OLEH :
SADDAM ROBERTO BINU NIM 07012611822001
DOSEN :
DR. ARDIYAN SAPTAWAN, M.SI
Latar Belakang
Selama ini, Public Administration selalu diterjemahkan dengan Administrasi Negara.
Akibat dari terjemahan seperti itu, selama beberapa dekade di Indonesia, orientasi
administrasi negara adalah bagaimana pelayanan kepada negara, dan masyarakat harus
melayani negara, semuanya serba negara sehingga muncul istilah “abdi negara”. Apabila
segala sesuatu diatasnamakan negara, maka hal tersebut sudah harus tuntas, dan direlakan;
semua orang harus berkorban demi negaranya. Dengan demikian, pelayanan yang semula
dikonsep untuk masyarakat umum, terbalik menjadi pelayanan untuk negara. Padahal konsep
awal dari Public Administration sesuai dengan terjemahannya adalah “Administrasi Publik”
yaitu berorientasi kepada masyarakat. Perkembangan terbaru paradigma administrasi publik,
mengarah kepada masyarakat dan berorientasi kepada masyarakat serta berupaya bagaimana
strategi melakukan atau melayani masyarakat (publik). Hal ini sejalan dengan hakekat
pelaksanaan era otonomi, yakni peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat.
Pada dasarnya masyarakat tidak terlalu peduli dengan more regulated atau less
regulated, less governed atau more governed karena kepedulian utama mereka terletak pada
terselesaikannya beragam masalah yang mereka hadapi. Bagi administrasi publik, kondisi ini
merupakan tantangan besar yang harus dihadapi mengingat kebutuhan masyarakat yang
semakin kompleks sementara sumber daya dan kapasitas birokrasi yang berkembang tidak
sebanding dengan perkembangan kebutuhan tersebut. Dalam beberapa tahun terakhir ini,
berkembang beragam pendekatan dalam menghadapi tuntutan ini. Isu manajemen publik dan
public governance (kepemerintahan publik) terus meluas dan menjadi perdebatan hangat
(Khairul Muluk, 2004).
C. Reinventing Government
Sebelum membahas lebih dalam topik reinventing government, terlebih dahulu kita
meninjau pengertian dari reinventing. Menurut David Osborne dan Peter Plastrik (1997)
dalam bukunya “Memangkas Birokrasi”, Reinventing Government adalah “transformasi
system dan organisasi pemerintah secara fundamental guna menciptakan peningkatan
dramatis dalam efektifitas, efesiensi, dan kemampuan mereka untuk melakukan inovasi.
Transformasi ini dicapai dengan mengubah tujuan, system insentif, pertanggungjawaban,
struktur kekuasaan dan budaya system dan organisasi pemerintahan”. Pembaharuan adalah
dengan penggantian system yang birokratis menjadi system yang bersifat wirausaha.
Pembaharuan dengan kata lain membuat pemerintah siap untuk menghadapi tantangan-
tantangan dalam hal pelayanan terhadap masyarakat, menciptakan organisasi-organisasi yang
mampu memperbaiki efektifitas dan efisiensi pada saat sekarang dan di masa yang akan
datang.
Dalam rangka mewujudkan konsep reinventing government, tidak ada salahnya kalau
kita mencoba untuk mengetahui bagaimana proses perubahan yang terjadi pada negara-
negara maju seperti: Australia, Selandia baru, Amerika serikat, Kanada, Inggris dsb yang
berhasil melakukan reformasi birokrasi. Di Inggris pembaharuan mulai dilakukan pada awal
tahun 1980 pada saat Margareth Thatcher menjabat sebagai Perdana Menteri Inggris. Pada
masa awal pemerintahannya, ia mengumumkan penyetopan rekrutmen pegawai dan
pemotongan tiga persen dalam tubuh pamong praja, dan beberapa bulan kemudian
menetapkan pemotongan lagi sebesar lima persen.
