Anda di halaman 1dari 19

“PEMANFAATAN LINGKUNGAN GLOBAL DALAM

MENINGKATKAN PERAN ADMINISTRASI PUBLIK DALAM


PELAYANAN YANG EFEKTIF”

OLEH :
SADDAM ROBERTO BINU NIM 07012611822001

DOSEN :
DR. ARDIYAN SAPTAWAN, M.SI

PROGRAM STUDI MAGISTER ADMINISTRASI PUBLIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2018
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Selama ini, Public Administration selalu diterjemahkan dengan Administrasi Negara.
Akibat dari terjemahan seperti itu, selama beberapa dekade di Indonesia, orientasi
administrasi negara adalah bagaimana pelayanan kepada negara, dan masyarakat harus
melayani negara, semuanya serba negara sehingga muncul istilah “abdi negara”. Apabila
segala sesuatu diatasnamakan negara, maka hal tersebut sudah harus tuntas, dan direlakan;
semua orang harus berkorban demi negaranya. Dengan demikian, pelayanan yang semula
dikonsep untuk masyarakat umum, terbalik menjadi pelayanan untuk negara. Padahal konsep
awal dari Public Administration sesuai dengan terjemahannya adalah “Administrasi Publik”
yaitu berorientasi kepada masyarakat. Perkembangan terbaru paradigma administrasi publik,
mengarah kepada masyarakat dan berorientasi kepada masyarakat serta berupaya bagaimana
strategi melakukan atau melayani masyarakat (publik). Hal ini sejalan dengan hakekat
pelaksanaan era otonomi, yakni peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat.
Pada dasarnya masyarakat tidak terlalu peduli dengan more regulated atau less
regulated, less governed atau more governed karena kepedulian utama mereka terletak pada
terselesaikannya beragam masalah yang mereka hadapi. Bagi administrasi publik, kondisi ini
merupakan tantangan besar yang harus dihadapi mengingat kebutuhan masyarakat yang
semakin kompleks sementara sumber daya dan kapasitas birokrasi yang berkembang tidak
sebanding dengan perkembangan kebutuhan tersebut. Dalam beberapa tahun terakhir ini,
berkembang beragam pendekatan dalam menghadapi tuntutan ini. Isu manajemen publik dan
public governance (kepemerintahan publik) terus meluas dan menjadi perdebatan hangat
(Khairul Muluk, 2004).

