Anda di halaman 1dari 12

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap orang berbicara tentang stres. Kita mendengar topik ini sebagai bahan
pembicaraan sehari-hari, baik di radio, televisi, surat kabar dan diberbagai konferensi
maupun di kalangan Universitas. Sayangnya hanya sedikit saja orang yang mengerti
konsep stres yang benar. Manager menganggap stres sebagai frustasi atau ketegangan
emosi; pengatur lalu lintas pesawat berpendapat sebagai problem konsentrasi; seorang
remaja yang kandas cita-citanya dan para atlit yang gagal berprestai karena
ketegangan otot. Secara umum pengertian stres adalah suatu bentuk ketegangan yang
mempengaruhi fungsi alat-alat tubuh. Kalau ketegangan itu berlebihan sehingga
menggangu fungsi alat-alat tubuh tadi, maka keadaan demikian disebut dengan istilah
distres. Stres dalam kehidupan tidak dapat dihindarkan. Masalahnya adalah
bagaimana manusia hidup dengan stres tanpa harus mengalami distres.
Bagi masyarakat pada era industrialisasi sekarang ini, pekerjaan merupakan
suatu aspek kehidupan yang sangat penting. Bagi masyarakat modern bekerja
merupakan suatu tuntutan yang mendasar, baik dalam rangka memperoleh imbalan
berupa uang atau jasa, ataupun dalam rangka mengembangkan dirinya. Pada
kenyataannya, sebagian besar pekerjaan cenderung memiliki konotasi paksaan, baik
yang ditimbulkan dari dalam diri sendiri ataupun yang ditimbulkan dari luar.
Pekerjaan juga seringkali meliputi penggunaan waktu dan usaha di luar keinginan
individu pekerja. Banyak pekerja yang melakukan pekerjaan rutin, yang tidak atau
hanya sedikit menuntut inisiatif dan tanggungjawab, dengan sedikit harapan untuk
maju atau berpindah kejenis pekerjaan lain. Banyak juga pekerja yang melakukan
tugas yang berada jauh dibawah kemampuan intelektual mereka atau yang mereka
anggap berada dibawah tingkat pendidikan yang telah mereka peroleh. Di banyak
sektor industri, pekerjaan telah sangat ‘dirasionalisasikan’, dipecah-pecah kedalam
tugas-tugas yang sederhana, menoton, dan menjemukan, yang hanya sesuai bagi robot
yang tidak dapat berpikir.
Pada level organisasi yang lebih tinggi, tingkat manajer atau supervisor,
perkembangan teknologi dan industrialisasi yang pesat menuntut adanya kemampuan
managerial dan intelektual yang lebih baik, yang terkadang melampaui kemampuan
yang dimiliki sebahagian besar individu. Dengan adanya teknologi yang lebih baik
maka arus komunikasi dan proses produksi akan berjalan lebih cepat sehingga
seorang manager dapat menjadi demikian sibuknya dan dibebani pekerjaan yang
memerlukan penyelesaian dengan segera. Pada penyelesaian (supervisor) terjadi
benturan antara dua tuntutan yang berbeda, disatu pihak ia harus memperhatikan
penyelesaian tugas yang berbatas waktu dan dilain pihak ia harus juga
memperhatikan pembinaan hubungan baik dengan bawahan-bawahannya.
Keadaan-keadaan diatas, baik bagi pekerjaan maupun bagi pihak manajer dan
penyelia, menimbulkan perasaan tegang dalam diri mereka akibat faktor-faktor samar
yang mengancam, baik yang bersifat sosial, managerial, ataupun yang berkaitan
dengan lingkungan kerja yang tidak dapat diatasi.