Disamping itu Thatcher juga meminta Darek Rayner yang pada saat itu menjabat
sebagai pimpinan perusahaan ritel terkenal, Marks & Spencer untuk memimpin perang
melawan pemborosan dan inefisiensi. Thatcher juga melakukan perubahan pada serikat
pegawai sektor pemerintah, mendorong reformasi dengan melarang kerja piket tambahan.
Tapi senjata besar Thatcher adalah privatisasi, yang mana dalam 11 tahun masa
kepemimpinannya, pemerintah menjual lebih dari 40 BUMN utama dan banyak perusahaan
kecil yang pada akhir tahun 1987 penjualan ini menghasilkan 5 milyar Poundsterling
pertahunnya (Osborne dan Plastrik, 1997).
Pada umumnya, proses pemberian pelayanan kepada publik (masyarakat) dewasa ini
dilakukan melalui kontak langsung antara penyedia jasa layanan (birokrasi pemerintah)
dengan warga masyarakat. Ternyata, kontak langsung seperti ini telah banyak dimanfaatkan
oleh para pelaku interaksi pelayanan baik itu dari pihak birokrat (pemberi layanan) maupun
dari pihak warga masyarakat (penerima layanan) Dari sisi pelayan, beberapa oknum pelayan
sengaja mencari keuntungan dari pelayanan yang diberikannya misalnya dengan meminta
sejumlah bayaran diluar ketentuan yang berlaku. Dari sisi warga masyarakat, beberapa
oknum warga masyarakat yang ingin memperoleh layanan secara mudah dengan cara
menyogok atau memberi uang “pelican” terhadap oknum aparat pelayan. Praktek-praktek
semacam ini tentunya akan berdampak kepada pengguna jasa layanan lainnya, yang pada
akhirnya akan berdampak pula pada kualitas pelayanan secara umum.
Beberapa hasil survei dari lembaga survei internasional menunjukkan bahwa
pelayanan publik di Indonesia masih terburuk di Asia dalam hal pelayanan publik. Demikian
pula halnya berbagai kajian yang telah dilakukan oleh para pemerhati pelayanan publik,
dengan mana hampir semuanya berkesimpulan bahwa pelayanan publik melalui kontak
langsung rentan terhadap berbagai praktek maladministrasi, yaitu suatu praktek yang
menyimpang dari etika administrasi atau suatu praktek administrasi yang menjauhkan dari
pencapaian tujuan administrasi.
Praktek-praktek yang mengakibatkan terjadinya maladministrasi memang
dimungkinkan dalam penyediaan layanan melalui kontak langsung. Pelayanan publik melalui
kontak langsung akan sulit dihindari adanya perlakuan-perlakuan khusus yang berdampak
pada penyimpangan terhadap ketentuan administrasi. Sebagaimana dicontohkan, ketika
seorang warga masyarakat yang datang kebetulan adalah keluarga dekat atau orang yang
memiliki kedudukan yang penting di daerah itu, maka secara otomatis pelayan publik akan
memberikan perlakuan khusus terhadap warga semacam ini, apakah dengan memberikan
prioritas untuk dilayani, atau bahkan sampai kepada pengabaian persyaratan yang semestinya
harus dipenuhi. Tindakan-tindakan seperti ini tentunya akan berdampak kepada terciptanya
pelayanan yang dikriminatif yang dapat memicu rasa ketidakadilan masyarakat.
Pemerintah sebagai penyelenggaran pelayanan publik diharuskan memiliki fungsi
katalitis, mampu untuk memberdayakan masyarakat, melakukan upaya-upaya untuk
mendorong semangat kompetisi, selalu berorientasi kepada misi, lebih mengutamakan dan
mengutamakan hasil daripada cara atau proses, kepentingan masyarakat sebagai acuan utama,
berjiwa wirausaha, dan selalu bersikap antisipatif atau berupaya mencegah timbulnya
masalah, bersifat desentralistis dan berorientasi pada pasar.