Paradigma Good Governance dalam Pelayanan Publik


Penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik yang dilakukan
oleh pemerintah atau pemerintah daerah, selama ini didasarkan pada paradigma rule
government (pendekatan legalitas). Dalam merumuskan, menyusun dan menetapkan
kebijakan senantiasa didasarkan pada pendekatan prosedur dan keluaran (output), serta dalam
prosesnya menyandarkan atau berlindung pada peraturan perundang-undangan atau
mendasarkan pada pendekatan legalitas. Penggunan paradigma rule government atau
pendekatan legalitas, dewasa ini cenderung mengedepankan prosedur, hak dan kewenangan
atas urusan yang dimiliki (kepentingan pemerintah daerah), dan kurang memperhatikan
prosesnya. Pengertiannya, dalam proses merumuskan, menyusun dan menetapkan kebijakan,
kurang optimal melibatkan stakeholder (pemangku kepentingan di lingkungan birokrasi,
maupun masyarakat).
Penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik menurut
paradigma good governance, dalam prosesnya tidak hanya dilakukan oleh pemerintah daerah
berdasarkan pendekatan rule government (legalitas), atau hanya untuk kepentingan
pemeintahan daerah. Paradigma good governance, mengedepankan proses dan prosedur,
dimana dalam proses persiapan, perencanaan, perumusan dan penyusunan suatu kebijakan
senantiasa mengedepankan kebersamaan dan dilakukan dengan melibatkan seluruh
pemangku kepentingan.
Pelibatan elemen pemangku kepentingan di lingkungan birokrasi sangat penting,
karena merekalah yang memiliki kompetensi untuk mendukung keberhasilan dalam
pelaksanaan kebijakan. Pelibatan masyarakat juga harus dilakukan, dan seharusnya tidak
dilakukan formalitas, penjaringan aspirasi masyarakat tehadap para pemangku kepentingan
dilakukan secara optimal melalui berbagai teknik dan kegiatan, termasuk di dalam proses
perumusan dan penyusunan kebijakan.
Penyelenggaraan kepemerintahan yang baik, pada dasarnya menuntut keterlibatan
seluruh komponen pemangku kepentingan, baik di lingkungan birokrasi maupun di
lingkungan masyarakat. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik, adalah pemerintah yang
dekat dengan masyarakat dan dalam memberikan pelayanan harus sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. Esensi kepemerintahan yang baik (good governance) dicirikan dengan
terselenggaranya pelayanan publik yang baik, hal ini sejalan dengan esensi kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah yang ditujukan untuk memberikan keleluasaan kepada
daerah mengatur dan mengurus masyarakat setempat, dan meningkatkan pelayanan publik.
Kebijakan pelayanan publik di era otonomi daerah sangat strategis dalam upaya
mewujudkan kepemerintahan yang baik, dengan demikian pelayanan publik memiliki nilai
strategis dan menjadi prioritas untuk dilaksanakan. Menjadi pertanyaan, apakah fungsi
pemerintahan yang lainnya tidak strategis dan tidak prioritas? Bukankah dalam
penyelenggaraan pemerintahan juga banyak masalah yang mendesak yang harus ditangani?
Jawabannya tidak sederhana. Tetapi kalau kita memahami essensi kepemerintahan yang baik
dan hubungannya dengan tujuan pemberian otonomi daerah, maka sebenarnya jelas arahnya,
yaitu pemerintah daerah diberi tugas dan fungsi, serta tanggungjawab dan kewajiban untuk
menyelenggarakan pelayanan publik yang baik.
Kinerja manajemen pemerintahan yang buruk, dapat disebabkan berbagai faktor,
antara lain: ketidakpedulian dan rendahnya komitmen top pimpinan, pimpinan manajerial
atas, menengah dan bawah, serta aparatur penyelenggara pemerintahan lainnya untuk
berama-sama mewujudkan tujuan otonomi daerah. Selain itu, kurangnya komitmen untuk
menetapkan dan melaksanakan strategi dan kebijakan meningkatkan kualitas manajemen
kinerja dan kualitas pelayanan publik.
Meningkatnya kualitas pelayanan publik, sangat dipengaruhi oleh kepedulian dan
komitmen pimpinan/top manajer dan aparat penyelenggara pemerintahan untuk
menyelenggarakan kepemerintahan yang baik. Perubahan signifikan pelayanan publik, akan
dirasakan manfaatnya oleh masyarakat dan berpengaruh terhadap meningkatnya kepercayaan
masyarakat kepada pemerintah daerah.
Terselenggaranya pelayanan publik yang baik, memberikan indikasi membaiknya
kinerja manajemen pemerintahan, disisi lain menunjukan adanya perubahan pola pikir yang
berpengaruh terhadap perubahan yang lebih baik terhadap sikap mental dan perilaku aparat
pemerintahan yang berorientasi pada pelayanan publik.
Tidak kalah pentingnya, pelayanan publik yang baik akan berpengaruh untuk
menurunkan atau mempersempit terjadinya KKN dan pungli yang dewasa ini telah merebak
di semua lini ranah pelayanan publik, serta dapat menghilangkan diskriminasi dalam
pemberian pelayanan. Dalam kontek pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat,
perbaikan atau peningkatan pelayanan publik yang dilakukan pada jalur yang benar, memiliki
nilai strategis dan bermanfaat bagi peningkatan dan pengembangan investasi dan mendorong
kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat luas (masyarakat dan swasta).
Paradigma good governance, dewasa ini merasuk di dalam pikiran sebagian besar
stakeholder pemerintahan di pusat dan daerah, dan menumbuhkan semangat pemerintah
daerah untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja mamajemen pemerintahan daerah, guna
meningkatkan kualitas pelayanan publik. Banyak pemerintah daerah yang telah mengambil
langkah-langkah positif didalam menetapkan kebijakan peningkatan kualitas pelayanan
publik berdasarkan prinsip-prinsip good governance.
Paradigma good governance menjadi relevan dan menjiwai kebijakan pelayanan
publik di era otonomi daerah yang diarahkan untuk meningkatkan kinerja manajemen
pemerintahan, mengubah sikap mental, perilaku aparat penyelenggara pelayanan serta
membangun kepedulian dan komitmen pimpinan daerah dan aparatnya untuk memperbaiki
dan meningkatkan pelayanan publik yang berkualitas.
Desentralisasi dan Reformasi Pelayanan Publik
Otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah kewenangan
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan perundang-undangan.
Dengan otonomi daerah berarti telah dipindahkan sebagian besar kewenangan yang tadinya
berada di pemerintah pusat kepada daerah otonom, sehingga pemerintah daerah otonom dapat
lebih cepat dalam merespon tuntutan masyarakat sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
Karena kewenangan membuat kebijakan (perda) sepenuhnya menjadi wewenang daerah
otonom, maka dengan otonomi daerah pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan
pembangunan diharapkan akan dapat berjalan lebih cepat dan lebih berkualitas.
Beberapa aspek yang perlu mendapat perhatian serius dalam pelaksanaan otonomi
daerah antara lain pelayanan publik, formasi jabatan, pengawasan keuangan daerah dan
pengawasan independen. Yang perlu dikedepankan oleh pemerintah daerah adalah bagaimana
pemerintah daerah mampu membangun kelembagaan daerah yang kondusif, sehingga dapat
mendesain standar Pelayanan Publik yang mudah, murah dan cepat. Pelayanan publik
merupakan bagian dari pemerintahan yang baik (good governance) yang salah satu
parameternya adalah cara aparatur pemerintah memberikan pelayanan kepada rakyat. Prinsip
good governance bisa terwujud jika pemerintahan diselenggarakan secara transparan,
responsif, partisipatif, taat hukum (rule of law), sesuai konsensus, nondiskriminasi, akuntabel,
serta memiliki visi yang strategis.
Bila kita mengamati lebih dalam praktik negara atau pemerintah kita terkait dengan
pelayanan publik, maka tampak jelas bahwa arah dan kebijakan layanannya tidak pasti.
Masyarakat atau rakyat pada dasarnya memiliki hak-hak dasar, yang harus menjadi tanggung
jawab pemerintah untuk memenuhinya atau paling tidak terjamin pelaksanaannya. Akan
tetapi, dalam realitasnya, banyak arah dan kebijakan layanan publik tidak ditujukan guna
peningkatan kesejahteraan publik. Namun sebaliknya, layanan publik mendorong masyarakat
atau rakyat untuk “melayani” elit penguasa.
Pemerintah melahirkan berbagai kebijakan dalam bentuk hukum, perundang-
undangan, peraturan-peraturan dan lainnya bertalian dengan layanan publik. Berbagai
kebijakan itu katanya bermaksud hendak melindungi hak-hak warga negara, meskipun dalam
praktiknya banyak yang melanggar kepentingan warga negara, misalnya penggusuran lahan
rakyat untuk bangunan super market. Pengalihan fungsi lahan pertanian menjadi lahan
perumahan dan industri adalah kebijakan layanan publik yang melanggar hak-hak warga,
khususnya kaum tani. Pelayanan publik yang buruk merupakan salah satu bentuk
penyimpangan, penyalahgunaan wewenang, dan maladministrasi.
Maladministrasi adalah tindakan atau perilaku penyelenggara administrasi negara
dalam pemberian pelayanan publik yang bertentangan dengan kaidah serta hukum yang
berlaku. Atau, menyalahgunakan wewenang (detournement de pouvoir) yang menimbulkan
kerugian serta ketidakadilan. Prinsip “kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah” salah
satunya juga dimotivasi perilaku mencari keuntungan sesaat kalangan aparatur pemerintah
yang bertugas memberikan pelayanan publik. Masyarakat yang tidak tahan diperlakukan
demikian oleh pemberi pelayanan publik akhirnya terjebak ikut berbuat tercela dengan
memberikan suap kepada aparat selaku pemberi layanan.
Reformasi pelayanan publik ternyata masih tertinggal dibanding reformasi di berbagai
bidang lainnya. Sistem dan filsafat yang mendasari pelayanan publik di Indonesia tidak hanya
ketinggalan jaman, tetapi juga menghasilkan kinerja dibawah standar dalam masyarakat yang
berubah secara cepat. Kita masih jauh tertinggal dibanding Filipina, Malaysia dan Thailand
dalam indikator-indikator gabungan kualitas birokrasi, korupsi, dan kondisi sosial ekonomi.
Pendidikan, Kesehatan dan Hukum (administrasi) adalah tiga komponen dasar pelayanan
publik yang harus diberikan oleh penyelenggaran negara (pemerintah) kepada rakyat. Hingga
