Anda di halaman 1dari 5

ASUHAN KEPERAWATAN PERIOPERATIF PADA

NY K DENGAN ICH (INTRACEREBRAL HEMORRHAGIC) DAN IVH


(INTRAVENTRIKULAR HEMORRHAGIC) DENGAN TINDAKAN
PEMASANGAN VP SHUNT DAN EVD (EXTERNAL VENTRICULAR
DRAINAGE)
DI INSTALASI BEDAH SENTRAL
RSUD K.R.M.T WONGSONEGORO KOTA SEMARANG

Disusun oleh:
Choirun Nisa Nur Aini
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Perdarahan spontan intraserebral non-traumatis atau biasa disebut
intracerebral hemorrhagic (ICH) adalah subtipe stroke yang angka kejadiannya 10-
15% dari semua kejadian stroke (Gonzales, 2013), hal ini membuat ICH menjadi
subtiper stroke paling umum kedua dan terkait dengan mortalitas dan morbiditas
yang tinggi di seluruh dunia (Steiner et al, 2014). ICH merupakan keadaan darurat
medis. Diagnosis yang cepat dan manajemen pasien ICH sangat penting, karena
kemunduran awal umum terjadi pada beberapa jam pertama setelah onset ICH
(Hemphill et al, 2015). Kejadian perdarahan intraserebral (ICH) mencapai sekitar
15% dari 750.000 kasus stroke yang terjadi setiap tahun di Amerika Serikat, dengan
jumlah lebih dari 45.000 pasien per tahun. (Hallevi et al, 2008). ICH lebih sering
terjadi pada lansia dengan etnis Afrika atau Asia. (Elliott & Smith, 2010). Di
Indonesia, diperkirakan setiap tahun terjadi 500.000 penduduk terkena serangan
stroke, sekitar 2,5% atau 125.000 orang meninggal, dan sisanya cacat ringan
maupun berat. Kejadian stroke iskemik sekitar 80% dari seluruh total kasus stroke,
sedangkan kejadian stroke hemoragik hanya sekitar 20% dari seluruh total kasus
stroke (Yayasan Stroke Indonesia, 2012).
Meskipun ICH hanya menyumbang 10% - 30% dari semua pasien dengan
stroke yang dibawa ke rumah sakit, namun ICH adalah salah satu penyebab utama
kematian dan kecacatan stroke. Kematian dari keseluruhan pasien dengan ICH
mendekati 50% pada 30 hari dan sekitar setengah dari semua kematian terkait ICH
terjadi dalam 24 jam pertama setelah perdarahan awal. Pada pasien yang selamat
juga mengalami gangguan fungsional dan kurang dari 20% yang dapat sembuh total
dalam 6 bulan (Elliott & Smith, 2010).
Sekitar 45% ICH spontan dan 25% SAH aneurisma menyebar ke ventrikel.
Pasien dengan ICH dan intraventricular hemorrhage (IVH), mortalitas mencapai
50% sampai 80% (Hinson, Hanley & Ziai, 2010). Pasien dengan IVH dua kali lebih
mungkin memiliki hasil yang buruk dan hampir tiga kali lebih mungkin meninggal
daripada tanpa IVH (Hallevi et all, 2008).
Perdarahan intraventrikular (IVH) adalah tanda prognostik yang sangat
buruk, dengan kematian yang terjadi antara 50% dan 80%. IVH adalah
penyumbang morbiditas dan mortalitas yang signifikan dan independen, namun
terapi yang diarahkan untuk memperbaiki gumpalan intraventrikular terbatas. Pada
kebanyakan kejadian, peningkatan tekanan intrakranial dan hidrosefalus akut yang
disebabkan oleh ICH dikelola dengan penempatan drainase ventrikel eksternal
(EVD) (Dey et al, 2012). Manajemen IVH secara konvensional yaitu dengan
mengelola hipertensi dan tekanan intrakranial sambil menghindari komplikasi
seperti perdarahan ulang dan hidrosefalus. Drainase ekstraventrikular merupakan
penatalaksanaan IVH yang menjanjikan untuk mengurangi volume gumpalan
intraventrikular dan mengelola komplikasi IVH secara bersamaan (Hinson, Hanley
& Ziai, 2010).
Perawatan untuk pasien dengan ICH sama pentingnya dengan penanganan
medis maupun bedah. Tanggung jawab utama perawat yaitu mengawasi perubahan
fisiologis. Pengawasan tersebut salah satunya melalui pemeriksaan CT scan secara
rutin yang membutuhkan kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain dalam
pelaksanaannya. Selain pemantauan perubahan fisiologis kondisi neurologis pasien,
perawat juga bertanggungjawab dalam pengawasan tekanan intra kranial,
pemberian oksigen, dan perubahan tekanan darah. Pemberian titrasi vasoaktif harus
secara ketat diawasi. Pengawasan lain yang dilakukan oleh perawat adalah suhu
tubuh, hipertermi adalah situasi yang harus dihindari. Glukosa darah harus
dikontrol dengan ketat. Insulin untuk mempertahankan keadaan normoglikemik
harus dititrasi dengan hati-hati. Pasien yang mendapat terapi hyperosmolar dengan
manitol atau garam hipertonik harus sering dimonitor elektrolitnya (setidaknya
setiap 6 jam) untuk menjaga keseimbangan elektrolit yang adekuat dan mencegah
komplikasi (Presciutti, 2006).
RSUD K.R.M.T Wongsonegoro Kota Semarang merupakan rumah sakit
tipe B yang memiliki fasilitas Instalasi Bedah Sentral dilengkapi dengan fasilitas
untuk dilakukannya tindakan pembedahan oleh dokter spesialis bedah saraf. Tidak
semua rumah sakit di Semarang melayani kasus bedah saraf. Menurut arsip
administrasi IBS RSUD K.R.M.T Wongsonegoro Kota Semarang, selama periode
Desember 2017-Februari 2018, terdapat 24 kasus bedah saraf, 29,2% diantaranya
merupakan kasus ICH dan tindakan yang diberikan adalah evakuasi hematoma,
EVD atau pemasangan VP shunt.
Dari uraian di atas, penulis tertarik untuk membuat asuhan keperawatan
perioperatif pada pasien ICH yang dilakukan pembedahan EVD dan pemasangan
VP Shunt.