Teknologi dan industrialisasi yang pesat juga mencipta-kan suatu perubahan
yang penting dalam sifat ancaman dan stres itu sendiri. Bagi manusia yang hidup
dijaman yang masih primitif, ketegangan itu suatu keadaan yang masih mudah
ditentukan sebab musababnya dan dapat dengan jelas dikenali, walaupun mengancam
langsung kehidupan tetapi sekurang-kurangnya gamblang untuk dihadapi. Manusia
jaman dulu dapat menanggapi ketegangan dengan tindakan yang konkrit berupa
perilaku fisik yang relevan dengan ancaman fisik yang dihadapinya, sehingga dampak
lanjutan dari ketegangan tersebut dapat dihindari. Manusia jaman sekarang masih
terbuka terhadap stres atau ketegangan seperti yang telah dikemukakan diatas. Tetapi
seringkali manusia modern kurang intensif dalam menghadapi ketegangan atau stres
yang dihayatinya karena ketegangan tersebut sulit dihadapi secara pribadi
berdasarkan sifatnya yang samar dan sulit ditentukan sebab-sebabnya secara
gamblang. Sumber-sumber ketegangan (stres) bagi manusia modern tidak banyak lagi
yang berupa ancaman fisik, melainkan lebih bersifat psikologis seperti perselisihan,
persaingan, rasa malu, jenuh, rasa bersalah, perasaan dipelakukan tidak adil, ataupun
cemas mengenai kenaikan pangkat atatu gaji. Akibatnya, orang tersebut tetap tegang
dan senantiasa siap tempur tetapi tidak pernah menghadapi musuh yang sesung-
guhnya.
Stres dan keadaan tegang yang berkepanjangan, tanpa adanya penyelesaian
yang adekuat, akan mengganggu kesehatan fisik dan/atau mental pekerja yang
muncul dalam bentuk keluhan-keluhan psikosomatik. Selanjutnya, gangguan
kesehatan tersebut akan menjadi suatu stres baru, dan membentuk suatu lingkaran
setan. Pada gilirannya, kesehatan yang terganggu tersebut juga akan menggangu
tampilan kerja individu. Perhatian pekerja menjadi kurang dapat dipusatkan, motivasi
kerja menurun, dan tingkat keterampilannya menurun. Selain itu, biaya pemeliharaan
kesehatanpun menjadi meningkat. Hal ini tentu akan mengganggu proses produksi
secara umum.
Faktor lain yang juga mempengaruhi tampilan kerja individu adalah
kepuasaan kerjanya. Menurut penelitian Hawthorne (Milton, 1981, hal. 161)
kepuasaan akan kerja akan mengarahkan pekerja kearah tampilan kerja yang lebih
produktif. Pekerja yang puas dengan pekerjaannya akan memiliki loyalitas yang
tinggi kepada perusahaan.
Dari penjelasan-penjelasan diatas, secara sekilas tampak terdapat hubungan
antara stres dan kepuasan kerja, terutama dalam hal tampilan kerja individu. Makalah
ini berusaha membahas peranan kepuasan kerja dalam menurunkan akibat buruk dari
stres yang dihayati pekerja dalam lingkungan pekerjaannya.
Perubahan-perubahan sosial yang cepat sebagai konsekuensi modernisasi
mempunyai dampak pada kehidupan. Tidak semua orang dapat menyesuaikan diri
dengan perubahan-perubahan tersebut, pada gilirannya dapat menimbulkan
ketegangan atau stres pada dirinya. Stres sendiri merupakan hasil dari perkembangan
teknologi yang demikian cepatnya dalam abad ke duapuluh satu ini, suatu ironi
kehidupan. Manusia menciptakan berbagai macam produk untuk meningkatkan taraf
hidupnya, untuk hidup lebih efisien, namun dalam proses memproduksi berbagai
macam produksi, manusia harus menghadapi berbagai macam kondisi, yang dapat
menimbulkan stres yang lebih banyak.
Seorang yang menderita stres, selain terwujud dalam berbagai macam
penyakit, dapat pula terungkap melalui ketidak mampuannya untuk menyesuaikan
diri dengan lingkungannya, sehingga menderita gangguan kecemasan, depresi dan
gangguan psikosomatik. Penderitaan fisik dan/atau psikik menyebabkan orang tak
dapat berfungsi secara wajar, tak mampu berprestasi tinggi dan sering menjadi
masalah bagi lingkungannya (di rumah, di tempat kerja atau lingkungan sosial lain),
merupakan akibat dari stres yang berkelanjutan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian konflik?