saat ini, pelayanan tersebut tampak belum maksimal. Kondisi iklim investasi, kesehatan, dan
pendidikan saat ini sangat tidak memuaskan, sebagai akibat tidak jelasnya dan rendahnya
kualitas pelayanan yang ditawarkan oleh institusi-institusi pemerintahan. Bahkan muncul
berbagai permasalahan; masih terjadinya diskriminasi pelayanan, tidak adanya kepastian
pelayanan, birokrasi yang terkesan berbelit-belit serta rendahnya tingkat kepuasan
masyarakat. Faktor-faktor penyebab buruknya pelayanan publik selama ini antara lain:
 Kebijakan dan keputusan yang cenderung menguntungkan para elit politik dan sama sekali
tidak pro rakyat.
 Kelembagaan yang dibangun selalu menekankan sekedar teknis-mekanis saja dan bukan
pedekatan pe-martabat-an kemanusiaan.
 Kecenderungan masyarakat yang mempertahankan sikap nrima (pasrah) apa adanya yang
telah diberikan oleh pemerintah sehingga berdampak pada sikap kritis masyarakat yang
tumpul.
 Adanya sikap-sikap pemerintah yang berkecenderungan mengedepankan informality
birokrasi dan mengalahkan proses formalnya dengan asas mendapatkan keuntungan
pribadi.
Salah satu faktor penyebab utama dari keterpurukan sektor perekonomian adalah
masih kuatnya prilaku koruptif di dalam berbagai aspek kehidupan, terutama di sektor
birokrasi dengan salah satu fokus utamanya di sektor pelayanan publik. Konsekuensinya,
timbullah biaya ekonomi tinggi yang berdampak kepada rendahnya daya saing Indonesia
dibandingkan negara berkembang lainnya dalam menarik investasi dan dalam memasarkan
komoditinya baik di dalam negeri maupun ke luar negeri. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi
menjadi terhambat, yang kemudian bermuara pada stagnannya proses peningkatan
kesejahteraan rakyat.
Masih kuatnya perilaku koruptif ini salah satunya dibuktikan dengan dari masih
rendahnya Corruption Perception Index (CPI) Indonesia tahun 2006 yang dikeluarkan oleh
Transparency International Indonesia (TII) , yaitu 2,4 – naik 0,2 point dari CPI tahun 2005.
Sensus pegawai negeri yang baru-baru ini dilakukan oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN)
menunjukkan bahwa ada Penyelanggaraan Pemerintahan kita melibatkan 3,6 juta pegawai
negeri, tetapi anggaran negara menunjukan bahwa jumlahnya hanya sedikit kurang dari 4
juta. Dengan kata lain, hampir 400 ribu pegawai negeri yang ada dalam daftar gaji tidak
bekerja untuk negara. Kenyataan ini memberikan dasar yang kuat untuk menelaah kembali
anggaran kepegawaian, berbagai posisi dan fungsi kepegawaian, serta untuk membangun
rencana strategis menghadapi berbagai ketidakwajaran yang ada, yang memperburuk kondisi
anggaran dan berpengaruh terhadap pelayanan publik.
Pemerintah perlu menyusun Standar Pelayanan bagi setiap institusi di daerah yang
bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat. Deregulasi dan Debirokratisasi mutlak
harus terus menerus dilakukan oleh Pemda, serta perlu dilakukan evaluasi secara berkala agar
pelayanan publik senantiasa memuaskan masyarakat. Ada lima cara perbaikan di sektor
pelayanan publik yang patut dipertimbangkan: Mempercepat terbentuknya UU Pelayanan
Publik, Pembentukan pelayanan publik satu atap (one stop services), Transparansi biaya
pengurusan pelayanan publik, Membuat Standar Operasional Prosedur (SOP), dan reformasi
pegawai yang berkecimpung di pelayanan publik.
Pelaksanaan Otonomi Daerah memungkinkan pelaksanaan tugas umum Pemerintahan
dan tugas Pembangunan berjalan lebih efektif dan efisien serta dapat menjadi sarana perekat
integrasi bangsa. Untuk menjamin agar pelaksanaan otonomi daerah benar-benar mampu
meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, maka segenap lapisan masyarakat baik
mahasiswa, LSM, Pers maupun para pengamat harus secara terus menerus memantau kinerja
Pemda dengan mitranya DPRD agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan mereka sendiri,
transparansi, demokratisasi dan akuntabilitas harus menjadi kunci penyelenggaraan
pemerintahan yang Good dan Clean Government.
Pemerintah memang tidak memiliki paradigma yang jelas dalam soal layanan publik
dan mempertahankan birokrasi yang feodal. Transformasi paradigmatik, disain ulang sistem
dan organisasi layanan publik harus dilakukan agar pemerintah menjadi handal melakukan
kewajiban publiknya. Sejatinya, Excelent Service harus menjadi acuan dalam mendesain
struktur organisasi di pemerintah daerah. Bila semua daerah otonom dapat menyelenggarakan
pemerintahan secara bersih dan demokratis, maka pemerintah kita secara nasional pada suatu
saat nanti akan dapat menjadi birokrasi yang bersih dan profesional sehingga mampu menjadi
negara besar yang diakui dunia.
Dunia saat ini telah berada dalam era yang disebut globalisasi, kondisi dimana terjadi
perubahan signifikan dalam kehidupan suatu masyarakat yang tidak lagi dapat dibatasi oleh
sekedar batas administrasi kewilayahan, karena pesatnya penemuan-penemuan teknologi.
Globalisasi dipengaruhi oleh inovasi teknologi di satu sisi dan persaingan dalam era
perdagangan bebas di sisi lain”. Sementara W.W. Rostow (1960) dengan teorinya tentang
lima tahapan pertumbuhan menunjukkan bahwa suatu komunitas bangsa tingkatan
pertumbuhannya dapat dilihat dari sudut pandang ekonomi dalam lima kategori: “It is
possible to identify all societies, in their economic dimensions, as lying within one of five
categories: the traditional society, the preconditions for take-off, the take-off, the drive to
maturity, and the age of high mass-consumption”.
Sejalan dengan pendapat Rostow, era globalisasi saat ini mengindikasikan bahwa
masyarakat dunia pada umumnya telah memasuki tahapan the age of high mass-consumption
atau tingkatan kelima. Kondisi dimana terjadi pergeseran pada sektor-sektor dominan
terhadap kebutuhan barang dan jasa sejalan dengan peningkatan pendapatan masyarakat.
Sebagian besar masyarakat telah terpenuhi kebutuhan dasarnya yakni sandang, pangan dan
papan serta berubahnya struktur angkatan kerja yang meningkat tidak hanya proporsi jumlah
penduduk perkotaan melainkan juga jumlah angkatan kerja yang terampil.
Menghadapi kondisi masyarakat tersebut di atas, maka diperlukan peran administrasi
negara dan pemerintahan dalam memberikan pelayanan secara efiktif, efisien dan secara
profesional. Tantangan perubahan masyarakat dan tantangan terhadap kinerja pemerintahan
selain menghadapi masyarakat yang semakin cerdas dan masyarakat yang semakin banyak
tuntutannya/variatif serta memenuhi standar kualitatif sangatlah terbatas, pada akhir
kekuasaan Orde Baru pun, birokrasi pernah dikritik habis-habisan oleh kalangan gerakan pro-
reformasi. “Birokrasi dianggap sebagai salah satu ”penyakit” yang menghambat akselerasi
kesejahteraan masyarakat dan penyelenggaraan pemerintahan yang sehat“ (Edi Siswadi,
2005). Ungkapan klasik dan kritis seperti “kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah”,
misalnya, berkembang seiring dengan penampakan kinerja aparatur yang kurang baik di mata
masyarakat. Ungkapan itu menggambarkan betapa buruknya perilaku pelayanan birokrasi
kita yang berpotensi menyuburkan praktik percaloan dan pungutan liar (rent seeking).
Kondisi inilah yang sebetulnya memunculkan iklim investasi di daerah kurang kompetitif.
Kondisi pelayanan seperti ini perlu segera direformasi guna mewujudkan kinerja birokrasi
dan kinerja pelayanan publik yang berkualitas.
Menghadapi kondisi ini maka pemerintah sebagai pelayan publik perlu
mengupayakan untuk menekan sekecil mungkin terjadinya kesenjangan antara tuntutan
pelayanan masyarakat dengan kemampuan aparatur pemerintah untuk memenuhinya, sebab
keterbatasan sarana dan prasarana yang telah ada tidak dapat dijadikan sebagai alasan
pembenar tentang rendahnya kualitas pelayanan kepada masyarakat. Kemandirian dan
kemampuan yang handal dari pemerintah merupakan syarat tetap terpeliharanya kepercayaan
masyarakat kepada pemerintah untuk memenuhi segala kebutuhan pelayanan umumnya.
Dalam kaitan inilah maka pemerintah perlu memiliki semangat kewirausahaan
(entrepreneurship). Ide penataan ulang pemerintahan ini sejalan dengan pemikiran dan
perkembangan administrasi negara yang berusaha melakukan reinventing government pada
awal tahun 1990-an. Salah satu ide pokok dari perubahan administrasi negara tersebut adalah
pentingnya “public service” sebagai orientasi dari birokrasi pemerintahan.
Perubahan mendasar dalam struktur birokrasi berlangsung sangat cepat. Semenjak
reformasi, pemerintah pusat telah merekonstruksi struktur birokrasi pemerintah daerah dua
kali. Masing-masing melalui UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 32 Tahun 2004.
Penataan birokrasi pemerintah daerah, secara normatif merupakan bagian dari rekayasa sosial
guna mengatasi krisis multidimensi yang melanda. Dalam skala kecil atau mikro, hal ini
dilakukan untuk kepentingan memulihkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi.
Dalam skala makro untuk menciptakan lingkungan kerja dan budaya organisasi yang sehat
dan kondusif, sehingga tingkat kepuasaan masyarakat (customer satisfaction) meningkat dan
iklim investasi menyehat (Edi Siswadi, dalam Pikiran Rakyat, 2005).
Untuk mewujudkan tujuan itu, perlu ada penataan administrasi negara dan birokrasi
pemerintahan dalam rangka membangun kinerja pemerintahan yang efektif, efisien, dan
profesional. Setidaknya, “stempel” yang diberikan masyarakat mengenai buruk dan berbelit-
belitnya birokrasi pada pemerintah baik pusat ataupun di daerah dapat dikurangi. Peran
administrasi negara dan pemerintahan di masa mendatang dengan melihat beberapa tuntutan
masyarakat diatas dengan kondisi pemerintah sebagai pelayan masyarakat saat ini yaitu : (1)
Pemerintahan dengan system Birokrasi yang lamban dan terpusat; (2) Pemenuhan terhadap
ketentuan dan peraturan (bukannya berorientasi misi); (3) Rantai hierarki/komando yang
rigid; maka pemerintah saat ini harus berupaya merubah perannya untuk masa yang akan
datang yaitu melalui penerapan konsep Reinventing Government.