B. TUJUAN PRAKTIK KERJA


1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui secara lengkap asuhan keperawatan perioperatif pada pasien
ICH dan IVH dengan tindakan pembedahan VP shunt dan EVD.
2. Tujuan Khusus
a. Menganalisa bagaimana pengkajian pre operatif pada pasien ICH dengan
pembedahan EVD dan pemasangan VP shunt.
b. Menyusun diagnosa keperawatan perioperatif pada pasien ICH dengan
pembedahan EVD dan VP shunt.
c. Menyusun intervensi keperawatan perioperatif pada pasien ICH dengan
pembedahan EVD dan pemasangan VP shunt.
d. Melakukan implementasi keperawatan perioperatif pada pasien ICH dengan
pembedahan EVD dan pemasangan VP shunt.
e. Melakukan evaluasi keperawatan perioperatif pada pasien ICH dengan
pembedahan EVD dan pemasangan VP shunt.

C. BATASAN PRAKTIK KERJA


Pada penyusunan laporan kasus keperawatan komperehensif program
pendidikan profesi ners ini penulis hanya membahas tentang Asuhan Keperawatan
pada pasien ICH dengan pembedahan VP Shunt dan EVD di Instalasi Bedah Sentral
RSUD K.R.M.T Wongsonegoro pada tanggal 29 Januari – 10 Maret 2018.

