Anda di halaman 1dari 5

ْ‫ٱّلل أَفَغَي َْر قُل‬

ْ‫ى َه‬ْٓ ‫ٱل َٰ َج ههلُونَْ أَيُّ َها أَعبُ ُْد تَأ ُم ُر ٓونه‬
Katakanlah (wahai Muhammad kepada orang-orang musyrik itu setelah jelas dalil-dalil Allah yang
demikian), patutkah kamu menyuruhku menyembah atau memuja selain daripada Allah, hai orang-
orang yang jahil?”
Tahapan dakwah rosul

 Tahap 1 : dakwah secara sembunyi-sembunyi (3 tahun)


 Tahap 2 : dakwah terang-terangan secara lisan (sampai hijrah ke Madinah, sekitar 7
tahun.
 Tahap 3 : dakwah terang-terangan dengan mengangkat senjata untuk orang-orang yang
menyerang Islam (sampai perjanjian Hudaibiyah)
 Tahap 4 : dakwah terang-terangan dengan senjata untuk menghadapi orang-orang
musyrik, ateis, penyembah berhala yang menghalangi dakwah Islam atau menolak
memeluknya setelah dakwah disampaikan kepada mereka.

Berbeda dengan Ramadhan Al Buthy, Syaikh Shafiyyurahman al -Mubarakfury membagi


tahapan dakwah Rasulullah sebagai berikut:

1. Periode Mekah

 Dakwah sembunyi-sembunyi (tahun 0-3)


 Dakwah terang-terangan di tengah penduduk Mekah (tahun 4-10)
 Dakwah di luar Mekah dan penyebarannya (tahun 11-13)

2. Periode Madinah

 Masa banyak guncangan dan cobaan dari dalam dan luar (berakhir dengan perjanjian
Hudzaibiyah pada tahun 6 H)
 Masa perdamaian dengan para pemimpin paganisme (berakhir dengan Fathu Mekah pada
tahun 8 H)
 Masa masuknya manusia ke dalam Islam dengan berbondong-bondong (berakhir dengan
wafatnya Rasulullah pada tahun 11 H)
Itsar dan Muwasah);

Penulis (al-Imam an-Nawawi rahimahullah) menyebutkan bab ini setelah bab larangan dari sikap
bakhil dan tamak dikarenkan keduanya saling bertolak belakang. Maka yang dimaksud dengan
Itsar adalah seorang mengedepankan orang lain atas dirinya sendiri, sedangkan Muwasah adalah
menolong orang lain dengan bantuannya. Perbuatan itsar lebih utama (dibandingkan muwasah),
tetapi perlu diketahui bahwa sikap itsar itu terbagi menjadi 3 jenis :

Pertama : jenis yang dilarang.


Kedua : dibenci (makruh) atau boleh.
Ketiga : diperbolehkan.

1.) Jenis pertama, yang dilarang : yaitu engkau mendahulukan orang lain pada perkara yang
engkau sendiri wajib untuk mengerjakannya secara syari’at. Maka yang demikian tidak
diperbolehkan engkau mendahulukan selainmu pada perkara yang harus kamu kerjakan sesuai
syari’at.

Contohnya : jika engkau punya air yang cukup digunakan untuk berwudhu’ satu orang saja,
dalam keadaan engkau belum berwudhu’ dan di sana ada temanmu yang belum berwudhu’ juga,
sedangkan air itu adalah milikmu. Maka kemungkinannya, bisa jadi temanmu berwudhu’
sedangkan engkau bertayamum, atau engkau yang berwudhu’ dan temanmu yang bertayamum.
Maka dalam kondisi yang demikian tidak diperbolehkan bagimu untuk memberikan air itu
kepadanya dalam keadaan engkau justru bertayamum. Dikarenakan engkau telah mendapatkan
air itu dan air itu menjadi milikmu, maka tidak diperbolehkan mengganti air tadi dengan
tayamum, kecuali engkau tidak menemukannya.

Maka sikap itsar dalam hal kewajiban-kewajiban syari’at hukumnya adalah haram. Yang
demikian tidak diperbolehkan karena (perbuatan itsar tersebut -ed) menyebabkan engkau tidak
bisa mengerjakan kewajibanmu.

2.) Jenis kedua, yang dibenci atau boleh : yaitu perbuatan itsar pada perkara yang mustahab
(dianjurkan oleh syari’at -ed). Sebagian ahli ilmu memakruhkannya dan sebagian yang lain
membolehkannya, akan tetapi yang lebih utama adalah meninggalkannya tidak diragukan lagi,
kecuali jika di sana ada maslahat.