C. Reinventing Government
Sebelum membahas lebih dalam topik reinventing government, terlebih dahulu kita
meninjau pengertian dari reinventing. Menurut David Osborne dan Peter Plastrik (1997)
dalam bukunya “Memangkas Birokrasi”, Reinventing Government adalah “transformasi
system dan organisasi pemerintah secara fundamental guna menciptakan peningkatan
dramatis dalam efektifitas, efesiensi, dan kemampuan mereka untuk melakukan inovasi.
Transformasi ini dicapai dengan mengubah tujuan, system insentif, pertanggungjawaban,
struktur kekuasaan dan budaya system dan organisasi pemerintahan”. Pembaharuan adalah
dengan penggantian system yang birokratis menjadi system yang bersifat wirausaha.
Pembaharuan dengan kata lain membuat pemerintah siap untuk menghadapi tantangan-
tantangan dalam hal pelayanan terhadap masyarakat, menciptakan organisasi-organisasi yang
mampu memperbaiki efektifitas dan efisiensi pada saat sekarang dan di masa yang akan
datang.
Dalam rangka mewujudkan konsep reinventing government, tidak ada salahnya kalau
kita mencoba untuk mengetahui bagaimana proses perubahan yang terjadi pada negara-
negara maju seperti: Australia, Selandia baru, Amerika serikat, Kanada, Inggris dsb yang
berhasil melakukan reformasi birokrasi. Di Inggris pembaharuan mulai dilakukan pada awal
tahun 1980 pada saat Margareth Thatcher menjabat sebagai Perdana Menteri Inggris. Pada
masa awal pemerintahannya, ia mengumumkan penyetopan rekrutmen pegawai dan
pemotongan tiga persen dalam tubuh pamong praja, dan beberapa bulan kemudian
menetapkan pemotongan lagi sebesar lima persen.
Disamping itu Thatcher juga meminta Darek Rayner yang pada saat itu menjabat
sebagai pimpinan perusahaan ritel terkenal, Marks & Spencer untuk memimpin perang
melawan pemborosan dan inefisiensi. Thatcher juga melakukan perubahan pada serikat
pegawai sektor pemerintah, mendorong reformasi dengan melarang kerja piket tambahan.
Tapi senjata besar Thatcher adalah privatisasi, yang mana dalam 11 tahun masa
kepemimpinannya, pemerintah menjual lebih dari 40 BUMN utama dan banyak perusahaan
kecil yang pada akhir tahun 1987 penjualan ini menghasilkan 5 milyar Poundsterling
pertahunnya (Osborne dan Plastrik, 1997).