Keadaan secara empirik pelayanan publik seperti yang diungkapkan dimuka
menunjukkan kepada kita bahwa focus of interest dari aparatur kita belum tertuju kepada
tugas utamanya. Pelayanan publik sebagai tugas utama birokrasi atau aparatur negara masih
sangat dipengaruhi oleh sistem pemerintahan yang lebih mengedepankan kekuasaan atau
kewenangan. Sistem pemerintahan tidak saja mengabaikan pelayanan kepada masyarakat
tetapi juga sistem pemerintahan atau birokrasi yang tidak responsif terhadap apa
sesungguhnya dibutuhkan, diperlukan dan dikehendaki oleh masyarakat. Sistem
pemerintahan yang lebih mengedepankan political authority daripada political commitment
yang salah satunya adalah customer’s oriented atau customer’s perspective atau pelayanan
yang berorientasi kepada kepentingan dan kebutuhan masyarakat.
Untuk itu mulai saat ini haruslah kita pergunakan untuk meletakkan dan
memantapkan fungsi atau peran birokrasi atau pemerintah sebagai fungsi utamanya yaitu
public service atau pelayanan publik. Sedangkan fungsi-fungsi yang selama ini di pegang
juga oleh birokrasi atau pemerintah harus diserahkan kepada pihak swasta dan masyarakat.
Ini semua sebagai konsekuensi kita beralih dari pemerintahan yang government yang menitik
beratkan pada otoritas ke pemerintahan yang governance yang menitik beratkan pada
kolaborasi atau kompatibilitas di antara public (pemerintah/birokrasi), private (swasta) dan
community (masyarakat), Utomo (2003).
Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan
kebutuhan pelayanan sesuai peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan
penduduk atas barang, jasa, atau pelayanan administratif yang disediakan oleh pemenrintah.
Dye dalam Syafi’ie (2006, h.105) mendefinisikan kebijakan publik sebagai “whatever
government choose to do or not to do” yang dalam bahasa Indonesia berarti apapun juga yang
dipilih pemerintah, bai mengerjakan sesuatu ataupun tidak mengerjakan (mendiamkan)
sesuatu.
Sedangkan Carl Frederic dalam Agustino (2008) menjelaskan bahwa kebijakan adalah
serangkaian tindakan atau kegiatan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau
pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu di mana terdapat beberapa hambatan (kesulitan-
kesulitan) dan kemungkinan kemungkinan (kesempatan-kesempatan) di mana kebijakan
tersebut diusulkan agar berguna dalam mengatasinya untuk mencapai tujuan yang dimaksud.
Ada juga pendapat RC Chandler dan JC Plano dalam Syafi’ie (2006) yang mengatakan
bahwa kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumber daya yang ada
untuk memecahkan masalah publik. Implementasi kebijakan merupakan aspek terpenting dari
keseluruhan proses kebijakan. Implementasi kebijakan meru-pakan wujud nyata dari suatu
kebijakan, karena pada tahap ini suatu kebijakan tidak hanya terbatas pada perwujudan secara
riil dari kebijakan, tapi juga mempunyai kaitan dengan konsekuensi atau dampak yang akan
mengarah pada pelaksanaan kebijakan tersebut. Dengan demikian pembuat kebijakan tidak
hanya ingin melihat kebijakan yang telah dilaksanakan oleh masyarakat, namun juga ingin
melihat seberapa jauh kebijakan tersebut dapat memberikan konsekuensi mulai dari hal yang
positif maupun negatif kepada masyarakat.