2. Apa pandangan terhadap konflik?
3. Apa segi positif dan negatif konflik?
4. Apa ciri dan tingkat konflik?
5. Bagaimana pemecahan konflik?
6. Apa Pengertian stres?
7. Apa penyebab stres?
8. Apa pengaruh stres?
9. Bagaimana penanganan stres?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Konflik
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul.
Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau
lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak
lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Konflik juga dapat diartikan sebagai hubungan antara dua pihak atau lebih
(individu atau kelompok) yang memiliki tujuan atau kepentingan yang berbeda.
Konflik biasanya dilatarbelakangi oleh individu maupun kelompok karena
ketidakcocokan atau perbedaan pendapat dalam hal tujuan yang akan dicapai. Konflik
atau perbedan merupakan suatu hal yang sering terjadi didalam suatu organisasi.
Bukan hanya dalam hal berorganisasi tetapi hal ini juga sering terjadi dalam
kehidupan bermasyarakat Dalam proses interaksi antara suatu hal dengan hal lainnya
tidak ada jaminan akan selalu terjadi kesesuaian antara individu atau kelompok
pelaksananya.
Setiap saat konflik dapat saja muncul, baik antar individu maupun
antarkelompok dalam organisasi.
Ada beberapa pengertian konflik menurut beberapa ahli.
a. Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977), konflik merupakan
warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat
daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan
pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan.
b. Menurut Gibson, et al (1997: 437), hubungan selain dapat menciptakan
kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini
terjadi jika masing – masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau
tujuan sendiri – sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain.
c. Menurut Robbin (1996) , keberadaan konflik dalam organisasi dalam
organisasi ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak
menyadari adanya konflik di dalam organisasi maka secara umum konflik
tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa
di dalam organisasi telah ada konflik maka konflik tersebut telah menjadi
kenyataan.
d. Muchlas (1999), Dipandang sebagai perilaku, konflik merupakan bentuk
minteraktif yang terjadi pada tingkatan individual, interpersonal, kelompok
atau pada tingkatan organisasi (Muchlas, 1999). Konflik ini terutama pada
tingkatan individual yang sangat dekat hubungannya dengan stres.
e. Menurut Minnery (1985), Konflik organisasi merupakan interaksi antara dua
atau lebih pihak yang satu sama lain berhubungan dan saling tergantung,
namun terpisahkan oleh perbedaan tujuan
f. Konflik dalam organisasi sering terjadi tidak simetris terjadi hanya satu pihak
yang sadar dan memberikan respon terhadap konflik tersebut. Atau, satu pihak
mempersepsikan adanya pihak lain yang telah atau akan menyerang secara
negatif (Robbins, 1993).
g. Konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain,
kelompok dengan kelompok lain karena beberapa alasan. Dalam pandangan
ini, pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih individu
yang diekspresikan, diingat, dan dialami (Pace & Faules, 1994:249).
h. Konflik dapat dirasakan, diketahui, diekspresikan melalui perilaku-perilaku
komunikasi (Folger & Poole: 1984).
i. Konflik senantisa berpusat pada beberapa penyebab utama, yakni tujuan yang
ingin dicapai, alokasi sumber – sumber yang dibagikan, keputusan yang
diambil, maupun perilaku setiap pihak yang terlibat (Myers,1982:234-237;
Kreps, 1986:185; Stewart, 1993:341).
j. Interaksi yang disebut komunikasi antara individu yang satu dengan yang
lainnya, tak dapat disangkal akan menimbulkan konflik dalam level yang
berbeda – beda (Devito, 1995:381).
Pandangan terhadap Konflik
Robbin (1996: 431) mengatakan konflik dalam organisasi disebut sebagai The
Conflict Paradoks, yaitu pandangan bahwa di sisi konflik dianggap dapat
meningkatkan kinerja kelompok, tetapi di sisi lain kebanyakan kelompok dan
organisasi berusaha untuk meminimalisasikan konflik. Pandangan ini dibagi menjadi
tiga bagian, antara lain:
1. Pandangan tradisional (The Traditional View). Pandangan ini menyatakan
bahwa konflik itu hal yang buruk, sesuatu yang negatif, merugikan, dan harus
dihindari. Konflik disinonimkan dengan istilah violence, destruction, dan
irrationality. Konflik ini merupakan suatu hasil disfungsional akibat
komunikasi yang buruk, kurang kepercayaan, keterbukaan di antara orang –
orang, dan kegagalaan manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan
aspirasi karyawan.