D. Relevansi Reinventing Government dengan Administrasi Publik di Indonesia.


Birokrasi memainkan peranan utama dalam pembangunan dan semakin kuat
menunjukkan kecenderungan yang kurang baik: Sulit ditembus; Sentralistis; Top down; dan
Hierarki sangat panjang. Birokrasi justru menyebabkan kelambanan, terlalu bertele-tele dan
mematikan kreativitas. Birokrasi dianggap mengganggu mekanisme pasar, karena
menciptakan distorsi ekonomi dan pada akhirnya menyebabkan inefisiensi organisasi. Era
turbulance and uncertainty, teknologi informasi yang canggih, demanding community, dan
persaingan ketat, menjadikan birokrasi tidak dapat bekerja dengan baik. Era globalisasi dan
knowledge based economy, birokrasi perlu melakukan perubahan menuju profesionalisme
birokrasi dan menekankan efisiensi.
Di Indonesia upaya deregulasi dan debirokratisasi sudah mulai dilakukan sejak tahun
1983, namun baru menyentuh sektor riil dan moneter, sementara debirokratisasi belum
menyentuh sisi kelembagaan. Krisis sejak pertengahan 1997 telah menyebabkan: Jumah
orang miskin meningkat; Pengangguran meningkat; Kriminalitas meningkat; dan Kualitas
kesehatan menurun. Praktik Manajemen dan Administrasi Publik di Indonesia ditandai oleh
Public service yang buruk; Ekonomi sangat birokratis; Kebocoran anggaran; dan Budaya
KKN. Rethinking the government merupakan upaya untuk menjadikan pemerintah lebih
bertorientasi pada strategic thinking, strategic vision, and strategic management. Salah satu
bentuk New Public Management adalah model pemerintahan Osborne and Gaebler (1992)
yang tertuang di dalam konsep “Reinventing Government”.
Tantangan yang timbul dari prinsip reinventing antara lain:
1. Bagaimana mengimplementasikan konsep tersebut tanpa menimbulkan friksi yang justru
akan menghambat efisiensi dan efektivitas birokrasi. Sebab prinsip reinventing
government sesungguhnya baru mengena pada dimensi normatif, tetapi belum teruji secara
empiris.
2. Bagaimana menemukan strategi praktis untuk mengadopsi prinsip reinventing government
ke dalam system dan mekanisme pemerintah, baik pusat maupun daerah.

Penataan Kelembagaan pemerintah melalui reinventing (Sunarno, 2008) antara lain :


1. REORIENTASI. Meredefenisikan visi, misi, peran, strategi, implementasi, dan evaluasi
kelembagaan pemerintah.
2. RESTRUKTURISASI. Menata ulang kelembagaan pemerintah, membangun organisasi
sesuai kebutuhan dan tuntutan publik.
3. ALIANSI. Mensinergikan seluruh aktor, yaitu pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat
dalam tim yang solid.