D. GAMBARAN UMUM LAHAN PRAKTIK


Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Semarang, Jawa Tengah, kini
dinamai KRMT Wongsonegoro. Wongsonegoro adalah Gubernur Jateng yang
pernah mengalami peristiwa pertempuran 5 hari di Semarang. Peresmian nama baru
dilakukan Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi dalam acara peresmian proyek
pembangunan di lingkungan Pemkot Semarang tahun anggaran 2016 yang digelar
di RSUD KRMT Wongsonegoro.
Pada tahun 1993, diadakan Pembangunan Instalasi Bedah Sentral, Gedung
Radiologi, dan Gedung Perawatan III, hingga mencapi 80 TT.Tahun 1994,
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1183/Menkes/SK/XI/1994 tentang
Penetapan Kelas 41 Rumah Sakit Daerah sebagai Rumah Sakit Umum Kelas D.
Tahun 1995, tarif RS ditetapkan berdasarkan Perda Kotamadya Dati II No 1 Tahun
1995 tanggal 10 Maret 1995 dan jumlah tenaga 197 orang, terdiri dari 9 dokter
spesialis, 2 apoteker, 50 tenaga perawat, 36 tenaga non perawat, 36 orang tenga
teknis dan administrasi, 46 TPHL. Tahun 1996, berdasarkan SK Menkes Nomor
536/Menkes/SK/VI/1996 meningkat menjadi Kelas C. Tahun 2003, peningkatan
status Kelas C menjadi Kelas B berdasarkan SK Menkes Nomo
194/Menkes/SK/II/2003. Tahun 2006, penataan pengelolaan SOTK yang tertuang
dalam Perda Nomor 3 Tahun 2006 tentang Pembentukan SOTK RS Kelas. Tahun
2007, ditetapkan sebagai Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) berdasarkan SK
Walikota Nomor 445/0174/2007 tanggal 18 Juni 2007. Dengan status tersebut,
Rumah Sakit dituntut makin mengedepankan pelayanan kepada masyarakat. Tahun
2010, meraih sertifikasi Penuh Akreditasi 16 Pelayanan serta menerapkan standar
ISO 9001-2008.
Tepat tanggal 4 April 2016, meraih Sertifikat Akreditasi KARS versi 2012
dengan predikat lulus paripurna. Berdasarkan Peraturan Walikota Semarang Nomor
445/1156/2016 Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang berubah nama menjadi
RSUD K.R.M.T. Wongsonegoro Kota Semarang.
Salah satu fasilitas yang dimiliki oleh RSUD K.R.M.T. Wongsonegoro Kota
Semarang yaitu tersedianya Instalasi Bedah Sentral. Kapasitas ruang tindakan
terdapat 6 kamar operasi di gedung utama dan 1 kamar operasi terintregasi dengan
IGD. Luas ruangan 35 x 35 meter persegi. Jenis operasi yang dapat dilakukan
meliputi bedah mata, bedah saraf, bedah ortopedi, bedah umum, bedah mulut,
obstetrik ginekologi, bedah THT, bedah digestif, bedah kepala leher. Jumlah SDM
sebanyak 39 orang terdiri dari 35 perawat, 2 bidan, 1 tenaga administrasi, 1 tata
graha dengan spesifikasi 11 tenaga strata 1, 27 diploma 3, 1 SPK dan 1 SMA.

E. MANFAAT PRAKTIK KERJA


Hasil karya tulis ilmiah ini diharapkan memberikan manfaat yaitu:
1. Laporan ini diharapkan dapat menambah wawasan atau ilmu pengetahuan
dalam pengelolaan klien pada keperawatan perioperatif pada pasien ICH
dengan tindakan pembedahan VP shunt dan EVD.
2. Bagi ilmu keperawatan diharapkan hasil laporan ini dapat dijadikan sebagai
intervensi bagi perawat dalam melakukan penanganan pasien ICH dengan
tindakan VP Shunt dan EVD.

Anda mungkin juga menyukai