Anda di halaman 1dari 1

Serangan Monyet Ekor Panjang di Daerah Istimewa Yogyakarta

Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) merupakan satwa yang sangat adaptif, mampu
beradaptasi pada berbagai habitat. Kemampuan adaptasi yang tinggi ini seringkali menyebabkan
mereka berkonflik dengan manusia. Konflik sering terjadi jika monyet ekor panjang hidup dekat
dengan manusia akibat persaingan dan tumpang tindih kebutuhan diantara keduanya.
Pegunungan Menoreh di Kabupaten Kulonprogo telah lama menjadi habitat monyet ekor
panjang. Beberapa lokasi di Pegunungan Menoreh dapat ditemui populasi monyet ekor panjang
yang seringkali bermasalah dengan masyarakat seperti di Kecamatan Samigaluh, yaitu Dusun
Keceme Desa Gerbosari (Subenuh, 2003). Monyet ekor panjang juga menyerang lahan pertanian
milik masyarakat di Kecamatan Girimulyo, Kecamatan Kalibawang, dan Kecamatan Kokap
(BKSDA, 2012).
Kerusakan tanaman pertanian merupakan kerugian yang umumnya terjadi akibat diserang
oleh monyet ekor panjang. Kerugian akibat konflik ini membuat masyarakat menganggap monyet
sebagai hama. Di Gunungkidul petani melakukan ronda untuk menjaga tanaman pertaniannya dari
serangan monyet ekor panjang (Susmayanti, 2014). Serangan monyet ekor panjang ini juga pernah
diatasi dengan penangkapan oleh Suku Badui namun upaya ini gagal karena beberapa waktu
kemudian satwa ini muncul lagi (Mulyadi, 2011).
Konflik antara manusia-satwa liar terjadi ketika tindakan manusia merugikan bagi satwa
liar, atau sebaliknya. Satwa liar menyebabkan kerugian bagi manusia ketika mereka menyerang
lahan pertanian, lahan ternak, atau gudang penyimpanan makanan. Konflik manusia-satwa liar
juga terjadi ketika manusia melakukan tindakan yang menimbulkan kerugian pada satwa liar,
misalnya ketika habitat satwa liar diubah untuk kepentingan manusia. Terjadinya konflik dapat
disebabkan oleh rusak atau menyempitnya habitat satwa liar akibat aktivitas pembukaan areal dan
konversi lahan. Peluang konflik semakin besar dengan meningkatnya pertumbuhan populasi
manusia yang berimplikasi pada meningkatnya konversi habitat satwa liar menjadi kawasan
pemukiman, perkebunan, pertanian, dan penggunaan lahan lainnya (Widiatmoko, 2013).

Anda mungkin juga menyukai