Tujuan reformasi birokrasi adalah untuk mewujudkan good government yang


didukung oleh penyelenggara Negara yang profesional dan bebas korupsi, kolusi, nepotisme
serta meningkatkan pelayanan kepada masyarakat sehingga tercapai pelayanan prima
(Sunarno, 2008). Sasaran reformasi birokrasi menurut Sunarno adalah terwujudnya birokrasi
yang profesional, netral dan sejahtera yang mampu menempatkan dirinya sebagai abdi
Negara dan abdi masyarakat guna mewujudkan pelayanan masyarakat yang lebih baik;
terwujudnya kelembagaan pemerintah yang profesional, fleksibel, efisien dan efektif baik di
lingkungan pemerintah pusat maupun daerah; terwujudnya ketatalaksanaan (pelayanan
publik) yang lebih cepat, tidak berbelit-belit, mudah dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat
yang dilayani.
Dari beberapa penjelasan diatas, maka bentuk dan peranan pemerintahan di masa
mendatang adalah: Pemerintahan yang mendorong kompetisi antar pemberi jasa; Memberi
wewenang kepada warga; Mengukur kinerja perwakilannya dengan memusatkan pada hasil,
bukan masukan; Digerakkan oleh tujuan/missi, bukan oleh peraturan; Menempatkan klien
sebagai pelanggan dan menawarkan kepada mereka banyak pilihan; Lebih baik mencegah
masalah ketimbang hanya memberi servis sesudah masalah muncul; Mencurahkan energinya
untuk memperoleh uang, tidak hanya membelanjakan; Mendesentralisasikan wewenang
dengan menjalankan manajemen partisipasi; Lebih menyukai mekanisme pasar ketimbang
mekanisme birokratis; Memfokuskan pada mengkatalisasi semua sector – pemerintah,
swasta, dan lembaga sukarela – kedalam tindakan untuk memecahkan masalah. Seluruh
bentuk peranan pemerintahan yang diharapkan dimasa yang akan datang ini sesuai dengan
prinsip-prinsip dari Reinventing Government.
Thomas Dye dalam bukunya “Understanding Public Policy” menggambarkan kebijakan
publik sebagai apapun yang dipilih untuk dilakukan dan tidak dilakukan. Namun bagi
sebagian ahli, definisi yang dikemukakan Dye dianggap terlalu sederhana serta tidak cukup
menggambarkan keseluruhan konsep dari kebijakan James Anderson mengemukakan
pengertian kebijakan publik yang lebih kompleks. Menurut Anderson, kebijakan publik pada
dasarnya merupakan serangkaian tindakan terarah yang dilakukan oleh aktor atau sejumlah
aktor dalam menangani masalah – masalah tertentu. Kebijakan publik merupakan kebijakan
yang dikembangkan oleh para pejabat pemerintah untuk menangani masalah tersebut. Hood
sebagaimana dikutip oleh Yeremias T Keban, mengungkapkan bahwa ada tujuh komponen
doktrin dalam New Public Management (NPM) yaitu:
1. Pemanfatan manajemen profesional dalam sektor publik.
2. Penggunaan indikator Analisa Kebijakan Pelayanan Publik di Kabupaten Gianyar (Diah
Hariani).
3. Penekanan yang lebih besar pada control output.
4. Pergeseran perhatian ke unit-unit yang lebih kecil.
5. Pergeseran ke kompetisi yang lebih tinggi.
6. Penekanan gaya sektor swasta pada praktek menajemen.
7. Penekanan pada disiplin dan penghematan yang lebih tinggi dalam penggunaan
sumberdaya.