2. Pandangan hubungan manusia (The Human Relation View). Pandangan ini
menyatakan bahwa konflik dianggap sebagai suatu peristiwa yang wajar
terjadi di dalam kelompok atau organisasi. Konflik dianggap sebagai sesuatu
yang tidak dapat dihindari karena di dalam kelompok atau organisasi pasti
terjadi perbedaan pandangan atau pendapat antar anggota. Oleh karena itu,
konflik harus dijadikan sebagai suatu hal yang bermanfaat guna mendorong
peningkatan kinerja organisasi. Dengan kata lain, konflik harus dijadikan
sebagai motivasi untuk melakukan inovasi atau perubahan di dalam tubuh
kelompok atau organisasi.
3. Pandangan interaksionis (The Interactionist View). Pandangan ini cenderung
mendorong suatu kelompok atau organisasi terjadinya konflik. Hal ini
disebabkan suatu organisasi yang kooperatif, tenang, damai, dan serasi
cenderung menjadi statis, apatis, tidak aspiratif, dan tidak inovatif. Oleh
karena itu, menurut pandangan ini, konflik perlu dipertahankan pada tingkat
minimum secara berkelanjutan sehingga tiap anggota di dalam kelompok
tersebut tetap semangat, kritis – diri, dan kreatif.
Konflik Menurut Stoner dan Freeman Stoner dan Freeman(1989:392)
membagi pandangan menjadi dua bagian, yaitu pandangan tradisional (Old view) dan
pandangan modern (Current View):
1. Pandangan tradisional. Pandangan tradisional menganggap bahwa konflik
dapat dihindari. Hal ini disebabkan konflik dapat mengacaukan organisasi dan
mencegah pencapaian tujuan yang optimal. Oleh karena itu, untuk mencapai
tujuan yang optimal, konflik harus dihilangkan. Konflik biasanya disebabkan
oleh kesalahan manajer dalam merancang dan memimpin organisasi.
Dikarenakan kesalahan ini, manajer sebagai pihak manajemen bertugas
meminimalisasikan konflik.
2. Pandangan modern. Konflik tidak dapat dihindari. Hal ini disebabkan banyak
faktor, antara lain struktur organisasi, perbedaan tujuan, persepsi, nilai – nilai,
dan sebagainya. Konflik dapat mengurangi kinerja organisasi dalam berbagai
tingkatan. Jika terjadi konflik, manajer sebagai pihak manajemen bertugas
mengelola konflik sehingga tercipta kinerja yang optimal untuk mencapai
tujuan bersama.

Dampak konflik
Konflik memiliki dampak sebagai berikut:
1.Dampak Positif
Menurut Wijono (1993:3), bila upaya penanganan dan pengelolaan konflik
karyawan dilakukan secara efisien dan efektif maka dampak positif akan muncul
melalui perilaku yang dinampakkan oleh karyawan sebagai sumber daya manusia
potensial dengan berbagai akibat seperti:
 Meningkatnya ketertiban dan kedisiplinan dalam menggunakan waktu
bekerja, seperti hampir tidak pernah ada karyawan yang absen tanpa alasan
yang jelas, masuk dan pulang kerja tepat pada waktunya, pada waktu jam
kerja setiap karyawan menggunakan waktu secara efektif, hasil kerja
meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya.
 Meningkatnya hubungan kerjasama yang produktif. Hal ini terlihat dari cara
pembagian tugas dan tanggung jawab sesuai dengan analisis pekerjaan
masing-masing.
 Meningkatnya motivasi kerja untuk melakukan kompetisi secara sehat antar
pribadi maupun antar kelompok dalam organisasi, seperti terlihat dalam upaya
peningkatan prestasi kerja, tanggung jawab, dedikasi, loyalitas, kejujuran,
inisiatif dan kreativitas.