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan, birokrasi sebagai ujung
tombak pelaksana pelayanan publik mencakup berbagai program-program pembangunan dan
kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Tetapi dalam kenyataannya, birokrasi yang
dimaksudkan untuk melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan
tersebut, seringkali diartikulasikan berbeda oleh masyarakat. Birokrasi di dalam
menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan (termasuk di dalamnya
penyelenggaraan pelayanan publik) diberi kesan adanya proses panjang dan berbelit-belit
apabila masyarakat menyelesaikan urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur
pemerintahan. Akibatnya, birokrasi selalu mendapatkan citra negatif yang tidak
menguntungkan bagi perkembanganbirokrasi itu sendiri (khususnya dalam hal pelayanan
publik). Oleh karena itu, guna menanggulangi kesan buruk birokrasi seperti itu, birokrasi
perlu melakukan beberapa perubahan sikap dan perilakunya antara lain :
a. Birokrasi harus lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas yang diarahkan pada hal
pengayoman dan pelayanan masyarakat; dan menghindarkan kesan pendekatan
kekuasaan dan kewenangan;
b. Birokrasi perlu melakukan penyempurnaan organisasi yang bercirikan organisasi
modern, ramping, efektif dan efesien yang mampu membedakan antara tugas-tugas yang
perlu ditangani dan yang tidak perlu ditangani (termasuk membagi tugastugas yang dapat
diserahkan kepada masyarakat);
c. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan perubahan sistem dan prosedur kerjanya
yang lebih berorientasi pada ciri-ciri organisasi modern yakni: pelayanan cepat, tepat,
akurat, terbuka dengan teta mempertahankan kualitas, efesiensi biaya dan ketepatan
waktu;
d. Birokrasi harus memposisikan diri sebagai fasilitator pelayan publik dari pada sebagai
agen pembaharu (change of agent ) pembangunan;
e. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan transformasi diri dari birokrasi yang
kinerjanya kaku (rigid) menjadi organisasi birokrasi yang strukturnya lebih desentralistis,
inovatif, flrksibel dan responsive (Agus Suryono, 2005)
Kebijakan publik terdiri dari dua kata yakni kebijakan dan publik. Kata kebijakan
merupakan terjemahan dari kata Inggris policy artinya politik, siasat, kebijaksanaan
(Wojowasito, 1975). Dalam pembahasan ini kebijakan dibedakan dengan kebijaksanaan.
Menurut M. Irfan Islamy, policy diterjemahkan dengan kebijakan yang berbeda artinya
dengan wisdom yang artinya kebijaksanaan. Pengertian kebijaksanaan memerlukan
pertimbanganpertimbangan lebih jauh lagi, sedangkan kebijakan mencakup aturan-aturan
yang ada didalamnya (Islamy, 1999). Policy atau kebijakan ini “tertuang dalam dokumen
resmi. Bahkan dalam beberapa bentuk peraturan hukum, misalnya di dalam UU, PP, Keppres,
Peraturan Menteri (Permen), Perda dan lain-lain” (Lubis, 2007). Dengan demikian, kebijakan
(policy) adalah “seperangkat keputusan yang diambil oleh pelaku-pelaku politik dalam
rangka memilih tujuan dan bagaimana cara untuk pencapaian tujuan”. Kata publik
mempunyai makna atau pengertian yang dapat berbeda dengan pengertian masyarakat.
Perbedaan pengertiannya adalah : Masyarakat diartikan sebagai sistem antar hubungan sosial
dimana manusia hidup dan tinggal secara bersama-sama. Di dalam masyarakat tersebut
terdapat norma-norma atau nilai-nilai tertentu yang mengikat atau membatasi kehidupan
anggota-anggotanya. Dilain pihak kata publik diartikan sebagai kumpulan orang-orang yang
menaruh perhatian, minat atau kepentingan yang sama. Tidak ada norma atau nilai yang
mengikat/ membatasi perilaku publik sebagaimana halnya pada masyarakat karena publik itu
sulit dikenali sifat-sifat kepribadiannya (identifikasinya) secara jelas. Satu hal yang menonjol
adalah mereka mempunyai perhatian atau minat yang sama.