Pada umumnya, proses pemberian pelayanan kepada publik (masyarakat) dewasa ini
dilakukan melalui kontak langsung antara penyedia jasa layanan (birokrasi pemerintah)
dengan warga masyarakat. Ternyata, kontak langsung seperti ini telah banyak dimanfaatkan
oleh para pelaku interaksi pelayanan baik itu dari pihak birokrat (pemberi layanan) maupun
dari pihak warga masyarakat (penerima layanan) Dari sisi pelayan, beberapa oknum pelayan
sengaja mencari keuntungan dari pelayanan yang diberikannya misalnya dengan meminta
sejumlah bayaran diluar ketentuan yang berlaku. Dari sisi warga masyarakat, beberapa
oknum warga masyarakat yang ingin memperoleh layanan secara mudah dengan cara
menyogok atau memberi uang “pelican” terhadap oknum aparat pelayan. Praktek-praktek
semacam ini tentunya akan berdampak kepada pengguna jasa layanan lainnya, yang pada
akhirnya akan berdampak pula pada kualitas pelayanan secara umum.
Beberapa hasil survei dari lembaga survei internasional menunjukkan bahwa
pelayanan publik di Indonesia masih terburuk di Asia dalam hal pelayanan publik. Demikian
pula halnya berbagai kajian yang telah dilakukan oleh para pemerhati pelayanan publik,
dengan mana hampir semuanya berkesimpulan bahwa pelayanan publik melalui kontak
langsung rentan terhadap berbagai praktek maladministrasi, yaitu suatu praktek yang
menyimpang dari etika administrasi atau suatu praktek administrasi yang menjauhkan dari
pencapaian tujuan administrasi.
Praktek-praktek yang mengakibatkan terjadinya maladministrasi memang
dimungkinkan dalam penyediaan layanan melalui kontak langsung. Pelayanan publik melalui
kontak langsung akan sulit dihindari adanya perlakuan-perlakuan khusus yang berdampak
pada penyimpangan terhadap ketentuan administrasi. Sebagaimana dicontohkan, ketika
seorang warga masyarakat yang datang kebetulan adalah keluarga dekat atau orang yang
memiliki kedudukan yang penting di daerah itu, maka secara otomatis pelayan publik akan
memberikan perlakuan khusus terhadap warga semacam ini, apakah dengan memberikan
prioritas untuk dilayani, atau bahkan sampai kepada pengabaian persyaratan yang semestinya
harus dipenuhi. Tindakan-tindakan seperti ini tentunya akan berdampak kepada terciptanya
pelayanan yang dikriminatif yang dapat memicu rasa ketidakadilan masyarakat.
Pemerintah sebagai penyelenggaran pelayanan publik diharuskan memiliki fungsi
katalitis, mampu untuk memberdayakan masyarakat, melakukan upaya-upaya untuk
mendorong semangat kompetisi, selalu berorientasi kepada misi, lebih mengutamakan dan
mengutamakan hasil daripada cara atau proses, kepentingan masyarakat sebagai acuan utama,
berjiwa wirausaha, dan selalu bersikap antisipatif atau berupaya mencegah timbulnya
masalah, bersifat desentralistis dan berorientasi pada pasar.
Keadaan secara empirik pelayanan publik seperti yang diungkapkan dimuka
menunjukkan kepada kita bahwa focus of interest dari aparatur kita belum tertuju kepada
tugas utamanya. Pelayanan publik sebagai tugas utama birokrasi atau aparatur negara masih
sangat dipengaruhi oleh sistem pemerintahan yang lebih mengedepankan kekuasaan atau
kewenangan. Sistem pemerintahan tidak saja mengabaikan pelayanan kepada masyarakat
tetapi juga sistem pemerintahan atau birokrasi yang tidak responsif terhadap apa
sesungguhnya dibutuhkan, diperlukan dan dikehendaki oleh masyarakat. Sistem
pemerintahan yang lebih mengedepankan political authority daripada political commitment
yang salah satunya adalah customer’s oriented atau customer’s perspective atau pelayanan
yang berorientasi kepada kepentingan dan kebutuhan masyarakat.
Untuk itu mulai saat ini haruslah kita pergunakan untuk meletakkan dan
memantapkan fungsi atau peran birokrasi atau pemerintah sebagai fungsi utamanya yaitu
public service atau pelayanan publik. Sedangkan fungsi-fungsi yang selama ini di pegang
juga oleh birokrasi atau pemerintah harus diserahkan kepada pihak swasta dan masyarakat.
Ini semua sebagai konsekuensi kita beralih dari pemerintahan yang government yang menitik
beratkan pada otoritas ke pemerintahan yang governance yang menitik beratkan pada
kolaborasi atau kompatibilitas di antara public (pemerintah/birokrasi), private (swasta) dan
community (masyarakat), Utomo (2003).
Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan
kebutuhan pelayanan sesuai peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan
penduduk atas barang, jasa, atau pelayanan administratif yang disediakan oleh pemenrintah.
Dye dalam Syafi’ie (2006, h.105) mendefinisikan kebijakan publik sebagai “whatever
government choose to do or not to do” yang dalam bahasa Indonesia berarti apapun juga yang
dipilih pemerintah, bai mengerjakan sesuatu ataupun tidak mengerjakan (mendiamkan)
sesuatu.
Sedangkan Carl Frederic dalam Agustino (2008) menjelaskan bahwa kebijakan adalah
serangkaian tindakan atau kegiatan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau
pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu di mana terdapat beberapa hambatan (kesulitan-
kesulitan) dan kemungkinan kemungkinan (kesempatan-kesempatan) di mana kebijakan
tersebut diusulkan agar berguna dalam mengatasinya untuk mencapai tujuan yang dimaksud.
Ada juga pendapat RC Chandler dan JC Plano dalam Syafi’ie (2006) yang mengatakan
bahwa kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumber daya yang ada
untuk memecahkan masalah publik. Implementasi kebijakan merupakan aspek terpenting dari
keseluruhan proses kebijakan. Implementasi kebijakan meru-pakan wujud nyata dari suatu
kebijakan, karena pada tahap ini suatu kebijakan tidak hanya terbatas pada perwujudan secara
riil dari kebijakan, tapi juga mempunyai kaitan dengan konsekuensi atau dampak yang akan
mengarah pada pelaksanaan kebijakan tersebut. Dengan demikian pembuat kebijakan tidak
hanya ingin melihat kebijakan yang telah dilaksanakan oleh masyarakat, namun juga ingin
melihat seberapa jauh kebijakan tersebut dapat memberikan konsekuensi mulai dari hal yang
positif maupun negatif kepada masyarakat.
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan, birokrasi sebagai ujung
tombak pelaksana pelayanan publik mencakup berbagai program-program pembangunan dan
kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Tetapi dalam kenyataannya, birokrasi yang
dimaksudkan untuk melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan
tersebut, seringkali diartikulasikan berbeda oleh masyarakat. Birokrasi di dalam
menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan (termasuk di dalamnya
penyelenggaraan pelayanan publik) diberi kesan adanya proses panjang dan berbelit-belit
apabila masyarakat menyelesaikan urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur
pemerintahan. Akibatnya, birokrasi selalu mendapatkan citra negatif yang tidak
menguntungkan bagi perkembanganbirokrasi itu sendiri (khususnya dalam hal pelayanan
publik). Oleh karena itu, guna menanggulangi kesan buruk birokrasi seperti itu, birokrasi
perlu melakukan beberapa perubahan sikap dan perilakunya antara lain :
a. Birokrasi harus lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas yang diarahkan pada hal
pengayoman dan pelayanan masyarakat; dan menghindarkan kesan pendekatan
kekuasaan dan kewenangan;
b. Birokrasi perlu melakukan penyempurnaan organisasi yang bercirikan organisasi
modern, ramping, efektif dan efesien yang mampu membedakan antara tugas-tugas yang
perlu ditangani dan yang tidak perlu ditangani (termasuk membagi tugastugas yang dapat
diserahkan kepada masyarakat);
c. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan perubahan sistem dan prosedur kerjanya
yang lebih berorientasi pada ciri-ciri organisasi modern yakni: pelayanan cepat, tepat,
akurat, terbuka dengan teta mempertahankan kualitas, efesiensi biaya dan ketepatan
waktu;
d. Birokrasi harus memposisikan diri sebagai fasilitator pelayan publik dari pada sebagai
agen pembaharu (change of agent ) pembangunan;
e. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan transformasi diri dari birokrasi yang
kinerjanya kaku (rigid) menjadi organisasi birokrasi yang strukturnya lebih desentralistis,
inovatif, flrksibel dan responsive (Agus Suryono, 2005)
Kebijakan publik terdiri dari dua kata yakni kebijakan dan publik. Kata kebijakan
merupakan terjemahan dari kata Inggris policy artinya politik, siasat, kebijaksanaan
(Wojowasito, 1975). Dalam pembahasan ini kebijakan dibedakan dengan kebijaksanaan.
Menurut M. Irfan Islamy, policy diterjemahkan dengan kebijakan yang berbeda artinya
dengan wisdom yang artinya kebijaksanaan. Pengertian kebijaksanaan memerlukan
pertimbanganpertimbangan lebih jauh lagi, sedangkan kebijakan mencakup aturan-aturan
yang ada didalamnya (Islamy, 1999). Policy atau kebijakan ini “tertuang dalam dokumen
resmi. Bahkan dalam beberapa bentuk peraturan hukum, misalnya di dalam UU, PP, Keppres,
Peraturan Menteri (Permen), Perda dan lain-lain” (Lubis, 2007). Dengan demikian, kebijakan
(policy) adalah “seperangkat keputusan yang diambil oleh pelaku-pelaku politik dalam
rangka memilih tujuan dan bagaimana cara untuk pencapaian tujuan”. Kata publik
mempunyai makna atau pengertian yang dapat berbeda dengan pengertian masyarakat.
Perbedaan pengertiannya adalah : Masyarakat diartikan sebagai sistem antar hubungan sosial
dimana manusia hidup dan tinggal secara bersama-sama. Di dalam masyarakat tersebut
terdapat norma-norma atau nilai-nilai tertentu yang mengikat atau membatasi kehidupan
anggota-anggotanya. Dilain pihak kata publik diartikan sebagai kumpulan orang-orang yang
menaruh perhatian, minat atau kepentingan yang sama. Tidak ada norma atau nilai yang
mengikat/ membatasi perilaku publik sebagaimana halnya pada masyarakat karena publik itu
sulit dikenali sifat-sifat kepribadiannya (identifikasinya) secara jelas. Satu hal yang menonjol
adalah mereka mempunyai perhatian atau minat yang sama.
PENUTUP