 Semakin berkurangnya tekanan-tekanan, intrik-intrik yang dapat membuat
stress bahkan produktivitas kerja semakin meningkat. Hal ini karena
karyawan memperoleh perasaan-perasaan aman, kepercayaan diri,
penghargaan dalam keberhasilan kerjanya atau bahkan bisa mengembangkan
karier dan potensi dirinya secara optimal.
 Banyaknya karyawan yang dapat mengembangkan kariernya sesuai dengan
potensinya melalui pelayanan pendidikan (education), pelatihan (training) dan
konseling (counseling) dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Semua
ini bisa menjadikan tujuan organisasi tercapai dan produktivitas kerja
meningkat akhirnya kesejahteraan karyawan terjamin.
2. Dampak Negatif
 Meningkatkan jumlah absensi karyawan dan seringnya karyawan mangkir
pada waktu jam-jam kerja berlangsung seperti misalnya ngobrol berjam-jam
sambil mendengarkan sandiwara radio, berjalan mondar-mandir menyibukkan
diri, tidur selama pimpinan tidak ada di tempat, pulang lebih awal atau datang
terlambat dengan berbagai alasan yang tak jelas.
 Banyak karyawan yang mengeluh karena sikap atau perilaku teman kerjanya
yang dirasakan kurang adil dalam membagi tugas dan tanggung jawab.
Seringnya terjadi perselisihan antar karyawan yang bisa memancing
kemarahan, ketersinggungan yang akhirnya dapat mempengaruhi pekerjaan,
kondisi psikis dan keluarganya.
 Banyak karyawan yang sakit-sakitan, sulit untuk konsentrasi dalam
pekerjaannya, muncul perasaan-perasaan kurang aman, merasa tertolak oleh
teman ataupun atasan, merasa tidak dihargai hasil pekerjaannya, timbul stres
yang berkepanjangan yang bisa berakibat sakit tekanan darah tinggi, maag
ataupun yang lainnya.
 Seringnya karyawan melakukan mekanisme pertahanan diri bila memperoleh
teguran dari atasan, misalnya mengadakan sabotase terhadap jalannya
produksi, dengan cara merusak mesin-mesin atau peralatan kerja, mengadakan
provokasi terhadap rekan kerja, membuat intrik-intrik yang merugikan orang
lain.
 Meningkatnya kecenderungan karyawan yang keluar masuk dan ini disebut
labor turn-over. Kondisi semacam ini bisa menghambat kelancaran dan
kestabilan organisasi secara menyeluruh karena produksi bisa macet,
kehilangan karyawan potensial, waktu tersita hanya untuk kegiatan seleksi
dan memberikan latihan dan dapat muncul pemborosan dalam cost benefit.

Ciri dan Tingkat Konflik


Menurut Wijono( 1993 : 37) Ciri-ciri Konflik adalah :
1. Setidak-tidaknya ada dua pihak secara perseorangan maupun kelompok yang
terlibat dalam suatu interaksi yang saling bertentangan.
2. Paling tidak timbul pertentangan antara dua pihak secara perseorangan
maupun kelompok dalam mencapai tujuan, memainkan peran dan ambigius
atau adanya nilai-nilai atau norma yang saling berlawanan.
3. Munculnya interaksi yang seringkali ditandai oleh gejala-gejala perilaku yang
direncanakan untuk saling meniadakan, mengurangi, dan menekan terhadap
pihak lain agar dapat memperoleh keuntungan seperti: status, jabatan,
tanggung jawab, pemenuhan berbagai macam kebutuhan fisik: sandang-
pangan, materi dan kesejahteraan atau tunjangan-tunjangan tertentu: mobil,
rumah, bonus, atau pemenuhan kebutuhan sosio-psikologis seperti: rasa aman,
kepercayaan diri, kasih, penghargaan dan aktualisasi diri.
4. Munculnya tindakan yang saling berhadap-hadapan sebagai akibat
pertentangan yang berlarut-larut.