Contohnya : engkau mempersilahkan orang lain masuk ke shof awal yang engkau tempati, yaitu
engkau berada di shof awal ketika hendak sholat kemudian masuk seseorang, lalu engkau
beranjak dari tempatmu dan mempersilakannya (untuk menempati tempatmu).
Maka sebagian ahli ilmu memakruhkan hal ini dan mengatakan : sungguh hal ini menunjukkan
bahwa orang tersebut tidak suka/berpaling dari kebaikan, sedangkan sikap berpaling dari
kebaikan hukumnya makruh. Karena, bagaimana mungkin engkau bisa mengedepankan yang
selainmu ke tempat yang lebih utama dalam keadaan engkau lebih berhak menempatinya
daripada dia?

Sebagian ulama’ berpendapat : meninggalkannya lebih utama kecuali jika disana ada maslahat,
sebagaimana kalau orang tersebut adalah ayahmu dan engkau khawatir akan ada sesuatu yang
mengganjal di hati ayahmu, kemudian engkau mendahulukannya untuk memperoleh tempat yang
lebih utama, maka yang demikian tidak masalah.

3.) Jenis ketiga, yang diperbolehkan : ini hukumya adalah mubah dan terkadang bisa menjadi
mustahab, yang demikian ketika engkau mendahulukan yang selainmu pada perkara yang bukan
ibadah, yaitu engkau mendahulukan orang lain dan mengedepankannya atas dirimu pada perkara
yang bukan ibadah.

Contohnya : jika engkau mempunyai makanan dalam keadaan engkau lapar, sedangkan temanmu
juga merasa lapar seperti kamu. Maka dalam kondisi yang demikian, jika engkau berbuat itsar,
sungguh engkau terpuji dengan perbuatan itsarmu ini.

Berdasarkan firman Allah tabaraka wa ta’ala tentang sifat orang-orang Anshar :

َ ‫َوالَّذِينَ تَبَ َّو ُءوا الد‬


ِ ‫َّار َو إ‬
َ‫اْلي َمانَ ِم إن قَ إب ِل ِه إم يُ ِحبُّونَ َم إن هَا َج َر ِإلَ إي ِه إم َو ََل يَ ِجدُون‬
ٌ ‫صة‬َ ‫صا‬ َ َ‫ُور ِه إم َحا َجةً ِم َّما أُوتُوا َويُؤإ ثِ ُرون‬
َ ‫علَ ٰى أ َ إنفُ ِس ِه إم َولَ إو َكانَ بِ ِه إم َخ‬ ِ ‫صد‬ ُ ‫فِي‬
﴾٩﴿ َ‫ش َّح نَ إف ِس ِه فَأُو ٰلَئِ َك هُ ُم إال ُم إف ِل ُحون‬
ُ َ‫ۚ َو َم إن يُوق‬
{Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum
(kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada
mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap
apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang
Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dijaga
dari ketamakan jiwanya, mereka itulah orang orang yang beruntung}. (al-Hasyr : 9).

Bentuk itsar mereka atas diri mereka sendiri adalah tatkala orang-orang muhajirin datang ke
Madinah, orang-orang Anshor pun menyambut mereka dengan pemuliaan, penghormatan, dan
sikap itsar dengan harta mereka. Sampai sebagian mereka berkata kepada saudaranya dari
kalangan Muhajirin : kalau engkau mau aku melepaskan salah seorang dari istriku untukmu
maka akan aku lakukan; yaitu mentalaknya. Kemudian orang Muhajirin tersebut menikahinya
setelah selesai masa ‘iddahnya. Ini adalah diantara sikap itsar mereka -radhiyallahu ‘anhum-
yang begitu kuatnya kepada saudara-saudara mereka kaum Muhajirin.

Allah ta’ala juga berfirman :

ً ‫علَ ٰى ُحبِ ِه ِم إس ِكينًا َويَتِي ًما َوأ َ ِس‬


﴾٨﴿‫يرا‬ َ ‫ام‬
َ َ‫الطع‬ ‫َويُ إ‬
َّ َ‫ط ِع ُمون‬
{Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang
yang ditawan}. (al-Insan : 8).
Yaitu, mereka memberi makanan tersebut dalam keadaan mereka sendiri menyukainya, kepada
orang miskin, yatim, dan tawanan, serta meninggalkan diri-diri mereka sendiri. Yang demikian
ini juga termasuk dalam bab itsar”.

Anda mungkin juga menyukai