Kesimpulan
Penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik menurut
paradigma good governance, dalam prosesnya tidak hanya dilakukan oleh pemerintah daerah
berdasarkan pendekatan rule government (legalitas), atau hanya untuk kepentingan
pemeintahan daerah. Paradigma good governance, mengedepankan proses dan prosedur,
dimana dalam proses persiapan, perencanaan, perumusan dan penyusunan suatu kebijakan
senantiasa mengedepankan kebersamaan dan dilakukan dengan melibatkan seluruh
pemangku kepentingan.
Beberapa aspek yang perlu mendapat perhatian serius dalam pelaksanaan otonomi
daerah antara lain pelayanan publik, formasi jabatan, pengawasan keuangan daerah dan
pengawasan independen. Yang perlu dikedepankan oleh pemerintah daerah adalah bagaimana
pemerintah daerah mampu membangun kelembagaan daerah yang kondusif, sehingga dapat
mendesain standar Pelayanan Publik yang mudah, murah dan cepat. Pelayanan publik
merupakan bagian dari pemerintahan yang baik (good governance) yang salah satu
parameternya adalah cara aparatur pemerintah memberikan pelayanan kepada rakyat. Prinsip
good governance bisa terwujud jika pemerintahan diselenggarakan secara transparan,
responsif, partisipatif, taat hukum (rule of law), sesuai konsensus, nondiskriminasi, akuntabel,
serta memiliki visi yang strategis.
Salah satu faktor penyebab utama dari keterpurukan sektor perekonomian adalah
masih kuatnya prilaku koruptif di dalam berbagai aspek kehidupan, terutama di sektor
birokrasi dengan salah satu fokus utamanya di sektor pelayanan publik. Konsekuensinya,
timbullah biaya ekonomi tinggi yang berdampak kepada rendahnya daya saing Indonesia
dibandingkan negara berkembang lainnya dalam menarik investasi dan dalam memasarkan
komoditinya baik di dalam negeri maupun ke luar negeri. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi
menjadi terhambat, yang kemudian bermuara pada stagnannya proses peningkatan
kesejahteraan rakyat. Maka perlunya adanya Reveinting Government, yaitu transformasi
sistem dan organisasi pemerintah secara fundamental guna menciptakan peningkatan
dramatis dalam efektifitas, efesiensi, dan kemampuan mereka untuk melakukan inovasi.
Transformasi ini dicapai dengan mengubah tujuan, system insentif, pertanggungjawaban,
struktur kekuasaan dan budaya system dan organisasi pemerintahan
B. Saran
1. Pemerintah perlu menyusun Standar Pelayanan bagi setiap institusi di daerah yang
bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat
2. pemerintah sebagai pelayan publik perlu mengupayakan untuk menekan sekecil
mungkin terjadinya kesenjangan antara tuntutan pelayanan masyarakat dengan
kemampuan aparatur pemerintah untuk memenuhinya
3. Pemerintah harus mampu mendorong kompetisi antar pemberi jasa; Memberi
wewenang kepada warga; Mengukur kinerja perwakilannya dengan memusatkan pada
hasil, bukan masukan; Digerakkan oleh tujuan/missi, bukan oleh peraturan;
Menempatkan klien sebagai pelanggan dan menawarkan kepada mereka banyak
pilihan; Lebih baik mencegah masalah ketimbang hanya memberi servis sesudah
masalah muncul; Mencurahkan energinya untuk memperoleh uang, tidak hanya
membelanjakan; Mendesentralisasikan wewenang dengan menjalankan manajemen
partisipasi; Lebih menyukai mekanisme pasar ketimbang mekanisme birokratis;
Memfokuskan pada mengkatalisasi semua sector – pemerintah, swasta, dan lembaga
sukarela – kedalam tindakan untuk memecahkan masalah. Seluruh bentuk peranan
pemerintahan yang diharapkan dimasa yang akan datang ini sesuai dengan Prinsip-
prinsip dari Reinventing Government.
Daftar Pustaka

All Resources

Anda mungkin juga menyukai