5. Munculnya ketidakseimbangan akibat dari usaha masing-masing pihak yang
terkait dengan kedudukan, status sosial, pangkat, golongan, kewibawaan,
kekuasaan, harga diri, prestise dan sebagainya.
Tingkatan dalam konflik terdiri atas:
1. Konflik Intra Individu.
Handoko (1995:349) mengemukakan konflik dalam diri individu,
terjadi bila seorang individu menghadapi ketidakpastian tentang pekerjaan
yang dia harapkan untuk melaksanakannya, bila berbagai permintaan
pekerjaan saling bertentangan, atau bila individu diharapkan untuk melakukan
lebih dari kemampuannya.
Konflik ini muncul dalam diri seorang individu degan pemikirannya
sendiri, yaitu individu mengalami semacam tekanan-tekanan dalam dirinya
sendiri secara emosional.
2. Konflik antar Individu
Terjadi antara satu individu dengan individu lain atau lebih, biasanya
disebabkan oleh adanya perbedaan sifat & perilaku setiap orang dalam
organisasi. Perilaku yang tidak disukai atau diharapkan dari tindakan seorang
individu terhadap individu lain dapat menyulut terjadinya konflik antar
individu dalam organisasi.
3. Konflik antar Kelompok
Konflik antar organisasi terjadi karena mereka memiliki saling
ketergantungan pada tindakan suatu organisasi yang menyebabkan dampak
negatif terhadap organisasi lain. Misalnya konflik yang terjadi antara sekolah
dengan salah satu organisasi masyarakat.

Cara mengatasi konflik


metode penyelesaian konflik yang disampaikan Stoner adalah:
1) dominasi dan penguasaan, hal ini dilakukan dengan carapaksaan, perlunakan,
penghindaran, dan penentuan melalui suaraterbanyak.
2) Kompromi
3) Pemecahan masalah secara menyeluruh. Konflik yang sudah terjadi juga bisa
diselesaikan lewat perundingan. Cara ini dilakukan dengan melakukan dialog
terus menerus antarkelompok untuk menemukan suatu penyelesaian maksimum
yangmenguntungkan kedua belah pihak. Melalui perundingan,kepentingan
bersama dipenuhi dan ditentukan penyelesaian yangpaling memuaskan.
Gaya perundingan untuk mengelola konflikdapat dilakukan dengan cara :
a. pencairan, yaitu dengan melakukan dialog untuk mendapat suatupengertian
b. keterbukaan, pihak-pihak yang terlibat bisa jadi tidak terbukaapalagi jika
konflik terjadi dalam hal-hal sensitif dan dalam suasanayang emosional
c. belajar empati, yaitu dengan melihat kondisi dan kecemasanorang lain
sehingga didapatkan pengertian baru mengenai oranglain
d. mencari tema bersama, pihak-pihak yang terlibat dapat dibantudengan cara
mencari tujuan-tujuan bersama
e. Menghasilkan alternatif, hal ini dilakukan dengan jalan mencarialternatif
untuk menyelesaikan persoalan yang diperselisihkan.
f. Menanggapi berbagai alternatif, setelah ditemukan alternatif-alternatif
penyelesaian hendaknya pihak-pihak yang terlibat dalamkonflik mempelajari
dan memberikan tanggapan
g. Mencari penyelesaian, sejumlah alternatif yang sudah dipelajarisecara
mendalam dapat diperoleh suatu konsensus untukmenetapkan suatu
penyelesaianh. Membuka jalan buntu, kadangkala ditemukan
jalan buntusehingga pihak ketiga yang obyektif dan berpengalaman
dapatdiikutsertakan untuk menyelesaikan masalahi. Mengikat diri kepada
penyelesaian di dalam kelompok, setelahdihasilkan penyelesaian yang
disepakati, pihak-pihak yang terlibatdapat memperdebatkan dan
mempertimbangkan penyelesaian danmengikatkan diri pada penyelesaian
itu j. Mengikat seluruh kelompok, tahap terakhir dari langkahpenyelesaian
konflik adalah dengan penerimaan atas suatupenyelesaian dari pihak-pihak
yang terlibat konflik.

Anda mungkin juga menyukai