tahun mendatang. Analisis kebutuhan pelatihan adalah langkah awal
dalam proses siklus yang memberikan kontribusi untuk pelatihan dan strategi pendidikan
karyawan dalam suatu organisasi atau kelompok profesional. Siklus dimulai dengan
konsultasi yang sistematis untuk mengidentifikasi kebutuhan belajar masyarakat dianggap,
diikuti oleh perencanaan program, pengiriman dan evaluasi. Banyak pelatihan telah
dirancang tanpa mengambil kebutuhan peserta menjadi pertimbangan.

Sebaliknya, kebutuhan tenaga kerja atau kebutuhan lembaga pelatihan atau bahkan
kebutuhan pelatih dipandang lebih penting. Kadang-kadang upaya dilakukan untuk
mempertimbangkan kebutuhan pelatihan, namun informasi yang dikumpulkan tidak cukup
atau tidak dari sumber yang paling tepat.

Jika peserta training tidak terlibat, mereka mungkin merasa jauh dari proses belajar dan
kehilangan motivasi. Mereka mungkin tidak memahami konsep pelatihan dan tidak tau pasti
tentang apa yang akan mereka capai di akhir sehingga pelatihan ini tidak mungkin efektif.
Analisis dilakukan pada tahap awal merupakan titik awal yang penting untuk mengetahui
kebutuhan training yang akan dijalankan. Analisis ini dapat membantu untuk
mengidentifikasi sumber informasi terbaik tentang pelatihan kebutuhan.

Karyawan yang sudah memiliki keterampilan yang tepat untuk melakukan tugas tertentu
secara efektif dapat memberikan informasi yang sangat berguna, serta pengawas atau
pengusaha dari peserta traning. Mereka sadar akan perkembangan baru, kesulitan dan
kendala serta para karyawan yang potensial karena mereka paling tahu apa yang mereka
sudah mampu capai dan apa yang mereka ingin lakukan di masa depan.

Tim training akan merancang training yang dapat berkolaborasi dengan para pemangku
kepentingan ini untuk membangun dan struktur acara training secara efektif. Agar analisis
kebutuhan training bisa berjalan dengan tepat maka kuncinya adalah untuk terus mengikuti
pembelajaran yang sedang berlangsung dengan membentuk sistem untuk memantau data
yang telah dikumpulkan. Jika ada anggaran pelatihan yang dikelola secara terpusat,
beberapa informasi ini secara otomatis akan datang ke manajer yang berhubungan dengan
anggaran pelatihan.

4. Jelaskan bagaimana anda dapat mengevaluasi program training dan development?


Beberapa pimpinan instansi/perusahaan bertanya-tanya mengapa anak buah yang dikirim
untuk mengikuti pelatihan tapi hasilnya tak sepadan dengan peningkatan kinerjanya. Untuk
itu berikut ini disajikan beberapa hal yang diperlukan untuk mengevaluasi sebuah pelatihan,
agar ada perbaikan di masa yang akan datang.

Evaluasi yang dilakukan pada umumnya masih bersifat evaluasi dari peserta pelatihan,
dengan cara mengisi kuestioner apakah pelatihan dimaksud sesuai dengan bidang kerjanya,
apakah penyajiannya baik, akomodasi bagus dsb nya. Sedangkan evaluasi yang dilakukan
oleh staf, berupa laporan hasil pelatihan yang ditujukan kepada perusahaan pada umumnya
bernilai “baik”, dengan harapan staf tadi dapat dikirim lagi ke seminar atau pelatihan
berikutnya.