PENUTUP
Kesimpulan
Penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik menurut
paradigma good governance, dalam prosesnya tidak hanya dilakukan oleh pemerintah daerah
berdasarkan pendekatan rule government (legalitas), atau hanya untuk kepentingan
pemeintahan daerah. Paradigma good governance, mengedepankan proses dan prosedur,
dimana dalam proses persiapan, perencanaan, perumusan dan penyusunan suatu kebijakan
senantiasa mengedepankan kebersamaan dan dilakukan dengan melibatkan seluruh
pemangku kepentingan.
Beberapa aspek yang perlu mendapat perhatian serius dalam pelaksanaan otonomi
daerah antara lain pelayanan publik, formasi jabatan, pengawasan keuangan daerah dan
pengawasan independen. Yang perlu dikedepankan oleh pemerintah daerah adalah bagaimana
pemerintah daerah mampu membangun kelembagaan daerah yang kondusif, sehingga dapat
mendesain standar Pelayanan Publik yang mudah, murah dan cepat. Pelayanan publik
merupakan bagian dari pemerintahan yang baik (good governance) yang salah satu
parameternya adalah cara aparatur pemerintah memberikan pelayanan kepada rakyat. Prinsip
good governance bisa terwujud jika pemerintahan diselenggarakan secara transparan,
responsif, partisipatif, taat hukum (rule of law), sesuai konsensus, nondiskriminasi, akuntabel,
serta memiliki visi yang strategis.
Salah satu faktor penyebab utama dari keterpurukan sektor perekonomian adalah
masih kuatnya prilaku koruptif di dalam berbagai aspek kehidupan, terutama di sektor
birokrasi dengan salah satu fokus utamanya di sektor pelayanan publik. Konsekuensinya,
timbullah biaya ekonomi tinggi yang berdampak kepada rendahnya daya saing Indonesia
dibandingkan negara berkembang lainnya dalam menarik investasi dan dalam memasarkan
komoditinya baik di dalam negeri maupun ke luar negeri. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi
menjadi terhambat, yang kemudian bermuara pada stagnannya proses peningkatan
kesejahteraan rakyat. Maka perlunya adanya Reveinting Government, yaitu transformasi
sistem dan organisasi pemerintah secara fundamental guna menciptakan peningkatan
dramatis dalam efektifitas, efesiensi, dan kemampuan mereka untuk melakukan inovasi.
Transformasi ini dicapai dengan mengubah tujuan, system insentif, pertanggungjawaban,
struktur kekuasaan dan budaya system dan organisasi pemerintahan
B. Saran
1. Pemerintah perlu menyusun Standar Pelayanan bagi setiap institusi di daerah yang
bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat
2. pemerintah sebagai pelayan publik perlu mengupayakan untuk menekan sekecil
mungkin terjadinya kesenjangan antara tuntutan pelayanan masyarakat dengan
kemampuan aparatur pemerintah untuk memenuhinya
3. Pemerintah harus mampu mendorong kompetisi antar pemberi jasa; Memberi
wewenang kepada warga; Mengukur kinerja perwakilannya dengan memusatkan pada
hasil, bukan masukan; Digerakkan oleh tujuan/missi, bukan oleh peraturan;
Menempatkan klien sebagai pelanggan dan menawarkan kepada mereka banyak
pilihan; Lebih baik mencegah masalah ketimbang hanya memberi servis sesudah
masalah muncul; Mencurahkan energinya untuk memperoleh uang, tidak hanya
membelanjakan; Mendesentralisasikan wewenang dengan menjalankan manajemen
partisipasi; Lebih menyukai mekanisme pasar ketimbang mekanisme birokratis;
Memfokuskan pada mengkatalisasi semua sector – pemerintah, swasta, dan lembaga
sukarela – kedalam tindakan untuk memecahkan masalah. Seluruh bentuk peranan
pemerintahan yang diharapkan dimasa yang akan datang ini sesuai dengan Prinsip-
prinsip dari Reinventing Government.
Daftar Pustaka
All Resources