Pada dasarnya, evaluasi setiap program pelatihan dapat dilakukan, dengan


memperoleh feedback dari peserta, yang dapat dibagi menjadi 4 (empat) level, sebagai
berikut:
1. Evaluasi pada tingkat reaksi (Reaction level). Pada evaluasi ini yang diukur dan
dinilai adalah reaksi peserta. Dalam hal ini diukur tingkat kepuasan peserta terhadap
program pelatihan yang diselenggarakan, sehingga dapat dilakukan perbaikan atas
program tersebut.
2. Evaluasi pada tingkat pembelajaran (Learning Level).Evaluasi ini dilakukan
dengan tujuan utama mengukur seberapa jauh perubahan kompetensi para peserta
segera setelah pelatihan berakhir, sebelum mereka kembali bekerja. Dengan kata
lain, tujuan evaluasi pada tingkat ini adalah peningkatan kompetensi peserta dalam
kelas dan untuk mengidentifikasikan keberhasilan komponen sistem pelatihan
(metode, materi, dll).
3. Evaluasi pada tingkat perilaku dalam pekerjaan (On the job behavioral Level).
Evaluasi pada tingkat ini yang diukur adalah pengaruh program pelatihan terhadap
penerapannya ditempat kerja. Dengan kata lain, tujuan evaluasi pada tahap ini
adalah perbaikan perilaku peserta dalam pekerjaan.
4. Evaluasi pada tingkat hasil (Result level). Evaluasi ini dilakukan dengan tujuan
untuk mengukur seberapa jauh peningkatan produktivitas yang dicapai pekerja, serta
unit kerja, setelah mengikuti program pelatihan. Atau untuk menentukan apakah
manfaat pelatihan lebih tinggi dibanding dengan biaya yang telah dikeluarkan.
Pada umumnya kita baru bisa mengukur pada tahap 3, karena untuk menilai sesuai tahap 4
dibutuhkan data base yang bagus, serta keterlibatan dengan pimpinan unit kerja yang telah
mengirimkan stafnya ke pelatihan tersebut. Bagi yang ditempatkan di unit kerja yang profit
oriented, mereka pada umumnya telah disibukkan dengan target-target bisnis, sehingga tak
memungkinkan untuk melibatkan diri secara aktif, baik melalui kuestioner ataupun melalui
penilaian langsung, apakah hasil pelatihan dapat diaplikasikan di bidang pekerjaannya.

Kita menyadari, bahwa SDM merupakan aset perusahaan, dan untuk meningkatkan
kemampuan dan kualitas SDM, antara lain bisa diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan.
Oleh karena itu diperlukan campur tangan dari Manajemen perusahaan, agar proses evaluasi
pendidikan dan pelatihan ini dapat berjalan lancar. Apalagi bagi perbankan, terdapat aturan
Bank Indonesia, bahwa minimal setiap Bank harus mencadangkan 5% dari BTK (Biaya
Tenaga Kerja) untuk mendidik para karyawannya.

Apabila kita melihat laporan keuangan publikasi Bank-bank , terlihat bahwa angka BTK
cukup tinggi, oleh karena itu besarnya biaya pendidikan yang dikeluarkan harus diimbangi
dengan hasil yang dapat diaplikasikan dilapangan. Disadari, ada pendidikan yang bersifat
konseptual, yang hasilnya tak dapat dilihat langsung, namun akan terlihat pada beberapa
tahun kedepan. Pendidikan yang bersifat aplikatif akan langsung terlihat hasilnya, minimal
terjadi penurunan tingkat kesalahan, atau kinerja unit kerja tersebut meningkat.

5. Jelaskan elemen dasar yang paling sukses dalam program keselamatan kerja menurut
Byars dan Rue (1997).

Program keselamatan kerja merupakan pencegahan terhadap keselamatan kerja, artinya


lebih baik mencegah daripada mengobati.Menurut Byars dan Rue (1997) ada 4 elemen dasar
dalam program keselamatan kerja, yaitu:
a.Program harus mendapat dukungan yang tulus baik dari manajemen puncak maupun
manajemen menengah.
b. Harus dinyatakan secara jelas bahwa keselamatan kerja menjadi tanggung jawab
manajemen operasi
c. Sikap positif terhadap keselamatan kerja harus ada data dipelihara. Semua karyawan harus
percaya bahwa program keselamatan kerja adalah bermanfaat dan membuahkan hasil.
d. Setiap orang / departemen harus menguasai program keselamatan kerja dan bertanggung
jawab terhadap pelaksanaannya.
Menurut Byars dan Rue (1997) untuk mempromosikan program keselamatan kerja dengan:
a. Membuat kerja menjadi menarik
b. Mengadakan komisi keselamatan kerja terdiri dari karyawan operatif dan manjemen yang
representative
c. Menyelenggarakan kontes keselamatan kerja
d. Mempublikasikan statistik keselamatan kerja
e. Secara periodik diselenggarakan pertemuan tentang keselamatan kerja
f. Memanfaatkan majalah dinding diseluruh organisasi
g. Berikan dorongan kepada karyawan termasuk supervisor dan manajer untuk meiliki
harapan tinggi terhadap keselamatan kerja.

Anda mungkin juga menyukai